Rabu, 18 Januari 2012

Pengaruh Gaya Pengasuhan Orangtua Terhadap Kemandirian Remaja

Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama dalam membentuk kepribadian seorang anak. Seorang anak akan tumbuh menjadi seorang remaja yang mandiri baik dalam hal emosi, berbuat, maupun berprinsip yang hal tersebut sangat dipengaruhi oleh gaya pengasuhan orangtua dalam lingkungan keluarganya. Sehubungan dengan gaya pengasuhan orangtua dan hubungannya dengan kemandirian para remaja, hal yang terpenting diketahui oleh para orangtua bahwa seorang remaja juga sangat membutuhkan dukungan daripada sekedar pengasuhan, seorang remaja juga membutuhkan bimbingan daripada sekedar perlindungan, seorang remaja juga membutuhkan pengarahan daripada sekedar sosialisasi, dan seorang remaja dalam kehidupannya sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang (kebutuhan psikis) daripada sekedar pemenuhan kebutuhan fisik/materi semata. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut sangat terkait pula dengan gaya pengasuhan yang diperankan oleh para orangtuanya, yang pada akhirnya juga sangat berpengaruh pada tumbuhnya kemandirian pada diri seorang anak ketika ia tumbuh menjadi seorang yang dewasa kelak.

A. Pendahuluan

Semua orangtua tentu saja mengharapkan anaknya dapat tumbuh menjadi manusia yang cerdas, bahagia, dan memiliki kepribadian yang baik. Namun harapan tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dituntut kesabaran, keuletan dan kesungguhan dari para orangtua agar harapan tersebut dapat terwujud. Salah satu yang perlu diperhatikan oleh orangtua adalah menerapkan gaya pengasuhan yang tepat agar anaknya dapat berkembang menjadi manusia dewasa seperti yang diharapkan.

Wahana yang pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak adalah keluarga. Dalam lingkungan keluargalah anak diasuh dan dibesarkan sehingga mengalami suatu proses untuk “menjadi” seorang manusia yang dewasa.

Fungsi keluarga dalam proses memberi “corak dan warna” seorang anak sangat vital. Fungsi tersebut disamping sangat vital juga berubah dan mengalami perkembangan seiring dengan bertumbuh dan berkembangnya usia seorang anak Misalnya pada masa bayi dan kanak-kanak, fungsi dan tanggung jawab utama sebuah keluarga adalah mengasuh, merawat, melindungi, membesarkan, dan melakukan proses sosialisasi. Namun seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, misalnya ketika ia menjadi seorang remaja, maka fungsi utama keluarga akan bergeser dan bertambah pula. Seorang remaja lebih membutuhkan dukungan (support) dari sekedar pengasuhan (nurturance), ia lebih membutuhkan bimbingan (guidance) dari sekedar perlindungan (protection), dan seorang remaja lebih membutuhkan pengarahan (direction) dari sekedar sosialisasi (socialization) (Steinberg, 1991)

Berikut ini akan diuraikan bagaimana dan seperti apa kecenderungan seorang anak akan tumbuh menjadi seorang remaja yang mandiri jika dikaitkan dengan gaya pengasuhan (parenting style) dari orangtua.

B. Kemandirian Remaja

Dalam Bahasa Indonesia, kata “mandiri” diartikan sebagai suatu keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung kepada orang lain. Kata “kemandirian” adalah kata benda dari kata mandiri yang diartikan sebagai hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Kemandirian menunjuk pada adanya kepercayaan akan kemampuan diri sendiri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tanpa bantuan orang lain, tanpa dikontrol oleh orang lain, dapat melakukan kegiatan dan menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapinya. Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Johnson dan Medinnus, (Widjaja, 1986) menjelaskan bahwa kemandirian merupakan salah satu ciri kematangan yang memungkinkan seorang anak berfungsi otonom, berusaha ke arah terwujudnya prestasi pribadi dan tercapainya suatu tujuan.

Dalam istilah psikologi, kata mandiri dipadankan dengan kata otonomi (autonomy). Senada dengan pendapat di atas, secara singkat Chaplin (1997) dalam Kamus Psikologi memberikan arti kata autonomy sebagai keadaan pengaturan diri, atau kebebasan individu manusia untuk memilih, menguasai dan menentukan dirinya sendiri.

