Latar
Belakang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) merupakan alat utama pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan
sekaligus alat pemerintah untuk mengelola perekonomian negara. Sebagai alat
pemerintah, APBN bukan hanya menyangkut keputusan ekonomi, namun juga
menyangkut keputusan politik. Dalam konteks ini, DPR dengan hak legislasi,
penganggaran, dan pengawasan yang dimilikinya perlu lebih berperan dalam
mengawal APBN sehingga APBN benar-benar dapat secara efektif menjadi instrumen
untuk mensejahterakan rakyat dan mengelola perekonomian negara dengan baik.
Dalam rangka mewujudkan good
governance dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, sejak beberapa tahun
yang lalu telah diintrodusir Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah. Reformasi
tersebut mendapatkan landasan hukum yang kuat dengan telah disahkannya UU No.
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39
Tahun 2007 tanggal 16 Juli 2007 itu, diatur tentang pengelolaan keuangan negara
dan daerah. Didalamnya diatur wewenang Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum
Negara (BUN), dalam mengelola kas negara berdasarkan prinsip-prinsip keuangan.
Bendahara
Umum Negara yaitu Menteri Keuangan, berwenang mengangkat Kepala Satuan Kerja di
pusat dan di daerah yang berperan sebagai Bendahara Umum Daerah. Fungsinya
antara lain mengkoordinir pengelolaan keuangan daerah.
Selain itu, Bendahara Umum Negara
berwenang menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara, menunjuk
bank atau lembaga keuangan lainnya dalam penerimaan dan pengeluaran negara.
Peraturan Pemerintah juga mengatur
tentang dana dalam anggaran, menyimpan dan menempatkan uang negara, mengelola
surat utang negara (SUN), membayar atas permintaan pejabat pengguna anggaran
terhadap beban rekening kas umum, serta menyediakan informasi keuangan negara.
Tulisan ini menguraikan sistem dan
proses pengelolaan APBN dalam kerangka manajemen keuangan negara termasuk di
dalamnya adalah mekanisme pertanggungjawaban keuangan negara dalah hukum
administratif. Selain diuraikan pokok-pokok manajemen keuangan negara serta
proses APBN, diuraikan pula peranan DPR dalam pengelolaan anggaran negara
melalui fungsi-fungsi yang dimilikinya, yakni fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan.
Permasalahan
Dari pemaparan latar belakang di atas,
maka dalam makalah ini penulis akan mencoba membahas tentang:
1.
Apa yang menjadi
landasan hukum pengelolaan keuangan negara?
2.
Apakah pengertian dan ruang
lingkup keuangan negara?
3.
Bagaimanakah Pengawasan
dan Meknaisme Pertanggungjawaban APBN
Landasan
Pengelolaan Keuangan Negara
Landasan pengelolaan keuangan negara
adalah Pasal 23C Undang Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga: “hal-hal lain
mengenai keuangan Negara ditetapkan melalui undang-undang”. Berangkat dari
landasan konstitusional itulah berbagai upaya dilakukan untuk dapat
menghadirkan Undang-undang Keuangan Negara.
Hingga tahun 2003 yang lalu sebelum UU
No.17/2003 diundangkan aturan yang berlaku untuk pengelolaan Keuangan Negara
masih menggunakan peraturan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda seperti Indische
Comptabiliteits Wet yang lebih dikenal dengan nama ICW stbl. 1925 No.488
yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1864 dan mulai berlaku tahun 1867.
Selain ICW ada juga Indische Bedrijvenwet (IBW) stbl. 1927 No. 419 jo.
Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB)
stbl. 1933 No.381.
Sementara itu untuk pelaksanaan
pemeriksaan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara digunakan Insctructie
en verdere bapelingen voor Algemeene Rekenkamer (IAR) stbl. 1933 No.320. Peraturan-peraturan
seperti ICW, IAR, IBW, dan RAB, sengaja diciptakan dan dibuat oleh pemerintahan
Kolonial Belanda sebagai penguasa yang menjajah Indonesia saat itu dengan
pendekatan untuk menjaga kepentingan negara Belanda atas Indonesia.
Paradigma negeri jajahan itulah yang
sangat kental mewarnai peraturan-peraturan itu. Ketika diterapkan kepada sebuah
negara yang berdaulat dan merdeka seperti Indonesia saat ini, peraturan-peraturan
itu sudah tidak lagi relevan dan layak dijadikan pedoman pengelolaan keuangan
negara. Merubah seluruh peraturan di atas dengan peraturan yang bersemangat
independensi dan menjunjung tinggi kedaulatan sebuah negara yang merdeka dan
berdaulat, tentunya harus dilakukan.
