Sabtu, 12 Mei 2012

Implementasi Peraturan Daerah yang Berorientasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam Menunjang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Palu

BAB  I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Salah satu problema yang dihadapi oleh sebagian daerah kabupaten/kota dalam lingkup Provinsi Sulawesi Tengah dewasa ini     adalah berkisar pada  upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari sebagian kalangan birokrat di daerah yang menganggap bahwa parameter utama yang menentukan kemandirian suatu daerah dalam berotonomi adalah terletak pada besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Kecenderungan berpikir di atas dapat dipahami karena adanya perspektif sejarah pemerintahan daerah yang mengungkap mengenai penyebab keterbelengguan daerah baik secara politis maupun secara ekonomis lewat piranti hukum pemerintahan daerah, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 beserta semua peraturan pelaksanaannya. Piranti hukum itulah yang membatasi kewenangan daerah untuk tumbuh dan berkembang dalam rangka menggali segala potensi ekonomi yang strategis di daerah.

Nuralam Abdullah menyatakan bahwa dari perspektif sejarah mengungkapkan bahwa pemerintah daerah pada masa lalu sangat bergantung pada subsidi dana dari pemerintah pusat. Hasil identifikasi dan inventarisasi kemampuan keuangan daerah yang dilakukan oleh Direktur jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) menunjukkan bahwa hanya 21,92% dari 292 Daerah Tingkat II di Indonesia yang dipandang mampu untuk membiayai pembangunan daerahnya.

Ketergantungan daerah pada subsidi pemerintah pusat juga diungkapkan oleh Bagir Manan, bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) baik Daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II, tidak mencukupi untuk membiayai diri sendiri.

Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) barasal dari bantuan pemerintah pusat.  Bantuan keuangan yang besar telah memberikan kesempatan lebih besar  kepada  daerah untuk melaksanakan berbagai tugas pelayanan pada masyarakat, tetapi ketergantungan keuangan ini menimbulkan akibat penyelenggaraan otonomi daerah tidak sepenuhnya dapat berjalan, dan dilain pihak mengundang kuatnya campur tangan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah.

H.Tabrani Rab juga mengungkapkan data mengenai rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah. Kemampuan PAD sejumlah daerah Tingkat II di seluruh Indonesia pada tahun 1993/1994 hanya sebesar 11,24 %, dan dalam perjalannya setiap tahun cenderung mengalami penurunan. Sebaliknya proporsi bantuan Pemerintah Pusat meningkat dari 63,87 % pada tahun 1985 / 1986 menjadi 70,87 % pada tahun 1993 / 1994.

Realitas mengenai rendahnya PAD di sejumlah daerah pada masa lalu, akhirnya  mengkondisikan daerah untuk tidak berdaya dan selalu bergantung pada bantuan pembiayaan atau subsidi dana dari pemerintah pusat. Kondisi demikian ini pada akhirnya menjadi salah satu argumentasi  yang mendorong perlunya percepatan reformasi dalam lingkup pemerintahan, hingga ditandai dengan pembentukan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Kehadiran Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang    Nomor  25  Tahun   1999   tidak   hanya   bermaksud   mengatasi permasalahan keuangan daerah melalui pemberian kewenangan yang luas kepada daerah untuk menggali sejumlah potensi ekonomi yang ada di daerah, melainkan juga menekankan pada upaya peningkatan efesiensi dan efektifitas pengelolaan sumber-sumber keuangan dalam  rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dimungkinkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, yaitu adanya kewenangan daerah  yang mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta  kewenangan bidang lain.

Kewenangan yang diberikan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, harus diakui sebagai suatu peluang dan sekaligus mengandung sejumlah tantangan bagi daerah yang  memiliki potensi sumber daya alam  yang melimpah ruah, sehingga  pembiayaan   pembangunan  daerah dan pengeluaran rutin mungkin  bukan permasalahan yang  serius.  Sebaliknya, bagi daerah yang tidak memiliki potensi sumber daya alam yang memadai, persediaan anggaran pembangunan dan anggaran rutin, tentu saja akan menjadi permasalahan serius. Ketentuan tersebut juga tetap diatur pada Undang Undang pemerintahan daerah yang baru yaitu pada Pasal 14 Ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 .