Dari beberapa pengertian kemandirian di atas, diambil suatu pengertian bahwa secara substansial kata mandiri/kemandirian dan kata otonomi (autonomy) mempunyai kata kunci yang sama yakni terlepas dari ketergantungan pada orang lain, mempunyai tanggung jawab pribadi serta mampu melaksanakan segala sesuatunya oleh dirinya sendiri.

Fasick dalam Rice (1996: 45) mengatakan: “one goal of every adolescent is to be accepted as an autonomous adult”. Dengan demikian, maka kemandirian merupakan salah satu aspek yang gigih diperjuangkan dan diidamkan oleh setiap para remaja. Tuntutan adanya separasi (separation) atau self-detachment dari para remaja terhadap orangtua atau keluarganya semakin tinggi, hal ini sejalan dengan memuncaknya proses perubahan fisik, kognisi, afeksi, sosial, moral dan mulai matangnya pribadi para remaja saat memasuki masa dewasa awal, dan berkembangnya kebutuhan akan kemandirian (autonomy) dan pengaturan diri sendiri (self directed) dari para remaja.

Steinberg (1993), menyatakan bahwa secara psikososial kemandirian tersusun dari tiga bagian pokok yaitu: 1). Emotional autonomy (kemandirian emosi), 2). Behavioral autonomy (kemandirian untuk bertindak atau berbuat), dan 3). Value autonomy (kemandirian nilai).

Emotional autonomy (kemandirian emosi), yaitu aspek kemandirian yang berhubungan dengan perubahan kedekatan/keterikatan hubungan emosional individu, terutama dengan orangtua.
Ketika seorang anak telah memasuki usia remaja, maka hubungan antara anak dengan orangtuanya akan terasa berubah. Seiring dengan timbulnya kemandirian seorang anak, terutama dalam hal mengurus dirinya sendiri maka waktu yang diluangkan untuk kebersamaan orangtua terhadap anaknya akan semakin berkurang dengan sangat tajam.

Interaksi sosial pada seorang anak remaja yang awalnya lebih banyak terjadi di dalam lingkungan keluarga akan bergerak menuju ke lingkungan di luar keluarganya. Jika selama ini seorang anak remaja ketika masih dalam masa kanak-kanak interaksi sosialnya terbatas hanya dalam lingkungan keluarga, maka pada masa remaja hal ini mulai berkurang seiring dengan bertambah luasnya lingkungan sosial atau pertemanan remaja yang didapatnya. Keterikatan seorang remaja dengan orangtuanya akan semakin bekurang, Ia akan berubah menjadi dirinya sendiri dan berusaha mencari model yang sesuai dengan keinginannya. Ketergantungan emosional seorang remaja terhadap orangtua atau keluarganya akan semakin berkurang, meskipun ikatan emosional sebagai seorang anak terhadap orangtuanya tidak serta merta dan tidak mungkin dapat dipatahkan secara sempurna (Rice, 1996).

Steinberg (1993) menyebutkan bahwa kemandirian emosi seorang remaja dapat dilihat dari beberapa indikator seperti diantaranya sebagai berikut:

Tidak serta merta lari atau mengadu kepada orangtuanya ketika mereka dirundung kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran, atau ketika ia sedang membutuhkan bantuan.
Tidak lagi memandang orangtuanya sebagai orang yang mengetahui segala-galanya atau menguasai segala-galanya.
Seringkali mempunyai energi emosional yang besar dalam rangka menyelesaikan hubungan-hubungan di luar keluarganya, dan dalam kenyataannya mereka merasa lebih dekat dengan teman-temannya daripada orangtuanya sendiri.Mampu memandang dan berinteraksi dengan orangtuanya sebagai orang pada umumnya, artinya bukan semata-mata sebagai orangtuanya.
Mampu memandang dan berinteraksi dengan orangtuanya sebagai orang pada umumnya, artinya bukan semata-mata sebagai orangtuanya.
Behavioral autonomy (kemandirian untuk bertindak atau berbuat), yaitu aspek kemampuan untuk membuat keputusan secara bebas dan melakukan tindak lanjut.
Mandiri dalam tingkah laku berarti bebas untuk bertindak/berbuat sendiri tanpa terlalu bergantung pada bimbingan/pertolongan dari orang lain. Kemandirian berbuat, khususnya kemampuan mandiri secara fisik sesungguhnya sudah dimulai sejak usia anak (Widjaja, 1986), kemudian akan meningkat dengan sangat tajam sepanjang usia remaja. Peningkatan ini bahkan lebih dramatis daripada peningkatan kemandirian emosional.

