Selasa, 01 Mei 2012

Parlemen Sontoloyo dan DPR Porno


Oleh: Yayat R. Cipasang*

Judul Buku: Parlemen Undercover (Kisah-kisah Sontoloyo Wakil Rakyat Negeri Indosiasat)
Penulis: Abu Semar
Penyunting: Akmal Nasery Basral
Penerbit: Ufuk Press
Cetakan: Pertama, Agustus 2008
Tebal: xvii+251 halaman

ANDA masih ingat kasus anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Max Moein yang diduga terlibat mesum dengan sekretaris pribadinya, Desi Fridiyanti.
Belakangan Desi yang mengaku sudah tidak perawan lagi ini dipecat Max. Desi melalui LBH pembela kaum perempuan meminta pertanggungjawaban anggota DPR yang sebelumnya lebih dikenal berkarier dalam dunia periklanan ini.
Foto Max juga beredar di internet tengah memeluk seorang perempuan tanpa baju. Dalam foto lain, Max tengah tidur pulas "kelelahan" dan di sampingnya seorang perempuan telentang sambil berpaling ke arah Max.
Untuk menguji dua foto tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR dengan tujuan mencari "kebenaran" meminta pendapat ahli telematika Roy Suryo dan kedua foto panas tersebut diuji di Laboratorium Institut Teknologi Bandung (ITB).
Hasilnya? Hanya anggota BK DPR yang tahu.
Tapi daripada Anda meminta anggota BK untuk segera mengumumkan keputusan final atas perilaku anggota Dewan yang memang masuk kategori brengsek tersebut, saya sarankan Anda mendingan membaca buku kumpulan cerita atau sketsa berjudul Parlemen Undercover (Kisah-kisah Sontoloyo Wakil Rakyat Negeri Indosiasat).
Buku ini ditulis Abu Semar, sebuah nama yang memang tidak wajar. Anda pasti sudah menebak bahwa nama tersebut adalah tiruan, palsu alias nama samaran.
Memang benar, kendati dalam buku tersebut tidak secara eksplisit disebutkan identitasnya.
Kabarnya, penulis buku ini sejatinya adalah anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kebenarannya, wallahu alam bishawab! Hanya penerbit buku ini yang tahu.
Membaca buku inside story setebal 251 halaman ini Anda akan disuguhi 33 perilaku sontoloyo anggota DPR, termasuk urusan syahwat dan berahi anggota Dewan.
Dalam tulisan berjudul Sekretaris Selembar Benang pembaca akan paham empat kriteria sekretaris yang dipilih anggota DPR.
Pertama, sekretaris senior. Sekretaris ini memiliki profesionalitas dan memiliki jam terbang yang tinggi.
Kedua, sekretaris atas hasil persaudaraan (KKN). Sang sekretaris berasal dari keluarga atau kerabat. Ketiga, sekretaris junior.
Sekretaris kategori ini pengalaman tidak diutamakan yang penting kegesitannya.
Nah yang keempat, adalah sekretaris gitar spanyol atau apalah namanya. Sekretaris inilah yang melahirkan korban-korban seperti kasus yang menimpa Desi.
Apalagi anggota Dewan ini memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan sekretaris pribadi kapanpun dan sesukanya. Bila sang sekretaris kinerjanya buruk atau tidak memuaskan dalam arti positif dan negatif, maka anggota Dewan dengan sangat mudah dapat memecatnya. Easy come, easy go!
Masih dalam tulisan berjudul Sekretaris Selembar Benang diceritakan pula seorang office boy (OB) bernama Yoben—tentu nama samaran—menemukan karet yang lengket menempel dalam tong sampah seorang anggota Dewan. Karet tersebut ternyata sebuah kondom bekas pakai!
Selain masalah syahwat, bagian cerita yang lucu juga dikemas sangat menggelitik. Dalam tulisan berjudul Toilet Kafir diceritakan perilaku lucu sekaligus menggelikan seorang anggota DPR bernama Kiai Badruzzaman dari pemilihan Jawa Timur (kemungkinan kuat dari PKB) dan anggota Komisi Energi.
Sang kiai digambarkan dari kampung, ceplas-ceplos, lugu dan tentu saja doyan humor khas kiai NU. Suatu hari digelar rapat informal dengan lembaga migas di Hotel Muliana (Hotel Mulia).
Di tengah-tengah rapat, kiai tersebut kebelet kencing karena AC (air conditioner) yang sangat dingin. Ia pun menuju rest room. Resleting pun segera dibuka karena urine sudah numpuk hingga ke ujung alat vitalnya.
