A. Latar
Belakang
Esensi dari perjanjian masyarakat
ini adalah menemukan satu bentuk kesatuan, yang membela dan melindungi
kekuasaan bersama, di samping kekuasaan pribadi dan milik setiap individu.
Dengan demikian terciptalah suatu kesatuan diantara anggota masyarakat.
Meskipun demikian hak-hak setiap individu tetap dihormati, sehingga kebebasan
setiap individu ini tetap terjamin. [1]
Persamaan dan perbedaan negara-negara
di dunia dapat dilihat dari sistem pemerintahannya yang terdiri atas parlementer,
presidentil, quasi parlementer presidentil, diktator. Bentuk negaranya adalah serikat,
kesatuan, persatuan, dan bentuk pemerintahannya adalah republik, kerajaan:
absolut/berkonstitusi. Sistem badan perwakilan rakyatnya terdiri dari satu
kamar dan dua kamar.
Negara yang menganut sistem negara
hukum dan teori kedaulatan rakyat dalam konsep pemerintahannya menggunakan
konstitusi, atau undang-undang dasar sebagai norma hukum yang tertinggi
disamping norma hukum yang lain.[2]
Secara teori dapat dikatakan, bahwa
semua bangsa bernegara menuangkan pokok-pokok pandangan, pendirian, prinsip
konseptual mengenai pengelolaan kehidupan mereka di dalam bentuk konstitusi
baik tertulis (written constitution)
atau tidak tertulis. Umumnya mengemukakan latar belakang hasrat bernegara,
landasan filosofis kenegaraan, tujuan negara, struktur organisasi, dan
mekanisme pemerintahan negara yang diinginkan oleh bangsa yang mendirikan dan
mempertahankan negara itu.[3]
Negara yang konstitusional
digambarkan sebagai negara dengan fungsi normatif tertentu, yakni perlindungan
bagi hak asasi manusia, serta pengendalian dan pengaturan kekuasaan.
Konstitusionalisme merupakan suatu paham yang membatasi tugas pemerintah
melalui suatu konstitusi. [4]
(Taufiqurrohman Syahuri, 2004:15).
Perbedaan sistem pemerintahan suatu
negara, tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Kranenburg
seorang pakar ketatanegaraan yang berkebangsaan Perancis ada beberapa faktor
yang menyebabkan adanya bermacam-macam bentuk atau sistem ketatanegaraan yaitu:
adanya syarat-syarat atau faktor-faktor baik yang bersifat umum (syarat atau
faktor yang terdapat pada semua negara) maupun syarat-syarat atau faktor-faktor
yang bersifat khusus (syarat atau faktor yang terdapat pada satu negara saja).
Perkembangan
yang berkenaan dengan lembaga-lembaga khusus seperti Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara
Negara (KPKPN), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR), dan sebagainya merupakan bentuk tahap kedua dari gaung
demokrasi di Indonesia, yang sebelumnya didahului dengan bentuk kesadaran yang
makin kuat bahwa peran badan-badan Negara tertentu seperti organisasi tentara,
organisasi kepolisian, kejaksaan agung, serta bank sentral haruslah
dikembangkan dengan independen. Yang menjadi harapan kita semua, memang komisi-komisi atau
lembaga-lembaga seperti ini bersifat independen dan seringkali multifungsi.
Undang-Undang Dasar adalah sumber
utama dari norma-norma hukum tata negara. Sejalan dengan definisi hukum tata
negara, undang-undang dasar juga memuat norma-norma yang mengatur struktur
pemerintahan negara. Secara rinci dikatakan, bahwa Undang-Undang Dasar mengatur
bentuk dan susunan negara, alat perlengkapannya di pusat dan di daerah,
mengatur tugas-tugas alat perlengkapan itu serta hubungannya satu sama lain.
Sejak
reformasi, kelembagaan yang ada di Indonesia dinilai oleh para pakar tata negara kita tidak memiliki desain yang jelas.
Masing-masing tidak taat pada konstitusionalismenya. Pemerintah selalu
mengatakan bahwa setelah adanya amandemen undang-undang dasar (UUD) 1945 kita
menganut antara lain prinsip ‘checks and balances’ akan tetapi
kenyataanya prinsip tersebut tidak sepenuhnya diikuti dalam sistem yang kita
bangun melalui perubahan UUD 1945. Akan tetapi, seiring dengan banyaknya
lembaga dan memiliki kemiripan wewenang, hal ini kemudian menimbulkan polemik
tersendiri
Setelah diamandemen di Tahun 2002
kita ketahui adanya alat-alat perlengkapan negara seperti MPR, DPR, DPD,
Presiden, Menteri-menteri, Badan Pemeriksa Keuangan, MA, dan MK.
