Rabu, 23 Mei 2012

Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara dalam Hukum Administrasi


Latar Belakang
  
      Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan alat utama pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan sekaligus alat pemerintah untuk mengelola perekonomian negara. Sebagai alat pemerintah, APBN bukan hanya menyangkut keputusan ekonomi, namun juga menyangkut keputusan politik. Dalam konteks ini, DPR dengan hak legislasi, penganggaran, dan pengawasan yang dimilikinya perlu lebih berperan dalam mengawal APBN sehingga APBN benar-benar dapat secara efektif menjadi instrumen untuk mensejahterakan rakyat dan mengelola perekonomian negara dengan baik.
Dalam rangka mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, sejak beberapa tahun yang lalu telah diintrodusir Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah. Reformasi tersebut mendapatkan landasan hukum yang kuat dengan telah disahkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tanggal 16 Juli 2007 itu, diatur tentang pengelolaan keuangan negara dan daerah. Didalamnya diatur wewenang Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN), dalam mengelola kas negara berdasarkan prinsip-prinsip keuangan.
            Bendahara Umum Negara yaitu Menteri Keuangan, berwenang mengangkat Kepala Satuan Kerja di pusat dan di daerah yang berperan sebagai Bendahara Umum Daerah. Fungsinya antara lain mengkoordinir pengelolaan keuangan daerah.
Selain itu, Bendahara Umum Negara berwenang menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara, menunjuk bank atau lembaga keuangan lainnya dalam penerimaan dan pengeluaran negara.
Peraturan Pemerintah juga mengatur tentang dana dalam anggaran, menyimpan dan menempatkan uang negara, mengelola surat utang negara (SUN), membayar atas permintaan pejabat pengguna anggaran terhadap beban rekening kas umum, serta menyediakan informasi keuangan negara.
Tulisan ini menguraikan sistem dan proses pengelolaan APBN dalam kerangka manajemen keuangan negara termasuk di dalamnya adalah mekanisme pertanggungjawaban keuangan negara dalah hukum administratif. Selain diuraikan pokok-pokok manajemen keuangan negara serta proses APBN, diuraikan pula peranan DPR dalam pengelolaan anggaran negara melalui fungsi-fungsi yang dimilikinya, yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.

Permasalahan

Dari pemaparan latar belakang di atas, maka dalam makalah ini penulis akan mencoba membahas tentang:
1.      Apa yang menjadi landasan hukum pengelolaan keuangan negara?
2.      Apakah pengertian dan ruang lingkup keuangan negara?
3.      Bagaimanakah Pengawasan dan Meknaisme Pertanggungjawaban APBN

Landasan Pengelolaan Keuangan Negara

Landasan pengelolaan keuangan negara adalah Pasal 23C Undang Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga: “hal-hal lain mengenai keuangan Negara ditetapkan melalui undang-undang”. Berangkat dari landasan konstitusional itulah berbagai upaya dilakukan untuk dapat menghadirkan Undang-undang Keuangan Negara.

