Oleh: Fakhrunnas M.A. Jabbar
Prolog
Tanah Melayu Riau sejak dulu sangat subur bagi bertumbuh dan berkembangnya tradisi sastra. Tradisi sastra itu sesungguhnya sudah muncul pada masa Angkatan Klasik di mana tradisi lisan begitu kuat. Petatah-petitih yang dijadikan pengantar dalam komunikasi adat dan budaya di masa silam telah menyisakan banyak tradisi sastra lisan yang kini kian terancam punah.
Tradisi sastra lisan yang pernah berjasa di masa silam dapat dilihat dengan adanya karya sastra berupa pantun, seloka, syair atau gurindam atau cerita rakyat. Padamulanya beragam sastra lisan itu menjadi bagian dari tata hidup dan pergaulan orang-orang Melayu di kawasan ini.
Perkembangan lanjut dari tradisi sastra lisan dengan bermunculannya karya-karya sastra tertulis (tekstual). Hal ini sangat berkembang pada masa Kerajaan Riau-Lingga dan Riau-Johor yang berkembang hingga Kerajaan Tumasik (Singapura sekarang) dan Melaka hingga wilayah takluknya di kawasan Asia Tenggara.
Tradisi sastra tulis pun sangat mengemuka di Tanah Melayu Riau-Kepri dengan berdirinya kelompok intelektual Rusydiah Klab di Pulau Penyengat. Waktu itu, banyak sekali pengarang hebat yang muncul dan mewarnai tradisi sastra tulis tersebut. Sebutlah Raja Ali Haji yang terkenal dengan Gurindam 12 dan Kitab Pengetahuan Bahasa yang menjadi cikal-bakal dalam kamus Bahasa Melayu. Bahkan, masa itu sudah ada sebutan Riau School atau Aliran Riau yang diberikan oleh penguasa Belanda akan kekhasan karya-karya sastra Melayu Riau yang lahir waktu itu.
Di kawasan daratan Riau, perkembangan sastra lisan dan tulisan masuk lewat jalur perairan pantai dan sungai di kawasan Selat Malaka. Perkembangan sastra lisan dan tulisan itu masih dapat ditemukan di bekas kerajaan Siak Sriindrapura yang terletak di tepian sungai Siak. Begitu pula di bekas Kerajaan Pekan Tua dan Muara Takus di tepian sungai Kampar dan sejumlah kerajaan lain yang pernah ada di kawasan ini.
Perbancuhan tradisi sastra lisan dan tulisan di Tanah Melayu Riau masih dapat ditemukan berupa tradisi sastra lisan seperti bersyair, koba, kayat, berbalas pantun dan permainan rakyat yang menggunakan teks nyanyian atau ucapan berirama yang masih hidup di sejumlah daerah. Meskipun, semua tradisi sastra lisan itu semakin punah karena mulai jarang dipergunakan dalam upacara-upacara atau kehidupan sehari-hari.
Masa gemilang bermunculannya karya-karya sastra tulisan sebagaimana berlaku di kawasan Pulau Penyengat pada masa Kesultanan Riau-Lingga dan Riau-Johor, kini dapat ditemukan dalam bentuk naskah kuno Melayu yang sangat bernilai karena aspek kesejarahannya. Itulah sebabnya tradisi sastra di Tanah Melayu Riau-Kepri sejak masa silam hingga kini sekaligus membangkit tradisi kebahasaan yang kuat. Bahasa Melayu Riau (baca juga: Kepulauan Riau-Kepri) yang sederhana dan mudah dipahami telah menjadikan bahasa inmi sebagai cikal bakal Bahasa Indonesia.
Prof. Koentjaraningrat (1986:11) mengatakan sejarah bahasa Melayu sebagai lingua franca dalam abad ke-7 Masehi. Dari zaman itu berasal sejumlah prasasti yang menggunakan suatu bahasa Melayu kuno, yang ditemukan di situs-situs yang tersebar dan saling berjauhan. Situs-situs tersebut adalah: Kedukan Bukit (tahun 683 M) dan Talang Tuwo (tahun 684 M) di dekat kota Palembang; Karang Brahi yang letaknya jauh di hulu sungai Musi di pedalaman Jambi dan di Kota Kapur Pulau Bangka bagian Barat (tahun 686 M); di daerah hulu sungai Merangin di pegunungan Minangkabau.
