Selasa, 26 Juni 2012

Fungsi KPK dalam Mengawasi Reformasi Hukum di Indonesia


A. Latar Belakang
Esensi dari perjanjian masyarakat ini adalah menemukan satu bentuk kesatuan, yang membela dan melindungi kekuasaan bersama, di samping kekuasaan pribadi dan milik setiap individu. Dengan demikian terciptalah suatu kesatuan diantara anggota masyarakat. Meskipun demikian hak-hak setiap individu tetap dihormati, sehingga kebebasan setiap individu ini tetap terjamin. [1]
Persamaan dan perbedaan negara-negara di dunia dapat dilihat dari sistem pemerintahannya yang terdiri atas parlementer, presidentil, quasi parlementer presidentil, diktator. Bentuk negaranya adalah serikat, kesatuan, persatuan, dan bentuk pemerintahannya adalah republik, kerajaan: absolut/berkonstitusi. Sistem badan perwakilan rakyatnya terdiri dari satu kamar dan dua kamar.
Negara yang menganut sistem negara hukum dan teori kedaulatan rakyat dalam konsep pemerintahannya menggunakan konstitusi, atau undang-undang dasar sebagai norma hukum yang tertinggi disamping norma hukum yang lain.[2] 
Secara teori dapat dikatakan, bahwa semua bangsa bernegara menuangkan pokok-pokok pandangan, pendirian, prinsip konseptual mengenai pengelolaan kehidupan mereka di dalam bentuk konstitusi baik tertulis (written constitution) atau tidak tertulis. Umumnya mengemukakan latar belakang hasrat bernegara, landasan filosofis kenegaraan, tujuan negara, struktur organisasi, dan mekanisme pemerintahan negara yang diinginkan oleh bangsa yang mendirikan dan mempertahankan negara itu.[3]
Negara yang konstitusional digambarkan sebagai negara dengan fungsi normatif tertentu, yakni perlindungan bagi hak asasi manusia, serta pengendalian dan pengaturan kekuasaan. Konstitusionalisme merupakan suatu paham yang membatasi tugas pemerintah melalui suatu konstitusi. [4] (Taufiqurrohman Syahuri, 2004:15).
Perbedaan sistem pemerintahan suatu negara, tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut  Kranenburg seorang pakar ketatanegaraan yang berkebangsaan Perancis ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya bermacam-macam bentuk atau sistem ketatanegaraan yaitu: adanya syarat-syarat atau faktor-faktor baik yang bersifat umum (syarat atau faktor yang terdapat pada semua negara) maupun syarat-syarat atau faktor-faktor yang bersifat khusus (syarat atau faktor yang terdapat pada satu negara saja).
Perkembangan yang berkenaan dengan lembaga-lembaga khusus seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan sebagainya merupakan bentuk tahap kedua dari gaung demokrasi di Indonesia, yang sebelumnya didahului dengan bentuk kesadaran yang makin kuat bahwa peran badan-badan Negara tertentu seperti organisasi tentara, organisasi kepolisian, kejaksaan agung, serta bank sentral haruslah dikembangkan dengan independen. Yang menjadi harapan kita semua, memang komisi-komisi atau lembaga-lembaga seperti ini bersifat independen dan seringkali multifungsi.
Undang-Undang Dasar adalah sumber utama dari norma-norma hukum tata negara. Sejalan dengan definisi hukum tata negara, undang-undang dasar juga memuat norma-norma yang mengatur struktur pemerintahan negara. Secara rinci dikatakan, bahwa Undang-Undang Dasar mengatur bentuk dan susunan negara, alat perlengkapannya di pusat dan di daerah, mengatur tugas-tugas alat perlengkapan itu serta hubungannya satu sama lain.
Sejak reformasi, kelembagaan yang ada di Indonesia dinilai oleh para pakar tata negara  kita tidak memiliki desain yang jelas. Masing-masing tidak taat pada konstitusionalismenya. Pemerintah selalu mengatakan bahwa setelah adanya amandemen undang-undang dasar (UUD) 1945 kita menganut antara lain prinsip ‘checks and balances’ akan tetapi kenyataanya prinsip tersebut tidak sepenuhnya diikuti dalam sistem yang kita bangun melalui perubahan UUD 1945. Akan tetapi, seiring dengan banyaknya lembaga dan memiliki kemiripan wewenang, hal ini kemudian menimbulkan polemik tersendiri
Setelah diamandemen di Tahun 2002 kita ketahui adanya alat-alat perlengkapan negara seperti MPR, DPR, DPD, Presiden, Menteri-menteri, Badan Pemeriksa Keuangan, MA, dan MK.
Dijelaskan pula dalam Undang-undang Dasar itu, tugasnya masing-masing serta hubungannya antara MPR dengan DPR, DPD, dan dengan Presiden. Hubungan antara MPR DPR dan DPD, Presiden dengan Menteri-menteri, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 