Dijelaskan pula dalam Undang-undang
Dasar itu, tugasnya masing-masing serta hubungannya antara MPR dengan DPR, DPD,
dan dengan Presiden. Hubungan antara MPR DPR dan DPD, Presiden dengan
Menteri-menteri, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Amandemen UUD 1945 juga melahirkan
sebuah lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi
(MK) dengan wewenang tertentu (pasal 24C ) yakni; menguji undang - undang
terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, serta memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pembentukan MK adalah sejalan dengan
dianutnya paham Negara hukum dalam UUD 1945, yang harus menjaga paham
konstitusional, yang artinya tidak boleh ada undang-undang dan peraturan perundang-undangan
lainnya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Mahkamah Agung sebagai
lembaga yudikatif yang memang telah ada sebelumnya, pada periode ini pengusulan
calon hakim agung dilakukan oleh komisi yudisial dengan persetujuan DPR sebagai
representasi kedaulatan rakyat dalam menentukan siapa yang tepat menjadi hakim
agung sesuai dengan aspirasi dan kepentingan rakyat untuk memperoleh kepastian
dan keadilan. Selain MK lembaga baru dibidang yudikatif yang dibentuk adalah
Komisi Yudisial (KY) yang berwenang mengusulkan hakim agung, dan wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim (24B UUD 1945 ).
Pada bab IX Kekuasaan Kehakiman
Pasal 24 ayat (2) kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan meliter, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Seiring dengan perubahan itu, untuk
menjalankan wewenang dan tugas kehakiman, maka dibentuklah Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 mempunyai tugas sebagai berikut:
1.
Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
2.
Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
3.
Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi;
4.
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana
korupsi; dan
5.
Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Serta dengan melaksanakan tugas koordinasi KPK berwewenang:
1.
mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi;
2.
menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
3.
meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
4.
melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi
yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
5.
meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak
pidana korupsi.
Beberapa
lembaga negara setelah Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen di situ jelas
disebutkan, namun berbeda dengan KPK, yang di dalam konstitusi tidak jelas
keberadaannya, tetapi ditataran praktek KPK telah memerankan peran yang begitu
kuat. Sehingga ada anggapan dari para pengamat hukum mensinyalir adanya benturan-benturan
kewenangan antar lembaga negara dibidang hukum. Khususnya antara Polri,
Kejaksaan, Kehakiman dan KPK.
Permasalahan
yang terkait dengan komisi pemberantasan korupsi (KPK), tidak jauh berbeda
dengan kasus yang pernah
terjadi di antar lembaga di negeri ini. Salah satunya adalah kerancuan dalam
pembagian wewenangnya. Yaitu, bahwa KPK memiliki kesamaan wewenang dengan
lembaga-lembaga lain terkait dengan penanganan kasus serupa, diantaranya adalah kekuasaan dalam
mengawasi lembaga lain. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis
hanya akan fokus dalam pembahasan-pembahasan permasalahan yang berkaitan dengan
wewenang KPK dalam
mengawasi lembaga-lembaga lain.
Dengan
melihat peraturan peraturan yang ada tentang tugas serta wewenang dari KPK,
setidaknya menyiratkan pertanyaan, tidakkah keberadaan KPK dengan tugas serta
wewenangnya itu berbenturan dengan undang-undang lain? Seperti Undang-undang No.
20 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan RI, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kehakiman. Sudah
sinkronkah undang-undang yang ada di negara ini?
Kita sepakat supremasi hukum harus
di tegakkan. Tapi semua itu harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di
negara ini. Jangan sampai kita menegakkan hukum dengan melanggar hukum, tentu
ini bukan harapan kita semua.
Berdasarkan latar belakang masalah
di atas, penulis tertarik untuk membahas tentang bagaimana sesungguhnya Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam Menjalankan Fungsi Pengawasan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di
atas, maka penulis mencoba membahas tentang:
1.
Apakah
Pengertian dan Landasan Teoritis Pengawasan Terhadap Pemerintah?
2.
Bagaimanakah
Kedudukan KPK dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia?
3.
Apa tujuan, Tugas dan Wewenang KPK?
4.