Keberadaan Sastra Melayu Tradisional
Sastra Melayu Tradisional sejak awal berkembang di Tanah Melayu Riau-Kepri sebagai Sastra Melayu Lama. Menurut Soelastin Sutrisno (1986: 73), Sasrra Melayu Lama merupakan sastra daerah yang merekam segala aspek kehidupan bangsa Melayu, jasmaniah dan rohaniah dalam berbagai bentuk. Sastra tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan pendukungnya dari taraf yang paling sederhana melalui bentuk lisan, terutama di kampung-kampung sampai kepada yang tertuang dengan tulisan, yang dimulai dari istana.
“Sari pikiran dan perasaan orang Melayu mengenai segala peristiwa yang dialami dan dihayati bersama di sekelilingnya dinyatakan dalam bentuk yang singkat, dalam bahasa kiasan yang terdiri atas mantra-mantra, perumpamaan, ibarat, bidal, tamsil, sindiran dan lambing,” tulis Soelastin Sustrisno.
Sastra Melayu Lama ini pada awalnya berwujud sastra lisan tradisional yang dituturkan dari mulut ke mulut dari orangtua ke anak, anak ke cucu dan cicit dan seterusnya. Tradisi sastra lisan ini dipergunakan dalam berbagai upacara baik di bidang pertanian maupun upacara dalam kehidupan sehari-hari seperti perkawinan, kelahiran dan kematian.
Bentuk sastra lisan ini dapat ditemukan dalam tradisi mendongeng, bercerita (kayat) dan cerita rakyat. Sebagian besar bentuk-bentuk sastra lisan itu tidak mampu lagi bertahan karena semakin jarang dipergunakan. Namun, di sebagian wilayah terutama kawasan perkampungan, tradisi sastra lisan ini masih bertahan seperti kebiasaan berpantun, gurindam dan bersyair.
Menurut Soelastin Sutrisno, cerita-cerita lisan yang pada umumnya penuh pepatah-petitih, nasehat dan bernilai didaktis itu lama kelamaan bukan satu-satunya bentuk sastra dengan tumbuhnya sastra tulis. Sastra lisan tidak lenyap, bahkan antara sastra lisan dan sastra tulis timbul interaksi yang kuat, manakala sastra tulis atau sastra lisan yang sudah ditulis sesuai dengan tradisi sastra tulis kemudian menjadi sumber sastra lisan.
Sastra tulis Melayu tradisional sudah ada pada abad ke-7 berdasarkan penemuan tulisan yang menggunakan huruf Pallawa pada batu di Kedukan Bukit (683 M), Talang Tuwo (684), Kota Kapur (686) dan Karang Brahi (686). “Betapa pun pendeknya tulisan dalam bahasa Melayu Kuno itu karena hanya memuat pemberitahuan-pemberitahuan resmi raja Sriwijaya, namun dokumentasi itu dapat dipandang sebagai permulaan tradisi sastra tulis,” tulis Soelastin.
Hampir setiap daerah memiliki tradisi sastra tradisional yang sebagian masih bertahan di kawasan Riau dan Kepulauan Riau. Di antara bentuk karya sastra yang menonjol dan masih dipakai oleh masyarakat Melayu adalah pantun, syair, gurindam, hikayat, dongen, cerita rakyat, dan sebagainya. Keberadaan karya sastra lama ini biasanya digunakan dalam pergaulan sehari-hari dan upacara-upacara penting dalam kehidupan seperti perkawinan, kelahiran anak, khitanan, tunangan dan sebagainya.
Banyak tunjuk ajar dan pantang larang Melayu disebarluaskan melalui pantun, syair, gurindam atau pun hikayat. Sebab, bahasa kiasan dan sinidran yang dipergunakan cukup ampuh untuk menanamkan nilai akal-budi atau kelembuatan sebagai bagian pewarisan sistem nilai yang ada dari generasi ke generasi.
Kehebatan tradisi sastra dan intelektual yang pernah berlangsung di kawasan Tanah Melayu (Riau-Lingga, Riau-Johor,Tumasik (Singapura), Melaka, hingga Siak Sriindrapura dan Pekantua terbukti dengan peninggalan kitab-kitab baik yang berkaitan dengan sastra atau aspek keilmuan yang lain.