Hingga tahun 2003 yang lalu sebelum UU No.17/2003 diundangkan aturan yang berlaku untuk pengelolaan Keuangan Negara masih menggunakan peraturan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda seperti Indische Comptabiliteits Wet yang lebih dikenal dengan nama ICW stbl. 1925 No.488 yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1864 dan mulai berlaku tahun 1867. Selain ICW ada juga Indische Bedrijvenwet (IBW) stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) stbl. 1933 No.381.
Sementara itu untuk pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara digunakan Insctructie en verdere bapelingen voor Algemeene Rekenkamer (IAR) stbl. 1933 No.320. Peraturan-peraturan seperti ICW, IAR, IBW, dan RAB, sengaja diciptakan dan dibuat oleh pemerintahan Kolonial Belanda sebagai penguasa yang menjajah Indonesia saat itu dengan pendekatan untuk menjaga kepentingan negara Belanda atas Indonesia.
Paradigma negeri jajahan itulah yang sangat kental mewarnai peraturan-peraturan itu. Ketika diterapkan kepada sebuah negara yang berdaulat dan merdeka seperti Indonesia saat ini, peraturan-peraturan itu sudah tidak lagi relevan dan layak dijadikan pedoman pengelolaan keuangan negara. Merubah seluruh peraturan di atas dengan peraturan yang bersemangat independensi dan menjunjung tinggi kedaulatan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, tentunya harus dilakukan.
Selain itu muatan yang terdapat di dalam aturan-aturan kolonial itu sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini, apalagi tingkat kompleksitas permasalahan saat ini jauh lebih tinggi dari masa dulu. Oleh karena itu, walaupun masih berlaku sebagai sebuah aturan perundang-undangan tetapi secara materil sudah tidak dapat dilaksanakan. Kekosongan perundang-undangan ini membuat lemahnya sistem pengelolaan keuangan negara.
Selama ini, kekosongan itu hanya dilengkapi dengan Keputusan Presiden, yang terakhir diantaranya di atur oleh Keppres No. 42 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN dan Keppres 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sebagaimana kita ketahui bahwa Keputusan Presiden di dalam tata hukum tidak terlalu mengikat sebagaimana sebuah undang-undang.
Dari kelemahan tata hukum itulah kemudian menjadi salah satu penyebab banyaknya praktik penyimpangan dan KKN di dalam pengelolaan keuangan negara selama ini. Puncaknya dengan terjadi krisis moneter pertengahan 1997 yang telah memporak-porandakan tatanan ekonomi yang telah dibangun dengan susah payah oleh pemerintahan era orde baru ditandai dengan anjloknya rupiah hingga menembus level Rp 17.000 per satu USD. Krisis berlanjut hingga menjadi krisis multidimensional yang kemudian melahirkan era reformasi. Era reformasi
inilah yang memberikan momentum terciptanya tata aturan baru dalam pengelolaan keuangan negara.

Paket UU Keuangan Negara tersebut (yang terdiri dari dua UU yang sudah diundangkan, yaitu UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, serta satu RUU, yaitu RUU Pemeriksaan pengelolaan Keuangan Negara yang masih dibahas di DPR) merumuskan empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara, yaitu:
1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja;
2. Keterbukaan dalam setiap transaksi pemerintah;
3. Pemberdayaan manajer professional; dan
4. Adanya lembaga pemeriksa eksternal yang kuat, professional dan mandiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemeriksaan.
Perubahan mendasar yang diatur oleh Undang-undang No.17 tahun 2003 yaitu:
a. Tentang pengertian dan ruang lingkup dari keuangan negara;
b. Azas-azas umum pengelolaan keuangan negara;
c. Kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara;
d. Pendelegasian kekuasaan presiden kepada menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga;
e. Susunan APBN dan APBD;
f. Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD;
g. Pengaturan Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan
bank sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing;
h. Pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan daerah dan perusahaan swasta;
i. Badan pengelola dana masyarakat; dan
j. Penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.
k. Penggunaan Medium Term Expenditure Framework (MTEF) sebagai
pengganti Propenas dan Repeta.
Sedangkan perubahan mendasar dalam pengelolaan perbendaharaan negara yang tercantum dalam UU No.1 tahun 2004 yaitu:
1. Penerapan anggaran berbasis kinerja;
2. Pemberlakuan pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja negara berbasis akrual;
3. Munculnya jabatan fungsional Perbendaharaan Negara;
4. Pemberian jasa giro atau bunga atas dana pemerintah yang disimpan pada bank sentral;
5. Sertifikan Bank Indonesia yang selama ini menjadi instrumen moneter akan digantikan oleh Surat Utang Negara; dll.

Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara

Perumusan keuangan negara menggunakan beberapa pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan dari sisi obyek;
2. Pendekatan dari sisi subyek;
3. Pendekatan dari sisi proses; dan,
4. Pendekatan dari sisi tujuan.
Dari sisi obyek Keuangan Negara akan meliputi seluruh hal dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, di dalamnya termasuk berbagai kebijakan dan kegiatan yang terselenggara dalam bidang fiskal, moneter dan atau pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu segala sesuatu dapat berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek, keuangan negara meliputi negara, dan/atau pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
Keuangan Negara dari sisi proses mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek di atas mulai dari proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Terakhir, keuangan negara juga meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara, pendekatan terakhir ini dilihat dari sisi tujuan.
Dengan pendekatan sebagaimana diuraikan di atas, UU No. 17/2003 merumuskan sebagai berikut: Keuangan negara adalah “semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. (Pasal 1 huruf 1
UU No. 17/2003).
Ruang lingkup keuangan negara sesuai dengan pengertian tersebut diuraikan dalam Pasal 2 UU No. 17/2003 meliputi:
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau daerah;
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas secara ringkas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi enam fungsi, yaitu:
a. Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal. Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal ini meliputi penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN, serta perkembangan dan perubahannya, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan ekonomi makro, pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan fiskal dalam rangka kerjasama internasional dan regional, penyusunan rencana pendapatan negara, hibah, belanja negara dan pembiayaan jangka menengah, penyusunan statistik, penelitian dan rekomendasi kebijakan di bidang fiskal, keuangan, dan ekonomi.
b. Fungsi penganggaran. Fungsi ini meliputi penyiapan, perumusan, dan pelaksanaan kebijakan, serta perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur dan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang APBN.
c. Fungsi administrasi perpajakan.
d. Fungsi administrasi kepabeanan.
e. Fungsi perbendaharaan. Fungsi perbendaharaan meliputi perumusan kebijakan, standard, sistem dan prosedur di bidang pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah serta akuntansi pemerintah pusat dan daerah,

Kekayaan pihak lain ini meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara daerah.
pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pengelolaan kas negara dan perencanaan penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan utang dalam negeri dan luar negeri, pengelolaan piutang, pengelolaan barang milik/kekayaan negara (BM/KN), penyelenggaraan akuntansi, pelaporan keuangan dan sistem informasi manajemen keuangan
pemerintah.
f. Fungsi pengawasan keuangan.
Sementara itu, bidang moneter meliputi sistem pembayaran, sistem lalu lintas devisa, dan sistem nilai tukar. Adapun bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan meliputi pengelolaan perusahaan negara/daerah

Asas-asas Pengelolaan Keuangan Negara

Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara professional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945 tersebut, UU No. 17/2003 menjabarkannya ke dalam asas-asas umum yang telah lama dikenal dalam pengelolaan kekayaan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan dan asas spesialitas; maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain: akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.


Kekuasaan atas Keuangan Negara

Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. (Pasal 6 UU No. 17/2003) Pada dasarnya Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.
Sebagian kekuasaan itu diserahkan kepada Menteri Keuangan yang kemudian berperan sebagai pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan negara dalam kekayaan negara yang dipisahkan. Sebagian kekuasaan lainnya diberikan kepada menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna anggaran/pengguna barang lembaga/kementrian yang dipimpinnya.
Jika Presiden memiliki fungsi sebagai Chief Executive Officer (CEO) maka Menteri Keuangan berperan dan berfungsi sebagai Chief Financial Officer (CFO) sedangkan menteri/pimpinan lembaga berperan sebagai Chief Operating Officers (COOs).

Pemisahan fungsi seperti di atas dimaksudkan untuk membuat kejelasan dan kepastian dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab. Sebelumnya fungsi-fungsi tersebut belum terbagi secara tegas sehingga seringkali terjadi tumpang tindih antar lembaga. Pemisahan ini juga dilakukan untuk menegaskan terlaksananya mekanisme checks and balances. Selain itu, dengan fokusnya fungsi masing-masing kementrian atau lembaga diharapkan dapat meningkatkan
profesionalisme di dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah.
Menteri Keuangan dengan penegasan fungsi sebagai CFO akan memiliki fungsi-fungsi antara lain:
1. Pengelolaan kebijakan fiskal;
2. Penganggaran;
3. Administrasi Perpajakan;
4. Administrasi Kepabeanan;
5. Perbendaharaan (Treasury); dan
6. Pengawasan Keuangan.
Seperti halnya pemerintah pusat, pengelolaan keuangan daerah juga
menggunakan pendekatan pembagian fungsi yang tidak berbeda.
Gubernur/Bupati/Walikota akan memiliki fungsi sebagai pemegang kekuasaan
pengelolaan Keuangan Daerah atau CEO, dinas-dinas sebagai COO, dan
pengelola Keuangan Daerah sebagai CFO.