Amandemen UUD 1945 juga melahirkan sebuah lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dengan wewenang tertentu (pasal 24C ) yakni; menguji undang - undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, serta memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pembentukan MK adalah sejalan dengan dianutnya paham Negara hukum dalam UUD 1945, yang harus menjaga paham konstitusional, yang artinya tidak boleh ada undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif yang memang telah ada sebelumnya, pada periode ini pengusulan calon hakim agung dilakukan oleh komisi yudisial dengan persetujuan DPR sebagai representasi kedaulatan rakyat dalam menentukan siapa yang tepat menjadi hakim agung sesuai dengan aspirasi dan kepentingan rakyat untuk memperoleh kepastian dan keadilan. Selain MK lembaga baru dibidang yudikatif yang dibentuk adalah Komisi Yudisial (KY) yang berwenang mengusulkan hakim agung, dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (24B UUD 1945 ).
Pada bab IX Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat (2) kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan meliter, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Seiring dengan perubahan itu, untuk menjalankan wewenang dan tugas kehakiman, maka dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berdasarkan UU No 30 Tahun 2002  mempunyai tugas sebagai berikut:
1.         Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
2.         Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3.         Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
4.         Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
5.         Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Serta dengan melaksanakan tugas koordinasi KPK berwewenang:
1.             mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
2.             menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3.             meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
4.             melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
5.             meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Beberapa lembaga negara setelah Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen di situ jelas disebutkan, namun berbeda dengan KPK, yang di dalam konstitusi tidak jelas keberadaannya, tetapi ditataran praktek KPK telah memerankan peran yang begitu kuat. Sehingga ada anggapan dari para pengamat hukum mensinyalir adanya benturan-benturan kewenangan antar lembaga negara dibidang hukum. Khususnya antara Polri, Kejaksaan, Kehakiman dan KPK.
Permasalahan yang terkait dengan komisi pemberantasan korupsi (KPK), tidak jauh berbeda dengan kasus yang pernah terjadi di antar lembaga di negeri ini. Salah satunya adalah kerancuan dalam pembagian wewenangnya. Yaitu, bahwa KPK memiliki kesamaan wewenang dengan lembaga-lembaga lain terkait dengan penanganan kasus serupa, diantaranya adalah kekuasaan dalam mengawasi lembaga lain. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis hanya akan fokus dalam pembahasan-pembahasan permasalahan yang berkaitan dengan wewenang KPK dalam mengawasi lembaga-lembaga lain.
Dengan melihat peraturan peraturan yang ada tentang tugas serta wewenang dari KPK, setidaknya menyiratkan pertanyaan, tidakkah keberadaan KPK dengan tugas serta wewenangnya itu berbenturan dengan undang-undang lain? Seperti Undang-undang No. 20 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kehakiman. Sudah sinkronkah undang-undang yang ada di negara ini?
Kita sepakat supremasi hukum harus di tegakkan. Tapi semua itu harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di negara ini. Jangan sampai kita menegakkan hukum dengan melanggar hukum, tentu ini bukan harapan kita semua.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk membahas tentang bagaimana sesungguhnya Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Menjalankan Fungsi Pengawasan.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mencoba membahas tentang:
1.      Apakah Pengertian dan Landasan Teoritis Pengawasan Terhadap Pemerintah?
2.      Bagaimanakah Kedudukan KPK dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia?
3.      Apa tujuan, Tugas dan Wewenang KPK?
4.      Seperti Apakah Fungsi Pengawasan yang Dilakukan oleh KPK?