Berkaitan dengan pengungkapan keberadaan masyarakat Melayu Riau –pada masa itu- dalam berbagai karysa sastra, sehingga di masa penjajahan Belanda disebutkan adanya tradisi Riau School atau Aliran Riau yang hingga kini masih menyimpan miisteri yang dalam.
Sastrawan Rida K. Liamsi yang juga Raja Media di Sumatera kian memberikan perhatian soal Riau School itu. “Boleh jadi keperihandan kenestapaan orang Melayu Riau yang hingga kini banyak ditulis para sastrawan lintas generasi sampai saat ini sebenarnya juga merupakan keberlanjutan Riau School yang pernah ada di masa lampau,” kata Rida dalam sebuah perbincangan suatu ketika di tahun 2014 lalu.
Sastra Melayu Modern dan Nilai Lokalitas Melayu
Tanah Melayu Riau sejak dulu memiliki tradisi sastra (literasi) yang kuat. Tradisi sastra itu masih terus berlanjut dari generasi ke generasi. Secara garis besar, generasi sastra Riau itu telah berlangsung dalam perjalanan kreativitas yang panjang. Mulai dari generasi Raja Ali Haji, Soeman Hs, Sutardji Calzoum Bachri/ Ibrahim Sattah, Fakhrunnas MA Jabbar/ Taufik Ikram Jamil, Marhalim Zaini hingga Kunni Masrohanti/ Jeffry Al Malay.
Pujangga Soeman Hs yang produktif melahirkan roman dan cerpen pada masa Angkatan Pujangga Barau dan Balai Pustaka secara jelas telah mengangkat kekayaan khasanah budaya Melayu dalam karya-karyanya. Tentu saja, ke-Melayuan itu tidak hanya sekadar tempelan melainkan terhunjam ke dalam ruh cerita dan tokoh-tokohnya yang khas Melayu.
Sejumlah sastrawan era 1960-an terus melanjutkan tradisi literasi Melayu itu sebagaimana dapat ditemukan dalam karya-karya sastrawan Rus Abrus (Rustam S. Abrus), Tengku Nazir (Dey Nazir Alwi, Wan Saleh Tamin, Johan Syarifuddin dan Wan Ghalib. Tatacara kehidupan orang Melayu menyatu dalam rangkaian cerita dengan penanaman nilai-nilai ke-Melayuan.
Di era 1970-an, sejumlah sastrawan Riau terkemuka seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, Ediruslan Pe Amanriza, UU Hamidy, BM. Syamsuddin, Wunuldhe Syaffinal, Taufik Effendy Aria, Boestaman Halimy, Syamsul Bahri Judin dan lain-lain terus mengangkat duka nestapa orang-orang Melayu Riau yang dirasakan mereka sebagai ‘ladang perburuan’ oleh kekuasaan pemerintah pusat yang sangat kuat berkuasa.
Keberadaan Sutardji Calzoum Bachri yang melesat jauh dibandingkan sastrawan seangkatan dengan kepiawaiann ya mengangkat tradisi mantra yang tumbuh subur dalam kehidupan orang Melayu semakin membukakan cakrawala banyak orang mengenai sastra Melayu modern yang selama ini kurang diperhatikan. Hal yang senada dilakukan pula oleh penyair Ibrahim Sattah yang mengangkat permainan anak-anak (dolanan anak-anak) Melayu dengan kepiawaiannya memasukkan kata-kata khas yang biasanya diucapkan dalam tradisi permainan anak-anak Melayu itu. Sebutlah ungkapan: ‘tu bulan, ‘tu bintang pucuk ami-ami…dst.
Tema-tema kenestapaan orang-orang Melayu (tempatan) dengan kekayaan sumberdaya alam yang melimpah dulunya seperti minyak dan gas bumi yang pernah menyumbangkankan 90 persen devisa negara dari tanah Melayu Riau, sangat ironis berbanding terbaik dengan kesejahteraan rakyatnya. Suara perlawanan para sastrawan (jangan-jangan ini yang disebut Riau School atau Aliran Riau itu) bagaikan tak terhentikan (unstoppable) dari generasi ke generasi.
Sastra Melayu modern yang kini diwariskan dan dikembangkan para sastrawan (baca: penulis) di Riau lebih menonjol pada puisi dan prosa (cerpen dan novel). Produktivitas sastrawan dan penulis Riau dalam berkarya yang diwujudkan dalam bentuk kitab-kitab yang beragam baik kumpulan puisi, cerpen, esai maupun roman/ novel serta buku intelektual dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengundang perhatian sastrawan/ wartawan Tempo, Amarzan Loebis dengan memberikan julukan sebagai ‘Negeri Sahibul Kitab.’