Kemandirian untuk berbuat sesungguhnya telah dimulai sejak dari adanya sebuah kewewenang yang diberikan oleh orangtua terhadap anaknya untuk berbuat atau melakukan sesuatu dengan sendiri. Secara psikologis, seorang remaja ingin mendapatkan kemandirian dalam hal bertingkah laku secara perlahan-lahan.

Pemberian kepercayaan sebaiknya diberikan secara bertahap atau sedikit demi sedikit terhadap seorang anak, hal ini akan memberikan situasi yang kondusif terhadap peningkatan kemandirian tingkah lakunya. Jika pemberian kewenangan atau kepercayaan diberikan secara berlebihan, maka kemungkinan justru akan dianggap oleh anak sebagai sebuah penolakan. Menurut Rice (1996), seorang anak ingin memikul tangungjawab sendiri, mempunyai kebebasan untuk berpendapat, ingin menggunakan kemampuannya sendiri dalam menyelesaikan masalah, namun pada hakekatnya ia menginginkan perhatian orangtua dan tidak menghendaki adanya kebebasan yang liberal atau kebebasan yang penuh.

Hill dan Holmbeck (dalam Steinberg (1993) mengemukakan beberapa indikator dari munculnya kemandirian berbuat pada seorang remaja diantaranya adalah sebagai berikut:

Kemampuan untuk membuat keputusan sendiri dan mengetahui dengan pasti kapan seharusnya meminta/mempertimbangkan nasehat orang lain.
Mampu mempertimbangkan bagian-bagian alternatif dari tindakan yang dilakukan berdasarkan penilaian diri sendiri dan saran-saran orang lain,
Mencapai suatu keputusan yang bebas tentang bagaimana seharusnya bertindak/melaksanakan keputusan dengan penuh percaya diri.
Value autonomy (kemandirian nilai), yaitu aspek kebebasan untuk memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, hak dan kewajiban, apa yang penting dan apa yang kurang atau tidak penting.
Kemandirian nilai sesungguhnya menunjuk kepada suatu pengertian mengenai kemampuan seseorang dalam mengambil sebuah keputusan dan menetapkan sebuah pilihan dengan berpegang atas dasar prinsip-prinsip individual yang dimilikinya daripada mengambil prinsip-prinsip dari orang lain.

Jika dibandingkan dengan dua kemandirian sebelumnya yakni kemandirian emosi dan kemandirian untuk berbuat, maka kemandirian nilai merupakan proses yang paling kompleks, tidak jelas bagaimana prosesnya berlangsung dan seperti apa pencapaiannya, terjadi melalui proses internalisasi yang pada lazimnya tidak disadari dan umumnya berkembang paling akhir, dan paling sulit dicapai secara sempurna. Menurut Thornburg (1982), kemandirian nilai akan lebih berkembang setelah sebagian besar keputusan yang menyangkut cita-cita, pendidikan, rencana pekerjaan, dan perkawinan dialami dan dicapainya. Dalam banyak kasus, sistem nilai remaja dan orangtua sedemikian sama sehingga nilai-nilai orangtua akan dilestarikan oleh seorang remaja pada masa setelah ia dewasa.

Perkembangan kemandirian nilai membawa perubahan-perubahan pada konsepsi-konsepsi remaja tentang moral, politik, ideologi dan persoalan-persoalan agama. Steinberg (1993) menyebutkan bahwa tanda-tanda perkembangan kemandirian nilai remaja diantaranya sebagai berikut:

a. Cara remaja dalam memikirkan segala sesuatu menjadi semakin abstrak,

b. Keyakinan-keyakinan remaja menjadi semakin bertambah mengakar pada prinsip-prinsip umum yang memiliki beberapa basis idiologis,

c. Keyakinan-keyakinan remaja menjadi semakin bertambah tinggi dalam nilai-nilai mereka sendiri, bukan hanya dalam suatu sistem nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau figur pemegang kekuasaan lainnya

C. Pengaruh Gaya Pengasuhan Orangtua terhadap Kemandirian Remaja

Remaja yang mandiri adalah remaja yang memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri secara bertanggung jawab meskipun tidak ada pengawasan dari orangtuanya (Steinberg, 1993). Kondisi demikian menyebabkan remaja memiliki peran dan sekaligus tanggung jawab baru, remaja menjadi tidak tergantung pada orang tuanya untuk memperoleh kemandirian secara emosional. Kemandirian menuntut kesiapan individu baik secara fisik maupun emosional untuk mengatur, mengurus, dan melakukan aktivitas atas tanggung jawabnya sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Namun kurangnya pengalaman remaja dalam menghadapi berbagai masalahnya menyebabkan mereka seringkali mengalami kesulitan dalam memperoleh kemandirian emosional.