Pengertian dan Landasan Teoritis Pengawasan Terhadap Pemerintah
Kata pengawasan berasal dari kata awas, berarti antara lain “penjagaan”. Istilah pengawasan dikenal dalam ilmu manajemen dan ilmu administrasi yaitu sebagai salah satu unsur dalam kegiatan pengelolaan. George R. Terry menggunakan istilah “control” sebagai mana yang dikutip oleh Muchsan, artinya adalah: Pengawasan adalah menentukan apa yang telah dicapai, mengevaluasi dan menerapkan tindakan korektif, jika perlu, memastikan dengan hasil sesuai rencana.  [5]
Sebagai reaksi terhadap kekuasaan tiada batas, berkembang ajaran yang mengharuskan suatu kekuasan dalam negara dibatasi dan diawasi. Salah satunya adalah gagasan demokrasi konstitusional yang mengharuskan kekuasaan dilakukan oleh setidak-tidaknya atas kehendak dari rakyat dan dibatasi kekuasaannya oleh suatu konstitusi atau hukum dasar.
Berdasarkan antara asas persamaan antara manusia dan warga negara, tidak ada orang atau kelompok orang yang begitu saja berhak untuk memerintah orang lain, kecuali atas penugasan dan persetujuan warga masyarakat sendiri. Sungguhpun demikian kekuasaan dibatasi oleh hak-hak asasi semua anggota masyarakat di bawah ketentuan konstitusi dan hukum.
Konsep negara hukum Indonesia sedikit banyak tidak lepas dari pengaruh perkembangan konsep negara hukum di dunia, terutama rechsstaat dan the rule of law. Intinya menurut Sri Sumantri adalah:
1.      Bahwa pemerintah dalam melaksankan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan;
2.      Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
3.      Adanya pembagian kekuasaan negara;
4.      Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.
Kandungan dari rumusan ini pada dasarnya memuat beberapa unsur, yaitu: Pertama yang juga dikenal dengan asas legalitas, yaitu pemerintah menurut undang-undang. Setipa tindakan pemerintah harus berdasarkan undang-undang atau undang-undang dasar.
Kedua mengharuskan adanya jaminan hak-hak asasi manusia atau warga negara dicantumkan dalam undng-undang dasar. Ketiga Keharusan adanya pembagian kekuasaan negara. [6]
Kedudukan KPK  dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
Untuk mengetahui bagaimana kedudukan KPK sebagai komisi pembantu negara dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, perlu mengkaji aturan hukum yang menjadi dasar pembentukan KPK. Di dalam aturan-aturan hukum (UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang, dan lain sebagainya) itulah biasanya kedudukan sebuah institusi dirumuskan.
Pembahasan masalah kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan menjadi sangat penting tatkala komisi ini akan melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya sebagai lembaga pembantu negara yang di sekelilingnya telah berdiri lembaga-lembaga negara dengan kedudukannya yang jelas satu sama lain. Strategis tidaknya sebuah komisi akan sangat ditentukan oleh kuat lemahnya kedudukan komisi tersebut dibandingkan lembaga-lembaga negara yang lain. Bagian ini akan melihat apakah komisi negara seperti KPK, memiliki kedudukan yang jelas. Dalam lingkup yang lebih luas, juga akan dilihat apakah komisi negara ini berkedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang lain seperti Presiden, DPR, MPR, dan lain-lain, atau merupakan subordinate dari lembaga-lembaga negara tersebut.
Pembentukan KPK bukanlah dibentuk dengan secara tiba-tiba. KPK dibentuk tanggal 27 Desember 2002 pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri, sekalipun gagasan perlunya lembaga ini dibentuk telah lahir pada masa kepemimpinan Presiden B.J. Habibie.