Menurut Amarzan, produktivitas buku yang diterbitkan di Riau setiap tahunnya melebihi rata-rata nasional. Di Riau tak kurang dari seratus buku yang diterbitkan rata-rata per tahun. “Hanya saja disayangkan buku-buku yang terbit di Riau, meskipun cukup bagus namun kurang bergema ke tingkat nasional. Diperlukan strategi promosi yang baik sehingga buku-buku itu bisa berbicara lebih lantang di tingkat nasional,” cerita Amarzan kepada saya suatu ketika di tahun 2007.
Tampaknya, apa yang dilakukan para sastrawan Riau generasi kini untuk terus menggali kekayaan khasanah Melayu dalam karya-karyanya telah menjadi nilai kekuatan tersendiri yang memberikan daya tarik yang khas. Hal ini sejalan dengan pemikiran Mursal Esteen mengenai adanya tradisi Sub-Kultur (lokalitas) yang dikembangkan para sastrawan Indonesia dari masing-masing daerah yang memiliki tradisi sejarah dan budaya yang kuat seperti Jawa, Bali, Minangkabau, Batak, Bugis, Sunda, Madura dan Melayu sendiri.
Masalah lokalitas dalam sastra sejak lama sudah menjadi obyek kajian menarik para pemerhati sastra di berbagai belahan dunia. Lokalitas tidak hanya sekadar batasan geografis dan sejarah masa silam, namun lebih menyeruak ke dimensi yang lebih luas yakni nilai-nilai sosial-budaya yang dianut oleh masyarakat pendukungnya. Bahkan dapat menembus ranah peradaban (tamadun) di masing-masing wilayah dan waktu.
Para sastrawan dunia semakin memperlihatkan kegairahannya dalam memanfaatkan nilai-nilai lokalitas dalam karya sastra mereka di tengah-tengah pusaran global yang berlangsung tanpa terkendali. Para pemenang Nobel Sastra memperlihatkan kecenderungan mengangkat lokalitas sebagai kekuatan karya baik di kawasan Asia, Eropa maupun Amerika.
Lokalitas dalam sastra sebenarnya muncul dalam berbagai kajian sastra yang memfokuskan pada kecenderungan sastrawan mengangkat nilai-nilai lokal. Oleh sebab itu, istilah lokalitas mempunyai kesamaan pemaknaan dengan istilah lainnya seperti warna lokal, sub-kultur, budaya lokal dan sebagainya.
Pengamat Sastra Indonesia, Maman S. Mahayana memberikan batasan pengertian lokalitas dalam sastra sebagai berikut:
“Ada garis imajinatif yang seolah-olah jadi penanda untuk pembatas –relatif- berdasarkan garis keturunan, genealogi atau lingkaran kehidupan sosial-kultural. Oleh karena itu, lokalitas lantaran sifatnya yang dinamis, licin dan lentur dapat ditarik ke belakang menyentuh tradisi dan kearifan masyarakat dalam menyikapi masa lalu, ke depan yang mengungkap harapan ideal yang hendak dicapai sebagai tujuan, ke sekitarnya dalam konteks kekinian berkaitan dengan kondisi dan berbagai fenomena yang sedang terjadi, atau bahkan ke segala arah yang menerabatas lokalitas budaya lain.”
Lokalitas dalam sastra tidak identik dengan sastra lokal. Sastra lokal bertumpu pada pemakaian bahasa etnik, sedangkan lokalitas dalam sastra mengasumsikan adanya ruang kultural yang menjiwai karya sastra. Meskipun begitu, lokalitas dalam sastra bukan sekadar ruang (space), locus, tempat (place) atau wilayah geografis yang dibatasi atau berbatasan dengan wilayah lain yang secara fisikal dapat diukur, melainkan ruang dalam ranah budaya. (Lokalitas dan Sastra, 2007).
Ruang kultural merupakan batasan imaginatif yang melingkupi kehidupan suatu kelompok sosial. Interaksi berbagai nilai sosial dan budaya merepresentasikan sebuah potret sosial. Nilai-nilai sosial budaya dapat berwujud adat-istiadat, ideologi, tunjuk-ajar dan pantang-larang, bahasa sistem sosial, sistem agama dan politik dan sebagainya.