Hasil penelitian Badan Peneliti dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri  bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada,  Syarifuddin Tayeb  menyatakan bahwa dari  292  (dua ratus sembilan puluh dua) Daerah Kabupaten yang diteliti menunjukkan rendahnya konstribusi pendapatan asli daerah terhadap pembiayaan daerah yaitu :
122 Daerah Kabupaten berkisar antara 0,53 % - 10 %
86   Daerah Kabupaten berkisar antara    10 % - 20 %
43   Daerah Kabupaten berkisar antara  20,1 % - 30 %
17   Daerah Kabupaten berkisar antara  31,1 % - 50 %
2  Daerah Kabupaten berkisar di atas   50  %

Rendahnya konstribusi pendapatan asli daerah terhadap pembiayaan daerah, karena daerah hanya diberikan kewenangan mobilisasi sumber dana pajak dan  yang mampu memenuhi hanya sekitar 20% - 30% dari total penerimaan untuk membiayai kebutuhan rutin dan pembangunan, sementara 70% - 80% didrop dari pusat.5
Selain karena persoalan kewenangan yang terbatas dalam memobilisasi sumber dana pajak dan retribusi, juga terdapat persoalan yang bersifat teknis yuridis yaitu dalam bentuk regulasi yang dijadikan dasar hukum bagi daerah untuk memungut Pendapatan Asli Daerah, baik yang bersumber dari Pajak maupun dari Retribusi Daerah. Temuan penelitian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengungkapkan bahwa dari 340 Peraturan Daerah (PERDA) Pemerintah  Kabupaten/Kota/Propinsi pada 28 Propinsi yang dievaluasi selama tiga tahun terakhir, ternyata 69 % PERDA Pajak dan Retribusi dan PERDA non Pajak dan Retribusi yang dinyatakan bermasalah.

Menurut Agung Pambudi (Peneliti Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah) bahwa permasalahan yang menonjol pada Peraturan Daerah tersebut adalah berkisar pada masalah substansi, yaitu sekitar 42 %, dan selebihnya menyangkut masalah prinsip (10%) serta masalah teknis (17%).

Fenomena Perda-perda bermasalah juga diungkap oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat-SMERU Research Institute bekerjasama dengan USAID dan Partnership for Economic Growth (PEG), bahwa pada tahun 2000-2001 di Sumatera sedikitnya tercatat tiga Kabupaten menerbitkan Perda yang berdampak negatif pada iklim usaha, yaitu Karo, Simalungun dan Deli Serdang. Menurut Ilyas Saad, dari SMERU Research Institute, pungutan yang paling menonjol  terjadi di Deli Serdang, yaitu sumbangan wajib untuk usaha perkebunan, retribusi hasil usaha pertambakan sebasar 20% dari harga dasar perkilogram. Retribusi izin penebangan dan pemanfaatan kayu karet sebesar Rp.1.500,- permeter kubik, dan pajak pembudidayaan dan pemanfaatan sarang burung walet sebesar 20 % dari harga dasar perkilogram. Selain itu masih ada berbagai pungutan lain yang memberatkan dunia usaha, antara lain retribusi kesehatan hewan bagi setiap peternak 

Fenomena perda-perda bermasalah sempat mengusik banyak pihak,  terutama bagi kalangan pelaku usaha. Pihak Departemen Keuangan RI telah merekomendasikan sebanyak 206 Perda untuk dicabut oleh Menteri Dalam Negeri.  Rekomendasi  itu didasarkan pada suatu kajian antar departemen dimana dinilai memberatkan pengusaha sehingga menjadi kontraproduktif  bagi  pertumbuhan ekonomi daerah.9
Departemen Dalam Negeri  juga mencatat sebanyak kurang lebih 7000 Perda yang dinilai tidak layak.  Perda-perda  sebanyak itu dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta menimbulkan tumpang tindih dan kerancuan 

Harus diakui bahwa fenomena Perda Perda bermasalah juga terjadi di daerah kabupaten/kota dalam lingkup Propinsi Sulawesi Tengah.

Hal  ini dapat kita diketahui dari beberapa Perda kabupaten/kota yang telah  dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri antara lain :

  1. Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Rumah Kost/Pemondokan.
  2. Peraturan Daerah Kabupaten Tolitoli Nomor 25 Tahun 2001 tentang Pajak Komoditi
  3. Peraturan Daerah Kabupaten Tolitoli Nomor 57 Tahun 2001 tentang Retribusi Jalan Kabupaten.
  4. Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Nomor 59 Tahun 2001 tentang Tempat Pendaratan Kapal.
  5. Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Nomor 66 Tahun 2001 tentang Izin Pemilikan dan Penggunaan Gergaji Rantai.
  6. Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Nomor 68 Tahun 2001 tentang Penarikan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Pemerintah Daerah .
Tentunya masih banyak lagi peraturan daerah yang bermasalah akan menyusul untuk dibatalkan dengan berbagai pertimbangan/alasan pembatalan.