Kemandirian adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan remaja dan merupakan bagian dari tugas-tugas perkembangan yang harus dicapainya sebagai persiapan untuk memasuki masa dewasa. Perkembangan kemandirian yang menonjol terjadi selama masa remaja, perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan sosial terjadi pada periode ini (Steinberg, 1993). Oleh sebab itu, kemandirian remaja dipandang sebagai sesuatu yang mendasar dan patut mendapat perhatian agar mereka dengan mantap dapat memasuki dunianya yang baru, yaitu masa dewasa tanpa mengalami hambatan yang berarti.

Ciri perkembangan kemandirian pada remaja diantaranya dapat dilihat pada perubahan hubungan kedekatan emosional antara remaja dengan orang tuanya. Perubahan hubungan tersebut sebagai proses transformasi, meskipun hubungan-hubungan mengalami perubahan, namun ikatan-ikatan perasaan (emosi) bagaimanapun tidak akan putus (Steinberg, 1993).

Perkembangan kemandirian remaja dapat dilihat dalam pola-pola pengertian yang dikembangkan remaja mengenai individualisasi. Proses individualisasi dimulai dari masa bayi dan terus berlanjut hingga memasuki masa remaja awal, meliputi perubahan yang berangsur-angsur (gradual) dan bergerak maju (progressive) bergerak ke arah individu yang mandiri, yang kompeten, dan terpisah dari orangtua. Proses individualisi merupakan pelepasan ketergantungan-ketergantungan seorang anak pada orangtuanya yang mendukung untuk menjadi lebih dewasa, lebih bertanggung jawab, dan mandiri.

Pada masa remaja, salah satu tugas perkembangannya adalah memperoleh kemandirian emosional dari orangtuanya dan dari orang dewasa lainnya (Havighrust, dalam Hurlock 1997). Perkembangan kemandiran emosional remaja dimulai dari terjadinya perubahan hubungan emosional antara remaja dengan orangtuanya, mereka mulai mengambil jarak dengan orangtuanya dan ingin mengatasi masalahnya sendiri. Perubahan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam hubungan keluarga dapat memberikan anak lebih bebas dan lebih mendorong munculnya tanggung jawab anak, namun tidak mengancam ikatan emosional antara orangtua dengan anaknya (Baumrind, 1967). Perubahan demikian memberikan perkembangan kemandirian emosi akan semakin meningkat dan mudah untuk menciptakan sebuah keluarga yang fleksibel.

Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya kemandirian emosi remaja dimulai dari lingkungan keluarga melalui pola pengasuhan orangtua sehari-hari, kondisi pekerjaan orangtua, tingkat pendidikan orangtua, dan banyaknya anggota keluarga (Steinberg, 1993). Di samping faktor tersebut, faktor yang turut mempengaruhi terbentuknya kemandirian emosi remaja adalah peran orangtua tunggal (single parent) ataupun peran kedua orangtua yang keduanya berkarir dan mengharapkan anak remajanya mandiri sepanjang hari. Demikian pula dengan urutan anak dan jumlah saudara dalam sebuah keluarga turut mempengaruhi kemandirian emosi remaja, misalnya; anak yang lebih tua (walau usianya masih muda) sering diberikan tanggung jawab dan kebebasan oleh orangtuanya yang lebih besar.

Orangtua, melalui gaya pengasuhannya, dipandang sebagai faktor penentu (determinant factor) yang mempengaruhi perkembangan kemandirian emosi remaja. Disadari atau tidak, gaya asuh orangtua telah meletakkan dasar-dasar perkembangan pola sikap dan tingkah laku anaknya.

Dalam sebuah keluarga, interaksi antara orangtua dengan anaknya melibatkan pola tingkah laku tertentu dari orangtua. Pola interaksi antara orangtua dengan anak dalam sebuah keluarga untuk mengajar, membimbing dan mendidik dengan suatu tujuan tertentu dinamakan gaya pengasuhan (parenting style). Gaya pengasuhan merupakan cara yang khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam berinteraksi antara orangtua dengan anaknya.

