Jumat, 08 Juli 2016

Seni Membentuk Identitas Bangsa: Bagaimana Sastra Jambi Hari Ini?

Oleh: Titas Suwanda 

Seni dapat membentuk dunia. Pernyataan ini  memberikan penguatan bahwa kesenian tidak hanya bisa membentuk integritas suatu negara, kesenian bisa menjadi lebih jauh dari itu. Kesenian dapat membangun suatu peradaban, bahkan dunia.
Lalu bagaimana kaitannya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia? Agaknya kita juga mesti bersepakat dengan pernyataan yang berpandangan bahwa sebagai Negara, Indonesia lahir dari sebuah karya seni berupa puisi yang kita kenal dengan “Sumpah Pemuda”.

Pandangan ini bertolak dari bangunan teks “Sumpah Pemuda” yang lahir dari kongres pemuda pada tahun 1928 tersebut, yang memenuhi kriteria sebagai teks puisi. Sutardji Calzoum Bachri, Sang Presiden Penyair Indonesia pernah menyampaikan dalam esainya yang berjudul “Puisi Besar” terbit di halaman Bentara koran Kompas tahun 2001, bahwa Sumpah Pemuda merupakan puisi besar yang ditulis oleh penyair kolektif, yakni para pemuda yang hadir pada kongres tersebut. Menyimak teks tersebut, secara sadar kita memang menemukan repetisi-repetisi bunyi, memperhitungkan jumlah kata dan rima seperti halnya teks puisi. 

Selain dari analisis strukturnya, teks “Sumpah Pemuda” juga diciptakan dari daya khayal (imajinasi) penyairnya. Bentuk imajinasi tersebut secara konkret tercermati pada kata “Indonesia”. Bukankah “Indonesia” yang dimaksud dalam teks tersebut masihlah khayalan dan impian pemuda saja? Karena pada tahun 1928 saat kongres yang melahirkan teks tersebut berlangsung, Indonesia belumlah sesuatu yang  nyata. Secara de facto Indonesia barulah diakui setelah Sukarno membacakan teks proklamasi pada tahun 1945. Simpulannya, Sastra (sebagai suatu bentuk produk seni) ternyata tidak hanya mempersatukan, tetapi juga menjadi identitas serta melahirkan suatu bangsa, yakni bangsa Indonesia.

Bagaimanakah Sastra Jambi Hari Ini?
Jambi sebagai bagian dari NKRI, sebagai daerah tingkat satu yang otonom, apakah Jambi juga telah mengaktualkan identitasnya melalui sastra? Baik melalui kekaryaan, kreator, pembaca dengan berbagai resepsinya, serta atmosfer literasi yang kondusif? Bagaimanakah dunia sastra Jambi hari ini? Jawabannya jelas bisa sangat beragam. Namun yang pasti kita patut bersyukur bahwa sastra di Jambi masih tetap mempertahankan denyut nadinya meski hal ini belum mengindikasikan secara pasti kondisi kesehatan sastra kita sedang dalam keadaan prima. Patut juga disyukuri, dalam rangka mempertahankan denyut tersebut, para sastrawan Jambi berpantang lelah mengolah rasa, terus membuka mata batin untuk tetap berkreasi baik secara personal, maupun secara komunal. Berikut paparan kondisi sastra Jambi dalam dua tahun terakhir.

Dari genre puisi, Jambi memiliki penyair-penyair yang karyanya terus mewarnai dunia perpuisian nasional. Ada nama Jumardi Putra yang menyertai Ubud Writers Festival; Dimas Arika Mihardja yang kerap berkolaborasi dengan penyair-penyair dari berbagai daerah, bahkan dengan penyair mancanegara; Ramayani, Rini Febriani Hauri, dan lain sebagainya juga menyertai penerbitan kumpulan puisi bersama berskala besar seperti PPN dan Negeri Poci. Selain itu, munculnya antologi puisi tunggal Tuhan Menegur Kita karya Utomo Soconingrat, dan Mata Air Surga karya Aulia Mukti juga menjadi petanda baik tentang lahirnya “sastra anak” di Jambi. 