B. RUMUSAN MASALAH

Berkenaan dengan implementasi peraturan daerah yang berorientasi Pendapatan Asli Daerah  (PAD) dalam menunjang pelaksanaan Otonomi Daerah di kota Palu, maka masalah yang akan dibahas dalam tesis ini adalah :

  1. Apakah  peraturan daerah khususnya pajak dan retribusi daerah yang berkaitan dengan  pendapatan asli daerah  telah memenuhi asas-asas pembuatan peraturan daerah yang baik dalam  menunjang pelaksanaan otonomi daerah di kota Palu?
  2. Apakah peraturan daerah yang mengatur pendapatan asli    daerah  sudah berorientasi pada kepentingan  masyarakat  kota Palu?

B.    Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian sebagaimana permasalahan yang telah dikemukakan di atas adalah untuk :

  1. Mengetahui apakah peraturan daerah khususnya pajak daerah dan retribusi daerah yang berkaitan dengan pendapatan asli daerah telah memenuhi keriteria pembuatan peraturan daerah yang baik menunujang pelaksanaan otonomi daerah di Kota Palu.
  2. Mengetahui peraturan daerah kota Palu apakah sudah sesuai kepentingan masyarakat .


C. Kegunaan Penelitian.

Atas hasil penelitian yang dilakukan,  diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

  1. Bahan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya tata negara, dan merupakan sumbangan pemikiran bagi unsur pemerintah daerah  dalam pelaksanaan otonomi daerah di kota Palu.
  2. Bahan informasi kepada pemerintah kota Palu khususnya dan pemerintah Sulawesi Tengah pada umumnya.

BAB  II
TINJAUAN PUSTAKA


A.    Bentuk Negara Kesatuan

Akan teman teman dapatkan setelah teman mendownload Contoh Tesis S2 ini


BAB III
METODE PENELITIAN


A.    Lokasi Penelitian.

Penelitian dilakukan di kota Palu, dengan didasarkan pada pertimbangan bahwa di kota Palu perda-perda yang telah ada dan berorientasi pendapatan asli daerah sebagai salah satu sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam implementasinya belum sepenuhnya memperhatikan kepentingan masyarakat.


B.    Bentuk dan Pendekatan Penelitian

Bentuk penelitian yang digunakan adalah kajian normatif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, adapun data yang diketemukan dilapangan hanya merupakan data pendukung . 

C.    Sumber Data Penelitian

Berdasarkan pendekatan yang digunakan, maka dapat ditentukan sumber bahan penelitian yaitu bahan hukum primer  yaitu peraturan perundang-undangan, buku literatur hukum, jurnal hukum yang berkaitan dengan objek penelitian dan bahan hukum sekunder berupa tambahan lembaran Negara yang berkaitan dengan objek penelitian, data yang berbentuk angka hanya merupakan data   penunjang . 


D. Definisi Operasional.

  1. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban  daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  2. Otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
  3. Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan  pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.
  4. Otonomi bertanggungjawab adalah perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan  kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonom, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
  5. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur urusan pemerintahan dalam system Negara  Kesatuan Republik Imdonesia.
  6. Dekonsentrasi aalah pelimpahan wewenang  pemerintahan oleh pemerintah  kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu .
  7. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa  dari daerah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa dari pemerintah kabupaten/kota kepada  desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
  8. Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. 
  9. Pendapatan asli daerah adalah segala penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya yang ditetapkan dengan peraturan daerah ssuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu:a.    a. Hasil pajak daerah.b.    Hasil retribusi daerah.c.    Perusahan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.d.    Lain-lain pendapatan asli daerah.
  10. Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
  11. Retribusi daerah adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
  12. Lain-lain pendapatan yang sah adalah pendapatan-pendapatan lain yang tidak termasuk ke dalam jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah dan pendapatan dinas-dinas yang sifatnya insidentil/temporer. yang menunjang pelaksanaan atonomi daerah adalah peraturan daerah yang pada penerapannya dilapangan tidak ada hambatan pada pelaksanaannya.
  13. Peraturan  Daerah   yang   menunjang    pelaksanaan  otonomi   daerah adalah peraturan daerah yang pada penerapannya dimasyarakat tidak  ada kendala, 
  14. Peraturan Daerah  yang berorientasi pada kepentingan masyarakat adalah Peraturan daerah yang materi muatannya  memperhatikan aspirasi dan kepentingan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...