Penelitian tentang gaya pengasuhan orangtua telah dilakukan sejak tahun 1930-an. Salah seorang peneliti yang teorinya banyak digunakan hingga sekarang dan dianggap paling populer adalah Baumrind. Baumrind (1991) mengemukakan 4 (empat) macam gaya pengasuhan orangtua yakni: authoritarian, authoritative, permissive, dan uninvolved/neglectful. Keempat gaya pengasuhan tersebut memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri dan masing memberikan efek yang berbeda terhadap tingkah laku anak.

1. Authoritarian.

Gaya authoritarian merupakan suatu bentuk pengasuhan orangtua yang pada umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya. Orangtua yang bergaya authoritarian menekankan adanya kepatuhan seorang anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak basa-basi, tanpa penjelasan kepada anaknya mengenai sebab dan tujuan diberlakukannya peraturan tersebut, cenderung menghukum anaknya yang melanggar peraturan atau menyalahi norma yang berlaku. Orangtua yang demikian yakin bahwa cara yang keras merupakan cara yang terbaik dalam mendidik anaknya. Orangtua demikian sulit menerima pandangan anaknya, tidak mau memberi kesempatan kepada anaknya untuk mengatur diri mereka sendiri, serta selalu mengharapkan anaknya untuk mematuhi semua Orangtua yang bergaya authoritarian meyakini bahwa seorang anak akan menerima dengan baik setiap perkataan atau setiap perintah orangtuanya, setiap anak harus melaksanakan tingkah laku yang dipandang baik oleh orangtuanya (Baumrind, 1967). Orangtua auhtoritarian akan mencoba mengontrol remaja dengan peraturan-peraturan yang mereka tetapkan, selalu memberi perintah tanpa mau memberikan penjelasan. Orangtua authoritarian selalu menuntut, kurang memberikan otonomi pada anaknya, dan seringkali gagal memberikan kehangatan kepada anaknya..

Orangtua yang bergaya authoritarian selalu berusaha mengarahkan, menentukan, dan menilai tingkah laku dan sikap anaknya sesuai dengan standar peraturan yang ditetapkannya sendiri. Standar dimaksud biasanya didasarkan pada standar yang absolut seperti nilai-nilai ajaran dan norma-norma agama, sehingga menutup kemungkinan bagi anaknya untuk dapat membantah orangtuanya. Gaya pengasuhan orangtua yang demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik dan perlawanan seorang anak, terutama saat anak sudah menginjak masa remaja, atau sebaliknya akan menimbulkan sikap ketergantungan seorang remaja terhadap orangtuanya (Rice, 1996), anak remaja akan kehilangan aktivitas kreatifnya, dan akan tumbuh menjadi anak yang tidak efektif dalam kehidupan dan interaksinya dengan lingkungan sosial (Santrock, 1985), remaja cenderung akan mengucilkan dirinya, kurang berani dalam menghadapi tantangan tugas dan tidak merasa bahagia (Baumrind, 1967).

Seorang remaja yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga atau orangtua authoritarian cenderung menunjukkan sikap yang patuh dan akan menyesuaikan dirinya pada standar-standar tingkah laku yang sudah ditetapkan oleh orangtuanya, namun di balik itu sesungguhnya mereka merasa menderita dengan kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan dan lebih menderita secara somatis dibandingkan kelompok teman sebayanya. Sikap-sikap remaja yang demikian akhirnya akan menyebabkan remaja cenderung untuk selalu tergantung pada orangtuanya, cenderung kurang mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, serta cenderung tidak mampu untuk bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya disebabkan semuanya disandarkan pada aturan dan kehendak orangtuanya. Semua itu menunjukkan bahwa seorang remaja yang berada dalam asuhan orangtua yang authoritarian akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dalam hidupnya kelak.

2. Authoritative

Bentuk perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan cara melibatkan anak (dalam hal ini anak usia remaja) dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan diri anaknya merupakan gaya pengasuhan authoritative. Orangtua yang authoritative bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional, orangtua demikian mempunyai hubungan yang dekat dengan anak-anaknya, dan selalu mendorong anaknya untuk ikut terlibat dalam membuat peraturan dan melaksanakan peraturan dengan penuh kesadaran.