Pengertian dan Ruang Lingkup APBN

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 1 angka 7, UU No. 17/2003). Merujuk Pasal 12 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, APBN dalam satu tahun anggaran meliputi:
a. Hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih;
b. Kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih;
c. Penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui rekening kas umum negara. (Pasal 12 ayat (2) UU No. 1/2004) Tahun anggaran adalah periode pelaksanaan APBN selama 12 bulan.
Sejak tahun 2000, Indonesia menggunakan tahun kalender sebagai tahun anggaran, yaitu dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
Sebelumnya, tahun anggaran dimulai tanggal 1 April sampai dengan 31 Maret tahun berikutnya. Penggunaan tahun kalender sebagai tahun anggaran ini kemudian dikukuhkan dalam UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara (Pasal 4 UU No. 17/2003 dan Pasal 11 UU No. 1/2004). Sebagaimana ditegaskan dalam Bagian Penjelasan UU No. 17/2003, anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai fungsi akuntabilitas, pengeluaran anggaran hendaknya dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan hasil (result) berupa outcome atau setidaknya output dari dibelanjakannya dana-dana publik tersebut. Sebagai alat manajemen, sistem penganggaran selayaknya dapat membantu aktivitas berkelanjutan untuk memperbaiki efektifitas dan efisiensi program pemerintah. Sedangkan sebagai instrumen kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan.
Anggaran Pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara, merujuk Pasal 3 Ayat (4) UU No. 17/2003, APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian.
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Uraian di bawah ini menyajikan struktur APBN. Struktur APBN terdiri dari pendapatan negara dan hibah, belanja negara, keseimbangan primer, surplus/defisit, dan pembiayaan. Sejak TA 2000, Indonesia telah mengubahkomposisi APBN dari T-account menjadi I-account sesuai dengan standar statistik keuangan pemerintah, Government Finance Statistics (GFS).

Pendapatan Negara dan Hibah.

Penerimaan APBN diperoleh dari berbagai sumber. Secara umum yaitu penerimaan pajak yang meliputi pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Cukai, dan Pajak lainnya, serta Pajak Perdagangan (bea masuk dan pajak/pungutan ekspor) merupakan sumber penerimaan utama dari APBN. Selain itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) meliputi penerimaan dari sumber daya alam, setoran laba BUMN, dan penerimaan bukan pajak lainnya, walaupun memberikan kontribusi yang lebih kecil terhadap total penerimaan anggaran, jumlahnya semakin meningkat secara signifikan tiap tahunnya. Berbeda dengan sistem penganggaran sebelum tahun anggaran 2000, pada system penganggaran saat ini sumber-sumber pembiayaan (pinjaman) tidak lagi dianggap sebagai bagian dari penerimaan.
Dalam pengadministrasian penerimaan negara, departemen/lembaga tidak boleh menggunakan penerimaan yang diperolehnya secara langsung untuk membiayai kebutuhannya. Beberapa pengeculian dapat diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait.
Belanja Negara.
Belanja negara terdiri atas anggaran belanja pemerintah pusat, dana perimbangan, serta dana otonomi khusus dan dana penyeimbang. Sebelum diundangkannya UU No. 17/2003, anggaran belanja pemerintah pusat dibedakan atas pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. UU No. 17/2003 mengintrodusing uniffied budget sehingga tidak lagi ada pembedaan antara pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Sementara itu, dana otonomi khusus dialokasikan untuk provinsi Daerah Istimewa Aceh dan provinsi Papua.

Defisit dan Surplus.
Defisit atau surplus merupakan selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Pengeluaran yang melebihi penerimaan disebut defisit; sebaliknya, penerimaan yang melebihi pengeluaran disebut surplus. Sejak TA 2000, Indonesia menerapkan anggaran defisit menggantikan anggaran berimbang dan dinamis yang telah digunakan selama lebih dari tiga puluh tahun.
Dalam tampilan APBN, dikenal dua istilah defisit anggaran, yaitu: keseimbangan primer (primary balance) dan keseimbangan umum (overall balance). Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja tidak termasuk pembayaran bunga. Keseimbangan umum adalah total penerimaan dikurangi belanja termasuk pembayaran bunga.

Pembiayaan.
Pembiayaan diperlukan untuk menutup defisit anggaran. Beberapa sumber pembiayaan yang penting saat ini adalah: pembiayaan dalam negeri (perbankan dan non perbankan) serta pembiayaan luar negeri (netto) yang merupakan selisih antara penarikan utang luar negeri (bruto) dengan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri.