Seperti
Apakah Fungsi Pengawasan yang Dilakukan oleh KPK?
Pengertian dan Landasan Teoritis Pengawasan Terhadap
Pemerintah
Kata
pengawasan berasal dari kata awas, berarti antara lain “penjagaan”. Istilah
pengawasan dikenal dalam ilmu manajemen dan ilmu administrasi yaitu sebagai
salah satu unsur dalam kegiatan pengelolaan. George R. Terry menggunakan
istilah “control” sebagai mana yang
dikutip oleh Muchsan, artinya adalah: Pengawasan adalah menentukan apa yang
telah dicapai, mengevaluasi dan menerapkan tindakan korektif, jika perlu,
memastikan dengan hasil sesuai rencana. [5]
Sebagai
reaksi terhadap kekuasaan tiada batas, berkembang ajaran yang mengharuskan
suatu kekuasan dalam negara dibatasi dan diawasi. Salah satunya adalah gagasan
demokrasi konstitusional yang mengharuskan kekuasaan dilakukan oleh
setidak-tidaknya atas kehendak dari rakyat dan dibatasi kekuasaannya oleh suatu
konstitusi atau hukum dasar.
Berdasarkan
antara asas persamaan antara manusia dan warga negara, tidak ada orang atau
kelompok orang yang begitu saja berhak untuk memerintah orang lain, kecuali
atas penugasan dan persetujuan warga masyarakat sendiri. Sungguhpun demikian kekuasaan
dibatasi oleh hak-hak asasi semua anggota masyarakat di bawah ketentuan
konstitusi dan hukum.
Konsep
negara hukum Indonesia sedikit banyak tidak lepas dari pengaruh perkembangan
konsep negara hukum di dunia, terutama rechsstaat
dan the rule of law. Intinya menurut Sri Sumantri adalah:
1.
Bahwa pemerintah dalam melaksankan
tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum dan peraturan
perundang-undangan;
2.
Adanya jaminan terhadap hak-hak
asasi manusia (warga negara);
3.
Adanya pembagian kekuasaan negara;
4.
Adanya pengawasan dari badan-badan
peradilan.
Kandungan
dari rumusan ini pada dasarnya memuat beberapa unsur, yaitu: Pertama yang juga dikenal dengan asas
legalitas, yaitu pemerintah menurut undang-undang. Setipa tindakan pemerintah
harus berdasarkan undang-undang atau undang-undang dasar.
Kedua mengharuskan adanya jaminan hak-hak asasi manusia
atau warga negara dicantumkan dalam undng-undang dasar. Ketiga Keharusan adanya pembagian kekuasaan negara. [6]
Kedudukan KPK dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
Untuk mengetahui bagaimana kedudukan
KPK sebagai komisi pembantu negara dalam sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia, perlu mengkaji aturan hukum yang menjadi dasar pembentukan KPK. Di
dalam aturan-aturan hukum (UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang, dan lain
sebagainya) itulah biasanya kedudukan sebuah institusi dirumuskan.
Pembahasan masalah kedudukan KPK
dalam sistem ketatanegaraan menjadi sangat penting tatkala komisi ini akan
melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya sebagai lembaga pembantu negara yang
di sekelilingnya telah berdiri lembaga-lembaga negara dengan kedudukannya yang
jelas satu sama lain. Strategis tidaknya sebuah komisi akan sangat ditentukan
oleh kuat lemahnya kedudukan komisi tersebut dibandingkan lembaga-lembaga
negara yang lain. Bagian ini akan melihat apakah komisi negara seperti KPK,
memiliki kedudukan yang jelas. Dalam lingkup yang lebih luas, juga akan dilihat
apakah komisi negara ini berkedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga negara
yang lain seperti Presiden, DPR, MPR, dan lain-lain, atau merupakan subordinate dari lembaga-lembaga negara
tersebut.
Pembentukan KPK bukanlah dibentuk
dengan secara tiba-tiba. KPK dibentuk tanggal 27 Desember 2002 pada masa
kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri, sekalipun gagasan perlunya lembaga
ini dibentuk telah lahir pada masa kepemimpinan Presiden B.J. Habibie.