Selain itu muatan yang terdapat di dalam
aturan-aturan kolonial itu sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini,
apalagi tingkat kompleksitas permasalahan saat ini jauh lebih tinggi dari masa
dulu. Oleh karena itu, walaupun masih berlaku sebagai sebuah aturan
perundang-undangan tetapi secara materil sudah tidak dapat dilaksanakan. Kekosongan
perundang-undangan ini membuat lemahnya sistem pengelolaan keuangan negara.
Selama ini, kekosongan itu hanya
dilengkapi dengan Keputusan Presiden, yang terakhir diantaranya di atur oleh
Keppres No. 42 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN dan Keppres 80 tahun
2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sebagaimana kita ketahui bahwa
Keputusan Presiden di dalam tata hukum tidak terlalu mengikat sebagaimana
sebuah undang-undang.
Dari kelemahan tata hukum itulah
kemudian menjadi salah satu penyebab banyaknya praktik penyimpangan dan KKN di
dalam pengelolaan keuangan negara selama ini. Puncaknya dengan terjadi krisis
moneter pertengahan 1997 yang telah memporak-porandakan tatanan ekonomi yang
telah dibangun dengan susah payah oleh pemerintahan era orde baru ditandai
dengan anjloknya rupiah hingga menembus level Rp 17.000 per satu USD. Krisis
berlanjut hingga menjadi krisis multidimensional yang kemudian melahirkan era
reformasi. Era reformasi
inilah
yang memberikan momentum terciptanya tata aturan baru dalam pengelolaan
keuangan negara.
Paket UU Keuangan Negara tersebut (yang
terdiri dari dua UU yang sudah diundangkan, yaitu UU No.17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dan UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, serta
satu RUU, yaitu RUU Pemeriksaan pengelolaan Keuangan Negara yang masih dibahas
di DPR) merumuskan empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara, yaitu:
1.
Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja;
2.
Keterbukaan dalam setiap transaksi pemerintah;
3.
Pemberdayaan manajer professional; dan
4.
Adanya lembaga pemeriksa eksternal yang kuat, professional dan mandiri serta
dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemeriksaan.
Perubahan mendasar yang diatur oleh
Undang-undang No.17 tahun 2003 yaitu:
a.
Tentang pengertian dan ruang lingkup dari keuangan negara;
b.
Azas-azas umum pengelolaan keuangan negara;
c.
Kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara;
d.
Pendelegasian kekuasaan presiden kepada menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan
Lembaga;
e.
Susunan APBN dan APBD;
f.
Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD;
g.
Pengaturan Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan
bank
sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing;
h.
Pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan daerah dan
perusahaan swasta;
i.
Badan pengelola dana masyarakat; dan
j.
Penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN dan APBD.
k.
Penggunaan Medium Term Expenditure Framework (MTEF) sebagai
pengganti
Propenas dan Repeta.
Sedangkan
perubahan mendasar dalam pengelolaan perbendaharaan negara yang tercantum dalam
UU No.1 tahun 2004 yaitu:
1.
Penerapan anggaran berbasis kinerja;
2.
Pemberlakuan pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja negara berbasis
akrual;
3.
Munculnya jabatan fungsional Perbendaharaan Negara;
4.
Pemberian jasa giro atau bunga atas dana pemerintah yang disimpan pada bank
sentral;
5.
Sertifikan Bank Indonesia yang selama ini menjadi instrumen moneter akan
digantikan oleh Surat Utang Negara; dll.
Pengertian
dan Ruang Lingkup Keuangan Negara
Perumusan
keuangan negara menggunakan beberapa pendekatan, yaitu:
1.
Pendekatan dari sisi obyek;
2.
Pendekatan dari sisi subyek;
3.
Pendekatan dari sisi proses; dan,
4.
Pendekatan dari sisi tujuan.
Dari sisi obyek Keuangan Negara akan
meliputi seluruh hal dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, di
dalamnya termasuk berbagai kebijakan dan kegiatan yang terselenggara dalam
bidang fiskal, moneter dan atau pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Selain itu segala sesuatu dapat berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek, keuangan negara meliputi negara, dan/atau pemerintah pusat,
pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya
dengan keuangan negara.