Jika kita menyimak ke belakang, kelahiran KPK merupakan amanat dari UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana tercantum dalam Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan, dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi paling lambat dua tahun sejak Undang-Undang ini di undangkan (tanggal 21 November 2001). Selain merupakan amanat UU No.21/2001, argumetasi lain yang dapat dijadikan dasar dibentuknya KPK adalah untuk mensubstitusi fungsi Kejaksaan RI dan Kepolisian Negara RI (Polri) yang dinilai tidak fungsional dan tidak menunjukkan keseriusan dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia selama ini. Dan berdasarkan Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK memiliki tugas dan kewenangan untuk koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Perlu diketahui, jika ditinjau dari aspek historis pemberantasan korupsi di Indonesia, KPK bukanlah institusi pertama yang pernah dibentuk untuk memberantas korupsi di Indonesia. Sejarah mencatat sejak periode tahun 1967-2002, setidaknya sudah delapan lembaga/tim pemberatasan tindak pidana korupsi pernah dibentuk sebagai upaya pemberantasan korupsi. Dulu pada masa Orde Baru (Orba) pembentukan lembaga/tim pemberantasan korupsi mulai dibentuk pertama kali pada tanggal 2 desember 1967, melalui Keppres No. 228/1967 nama Tim Pemberantas Korupsi. Lembaga/tim kedua, dibentuk melalui Keppres No. 12/1970 tertanggal 31 Januari 1970 nama tim Komisi Empat. Lembaga/tim ketiga, dibentuk tahun 1970 nama tim Komite Anti Korupsi (KAK). Lembaga/tim keempat, dibentuk tahun 1977 melalui Inpres No. 9/1977 nama tim OPSTIB. Lembaga/tim kelima, pada tahun 1982 Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dihidupkan lagi. Namun ironisnya Keppres yang mengatur lebih lanjut mengenai tugas dan kewenangan TPK ini tidak pernah terealisasi.
Selanjutnya, pada masa reformasi atas desakkan dan tekanan dari rakyat serta untuk melancarkan pemberantasan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang begitu hebat dimasa pemerintahan Orba, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan penyempurnaan atas UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya dibentuklah lembaga/tim keenam, melalui Keppres No. 127 tahun 1999, nama tim Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Lembaga/tim ketujuh, dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2000 nama tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi (TGTPK). Terakhir, setelah pembubaran TGTPK dibentuk lembaga/tim yang kedelapan, berdasarkan UU No.30/2002 dengan nama Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK).
 Berdasarkan landasan hukum pembentukannya, KPK dibentuk dengan Undang-­undang. Menurut UU No. 30/2002, KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Artinya KPK adalah sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Dengan lain perkataan, KPK adalah lembaga negara lain disamping lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
Oleh karena UUD 1945 tidak lagi membedakan antara lembaga tinggi dan tertinggi negara, maka lembaga­-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 merupakan lembaga-lembaga yang memiliki kedudukan sejajar satu sama lain. KPK sendiri yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang, sepanjang kewenangan itu tidak bertentangan dengan UUD, maka harus dipandang sebagai lembaga negara yang berkedudukan sejajar dengan lembaga­-lembaga negara lain seperti MPR, Presiden, DPR, dan lain-lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
Tujuan, Tugas Dan Wewenang KPK
Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang lebih dikenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui UU No. 30/2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Lahirnya KPK merupakan implementasi dari UU No. 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang explicitly menghendaki dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi paling lambat dua tahun sejak undang-undang ini diberlakukan. Pembentukan KPK melalui sebuah undang-undang ini mengindikasikan betapa seriusnya upaya yang diiakukan pemerintah sehingga perlu melibatkan lembaga legislatif (DPR) dalam memberantas korupsi di Indonesia. Dengan lain perkataan, upaya pemberantasan korupsi merupakan political decision yang dibuat pemerintah bersama-sama dengan DPR dalam sebuah undang­undang.