Geliat mencipta puisi juga ditunjukkan oleh para guru Bahasa Indonesia tingkat SMP dari kabupaten Muaro Jambi dengan menerbitkan antologi puisi Menuju Muaro. Dari genre prosa, Jambi memiliki Novelis produktif sekelas Meiliana K. Tansri yang novel-novelnya banyak terpajang di rak-rak toko buku Gramedia. Untuk genre prosa tidak banyak nama sastrawan Jambi yang muncul ke permukaan. Tanpa mengesampingkan karya-karya cerpen Yupnical Saketi yang sangat kental aspek lokalitasnya, serta nama-nama dan komunitas penulisan seperti Forum Lingkar Pena yang rutin menerbitkan antologi cerpen karya anggota-anggotanya.

Dari genre drama muncul sedikit kejutan. Tahun 2014, terbit buku Pancang Negeri yang memuat dua naskah drama sejarah Jambi “Sultan Thaha” dan “Raden Mattaher” karya EM Yogiswara menjadi penanda terbukanya kran penerbitan naskah-naskah drama yang beberapa tahun terakhir sulit dijumpai tidak hanya di Jambi, namun juga di Indonesia. Hal yang menarik adalah, sanggar teater di Jambi sudah rutin dan percaya diri mementaskan naskah-naskah lokal. Teater AiR Jambi dalam dua produksi terakhir mementaskan Telur Itik dan Suatu Hari Suatu Masa karya Randa Gusmora. Teater Tonggak Jambi juga membawa naskah gubahan Didin Siroz pada pementasan terbarunya di NTT. Gairah dari genre ini juga dilengkapi dengan buku teori Berkenalan dengan Drama karya Dra. Hj. Yusra Dewi, M.Pd dan E.M. Yogiswara yang terbit tahun 2015 ini. 

Bertolak dari produktivitasnya dalam beberapa tahun terakhir seperi yang telah dipaparkan, sebenarnya sastra Jambi bisa dikatakan  “bergairah”. Namun pembahasan tentang sastra tentu tak terlepas dari pembacanya. Meski karya yang baik dapat menemui pembacanya sendiri, namun perlu juga disadari bahwa dengan kehadiran pembaca suatu karya dapat dikatakan bernilai. Asumsi sementara, pembaca kita belum menempatkan sastra sebagai sesuatu yang primer. Pembaca belum masih kesulitan menerima pesan pengarang melalui simbol-simbol yang terangkum dalam karyanya. Perlu penelitian lebih lanjut untuk menjawab permasalahan ini. 

Jarak antara pengarang melalui karyanya dengan pembaca sastra selayaknya dapat dijembatani oleh kehadiran seorang kritikus sastra. Jambi memiliki persoalan dengan minimnya kritikus mumpuni. Seorang hakim yang mampu bersikap adil dan objektif. Beberapa ulasan terkait sastra memang tetap muncul. Namun subjektivitas kritikus berlabel budaya “sungkan” menjadi salah satu akar persoalan. Akar lainnya adalah belum utuh terciptanya mindset dari para sastrawan Jambi bahwa setiap karya yang lahir ke ruang publik semestinya siap dipertanggungjawabkan, siap dibongkar, siap dicerca cacian. 

Persoalan lainnya, kritik-kritik yang lahir lebih “menguntungkan” penulis dari pada pembaca. Maksudnya, arah dari kritik lebih pada bagaimana unsur fisik karya ketimbang unsur batinnya. Kritikus Jambi khusuk membahas bagaimana sebuah karya dituangkan oleh pengarangnya, bagaimana teknik penulisan, bagaimana kepaduan kemasannya, dan lain sebagainya. Semestinya, kritik tersebut juga diimbangi dengan kebutuhan pembaca (dengan kondisi pembaca kita) akan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu karya sastra. 