Keuangan Negara dari sisi proses
mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek di
atas mulai dari proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai
dengan pertanggungjawaban. Terakhir, keuangan negara juga meliputi seluruh
kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau
penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan negara, pendekatan terakhir ini dilihat dari sisi tujuan.
Dengan pendekatan sebagaimana diuraikan
di atas, UU No. 17/2003 merumuskan sebagai berikut: Keuangan negara adalah
“semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. (Pasal 1 huruf 1
UU
No. 17/2003).
Ruang lingkup keuangan negara sesuai
dengan pengertian tersebut diuraikan dalam Pasal 2 UU No. 17/2003 meliputi:
a.
Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan
melakukan pinjaman;
b.
Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara
dan membayar tagihan pihak ketiga;
c.
Penerimaan Negara;
d.
Pengeluaran Negara;
e.
Penerimaan Daerah;
f.
Pengeluaran Daerah;
g.
Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara
atau daerah;
h.
Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan
tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i.
Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah. Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas secara
ringkas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan
moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Sub bidang
pengelolaan fiskal meliputi enam fungsi, yaitu:
a.
Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal. Fungsi pengelolaan
kebijakan ekonomi makro dan fiskal ini meliputi penyusunan Nota Keuangan dan
RAPBN, serta perkembangan dan perubahannya, analisis kebijakan, evaluasi dan
perkiraan perkembangan ekonomi makro, pendapatan negara, belanja negara,
pembiayaan, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan fiskal
dalam rangka kerjasama internasional dan regional, penyusunan rencana
pendapatan negara, hibah, belanja negara dan pembiayaan jangka menengah,
penyusunan statistik, penelitian dan rekomendasi kebijakan di bidang fiskal,
keuangan, dan ekonomi.
b.
Fungsi penganggaran. Fungsi ini meliputi penyiapan, perumusan, dan pelaksanaan
kebijakan, serta perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur dan
pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang APBN.
c.
Fungsi administrasi perpajakan.
d.
Fungsi administrasi kepabeanan.
e.
Fungsi perbendaharaan. Fungsi perbendaharaan meliputi perumusan kebijakan,
standard, sistem dan prosedur di bidang pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran
negara, pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah serta akuntansi
pemerintah pusat dan daerah,
Kekayaan pihak lain ini meliputi
kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan
pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau
perusahaan negara daerah.
pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran
negara, pengelolaan kas negara dan perencanaan penerimaan dan pengeluaran,
pengelolaan utang dalam negeri dan luar negeri, pengelolaan piutang,
pengelolaan barang milik/kekayaan negara (BM/KN), penyelenggaraan akuntansi, pelaporan
keuangan dan sistem informasi manajemen keuangan
pemerintah.
f.
Fungsi pengawasan keuangan.
Sementara
itu, bidang moneter meliputi sistem pembayaran, sistem lalu lintas devisa, dan
sistem nilai tukar. Adapun bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan
meliputi pengelolaan perusahaan negara/daerah
Asas-asas
Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam rangka mendukung terwujudnya good
governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu
diselenggarakan secara professional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai
dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Sebagai penjabaran
aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945 tersebut, UU No. 17/2003 menjabarkannya
ke dalam asas-asas umum yang telah lama dikenal dalam pengelolaan kekayaan
negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan dan asas
spesialitas; maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan
kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain:
akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas,
keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, dan pemeriksaan keuangan oleh
badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Kekuasaan
atas Keuangan Negara
Presiden selaku Kepala Pemerintahan
memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan
pemerintahan. (Pasal 6 UU No. 17/2003) Pada dasarnya Presiden selaku
Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara sebagai
bagian dari kekuasaan pemerintahan.
Sebagian kekuasaan itu diserahkan kepada
Menteri Keuangan yang kemudian berperan sebagai pengelola fiskal dan wakil
pemerintah dalam kepemilikan negara dalam kekayaan negara yang dipisahkan.
Sebagian kekuasaan lainnya diberikan kepada menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna
anggaran/pengguna barang lembaga/kementrian yang dipimpinnya.
Jika Presiden memiliki fungsi sebagai
Chief Executive Officer (CEO) maka Menteri Keuangan berperan dan berfungsi
sebagai Chief Financial Officer (CFO) sedangkan menteri/pimpinan lembaga
berperan sebagai Chief Operating Officers (COOs).