Proses APBN Pasca Reformasi
Penyusunan dan Penetapan APBN

Pembicaraan Pendahuluan antara Pemerintah dan DPR.
Tahapan ini dimulai dengan penyampaian pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro oleh Pemerintah kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan Mei tahun berjalan. (Pasal 13 ayat (1) UU No. 17/2003)5 Guna memudahkan DPR dalam memahami dan mendiskusikan kerangka ekononomi makro, pemerintah mengirimkan laporan triwulanan update fiskal dan makroekonomi serta outlook dan estimasi ke depan kepada DPR pada awal April.
Laporan ini disiapkan oleh Badan Analisa Fiskal (BAF), Departemen Keuangan. Dengan laporan ini, diharapkan DPR memahami gambaran umum perkembangan fiskal dan makroekonomi terkini beserta outlook dan estimasi ke depannya. Laporan ini menyajikan tampilan fiskal dan makroekonomi dua tahun terakhir, estimasi kinerja fiskal tahun anggaran berjalan, serta proyeksi kinerja fiskal tiga tahun ke depan. Variabel-variabel fiskal dan makroekonomi yang disajikan dalam laporan tersebut meliputi pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah, tingkat bunga, harga minyak internasional, neraca pembayaran, penerimaan, pengeluaran, surplus primer, defisit anggaran, pembiayaan, dan estimasi ke depan.
Kerangka ekonomi makro yang disampaikan kepada DPR berisi antara lain prospek ekonomi dunia (pertumbuhan, perdagangan, dll.), kebijakan ekonomi makro (kebijakan fiskal, kebijakan moneter, kebijakan investasi, neraca pembayaran), serta asumsi dasar APBN (pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, harga minyak , produksi minyak, dan tingkat suku bunga SBI rata-rata).
Sementara itu, pokok-pokok kebijakan fiskal yang disampaikan kepada DPR mencakup kaidah utama yang melatari kebijakan fiskal, kebijakan fiskal Sebelum UU No. 17/2003, pemerintah tidak menyampaikan “Pokok-pokok kebijakan fiskal” dalam dokumen yang spesifik. Pemerintah hanya menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan anggaran dalam Nota Keuangan dan RAPBN yang disampaikan kepada DPR tanggal 16 Agustus. Meskipun demikian, isinya berbeda dengan apa yang dimaksudkan dalam UU No. 17/2003 tersebut bidang pendapatan negara dan hibah, kebijakan fiskal bidang belanja negara, dan kebijakan fiskal pembiayaan anggaran. Pemerintah dan DPR membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh pemerintah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBN tahun anggaran berikutnya. Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tersebut, pemerintah dan DPR membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran. (Pasal 13 ayat (2) – (3) UU No. 17/2003).
Dalam rangka penyusunan RAPBN, berdasarkan Surat Edaran yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan c.q. DJA, menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga tahun berikutnya. Rencana kerja dan anggaran tersebut disusun berdasarkan prestasi kerja (kinerja) yang akan dicapai; dan disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun. Selanjutnya, rencana kerja dan anggaran tersebut disampaikan kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBN. Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan RUU tentang APBN tahun berikutnya. (Pasal 14 UU No. 17/2003).6 Pada awal bulan Juli pemerintah menyampaikan laporan semester pertama perkembangan fiskal dan makroekonomi serta outlook kepada DPR. Laporan ini merupakan update atas laporan triwulan yang telah disampaikan kepada DPR pada awal bulan April.

Pengajuan, Pembahasan dan Penetapan APBN.
Tahapan ini dimulai dengan pengajuan RUU tentang APBN disertai nota keuangan dan dokumendokumen pendukungnya oleh pemerintah kepada DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya. (Pasal 15 ayat (1) UU No. 17/2003) Selama pembahasan, dokumen-dokumen pendukung disampaikan kepada DPR. Sebagaimana diatur 6 Saat ini pemerintah sedang menyiapkan RPP tentang Rencana Kerja dan Anggaran Instansi Pemerintah.  dalam Pasal 15 ayat (4) UU No. 17/2003, pengambilan keputusan oleh DPR mengenai RUU tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya dua bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. Batasan ini diperlukan agar pemerintah punya cukup waktu untuk menyiapkan seluruh dokumen pelaksanaan anggaran. Di samping itu, waktu dua bulan itu juga diperlukan oleh Pemerintah Daerah untuk menyiapkan anggaran mereka, mengingat salah satu sumber keuangan utama Pemerintah daerah adalah dana perimbangan yang diperoleh dari APBN.
APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. (Pasal 15 ayat (5) UU No. 17/2003). Apabila DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan pemerintah, pemerintah dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya. (Pasal 15 ayat (6) UU No. 17/2003)