Jika kita menyimak ke belakang,
kelahiran KPK merupakan amanat dari UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberatasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana tercantum dalam Pasal 43 ayat (1) yang
menyatakan, dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi paling
lambat dua tahun sejak Undang-Undang ini di undangkan (tanggal 21 November
2001). Selain merupakan amanat UU No.21/2001, argumetasi lain yang dapat
dijadikan dasar dibentuknya KPK adalah untuk mensubstitusi fungsi Kejaksaan RI
dan Kepolisian Negara RI (Polri) yang dinilai tidak fungsional dan tidak
menunjukkan keseriusan dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia selama ini.
Dan berdasarkan Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi, KPK memiliki tugas dan kewenangan untuk koordinasi dengan instansi
yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi,
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan
melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Perlu diketahui, jika ditinjau dari
aspek historis pemberantasan korupsi di Indonesia, KPK bukanlah institusi
pertama yang pernah dibentuk untuk memberantas korupsi di Indonesia. Sejarah
mencatat sejak periode tahun 1967-2002, setidaknya sudah delapan lembaga/tim
pemberatasan tindak pidana korupsi pernah dibentuk sebagai upaya pemberantasan
korupsi. Dulu pada masa Orde Baru (Orba) pembentukan lembaga/tim pemberantasan
korupsi mulai dibentuk pertama kali pada tanggal 2 desember 1967, melalui
Keppres No. 228/1967 nama Tim Pemberantas Korupsi. Lembaga/tim kedua, dibentuk
melalui Keppres No. 12/1970 tertanggal 31 Januari 1970 nama tim Komisi Empat.
Lembaga/tim ketiga, dibentuk tahun 1970 nama tim Komite Anti Korupsi (KAK).
Lembaga/tim keempat, dibentuk tahun 1977 melalui Inpres No. 9/1977 nama tim
OPSTIB. Lembaga/tim kelima, pada tahun 1982 Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)
dihidupkan lagi. Namun ironisnya Keppres yang mengatur lebih lanjut mengenai
tugas dan kewenangan TPK ini tidak pernah terealisasi.
Selanjutnya, pada masa reformasi atas desakkan dan tekanan dari rakyat serta untuk melancarkan pemberantasan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang begitu hebat dimasa pemerintahan Orba, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan penyempurnaan atas UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya dibentuklah lembaga/tim keenam, melalui Keppres No. 127 tahun 1999, nama tim Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Lembaga/tim ketujuh, dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2000 nama tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi (TGTPK). Terakhir, setelah pembubaran TGTPK dibentuk lembaga/tim yang kedelapan, berdasarkan UU No.30/2002 dengan nama Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK).
Selanjutnya, pada masa reformasi atas desakkan dan tekanan dari rakyat serta untuk melancarkan pemberantasan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang begitu hebat dimasa pemerintahan Orba, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan penyempurnaan atas UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya dibentuklah lembaga/tim keenam, melalui Keppres No. 127 tahun 1999, nama tim Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Lembaga/tim ketujuh, dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2000 nama tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi (TGTPK). Terakhir, setelah pembubaran TGTPK dibentuk lembaga/tim yang kedelapan, berdasarkan UU No.30/2002 dengan nama Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK).
Berdasarkan landasan hukum pembentukannya, KPK
dibentuk dengan Undang-undang. Menurut UU No. 30/2002, KPK merupakan lembaga
negara yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Artinya
KPK adalah sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan sebagaimana diatur
dalam undang-undang. Dengan lain perkataan, KPK adalah lembaga negara lain
disamping lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar.
Oleh karena UUD 1945 tidak lagi
membedakan antara lembaga tinggi dan tertinggi negara, maka lembaga-lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 merupakan lembaga-lembaga
yang memiliki kedudukan sejajar satu sama lain. KPK sendiri yang kewenangannya
diberikan oleh undang-undang, sepanjang kewenangan itu tidak bertentangan
dengan UUD, maka harus dipandang sebagai lembaga negara yang berkedudukan
sejajar dengan lembaga-lembaga negara lain seperti MPR, Presiden, DPR, dan
lain-lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
Tujuan, Tugas Dan Wewenang KPK
Pembentukan Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi atau yang lebih dikenal dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) melalui UU No. 30/2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. Lahirnya KPK merupakan implementasi dari
UU No. 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang explicitly menghendaki dibentuknya
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi paling lambat dua tahun sejak
undang-undang ini diberlakukan. Pembentukan KPK melalui sebuah undang-undang
ini mengindikasikan betapa seriusnya upaya yang diiakukan pemerintah sehingga
perlu melibatkan lembaga legislatif (DPR) dalam memberantas korupsi di Indonesia.