Pemisahan fungsi seperti di atas
dimaksudkan untuk membuat kejelasan dan kepastian dalam pembagian wewenang dan
tanggung jawab. Sebelumnya fungsi-fungsi tersebut belum terbagi secara tegas
sehingga seringkali terjadi tumpang tindih antar lembaga. Pemisahan ini juga
dilakukan untuk menegaskan terlaksananya mekanisme checks and balances.
Selain itu, dengan fokusnya fungsi masing-masing kementrian atau lembaga
diharapkan dapat meningkatkan
profesionalisme
di dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah.
Menteri Keuangan dengan penegasan fungsi
sebagai CFO akan memiliki fungsi-fungsi antara lain:
1.
Pengelolaan kebijakan fiskal;
2.
Penganggaran;
3.
Administrasi Perpajakan;
4.
Administrasi Kepabeanan;
5.
Perbendaharaan (Treasury); dan
6.
Pengawasan Keuangan.
Seperti
halnya pemerintah pusat, pengelolaan keuangan daerah juga
menggunakan
pendekatan pembagian fungsi yang tidak berbeda.
Gubernur/Bupati/Walikota
akan memiliki fungsi sebagai pemegang kekuasaan
pengelolaan
Keuangan Daerah atau CEO, dinas-dinas sebagai COO, dan
pengelola
Keuangan Daerah sebagai CFO.
Pengertian
dan Ruang Lingkup APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 1 angka 7, UU No. 17/2003). Merujuk
Pasal 12 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, APBN dalam satu tahun
anggaran meliputi:
a.
Hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih;
b.
Kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih;
c.
Penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima
kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun
anggaran berikutnya. Semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui
rekening kas umum negara. (Pasal 12 ayat (2) UU No. 1/2004) Tahun
anggaran adalah periode pelaksanaan APBN selama 12 bulan.
Sejak
tahun 2000, Indonesia menggunakan tahun kalender sebagai tahun anggaran, yaitu
dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
Sebelumnya, tahun anggaran dimulai
tanggal 1 April sampai dengan 31 Maret tahun berikutnya. Penggunaan tahun
kalender sebagai tahun anggaran ini kemudian dikukuhkan dalam UU Keuangan
Negara dan UU Perbendaharaan Negara (Pasal 4 UU No. 17/2003 dan Pasal 11 UU
No. 1/2004). Sebagaimana ditegaskan dalam Bagian Penjelasan UU No. 17/2003,
anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai
fungsi akuntabilitas, pengeluaran anggaran hendaknya dapat dipertanggungjawabkan
dengan menunjukkan hasil (result) berupa outcome atau setidaknya output
dari dibelanjakannya dana-dana publik tersebut. Sebagai alat manajemen,
sistem penganggaran selayaknya dapat membantu aktivitas berkelanjutan untuk
memperbaiki efektifitas dan efisiensi program pemerintah. Sedangkan sebagai instrumen
kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan
stabilitas perekonomian serta pemerataan.
Anggaran Pendapatan dalam rangka
mencapai tujuan bernegara, merujuk Pasal 3 Ayat (4) UU No. 17/2003, APBN
mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan
stabilisasi. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi
dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen
dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan
mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai apakah
kegiatan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk
mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan
efisiensi dan efektifitas perekonomian.
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa
kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk
memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Uraian di bawah ini menyajikan struktur
APBN. Struktur APBN terdiri dari pendapatan negara dan hibah, belanja negara,
keseimbangan primer, surplus/defisit, dan pembiayaan. Sejak TA 2000, Indonesia
telah mengubahkomposisi APBN dari T-account menjadi I-account sesuai dengan
standar statistik keuangan pemerintah, Government Finance Statistics (GFS).
Pendapatan
Negara dan Hibah.
Penerimaan APBN diperoleh dari berbagai
sumber. Secara umum yaitu penerimaan pajak yang meliputi pajak penghasilan
(PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Cukai, dan Pajak lainnya, serta
Pajak Perdagangan (bea masuk dan pajak/pungutan ekspor) merupakan sumber
penerimaan utama dari APBN. Selain itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP)
meliputi penerimaan dari sumber daya alam, setoran laba BUMN, dan penerimaan
bukan pajak lainnya, walaupun memberikan kontribusi yang lebih kecil terhadap
total penerimaan anggaran, jumlahnya semakin meningkat secara signifikan tiap
tahunnya. Berbeda dengan sistem penganggaran sebelum tahun anggaran 2000, pada system
penganggaran saat ini sumber-sumber pembiayaan (pinjaman) tidak lagi dianggap
sebagai bagian dari penerimaan.