Kondisi umumnya, memang pembahasan tentang sastra di Jambi masih terkesan ekslusif. Terkesan hanya menjadi konsumsi kalangan tertentu. Bahkan jika di suatu tempat, di kantin misalnya, pembicaraan tentang sastra hanya berlangsung di satu meja diantara tiga atau empat meja yang terdapat di kantin tersebut. Dengan kata lain, sastra Jambi belum dikonsumsi oleh semua orang. Selain itu, elemen yang terlibat dalam sastra Jambi seakan masih bergerak secara terpisah. Belum terintegrasi dalam satu kondisi. Padahal dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia, bahkan dunia, “canon” sastra muncul dari kondisi yang padu, tidak tersegmentasi. Bahkan karya yang disebut “canon” biasanya merupakan karya yang lahir dari komunitas.

Karya sebagai Identitas
Kembali pada persoalan "identitas" Jambi sebagai bagian dari Indonesia, yang pada konteks ini, dalam proses penciptaannya sastrawan melakukan penggalian "nilai-nilai budaya", maka sastra Jambi belumlah mengaktualkan identitas dirinya dengan maksimal. Penggalian nilai-nilai budaya lebih menitikberatkan pada hal yang positif  dari masyarakat, yang bersumber dari pengolahan akal dan pengolahan rasa manusia. Untuk itu, perlu merumuskan kembali pola pikir terkait pembangunan dan pengembangan sastra Jambi. Mempertemukan konsep antar sastrawan dengan berbagai pihak terkait. 
Dalam proses berkesenian memang terdapat kehendak "meniru", "mimetic", atau "menjadi sama" dengan "sesuatu yang lain". Hal inilah yang mejadi tanda bahwa kesenian dan kebudayaan masih dibangun di atas mental pelaku kesenian, dan masyarakatyang masih "terjajah". Sementara itu, kehendak menjadi "berbeda", "menjadi diri sendiri", dan "otentik" adalah tanda dari seni dan kebudayaaan yang dibangun di atas mental yang merdeka dan bebas. Kesenian yang dibangun seperti ini akan terlepas dari aneka kekuatan lain. Ia akan mejadi mandiri, mampu mengidentifikasi diri, atau mampu menjadi dirinya sendiri.

Hasrat menjadi diri sendiri melalui kesenian menuntut kemampuan pelaku seni untuk merumuskan identitas diri, bukan melalui "citra sang lain". Maksudnya, tidak ada proses transfer atau pemindahan/peminjaman identitas pihak lain. Sejauh ini, identitas hanya dipandang sebagai padanan dari "repetisi" atau "pengulangan". Identitas selalu dilihat sebagai sesuatu yang memiliki "kesamaan" dengan unsur-unsur masa lalu. Atau dikenal juga sebagai "tradisional". Padahal, jika digali, identitas dapat mejadi pembaharuan, sesuatu yang baru. Karya semestinya bisa menjadi identitas. Baik identitas penulisnya secara personal maupun menjadi identitas kolektif Jambi di lingkup yang lebih luas. 

Jambi memiliki kekayaan budaya sejak masa lampau. Keanekaragaman suku, bahasa, budaya serta warisan kesenian yang berlimpah. Jambi memiliki masyarakat yang lengkap. Mulai dari suku Kerinci yang mendiami dataran tinggi atau pegunungan, suku bathin di wilayah barat Jambi, suku anak dalam (kubu), suku melayu, sampai pada masyarakat bajau yang mendiami pesisir pantai Tanjung Jabung. Kesastraan Jambi juga memiliki kekayaan khasanah seperti sumber-sumber referensi kesasteraan klasik. Jambi memiliki bentuk-bentuk dan referensi sastra klasik bernilai tinggi seperti tradisi Kunoun dan Tale di Kerinci, Lantas, mengapa kekayaan tersebut belum tergali maksimal? Belum bisa menjadi identitas? Tentu hal ini mejadi pekerjaan rumah kita semua sebagai manusia yang hidup di Jambi, di satu wilayah yang menjadi bagian dari sebuah negara yang konon lahir dari secarik kertas berisi puisi. Salam.

Sumber: Tentang Kita dan Mereka: Kumpulan Makalah Dialog Bahasa dan Sastra dengan Komunitas Masyarakat Jambi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...