Dengan lain perkataan, upaya pemberantasan korupsi merupakan political decision yang dibuat
pemerintah bersama-sama dengan DPR dalam sebuah undangundang.
Sekalipun pembentukannya mengalami
setahun lebih keterlambatan sejak diberlakukannya UU No. 31/1999, banyak pihak
yang menaruh harapan besar terhadap KPK sebagai lembaga yang mampu memberantas
korupsi secara efektif dan efisien. Bukan hanya karena kedudukannya yang sangat
kuat karena dibentuk dengan undang-undang, tapi juga karena lembaga yang disebut
superbody ini memiliki
kewenangan extra ordinary dalam
pemberantasan korupsi mulai dari penyelidikan sampai penuntutan. Dengan
kewenangan yang luar biasa ini diharapkan KPK mampu memainkan peran yang besar
sebagai lembaga penyelidik, penyidik, dan penuntut dalam kasus korupsi.
Diberikannya kewenangan yang pada prinsipnya masih dimiliki kejaksaan dan
kepolisian ini pada sisi lain juga menunjukkan betapa strategisnya kedudukan
KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di republik ini.
Seiring
dengan perubahan itu, untuk menjalankan wewenang dan tugas kehakiman, maka
dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berdasarkan UU No 30 Tahun
2002 mempunyai tugas sebagai berikut:
6.
Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
7.
Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
8.
Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi;
9.
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana
korupsi; dan
10.
Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Serta dengan melaksanakan tugas koordinasi KPK berwewenang:
6. mengkoordinasikan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
7. menetapkan sistem pelaporan dalam
kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
8. meminta informasi tentang kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
9. melaksanakan dengar pendapat atau
pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi; dan
10.
meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak
pidana korupsi.
Fungsi Pengawasan yang Dilakukan oleh
KPK
Sebagai institusi
pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini tidak hanya memfokuskan
kepada upaya penindakan kasus tindak pidana korupsi tetapi juga mulai concern dengan
upaya-upaya pencegahan melalui perbaikan sistem pengawasan disejumlah lembaga
negara.
Bentuk pengawasan yang
dilakukan oleh KPK dalam menjalankan tugasnya untuk dalam menjalankan fungsi
pengawasan adalah:
- Insfeksi Mendadak
(Sidak)
Dalam menjalankan fungsi ini
KPK mempunyai dasar hukum yang jelas. Dimana dalam Pasal 14 UU No. 30/2002 disebutkan
KPK berwenang melakukan kajian administrasi pada lembaga negara. Dan apabila
sistem yang ada pada lembaga negara tersebut dipandang corrupt, KPK bisa
menyarankan perubahannya. Tentang sidak diatur dalam Pasal 8 UU No. 30/2002
dimana KPK berwenang melakukan pengawasan atau supervisi kepada lembaga yang
melakukan pelayanan publik. Pengawasan itu bisa dalam bentuk sidak. Pengawasan
atau penelitian dilakukan kepada lembaga-lembaga yang melakukan pelayanan
publik.
Sejak pertengahan 2007 KPK sudah
lakukan pemetaan tidak hanya di Depkeu. KPK menggunakan berbagai macam cara
dalam melakukan pemetaan dan itu dilakukan oleh direktorat monitor dan direktorat
litbang. Direktorat litbang bertugas melakukan studi secara umum untuk
membedakan instansi-instansi mana yang kira-kira masih terjadi transaksi
suap-menyuap.
Direktorat monitor mendalami
sistemnya yang dikaji secara detail sampai kepada modus operandi korupsi di
sektor-sektor tertentu. Kemudian KPK lalu menyarankan perbaikan. Kalau saran
perbaikannya tidak dilakukan KPK bisa melakukan shock therapy.
- Kerja
sama
Dengan amanat Undang-undang,
KPK dapat melakukan kerja sama dengan berbagai instansi. Sampai saat ini KPK sudah
melakukan kajian administrasi atau kajian sistem itu di beberapa instansi.
Bentuk kerjasama itu bisa dilakukan
dalam bentuk: memberikan bantuan audit investigatif, penyerahan kasus yang
berindikasi tindak pidana korupsi, bantuan perhitungan kerugian keuangan negara,
pemberian keterangan ahli, program pencegahan korupsi, sosialisasi program anti
korupsi, pendidikan dan pelatihan pertukaran infomasi terkait kasus tindak
pidana korupsi.