Dalam pengadministrasian penerimaan
negara, departemen/lembaga tidak boleh menggunakan penerimaan yang diperolehnya
secara langsung untuk membiayai kebutuhannya. Beberapa pengeculian dapat
diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait.
Belanja
Negara.
Belanja negara terdiri atas anggaran
belanja pemerintah pusat, dana perimbangan, serta dana otonomi khusus dan dana
penyeimbang. Sebelum diundangkannya UU No. 17/2003, anggaran belanja pemerintah
pusat dibedakan atas pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. UU No. 17/2003
mengintrodusing uniffied budget sehingga tidak lagi ada pembedaan antara
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Dana perimbangan terdiri atas
dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK).
Sementara itu, dana otonomi khusus dialokasikan untuk provinsi Daerah Istimewa
Aceh dan provinsi Papua.
Defisit
dan Surplus.
Defisit atau surplus merupakan selisih
antara penerimaan dan pengeluaran. Pengeluaran yang melebihi penerimaan disebut
defisit; sebaliknya, penerimaan yang melebihi pengeluaran disebut surplus. Sejak
TA 2000, Indonesia menerapkan anggaran defisit menggantikan anggaran berimbang
dan dinamis yang telah digunakan selama lebih dari tiga puluh tahun.
Dalam tampilan APBN, dikenal dua istilah
defisit anggaran, yaitu: keseimbangan primer (primary balance) dan
keseimbangan umum (overall balance). Keseimbangan primer adalah total
penerimaan dikurangi belanja tidak termasuk pembayaran bunga. Keseimbangan umum
adalah total penerimaan dikurangi belanja termasuk pembayaran bunga.
Pembiayaan.
Pembiayaan diperlukan untuk menutup
defisit anggaran. Beberapa sumber pembiayaan yang penting saat ini adalah:
pembiayaan dalam negeri (perbankan dan non perbankan) serta pembiayaan luar
negeri (netto) yang merupakan selisih antara penarikan utang luar negeri
(bruto) dengan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri.
Proses
APBN Pasca Reformasi
Penyusunan
dan Penetapan APBN
Pembicaraan
Pendahuluan antara Pemerintah dan DPR.
Tahapan ini dimulai dengan penyampaian
pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro oleh Pemerintah kepada
DPR selambat-lambatnya pertengahan Mei tahun berjalan. (Pasal 13 ayat (1) UU
No. 17/2003)5 Guna memudahkan DPR dalam memahami dan mendiskusikan kerangka
ekononomi makro, pemerintah mengirimkan laporan triwulanan update fiskal dan makroekonomi
serta outlook dan estimasi ke depan kepada DPR pada awal April.
Laporan ini disiapkan oleh Badan Analisa
Fiskal (BAF), Departemen Keuangan. Dengan laporan ini, diharapkan DPR memahami
gambaran umum perkembangan fiskal dan makroekonomi terkini beserta outlook dan
estimasi ke depannya. Laporan ini menyajikan tampilan fiskal dan makroekonomi
dua tahun terakhir, estimasi kinerja fiskal tahun anggaran berjalan, serta
proyeksi kinerja fiskal tiga tahun ke depan. Variabel-variabel fiskal dan
makroekonomi yang disajikan dalam laporan tersebut meliputi pertumbuhan
ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah, tingkat bunga, harga minyak
internasional, neraca pembayaran, penerimaan, pengeluaran, surplus primer,
defisit anggaran, pembiayaan, dan estimasi ke depan.
Kerangka ekonomi makro yang disampaikan
kepada DPR berisi antara lain prospek ekonomi dunia (pertumbuhan, perdagangan,
dll.), kebijakan ekonomi makro (kebijakan fiskal, kebijakan moneter, kebijakan
investasi, neraca pembayaran), serta asumsi dasar APBN (pertumbuhan ekonomi,
inflasi, nilai tukar, harga minyak , produksi minyak, dan tingkat suku bunga
SBI rata-rata).
Sementara itu, pokok-pokok kebijakan
fiskal yang disampaikan kepada DPR mencakup kaidah utama yang melatari
kebijakan fiskal, kebijakan fiskal Sebelum UU No. 17/2003, pemerintah tidak
menyampaikan “Pokok-pokok kebijakan fiskal” dalam dokumen yang spesifik.