Realitas sosial-kultural dalam suatu kelompok sosial akan memperlihatkan wujud peradaban (tamadun, civilization). Peradaban merupakan cerminan ketinggian tingkat pemikiran manusia yang beranjak dari perbancuhan nilai-nilai sosial dan budaya yang dimediasi oleh inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Peradaban dapat pula dipandang sebagai kemuliaan tingkat kemanusiaan yang merepresentasikan keunggulan kelompok sosial dari masa ke masa.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, lokalitas/ warna lokal atau subkultur pernah diperlihatkan sejumlah pengarang Indonesia yang telah memperkaya khasanah sastra Indonesia melalui lokalitas daerah masing-masing. Sebutlah dalam lokalitas Jawa telah memunculkan nama penyair Linus Suryadi AG melalui Pengakuan Pariyem, Ahmad Tohari (Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk), Danarto (Adam Ma’rifat, yang lebih bersifat Sufisme Jawa) dan masih banyak lagi. Lokalitas Minangkabau dapat dirasakan dalam karya-karya AA. Nafis, Hamka, Hamid Jabbar, Harris Effendi Thahar, Wisran Hadi, Gust Tf, Yusrizal KW, Iyut Fitra dan lain-lain.
Sementara para pengarang dari Tanah Melayu Riau secara tunak terus mempertahankan nilai-nilai lokalitas Melayu itu seperti Raja Ali Haji, Soeman Hs, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, Ediruslan Pe Amanriza, BM. Syamsuddin, A. Aris AbebaTaufik Ikram Jamil, Fakhrunnas MA Jabbar, Dheni Kurnia, Kazzaini Ks, Marhalim Zaini, Kunni Masrohanti, Jeffry al Malay dan lain-lain.
Nilai-nilai lokalitas Melayu itu memiliki kadar yang berbeda-beda bagi setiap pengarang karena sangat tergantung pada pengalaman empirik (situasi lokal dan situasional yang membentuknya dalam jangka panjang). Tak jarang, nilai-nilai lokalitas Melayu itu hanya berupa tempelan (kolase) yang tidak bersebati di dalam ruh cerita sehingga yang muncul ke permukaan hanyalah simbol-simbol budaya Melayu, kata-kata arkhais, istilah atau sebutan yang khas Melayu.
Namun, secara umum, lokalitas Melayu itu menjelma dalam karakter para tokoh cerita sebagai jelmaan kehidupan sehari-hari yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Melayu. Dalam produk seni-budaya secara luas, warna lokal dapat ditemukan dalam semua cabang seni mulai dari lukis, pahat/ ukir, tari, teater (performance art), dan cabang-cabang seni grafis lainnya.
Peran Balai Bahasa Provinsi Riau
Balai Bahasa Provinsi Riau (BBPP) sebagaimana daerah lain di Indonesia memiliki peran strategis dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Bila di masa lalu, kegiatan yang dilakukan lebih dominan pada kegiataan kebahasaan secara gramatikal atau pengetahuan bahasa yang lebih bersifat teknis. Pada masa lalu, balaibalai bahasa lebih menekankan aspek sosialisasi penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di kalangan masyarakat. Oleh sebab itu, banyak sekali himbauan dan ajakan yang dibuat melalui media promosi yang berbunyi: Mari Gunakan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar.
Namun keberadaan dan kiprah Balai Bahasa di masing-masing daerah akan sangat ditentukan oleh pimpinan dan pengelolanya. BBPP Riau yang dipimpin oleh Drs. Agus Sri Danardana –selain ahli bahasa juga sastrawan- sangat kreatif dalam memperluas ruang lingkup tugas dan kerja lembaga ini. Upaya-upaya nyata yang dilakukan dalam mengangkat dan mengembangkan nilai-nilai kebahasaan khususnya bahasa Melayu Riau tidak semata terfokus pada aspek teknis kebahasaan melainkan dikembangkan secara kreatif pada ranah sastra kreatif.