Pelaksanaan APBN
Setelah APBN ditetapkan, Menteri Keuangan memberitahukan kepada semua menteri/pimpinan lembaga agar menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran untuk masing-masing kementerian/lembaga. Selanjutnya menteri/pimpinan lembaga menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya berdasarkan alokasi anggaran yang ditetapkan oleh Presiden. Di dalam dokumen pelaksanaan anggaran, diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan,
anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang diperkirakan.
Pada dokumen pelaksanaan anggaran tersebut juga dilampirkan rencana kerja dan anggaran badan layanan umum dalam lingkungan kementerian negara yang bersangkutan. Setelah dokumen pelaksanaan anggaran tersebut disahkan oleh Menteri Keuangan, dokumen tersebut kemudian disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga, kuasa bendahara umum negara, dan BPK. (Pasal 14 ayat (1) – (5) UU No. 17/2003) Berdasarkan dokumen pelaksanaan anggaran, kementerian/lembaga sebagai pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melaksanakan kegiatan sebagaimana tersebut dalam dokumen pelaksanaan anggaran. Untuk keperluan kegiatan tersebut, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran berwenang mengadakan ikatan/perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan. (Pasal 17 ayat (1) – (2) UU No. 1/2004) Selanjutnya, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran berhak untuk menguji, membebankan pada mata anggaran yang telah disediakan, dan memerintahkan pembayaran tagihantagihan atas beban APBN. (Pasal 18 ayat (1) UU No. 1/2004) Pembayaran atas tagihan yang menjadi beban APBN dilakukan oleh Bendahara Umum
Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara. (Pasal 19 ayat (1) UU No. 1/2004) Pemerintah menyusun laporan realisasi semester pertama APBN dan prognosis untuk enam bulan berikutnya, yang disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPR dan pemerintah. (Pasal 27 ayat (1) – (2) UU No. 17/2003).
Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi:
a. perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang
digunakan dalam APBN;
b. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
c. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
d. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan. (Pasal 27 ayat (3) UU No. 17/2003)  Dalam keadaan darurat pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
Pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang Perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan tersebut untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir. (Pasal 27 ayat (4) – (5) UU No. 17/2003)

Pengawasan dan Pertanggungjawaban APBN

Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara umum.
Dalam UU No. 17/2003 ditetapkan bahwa laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN disampaikan berupa laporan keuangan yang setidaktidaknya terdiri dari Iaporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Laporan keuangan pemerintah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN dari segi manfaat/hasil (outcome).
Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan (output). Sebagai konsekuensinya, dalam UU No. 17/2003 diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatanyang telah ditetapkan dalam UU tentang APBN. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN yang bersangkutan.
Selain itu perlu ditegaskan pula prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.

Optimalisasi Peranan DPR
Peranan DPR dalam penganggaran dapat dijalankan berdasarkan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Berdasarkan Pasal 20A UUD 1945 Perubahan Pertama, DPR mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.