Pemerintah hanya menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan anggaran dalam
Nota Keuangan dan RAPBN yang disampaikan kepada DPR tanggal 16 Agustus.
Meskipun demikian, isinya berbeda dengan apa yang dimaksudkan dalam UU No.
17/2003 tersebut bidang pendapatan negara dan hibah, kebijakan fiskal bidang
belanja negara, dan kebijakan fiskal pembiayaan anggaran. Pemerintah dan DPR
membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan
oleh pemerintah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBN tahun anggaran berikutnya.
Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tersebut,
pemerintah dan DPR membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk
dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan
anggaran. (Pasal 13 ayat (2) – (3) UU No. 17/2003).
Dalam rangka penyusunan RAPBN,
berdasarkan Surat Edaran yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan c.q. DJA,
menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun
rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga tahun berikutnya. Rencana
kerja dan anggaran tersebut disusun berdasarkan prestasi kerja (kinerja) yang
akan dicapai; dan disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya
setelah tahun anggaran yang sedang disusun. Selanjutnya, rencana kerja dan
anggaran tersebut disampaikan kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan
pendahuluan RAPBN. Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan
kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan RUU tentang APBN tahun berikutnya.
(Pasal 14 UU No. 17/2003).6 Pada awal bulan Juli pemerintah menyampaikan
laporan semester pertama perkembangan fiskal dan makroekonomi serta outlook
kepada DPR. Laporan ini merupakan update atas laporan triwulan yang telah
disampaikan kepada DPR pada awal bulan April.
Pengajuan,
Pembahasan dan Penetapan APBN.
Tahapan ini dimulai dengan pengajuan RUU
tentang APBN disertai nota keuangan dan dokumendokumen pendukungnya oleh
pemerintah kepada DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya. (Pasal 15 ayat
(1) UU No. 17/2003) Selama pembahasan, dokumen-dokumen pendukung
disampaikan kepada DPR. Sebagaimana diatur 6 Saat ini pemerintah sedang
menyiapkan RPP tentang Rencana Kerja dan Anggaran Instansi Pemerintah. dalam Pasal 15 ayat (4) UU No. 17/2003,
pengambilan keputusan oleh DPR mengenai RUU tentang APBN dilakukan
selambat-lambatnya dua bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
dilaksanakan. Batasan ini diperlukan agar pemerintah punya cukup waktu untuk
menyiapkan seluruh dokumen pelaksanaan anggaran. Di samping itu, waktu dua
bulan itu juga diperlukan oleh Pemerintah Daerah untuk menyiapkan anggaran
mereka, mengingat salah satu sumber keuangan utama Pemerintah daerah adalah dana
perimbangan yang diperoleh dari APBN.
APBN
yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program,
kegiatan, dan jenis belanja. (Pasal 15 ayat (5) UU No. 17/2003). Apabila
DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan pemerintah, pemerintah dapat
melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran
sebelumnya. (Pasal 15 ayat (6) UU No. 17/2003)
Pelaksanaan
APBN
Setelah APBN ditetapkan, Menteri
Keuangan memberitahukan kepada semua menteri/pimpinan lembaga agar menyampaikan
dokumen pelaksanaan anggaran untuk masing-masing kementerian/lembaga.
Selanjutnya menteri/pimpinan lembaga menyusun dokumen pelaksanaan anggaran
untuk kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya berdasarkan alokasi anggaran yang
ditetapkan oleh Presiden. Di dalam dokumen pelaksanaan anggaran, diuraikan
sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan,
anggaran
yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana
tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang diperkirakan.