Bisa dimafhumi bila BBPP Riau dalam menyusun program kerja dan kegiatannya secara nyata melibatkan banyak pihak baik dari kalangan pemerintah, legislatif, institusi formal dan informal serta para seniman dan sastrawan yang terkait dengan ranah besar kebahasaan. Seperti dalam penyusunan Program Kerja BBPP tahun 2016, BBPP Riau menyelennggarakan rapat koordinasi parapihak (stake-holder) bulan Februari 2015 yang dihadiri langsung oleh Kepala Pusat Bahasa, Prof. Dr. Mahsun.
Banyak usulan program kegiatan yang diajukan oleh masimng-masing pihak terkait baik kalangan legislatif yang secara konstitusional berperan dalam proses legislasi maupun para seniman/ sastrawan dan ahli bahasa yang benar-benar faham soal bahasa dan sastra. Oleh sebab itu, ruang lingkup kegiatan BBPP ini mencakup pembinaan dan pengembangan kebahasaan, melakukan penelitian terhadap bentuk dan nilai sastra lama (tradisional), pewarisan dan sosialisasi karya sastra lama dan modern, penerbitan buku sastra, pelatihan dan pertunjukan serta berbagai lomba atau festival.
Pada kegiatan Pekan Sastra 2015 yang digelar oleh BBPP Riau selama lebih kurang sepekan, aktualisasi program kerja itu begitu nyata dengan melibatkan banyak pihak dan lintas generasi. Kegiatan itu berorientasi pada upaya pengenalan sastra kepada masyarakat dengan cara membaca, mendengar, atau menonton (pementasan), serta mengelaborasi karya sastra dengan karya lain, semisal seni suara, seni tari dan seni musik.
Pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh BBPP bertahun-tahun selama ini mengombinasikan antara aspek ide pemikiran dan aktualisasi bagi kalangan generasi muda atau usia sekolah untuk mencintai bahasa dan sastra.
Kegiatan-kegiatan itu antara lain pelatihan penulisan atau bengkel sastra (penulisan puisi, cerpen, novel dll), musikalisasi puisi sebagai perpaduan sastra dan musik bahkan kolanboreasi sastra dengan tarian sebagai seni pertunjukan panggung. Dalam mewujudkan program-program tersebut, pelatihan pun diberikan oleh kalangan seniman musik dan tari dan sastrawan sendiri.
Penerbitan buku-buku kebahasaan dan kesastraan yang dilakukan BBPP baik yang bersifat tradisional maupun modern juga melibatkan ahli bahasa dan sastrawan. Khasanah sastra Melayu lama seperti Hikayat Hang Tuah I dan II pernah diterbitkan ulang oleh BBPP Riau setelah melalui proses transliterasi dari tulisan Arab Melayu. Begitu pula sejumlah naskah Melayu lama yang semakin langka ditemukan.
Karya-karya musikalisasi puisi yang dilakukan oleh anak-anak muda pelajar SMA dan umum di Riau kini makin menyemarakkan kreativitas dalam menginterpretasikan karya puisi sebagai seni pertunjukan yang menarik. Puisi-puisi yang diangkat pun sangat beragam baik karya penyair Melayu Riau sendiri maupun penyair Indonesia lainnya.
Selebihnya program lomba atau kompetisi yang berkaitan dengan tradisi sastra lama seperti pembacaan syair, pantun dan gurindam, mendongeng/ cerita rakyat, musikalisasi puisi dan tarian dan lomba penulisan karya kreatif (puisi, cerpen) dan esai sudah menjadi bagian integral dari aktivitas dan peran BBPP Riau.
Epilog
Bahasa dan sastra merupakan dua aspek yang selalu terkait rapat bila diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa terus berkembang dinamis sejalan dengan perkembangan sastra yang diperankan oleh kalangan seniman dan sastrawan. Tanah Melayu Riau memiliki tradisi bahasa dan sastra yang panjang dengan keunggulan tradisi lisan dan literasi (tulisan) yang masih terbukti hingga kini.
BBPP Riau telah mengambil peran dan peduli dengan upaya pelestarian nilai-nilai bahasa dan sastra khususnya sastra Melayu. Dinamika program dan kegiatannya sangat tergantung pada sosok pemimpin lembaga itu dengan konsep-konsep krearif dan cemerlang sehingga benar-benar menjadi bagian dari pengembangan tradisi bahasa dan sastra di tengah-tengah masyarakat.
Sumber: Makalah Temu Sastrawan pada Pekan Sastra Balai/Kantor Bahasa Regional Sumatra 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...