Fungsi Legislasi.
Dalam menjalankan fungsi legislasinya, DPR menetapkan dan menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Pemerintah. Proses penetapan itu sendiri diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI. Sebelum menetapkan dan menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Pemerintah, DPR terlibat secara intens dalam keseluruhan proses penyusunan dan penetapan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Fungsi Anggaran.
Berkenaan dengan fungsi anggaran, DPR mempunyai hak budget sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 Perubahan Ketiga yang menyebutkan bahwa RUU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. DPR sesuai 7 Bagian ini banyak merujuk pada: Abdullah Zainie, “Peranan DPR dalam Reformasi Pengelolaan Anggaran Negara”, Jurnal Forum Inovasi Vol. 5: Desember-Februari 2003, pp. 20-25, 77-80. dengan hak budgetnya dapat menyetujui ataupun tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Pemerintah dan mengadakan pembahasan. Pembahasan RUU APBN secara bersama oleh DPR dan Presiden selain dalam rangka melaksanakan fungsi legislasi juga dimaksudkan agar DPR dapat mengetahui dan mengidentifikasi dengan jelas bahwa terhadap alokasi yang dicantumkan dalam RAPBN tersebut tidak terjadi penyelewengan. Selain itu, DPR juga mempunyai hak untuk mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam RUU APBN.
Dalam konteks optimalisasi peranan DPR dalam penganggaran, khususnya pada tahap penyusunan dan penetapan APBN, Abdullah Zainie (2003) menggarisbawahi beberapa hal, diantaranya:
1. DPR harus mempunyai waktu khusus untuk membahas proses anggaran dengan mengkaji secara teliti sehingga proses tersebut dapat berjalan lancar;
2. DPR harus menguasai keseluruhan struktur dan proses anggaran sehingga bisa memberikan peran yang maksimal terhadap proses anggaran;
3. DPR dengan didukung oleh Undang-undang seharusnya mampu memberikan kontribusi lebih besar; bukan hanya sekedar menerima atau menolak RUU APBN. DPR seharusnya dapat mendiskusikan anggaran sebagai sebuah instrumen kebijakan dan untuk menjamin bahwa anggaran tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam konstitusi. DPR juga harus bisa mengkaji dan menganalisis anggaran secara terperinci berdasarkan fungsi-fungsi yang ada;
4. Anggaran seharusnya digunakan oleh Pemerintah dan DPR untuk bertindak sebagai mitra yang berkepentingan dalam pencapaian tujuan yang sama; 5. Kepentingan tertinggi partai harus didahulukan di atas kepentingan partai

Fungsi Pengawasan.
Pengawasan yang dilakukan oleh DPR terdiri dari dua hal, yaitu:
1. Pengawasan terhadap Pemerintah dalam melaksanakan Undang-undang;
2. Pengawasan terhadap Pemerintah dalam melaksanakan APBN
Pengawasan DPR terhadap Pemerintah dalam melaksanakan APBN dapat dilakukan melalui dua hal, yaitu:
1. Melalui rapat-rapat kerja yang dilakukan oleh komisi-komisi DPR dengan departemen-departemen pemerintahan. Dalam rapat kerja tersebut, DPR dapat mengadakan pembahasan mengenai berbagai hal dengan Pemerintah. Selain itu, DPR juga membahas hasil dengar pendapat komisikomisi dengan masyarakat, NGO, akademisi. Fungsi pengawasan dan fungsi penganggaran akan beririsan ketika DPR melakukan pembahasan dengan Pemerintah untuk menyetujui RUU APBN atau PAN yang diajukan oleh Pemerintah.
2. Menerima dan membahas laporan dari BPK.
Berdasarkan Pasal 23E UUD 1945 Perubahan Ketiga, ditetapkan bahwa hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, DPRD, sesuai dengan kewenangannya. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK akan digunakan oleh DPR untuk mengevaluasi pertanggungjawaban Pemerintah dalam pelaksanaan APBN. Menurut Pasal 145 Peraturan Tata Tertib DPR, DPR membahas hasil pemeriksaan tersebut yang diberitahukan oleh BPK dalam bentuk Hasil Pemeriksaan Semester, yang kemudian disampaikan dalam rapat paripurna DPR untuk dipergunakan sebagai bahan pengawasan. Hasil pemeriksaan juga membantu DPR dalam rangka memberikan persetujuan atas PAN yang diajukan oleh Pemerintah.

Penutup

Reformasi manajemen keuangan pemerintah yang telah menelorkan UU No. 17/2003 dan UU No. 1/2004 beserta peraturan-peraturan pendukungnya telah memberikan landasan yang cukup kuat untuk memperbaiki kinerja pengelolaan keuangan negara RI. Kedua Undang-undang tersebut dan diharapkan dilengkapi dengan UU Pemeriksaan pengelolaan Keuangan Negara yang masih dibahas di DPR menyediakan instrument dan wahana yang kondusif untuk mewujudkan good governance. Keindahan aturan, tentunya tidak akan berguna manakala tidak diimplementasikan sebagaimana mestinya.
Dalam konteks ini, Pemerintah dan DPR diharapkan mampu mengawal pelaksanaan paket undang-undang dibidang keuangan negara tersebut sekaligus melanjutkan proses reformasi manajemen keuangan pemerintah. DPR dengan fungsi-fungsi yang dimilikinya, yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, dapat berperan optimal dalam memperbaiki kinerja anggaran negara dengan keterlibatannya yang efektif sepanjang siklus APBN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...