Namun setelah kencing, sang kiai kesulitan mencari air pembasuh "burung"-nya. Ia kemudian bergeser ke toilet sebelahnya untuk berikhtiar mencari air dengan menekan apapun yang menonjol. Tetap saja air tak ada yang keluar. Begitu terus berulang dan bergeser hingga ke toliet yang paling ujung, tetap nihil.
Saking kesalnya sang kiai berteriak sangat keras. "Dasar toilet kafir!" sambil memasukkan burungnya ke dalam celana.
Tentu saja teriakan sang kiai tersebut membuat kaget orang lain yang berada di rest room. Mereka akhirnya paham apa yang menjadi sumber kejengkelan sang kiai udik tersebut.
Rupanya sang kiai tersebut tidak tahu bahwa toilet di hotel berbintang itu bekerja dengan sistem sensor. Artinya, toilet baru mengeluarkan air setelah pemakainya menjauh.
Dan benar saja, saat kiai tersebut menjauh, toilet menggelontorkan air dengan suara gemuruh. Pak kiai menolah dan kembali berteriak kesal, "Masya Allah, ana udah dia baru kerluar, bener-bener kafir!"
Tentu saja gerutuan sang kiai tersebut membuat orang-orang di sekitarnya tersenyum simpul.
Beberapa isu dalam buku ini kebanyakan sudah menjadi konsumsi publik dan menjadi laporan utama di media massa. Tulisan berjudul Peneliti Kebal misalnya menceritakan tentang Laboratorium Namru di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, yang mengundang kontroversi.
Namun Namru dalam buku ini diplesetkan menjadi Maritime and Navigation Research Unit (Manru). Sebuah lembaga riset milik Angkatan Laut Amerika Serikat yang penelitinya memiliki kekebalan diplomatik dan tak bisa dijamah.
Cerita lain di balik isu mutakhir yang menjadi konsumsi publik tetapi tidak terungkap di media massa juga muncul secara segar dalam tulisan Calon IndependenInterpelasiSim Salabim Air Jadilah Minyak,Era Keterbukaan (Dan Buka-bukaan) serta Nuklir No, Jalan-jalan Yes.
Menariknya, sang pengarang buku tidak hanya menyamarkan nama-nama pelaku tetapi juga dengan cerdas dan menggelitik memplesetkan nama-nama lembaga dan produk hukum di DPR.
Misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diplesetkan menjadi Badan Pembasmi Suap Menyuap (BPSM), RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi menjadi Rencana Undang-undang Anti Pembeberan Aurat dan Pembeberan Syahwat (RUU APAPS), Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi Badan Bisnis Negara Indosiasat (BBNI), atau Badan Kehormatan DPR menjadi Majelis Pertimbangan Martabat.
Sebuah buku yang enak dibaca, lancar, mengalir dan tentu saja renyah. Saya jamin Anda akan tertawa sendiri saat membaca buku ini.
Penyunting Akmal Nasery Basral yang juga wartawan majalah Tempo sangat besar "jasanya" sehingga tulisan ini menjadi "enak dibaca dan perlu" (seperti tagline Tempo), termasuk kecerdikannya mencari istilah-itilah asosiatif untuk lembaga-lembaga resmi pemerintah dan DPR.
Buku yang layak dibaca oleh anggota DPR untuk berkaca dan menertawakan diri sendiri. Layak dicermati anggota LSM dan pengamat kebijakan publik untuk menilai dan mengevalusi kinerja Dewan. Juga, patut dibaca warga masyarakat untuk hati-hati dalam memilih wakilnya di Parlemen menjelang Pemilu dan Pilpres 2009.
Penerbitan buku ini sangat aktual dan tepat di saat anggota DPR diterpa badai krisis moral mulai dari masalah pelecehan seksual, makelar kasus (markus), suap dana aliran BI Rp 31,5 miliar yang menyeret besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan suap pengalihan hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepualauan Riau serta Tanjungapiapi, Sumatra Selatan.
 =======
Yayat R Cipasang,  Direktur Eksekutif Institute for Press and Cultural Studies (IPCS). Lahir dan dibesarkan di sebuah udik di Priangan Timur, tepatnya di Ciamis, 29 Maret 1973. Sejumlah tulisan berupa feature, resensi buku, dan artikel dimuat di Media Indonesia, Republika, Pikiran Rakyat, Waspada, Sinar Harapan, Suara Karya, Berita Buana, Tabloid Wanita Indonesia, Majalah Pantau, Jurnal Demokrasi Sosial FES dan Reader's Digest Indonesia. [kangyayat@gmail.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...