Orangtua yang bergaya authoritative bertingkah laku hangat tetapi tetap tegas. Mereka menerapkan seperangkat standar untuk mengatur anak-anaknya, tetapi sekaligus berusaha membangun harapan-harapan yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan, serta kemampuan dan kebutuhan anak-anaknya. Mereka juga menunjukkan kasih sayang, mau mendengarkan dengan sabar pandangan anak-anaknya, dan mendukung keterlibatan anaknya dalam membuat keputusan di dalam keluarga. Kebiasaan-kebiasaan demokrasi, saling menghargai dan menghormati hak-hak orangtua dan anak-anak ditanamkan dalam keluarga yang authoritative.

Dalam keluarga yang authoritative, keputusan-keputusan yang penting akan diputuskan secara bersama-sama walaupun keputusan akhir seringkali berada di tangan orangtua. Anak-anak diberikan kesempatan untuk memberikan alasan mengapa mereka ingin memutuskan atau akan melakukan sesuatu. Apabila alasan-alasan itu masuk akal dan dapat diterima maka orangtua yang authoritative akan memberikan dukungan, tetapi jika tidak maka orangtua akan menjelaskan alasan-alasannya mengapa dia tidak merestui keputusan anaknya tersebut. Pola interaksi yang demikian akan memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk memahami pandangan orang lain yang pada akhirnya dapat mengantar pada suatu keputusan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Orangtua yang authoritative selalu berusaha menanamkan nilai-nilai kemandirian dan pengendalian diri yang tinggi pada anak-anaknya, sekaligus tetap bertanggung jawab penuh terhadap tingkah laku anak-anaknya. Kebiasaan yang rasional, berorientasi pada masalah, terlibat dalam perbincangan dan penjelasan dengan anak-anak, dan memegang teguh tingkah laku yang disiplin selalu ditanamkan oleh orangtua yang authoritative. Dalam mengatur hubungan diantara anggota keluarganya, orangtua yang authoritative akan menggunakan otoritasnya namun mengekspresikannya melalui bimbingan yang disertai dengan pengertian dan cinta kasih. Anak-anaknya akan didorong untuk dapat melepaskan diri (self-detach) secara berangsur-angsur dari ketergantungan terhadap keluarga (Steinberg, 1993, Rice, 1996, Thornburg, 1982).

Santrock (1985) berpendapat bahwa kualitas pola interaksi dan gaya pengasuhan orangtua yang authoritative akan memunculkan keberanian, motivasi dan kemandirian anak-anaknya dalam menghadapi masa depannya. Gaya pengasuhan seperti ini dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggungjawab sosial pada anak remaja.

Para remaja yang hidup dalam keluarga yang authoritative akan menjalani kehidupannya dengan rasa penuh semangat dan bahagia, percaya diri, dan memiliki pengendalian diri dalam mengelola emosinya sehingga tidak akan bertindak anarkis (Baumrind, 1967). Mereka juga akan memiliki kemandirian yang tinggi, mampu menjalin persahabatan dan kerja sama yang baik, memiliki kematangan sosial dalam berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya.

3. Permissive

Pola-pola perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan memberikan kelonggaran atau kebebasan kepada anaknya tanpa kontrol atau pengawasan yang ketat merupakan bentuk atau gaya pengasuhan yang permissive.

Orangtua yang permissive akan memberikan kebebasan penuh kepada anak-anaknya untuk bertindak sesuai dengan keinginan anaknya. Sekiranya orangtua membuat sebuah peraturan tertentu namun anak-anaknya tidak menyetujui atau tidak mematuhinya, maka orangtua yang permissive cenderung akan bersikap mengalah dan akan mengikuti kemauan anak-anaknya.

Ketika anak-anaknya melanggar suatu peraturan di dalam keluarga, orangtua yang permissive jarang menghukum anak-anaknya, bahkan cenderung berusaha untuk mencari pembenaran terhadap tingkah laku anaknya yang melanggar suatu peraturan tersebut. Orangtua yang seperti demikian umumnya membiarkan anaknya (terutama anak remajanya) untuk menentukan tingkah lakunya sendiri, mereka tidak menggunakan kekuasaan atau wewenangnya sebagai orangtua dengan tegas saat mengasuh dan membesarkan anak remajanya (Baumrind, 1967).