Pada dokumen pelaksanaan anggaran
tersebut juga dilampirkan rencana kerja dan anggaran badan layanan umum dalam
lingkungan kementerian negara yang bersangkutan. Setelah dokumen pelaksanaan
anggaran tersebut disahkan oleh Menteri Keuangan, dokumen tersebut kemudian
disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga, kuasa bendahara umum negara, dan
BPK. (Pasal 14 ayat (1) – (5) UU No. 17/2003) Berdasarkan dokumen
pelaksanaan anggaran, kementerian/lembaga sebagai pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran melaksanakan kegiatan sebagaimana tersebut dalam dokumen
pelaksanaan anggaran. Untuk keperluan kegiatan tersebut, pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran berwenang mengadakan ikatan/perjanjian dengan
pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan. (Pasal 17 ayat (1) –
(2) UU No. 1/2004) Selanjutnya, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran
berhak untuk menguji, membebankan pada mata anggaran yang telah disediakan, dan
memerintahkan pembayaran tagihantagihan atas beban APBN. (Pasal 18 ayat (1)
UU No. 1/2004) Pembayaran atas tagihan yang menjadi beban APBN dilakukan
oleh Bendahara Umum
Negara/Kuasa
Bendahara Umum Negara. (Pasal 19 ayat (1) UU No. 1/2004) Pemerintah
menyusun laporan realisasi semester pertama APBN dan prognosis untuk enam bulan
berikutnya, yang disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya pada akhir Juli
tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPR dan
pemerintah. (Pasal 27 ayat (1) – (2) UU No. 17/2003).
Penyesuaian APBN dengan perkembangan
dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam
rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang
bersangkutan, apabila terjadi:
a.
perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang
digunakan
dalam APBN;
b.
perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
c.
keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit
organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
d.
keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan
untuk pembiayaan anggaran yang berjalan. (Pasal 27 ayat (3) UU No. 17/2003) Dalam keadaan darurat pemerintah dapat
melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya
diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan
Realisasi Anggaran.
Pemerintah mengajukan rancangan
undang-undang tentang Perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan
berdasarkan perubahan tersebut untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun
anggaran yang bersangkutan berakhir. (Pasal 27 ayat (4) – (5) UU No.
17/2003)
Pengawasan
dan Pertanggungjawaban APBN
Salah satu upaya konkrit untuk
mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah
penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi
prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi
pemerintah yang telah diterima secara umum.
Dalam UU No. 17/2003 ditetapkan bahwa
laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN disampaikan berupa laporan keuangan
yang setidaktidaknya terdiri dari Iaporan realisasi anggaran, neraca, laporan
arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar
akuntansi pemerintah. Laporan keuangan pemerintah yang telah diperiksa oleh
Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya (enam)
bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan
keuangan negara menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna
barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam
Undang-undang tentang APBN dari segi manfaat/hasil (outcome).
Sedangkan Pimpinan unit organisasi
kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang
ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN dari segi barang dan/atau jasa yang
disediakan (output). Sebagai konsekuensinya, dalam UU No. 17/2003 diatur
sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga, serta Pimpinan unit
organisasi kementerian negara/lembaga yang terbukti melakukan penyimpangan
kebijakan/kegiatanyang telah ditetapkan dalam UU tentang APBN. Ketentuan sanksi
tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi
sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN yang bersangkutan.
Selain itu perlu ditegaskan pula prinsip
yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima,
menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik
negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam
pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para
pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang
andal.
Optimalisasi
Peranan DPR
Peranan DPR dalam penganggaran dapat
dijalankan berdasarkan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Berdasarkan Pasal 20A
UUD 1945 Perubahan Pertama, DPR mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi,
fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
Fungsi
Legislasi.
Dalam menjalankan fungsi legislasinya,
DPR menetapkan dan menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Pemerintah. Proses penetapan
itu sendiri diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI. Sebelum menetapkan dan
menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Pemerintah, DPR terlibat secara intens
dalam keseluruhan proses penyusunan dan penetapan sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya.
Fungsi
Anggaran.
Berkenaan dengan fungsi anggaran, DPR
mempunyai hak budget sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945
Perubahan Ketiga yang menyebutkan bahwa RUU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas
bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. DPR sesuai 7 Bagian ini
banyak merujuk pada: Abdullah Zainie, “Peranan DPR dalam Reformasi Pengelolaan Anggaran
Negara”, Jurnal Forum Inovasi Vol. 5: Desember-Februari 2003, pp. 20-25,
77-80. dengan hak budgetnya dapat menyetujui ataupun tidak menyetujui RUU APBN yang
diajukan oleh Pemerintah dan mengadakan pembahasan. Pembahasan RUU APBN secara
bersama oleh DPR dan Presiden selain dalam rangka melaksanakan fungsi legislasi
juga dimaksudkan agar DPR dapat mengetahui dan mengidentifikasi dengan jelas
bahwa terhadap alokasi yang dicantumkan dalam RAPBN tersebut tidak terjadi
penyelewengan. Selain itu, DPR juga mempunyai hak untuk mengajukan usul yang
mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam RUU APBN.