Sekalipun pembentukannya mengalami setahun lebih keterlambatan sejak diberlakukannya UU No. 31/1999, banyak pihak yang menaruh harapan besar terhadap KPK sebagai lembaga yang mampu memberantas korupsi secara efektif dan efisien. Bukan hanya karena kedudukannya yang sangat kuat karena dibentuk dengan undang-undang, tapi juga karena lembaga yang disebut superbody ini memiliki kewenangan extra ordinary dalam pemberantasan korupsi mulai dari penyelidikan sampai penuntutan. Dengan kewenangan yang luar biasa ini diharapkan KPK mampu memainkan peran yang besar sebagai lembaga penyelidik, penyidik, dan penuntut dalam kasus korupsi. Diberikannya kewenangan yang pada prinsipnya masih dimiliki kejaksaan dan kepolisian ini pada sisi lain juga menunjukkan betapa strategisnya kedudukan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di republik ini.
Seiring dengan perubahan itu, untuk menjalankan wewenang dan tugas kehakiman, maka dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berdasarkan UU No 30 Tahun 2002  mempunyai tugas sebagai berikut:
6.    Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
7.    Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
8.    Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
9.    Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
10.               Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Serta dengan melaksanakan tugas koordinasi KPK berwewenang:
6.    mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
7.    menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
8.    meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
9.    melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
10.               meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.                                                                                                      
Fungsi Pengawasan yang Dilakukan oleh KPK
Sebagai institusi pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini tidak hanya memfokuskan kepada upaya penindakan kasus tindak pidana korupsi tetapi juga mulai concern dengan upaya-upaya pencegahan melalui perbaikan sistem pengawasan disejumlah lembaga negara.
Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh KPK dalam menjalankan tugasnya untuk dalam menjalankan fungsi pengawasan adalah:
  1. Insfeksi Mendadak (Sidak)
Dalam menjalankan fungsi ini KPK mempunyai dasar hukum yang jelas. Dimana dalam Pasal 14 UU No. 30/2002 disebutkan KPK berwenang melakukan kajian administrasi pada lembaga negara. Dan apabila sistem yang ada pada lembaga negara tersebut dipandang corrupt, KPK bisa menyarankan perubahannya. Tentang sidak diatur dalam Pasal 8 UU No. 30/2002 dimana KPK berwenang melakukan pengawasan atau supervisi kepada lembaga yang melakukan pelayanan publik. Pengawasan itu bisa dalam bentuk sidak. Pengawasan atau penelitian dilakukan kepada lembaga-lembaga yang melakukan pelayanan publik.
Sejak pertengahan 2007 KPK sudah lakukan pemetaan tidak hanya di Depkeu. KPK menggunakan berbagai macam cara dalam melakukan pemetaan dan itu dilakukan oleh direktorat monitor dan direktorat litbang. Direktorat litbang bertugas melakukan studi secara umum untuk membedakan instansi-instansi mana yang kira-kira masih terjadi transaksi suap-menyuap.
Direktorat monitor mendalami sistemnya yang dikaji secara detail sampai kepada modus operandi korupsi di sektor-sektor tertentu. Kemudian KPK lalu menyarankan perbaikan. Kalau saran perbaikannya tidak dilakukan KPK bisa melakukan shock therapy.