Sedikit, atau bahkan tanpa menggunakan kontrol terhadap anak remajanya, lemah dalam cara-cara mendisiplinkan anak remajanya merupakan ciri dari gaya pengasuhan dari orangtua yang permissive. Gaya pengasuhan demikian dipilih oleh orangtua yang permissive karena mereka menganggap bahwa remaja harus memiliki kebebasannya sendiri secara luas, bukan harus dikontrol oleh orang dewasa (Baumrind, 1967). Orangtua yang permissive bersikap lunak, lemah dan pasif dalam persoalan disiplin. Mereka cenderng tidak menempatkan tuntutan-tuntutan pada tingkah laku anak remajanya, memberikan kebebasan yang lebih tinggi untuk bertindak sesuai dengan kehendak anak remajanya sendirinya. Kontrol atau pengendalian yang ketat terhadap remaja menurut pandangan orangtua yang permissive adalah sebuah pelanggaran terhadap kebebasan yang dapat menganggu perkembangan seorang remaja (Steinberg, 1993)

Menurut Baumrind (1971), remaja yang berada dalam pengasuhan orangtua yang permissive sangat tidak matang dalam berbagai aspek psikososial. Mereka sulit mengendalikan desakan hati (impulsive), tidak patuh, dan menentang apabila diminta untuk mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan-keinginan sesaatnya. Mereka juga terlalu menuntut, sangat tergantung pada orang lain, kurang gigih dalam mengerjakan tugas-tugas, tidak tekun dalam belajar di sekolah. Tingkah laku sosial remaja ini kurang matang, kadang-kadang menunjukkan tingkah laku agresif, pengendalian dirinya amat jelek, dan tidak mampu mengarahkan diri dan tidak bertanggung jawab (Santrock, 1985).

Meskipun di satu sisi gaya pengasuhan yang permissive dapat memberikan remaja kebebasan bertingkah laku, namun di sisi lain tidak selalu dapat meningkatkan tingkah laku bertanggung jawab. Remaja yang mendapatkan kebebasan tanpa adanya pembatasan yang jelas cenderung bersifat suka menang sendiri dan mengutamakan kepentingan dirinya sendiri. Kurangnya bimbingan dan pengarahan dari orangtua menyebabkan mereka merasa tidak aman, tidak punya orientasi, dan penuh keraguan. Jika remaja menafsirkan bahwa kelonggaran pengawasan dari orangtua mereka sebagai bentuk dari tidak adanya perhatian atau penolakan terhadap diri mereka, maka mereka akan menyalahkan orangtuanya sebab dipandang telah lalai memperingatkan dan menuntun mereka (Rice, 1996).

4. Uninvolved/neglectful

Gaya pengasuhan uninvolved/neglectful adalah gaya pengasuhan dimana orang tua tidak mau terlibat dan tidak mau pula pusing-pusing dengan kehidupan anaknya. Gaya pengasuhan orangtua yang uninvolved lebih berdampak buruk dibandingkan dengan gaya pengasuhan yang permissive karena tidak adanya ikatan emosi ditambah dengan penerapan batasan yang kabur. Orangtua yang demikian hanya fokus pada penyediaan kebutuhan materi/fisik saja terhadap anak-anaknya, pemenuhan kebutuhan immateri/psikis anaknya terabaikan atau bahkan sama sekali tidak pernah diperhatikannya, padahal kebutuhan immateri/psikis seorang anak lebih penting dari sekedar pemenuhan kebutuhan materi/fisik.

Anak dari orangtua yang memiliki gaya pengasuhan uninvolved, ketika mereka tumbuh menjadi remaja, biasanya sering mencari pelarian dari rasa kesepiannya dengan cara mencari penerimaan dari orang lain. Akibatnya mereka seringkali terlibat dalam masalah-masalah perilaku dibandingkan dengan anak yang memiliki orangtua dengan gaya pengasuhan authoritative. Masalah perilaku tersebut misalnya perilaku seks bebas, penggunaan obat-obatan terlarang, maupun berbagai bentuk kenakalan remaja lainnya sebagai salah satu cara atau bentuk mereka dalam mencari penerimaan dari orang lain. Secara emosi, remaja yang seperti ini mudah sekali mengalami depresi dan sering merasa ditolak. Dalam banyak kejadian, mereka tumbuh dengan perasaan ingin melawan, menentang, dan rasa marah yang bergejolak kepada orangtuanya karena merasa telah diabaikan dan dikucilkan. Mereka akan mempunyai harga diri yang rendah, tidak punya kontrol diri yang baik, kemampuan sosialnya buruk, dan merasa bukan bagian yang penting untuk orang tuanya. Bukan tidak mungkin serangkaian dampak buruk ini akan terbawa sampai ia dewasa. Tidak tertutup kemungkinan pula anak akan melakukan hal yang sama terhadap anaknya kelak. Akibatnya, masalah menyerupai lingkaran setan yang tidak pernah putus.