Dalam konteks optimalisasi peranan DPR
dalam penganggaran, khususnya pada tahap penyusunan dan penetapan APBN,
Abdullah Zainie (2003) menggarisbawahi beberapa hal, diantaranya:
1.
DPR harus mempunyai waktu khusus untuk membahas proses anggaran dengan mengkaji
secara teliti sehingga proses tersebut dapat berjalan lancar;
2.
DPR harus menguasai keseluruhan struktur dan proses anggaran sehingga bisa
memberikan peran yang maksimal terhadap proses anggaran;
3.
DPR dengan didukung oleh Undang-undang seharusnya mampu memberikan kontribusi
lebih besar; bukan hanya sekedar menerima atau menolak RUU APBN. DPR seharusnya
dapat mendiskusikan anggaran sebagai sebuah instrumen kebijakan dan untuk
menjamin bahwa anggaran tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum
dalam konstitusi. DPR juga harus bisa mengkaji dan menganalisis anggaran secara
terperinci berdasarkan fungsi-fungsi yang ada;
4.
Anggaran seharusnya digunakan oleh Pemerintah dan DPR untuk bertindak sebagai
mitra yang berkepentingan dalam pencapaian tujuan yang sama; 5. Kepentingan
tertinggi partai harus didahulukan di atas kepentingan partai
Fungsi
Pengawasan.
Pengawasan yang dilakukan oleh DPR
terdiri dari dua hal, yaitu:
1.
Pengawasan terhadap Pemerintah dalam melaksanakan Undang-undang;
2.
Pengawasan terhadap Pemerintah dalam melaksanakan APBN
Pengawasan
DPR terhadap Pemerintah dalam melaksanakan APBN dapat dilakukan melalui dua
hal, yaitu:
1.
Melalui rapat-rapat kerja yang dilakukan oleh komisi-komisi DPR dengan departemen-departemen
pemerintahan. Dalam rapat kerja tersebut, DPR dapat mengadakan pembahasan
mengenai berbagai hal dengan Pemerintah. Selain itu, DPR juga membahas hasil
dengar pendapat komisikomisi dengan masyarakat, NGO, akademisi. Fungsi
pengawasan dan fungsi penganggaran akan beririsan ketika DPR melakukan
pembahasan dengan Pemerintah untuk menyetujui RUU APBN atau PAN yang diajukan oleh
Pemerintah.
2.
Menerima dan membahas laporan dari BPK.
Berdasarkan
Pasal 23E UUD 1945 Perubahan Ketiga, ditetapkan bahwa hasil pemeriksaan
keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, DPRD, sesuai dengan kewenangannya.
Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK akan digunakan oleh DPR untuk
mengevaluasi pertanggungjawaban Pemerintah dalam pelaksanaan APBN. Menurut
Pasal 145 Peraturan Tata Tertib DPR, DPR membahas hasil pemeriksaan tersebut
yang diberitahukan oleh BPK dalam bentuk Hasil Pemeriksaan Semester, yang kemudian
disampaikan dalam rapat paripurna DPR untuk dipergunakan sebagai bahan
pengawasan. Hasil pemeriksaan juga membantu DPR dalam rangka memberikan persetujuan
atas PAN yang diajukan oleh Pemerintah.
Penutup
Reformasi manajemen keuangan pemerintah
yang telah menelorkan UU No. 17/2003 dan UU No. 1/2004 beserta
peraturan-peraturan pendukungnya telah memberikan landasan yang cukup kuat
untuk memperbaiki kinerja pengelolaan keuangan negara RI. Kedua Undang-undang
tersebut dan diharapkan dilengkapi dengan UU Pemeriksaan pengelolaan Keuangan
Negara yang masih dibahas di DPR menyediakan instrument dan wahana yang kondusif
untuk mewujudkan good governance. Keindahan aturan, tentunya tidak akan
berguna manakala tidak diimplementasikan sebagaimana mestinya.
Dalam konteks ini, Pemerintah dan DPR
diharapkan mampu mengawal pelaksanaan paket undang-undang dibidang keuangan
negara tersebut sekaligus melanjutkan proses reformasi manajemen keuangan
pemerintah. DPR dengan fungsi-fungsi yang dimilikinya, yakni fungsi legislasi,
fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, dapat berperan optimal dalam
memperbaiki kinerja anggaran negara dengan keterlibatannya yang efektif sepanjang
siklus APBN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...