  1. Kerja sama
Dengan amanat Undang-undang, KPK dapat melakukan kerja sama dengan berbagai instansi. Sampai saat ini KPK sudah melakukan kajian administrasi atau kajian sistem itu di beberapa instansi.
Bentuk kerjasama itu bisa dilakukan dalam bentuk: memberikan bantuan audit investigatif, penyerahan kasus yang berindikasi tindak pidana korupsi, bantuan perhitungan kerugian keuangan negara, pemberian keterangan ahli, program pencegahan korupsi, sosialisasi program anti korupsi, pendidikan dan pelatihan pertukaran infomasi terkait kasus tindak pidana korupsi.
Dalam menjalin kerjasama itu antara KPK dengan instansi lain tidak harus didasari MoU karena kewenangannya sudah diatur didalam pasal UU tadi, MoU hanyalah sebagai pendukung saja.
  1. Fokus Pengawasan
Untuk perbaikan sistem akan dilakukan dimana saja.  Salah satu diantaranya adalah lebih memfokuskan pada bidang pelayanan publik seperti perizinan, kesehatan, dan pendidikan. Seperti kita ketahui bahwa di setiap instansi punya layanan banyak dan semua layanan itu pasti tidak serupa. Kita bisa ambil contoh di Departemen Keuangan ada pelayanan pajak, bea cukai, dan anggaran. Namun yang terpenting adalah semua sistem yang masih dianggap kurang bagus dan banyak timbul peluang korupsi, maka KPK bisa menyarankan perbaikan disana.
  1. Prioritas Pengawasan
Pada dasarnya semua lembaga patut untuk diawasi, karena dalam pemetaan KPK, di lembaga yang sistemnya kurang baik maka itu jadi prioritas KPK. Akan tetapi biasanya KPK mulai kepada instansi yang pelayanannya paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat dan instansi-instansi yang sudah men-decfare bahwa instansi tersebut sudah melakukan reformasi birokrasi.
Tidak harus selalu sama dengan sidak contoh kasus di KPU Bea Cukai Tanjung Priok. Penanganannya tidak harus sama dengan sidak semacam itu. KPK bisa menyesuaikan dengan modus operandi korupsi yang ada di instansi yang bersangkutan. Jadi sidak bisa KPK lakukan karena modusnya menerima amplop, terus uangnya ditaruh dilaci dan mobil. Untuk membuktikan apakah uangnya ditaruh di laci atau di mobil, KPK kemudian melakukan sidak. Untuk memastikan hal kasus seperti ini, tentang apa betul transaksinya ditempat parkir, dan kamar mandi? Kalau ternyata betul  KPK lakukan perbaikan dengan cara sidak karena sistem di Ditjen Bea Cukai sudah diperbaiki dengan membentuk KPU.
Kesimpulan
Keberadaan KPK menjadi harapan kita semua dalam memberatas tindak pidana korupsi, termasuk peranannya dalam mengawasi lembaga-lembaga negara. Ini merupakan langkah positif dalam rangka usaha  pencegahan korupsi. Sehingga paling tidak dengan usaha pengawasan ini segala bentuk tindakan ynag berbau korup bisa diminimalisir.  
Di samping itu badan pegawasan internal seperti Inspektorat Jenderal (Itjen) dan Bawasda, idealnya bisa bekerja secara independen. Peningkatan fungsi pengawasan internal, juga perlu dilakukan karena praktik korupsi selama ini banyak terjadi di departemen dan instansi pemerintah. Ini dilakukan untuk melakukan pencegahan.
Budaya kerja aparatur negara di badan pengawas internal menjadi salah satu kendala peningkatan kinerja badan pengawas. Kinerja badan pengawas internal yang tidak baik akan berdampak buruk pada pemberantasan korupsi.










Daftar Pustaka
Antonius Sujata, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Jakarta: Djambatan

Emeritus John Gilissen, 2004, Sejarah Hukum, Bandung: Refika Aditama

Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasab Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung, P.T. Alumni

Muchsan, 1992, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta, Liberty 

R. Wiyono, 2005, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Ngunut: Sinar Grafika 

Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty

Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty

Soetandyo Wignjosoebroto, 2004, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, Surabaya: Bayumedia

Solly Lubis, 2008, Hukum Tata Negara, Bandung, Mandar Jaya Maju

Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Semarang: PT. Citra Aditya Bakti
Taufiqurrohman Syahuri, 2004, Hukum Konstitusi, Jakarta: Ghalia Indonesia
Ridaksi Sinar Grafika, 2006, Himpunan Peraturan Tentang Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika
Undan-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejakasaan Republik Indonesia
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
  
[1] Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, 1992, hal 1
[2] Taufiqurrohman Syahuri,
[3] M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandar Maju, 2008, hal.1
[4] Ibit
[5] Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, P.T.  Alumni Bandung, 2004, hal 88

[6]  Ibit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...