D. Penutup

Semua orangtua tentu saja mengharapkan anaknya dapat tumbuh menjadi manusia yang cerdas, bahagia, dan memiliki kepribadian yang baik. Namun harapan tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dituntut kesabaran, keuletan dan kesungguhan dari para orangtua agar harapan tersebut dapat terwujud. Salah satu yang perlu diperhatikan oleh orangtua adalah menerapkan gaya pengasuhan yang tepat agar anaknya dapat berkembang menjadi manusia dewasa seperti yang diharapkan.

Gaya pengasuhan yang authoritative memang dikenal yang paling ideal, tetapi mungkin adakalanya orangtua tak mampu menerapkan gaya pengasuhan seperti itu dengan sepenuhnya terutama pada saat emosi orangtua sedang tidak stabil. Misalnya, ketika sedang mengalami kondisi emosi yang tidak baik/negatif, orangtua cenderung bersikap lebih otoriter terhadap anaknya. Atau misalnya ketika orangtua sedang merasa senang karena usaha/bisnisnya berhasil, maka orangtua cenderung bersikap agak permisif terhadap anaknya.

Kondisi ini, menurut Mayke (http://www.tabloidnakita.com/Khasanah/ khasanah 06279 – 08.htm), masih manusiawi karena memang emosi manusia cenderung naik turun. “Yang penting, sikap orang tua masih dalam situasi terkontrol, maksudnya segera menyadari dan kembali pada rambu-rambu yang telah ditetapkan,” tambahnya. Ada kemungkinan dalam kondisi tertentu orang tua memang harus bersikap tegas bila berhubungan dengan keselamatan jiwa anak atau orang lain. Misalnya ketika anak ingin bermain kabel yang dialiri listrik. Bila hal ini didiamkan, tentu dapat membahayakan jiwanya. Mau tidak mau orang tua harus bersikap otoriter, pada saat kondisi demikian, katakan lah: “tidak” kepada si anak bahwa hal itu tidak boleh dilakukannya.

Sehubungan dengan gaya pengasuhan orangtua dalam rangka memandirikan para remaja, maka hal yang terpenting diketahui oleh para orangtua bahwa seorang remaja lebih membutuhkan dukungan dari sekedar pengasuhan, seorang remaja lebih membutuhkan bimbingan dari sekedar perlindungan, seorang remaja lebih membutuhkan pengarahan dari sekedar sosialisasi, dan seorang remaja dalam kehidupannya lebih membutuhkan perhatian dan kasih sayang (kebutuhan psikis) daripada sekedar pemenuhan kebutuhan fisik belaka.

DAFTAR PUSTAKA

Baumrind, D. (1967). Child-care practices anteceding three patterns of preschool behavior. Genetic Psychology Monographs, 75, 43-88.
Baumrind, D. (1971) Current Patterns of Parental Authority, Developmental Psychology Monographs. London : Foresman and Company, Glenview.
Baumrind, D. (1991). The influence of parenting style on adolescent competence and substance use. Journal of Early Adolescence, 11(1), 56-95.
Chaplin, JP. (1997). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hurlock, E.B. (1989). Developmental Psychology. A Life-Span Approach. India: Tata McGraw- Hill Pub. Company Ltd.. 8th ed (reprinted).
Hurlock, E. B. (1993). Psikologi Perkembangan. Alih bahasa: Dra. Istiwidayanti dan Drs Soedjarwo, Msc. Jakarta: Erlangga.
Widjaja, Hanna. (1986). Hubungan Antara Asuhan Anak dan Ketergantungan Kemandirian. (Disertasi). Bandung: Universitas Padjadjaran
Tim Penyusun Kamus (1997) Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka
Khazanah Nakita (http://www.tabloid-nakita.com/Khasanah/khasanah 06279-08.htm), di akses pada tanggal 31 Januari 2010.
Rice, F. P. (1996) The Adolescent: Development, Relathionship, and Culture.Massachusetts : Allyn and Bacon
Santrock, J.W, 1985, Adult Development and Aging, Iowa : Wm, C. Brown
Steinberg (1993). Adolescence, Third Edition, New York: McGraw-Hill, Inc.
Thornburg,. H.D, (1982). Dvelopment in Adolescence. California : Brooks/Cole

Sumber: http://konselingindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...