Dalam menjalin kerjasama itu
antara KPK dengan instansi lain tidak harus didasari MoU karena kewenangannya sudah
diatur didalam pasal UU tadi, MoU hanyalah sebagai pendukung saja.
- Fokus
Pengawasan
Untuk perbaikan sistem akan
dilakukan dimana saja. Salah satu diantaranya
adalah lebih memfokuskan pada bidang pelayanan publik seperti perizinan,
kesehatan, dan pendidikan. Seperti kita ketahui bahwa
di setiap instansi punya layanan banyak dan semua layanan itu pasti tidak
serupa. Kita bisa ambil contoh di Departemen Keuangan ada pelayanan pajak, bea
cukai, dan anggaran. Namun yang terpenting adalah semua sistem yang masih
dianggap kurang bagus dan banyak timbul peluang korupsi, maka KPK bisa
menyarankan perbaikan disana.
- Prioritas
Pengawasan
Pada dasarnya semua lembaga
patut untuk diawasi, karena dalam pemetaan KPK, di lembaga yang sistemnya
kurang baik maka itu jadi prioritas KPK. Akan tetapi biasanya KPK mulai kepada
instansi yang pelayanannya paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat dan
instansi-instansi yang sudah men-decfare bahwa instansi tersebut sudah
melakukan reformasi birokrasi.
Tidak harus selalu sama
dengan sidak contoh kasus di KPU Bea Cukai Tanjung Priok. Penanganannya tidak harus
sama dengan sidak semacam itu. KPK bisa menyesuaikan dengan modus operandi
korupsi yang ada di instansi yang bersangkutan. Jadi sidak bisa KPK lakukan
karena modusnya menerima amplop, terus uangnya ditaruh dilaci dan mobil. Untuk membuktikan
apakah uangnya ditaruh di laci atau di mobil, KPK kemudian melakukan sidak. Untuk
memastikan hal kasus seperti ini, tentang apa betul transaksinya ditempat
parkir, dan kamar mandi? Kalau ternyata betul KPK lakukan perbaikan dengan cara sidak karena
sistem di Ditjen Bea Cukai sudah diperbaiki dengan membentuk KPU.
Kesimpulan
Keberadaan KPK menjadi harapan kita
semua dalam memberatas tindak pidana korupsi, termasuk peranannya dalam
mengawasi lembaga-lembaga negara. Ini merupakan langkah positif dalam rangka usaha pencegahan korupsi. Sehingga paling tidak
dengan usaha pengawasan ini segala bentuk tindakan ynag berbau korup bisa
diminimalisir.
Di samping itu badan pegawasan
internal seperti Inspektorat Jenderal (Itjen) dan Bawasda, idealnya bisa
bekerja secara independen. Peningkatan fungsi pengawasan internal, juga perlu
dilakukan karena praktik korupsi selama ini banyak terjadi di departemen dan
instansi pemerintah. Ini dilakukan untuk melakukan pencegahan.
Budaya
kerja aparatur negara di badan pengawas internal menjadi salah satu kendala
peningkatan kinerja badan pengawas. Kinerja badan pengawas internal yang tidak
baik akan berdampak buruk pada pemberantasan korupsi.
Daftar
Pustaka
Antonius
Sujata, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Jakarta: Djambatan
Emeritus
John Gilissen, 2004, Sejarah Hukum, Bandung: Refika Aditama
Irfan
Fachruddin, 2004, Pengawasab Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, Bandung, P.T. Alumni
Muchsan,
1992, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata
Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta, Liberty
R.
Wiyono, 2005, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Ngunut: Sinar Grafika
Sudikno
Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty
Sudikno
Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty
Soetandyo
Wignjosoebroto, 2004, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia
Belanda, Surabaya: Bayumedia
Solly
Lubis, 2008, Hukum Tata Negara, Bandung, Mandar Jaya Maju
Satjipto
Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Semarang: PT. Citra Aditya Bakti
Taufiqurrohman
Syahuri, 2004, Hukum Konstitusi, Jakarta: Ghalia Indonesia
Ridaksi
Sinar Grafika, 2006, Himpunan Peraturan Tentang Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika
Undan-Undang
No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Undang-Undang
No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejakasaan Republik Indonesia
Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang
No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
[1] Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, 1992, hal 1
[3] M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandar
Maju, 2008, hal.1
[4] Ibit
[5] Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap
Tindakan Pemerintah, P.T. Alumni
Bandung, 2004, hal 88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...