Penelitian dan pengembangan merupakan prasyarat penting agar bangsa kita tidak tertinggal oleh bangsa lain di era globalisasi ini. Negara-negara maju telah membuktikan bahwa keberhasilan di bidang riset telah membawanya berada di depan dengan kualitas SDM dan daya saing yang sangat unggul. Bagi perguruan tinggi (PT), penelitian atau riset tentunya menjadi pilar utama, dharma kedua perguruan tinggi yang memiliki posisi strategis dalam melaksanakan fungsinya sebagai agen pembaharuan dan menjadi pelopor dalam upaya meningkatkan daya saing bangsa di dunia internasional.
Namun sayangnya, harapan itu masih jauh dari kenyataan.Negara kita masih kalah jauh dalam soal penelitian dibandingkan negara di kawasan ASEAN sekalipun.PT kita masih berada di belakang PT dunia yang menjadi pelopor dalam berbagai pembaharuan.Dosen atau peneliti kita memiliki budaya meneliti sangat rendah. Kondisi sangat memprihatinkan itu kelihatannya tidak jauh beda dengan LPTK seperti lembaga kita ini. Kenapa itu bisa terjadi?Apa yang harus kita lakukan?
Peringkat Peneliti Indonesia
Soal pentingnya penelitian pasti tak ada yang membantah. Harapan bahwa melalui penelitian kita akan bisa “unjuk gigi” dibanding kompetitor di luar sana baik di level universitas maupun negara tentunya ada.
Akan tetapi harapan itu ternyata belum mampu diwujudkan. Fakta dan kenyataan berbicara lain. Berdasarkan survei SCImago, publikasi berdasarkan hasil penelitian selama 13 tahun (1996-2008) hanya mencapai 9.194 tulisan atau 10,33%. Padahal jumlah dosen atau peneliti di perguruan tinggi saja sebanyak 89.022 orang.Dengan angka tersebut, posisi Indonesia berada di urutan ke-64 dari 234 negara yang disurvei, berada jauh di bawah Singapura (peringkat 31), Thailand (peringkat ke-42), dan Malaysia (peringkat 48).
Kondisi di atas sudah lama menjadi kerisauan banyak pihak.Prof . Dr Anna S. Soeparno, anggota Majelis Penelitian Pendidikan Tinggi, Komisi Pendidikan Depdikbud dan Dr. Arief Purnomo, pakar pendidikan LIPI merisaukan minat dan budaya meneliti mahasiswa dan dosen kita. Sedang, Arief Arihman, seorang pakar LIPI yang lain, menyoroti bahwa jumlah penelitian Indonesia jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah peneliti negara ASEAN yang lain. Menurut dia, kurikulum pendidikan tinggi perlu diperbarui atau diperbaiki seiring dengan perkembangan keilmuan.
Pandangan para pakar LIPI di atas tentu saja dapat dimaklumi.Kalau pun ditanyakan kepada para pakar di PT, pasti mereka mengamini. Jawaban setuju akan keluar, karena memang data dan fakta berbicara demikian. Akan tetapi jika ditanya tentang penyebabnya, mungkin saja keluar opini yang beragam, tergantung dari sudut mana mereka memandang.
Sangat menarik jawaban peneliti dan pegawai ristek yang ditanyakan tentang kenapa animo meneliti dosen atau peneliti itu rendah. Tudingan pertama diarahkan kepada pemerintah yang membiarkan penelitian seperti “kerakap tumbuh di batu” dengan dukungan dana seadanya. Sebagian yang lain mempersoalkan akar masalahnya terletak pada jebakan pragmatisme dosen atau peneliti untuk bertahan hidup denganpengorbanan profesi yang digelutinya. Muara dari pendapat terakhir itulah yang menjadikan 'penelitian adalah perkara uang, bukan ilmu atau inovasi'.Kelihatannya mungkin pendapat terakhir inilah yang perlu kita cermati lebih lanjut.
Penelitian Dosen di Persimpangan Jalan
Saya melihat kondisi itu sebagai suatu pilihan “keharusan” yang tidak bisa dipilih.“Penelitian dosen di persimpangan jalan”, begitu saya menyebutnya di ruang ini.Di satu sisi dosen memiliki tugas, tanggung jawab dan kewajiban akademis dalam dharma kedua yaitu melakukan penelitian. Namun untuk melaksanakannya perlu berpikir dua setengah kali, karena butuh biaya, tenaga dan pikiran. Kalau pun ada dana pemerintah, perlu upaya “ngotot” dan persaingan ketat untuk mendapatkannya melaui hibah kompetisi. Sementara di sisi lain desakan berbagai kebutuhan hari ke hari mengharuskan dosen bekerja keras mencari penghasilan tambahan yang “tembak tupai’ alias cepat saji, ‘ditandatangani” hari ini buat belanja besok.
Pilihan untuk melaksanakan penelitian bisa secara mandiri dan bisa juga bersaing mendapatkan dana dari pemerintah. Penelitian mandiri butuh biaya dari kantong sendiri pasti sulit dilakukan karena persoalan “perut yang senin-kamis” saja belum terpenuhi apalagi membiayai penelitian. Mendapatkan sumber dana pemerintah pasti tidak mudah, karena harus bersaing dengan sistem kompetisi yang super ketat. Kalau pun dapat memenangkan persaingan dana penelitian, ibarat “tanaman keras” perlu waktu untuk bisa panen. Sementara dalam waktu yang sama ada tawaran berupa “tanaman tumpang sari” yang bisa dipetik hari menghasilkan secara cepat langsung dapat dinikmati bersama keluarga.
Dilema semacam ini sebenarnya lebih parah lagi di PT LPTK seperti UNP. Program hibah penelitian yang ditawarkan pemerintah pusat tiap tahun, proporsinya jauh lebih kecil dibandingkan dengan PT Non-LPTK.Akibatnya Dosen LPTK harus berjuang memperebutkan “kue” yang relatif kecil itu dengan usaha ekstra keras tetapi peluang sangat terbatas. Sementara dalam waktu bersamaan muncul tawaran “menggiurkan” mengajar NR, kelas kerjasama, PTS dan lain-lain yang cepat saji dengan hasil lumayan.
Cara berpikir mendahulukan uang daripada ilmu atau inovasi sah-sah saja, terutama bagi yang tidak munafik. “Halal seratus persen” bila dosen memilih “manambang” AKAP atau AKDP (meminjam istilah angkutan umum) untuk mencari nafkah tambahan ketimbang meneliti. Kita juga setuju “banget” jika mereka berpikir bahwa dengan AKAP dan AKDP itu dosen lebih memiliki kepribadian (rumah, mobil, harta kekayaan pribadi) yang lumayan. Tetapi untuk jangka panjang hidup berbangsa dan bernegara, pendapat seperti itu harus di singkirkan, karena akan membahayakan kesinambungan kualitas SDM kita di masa depan.
Kita bisa bayangkan apa jadinya kelak lulusan LPTK yang dihasilkan oleh seorang dosen yang sibuk AKAP dan AKDM tanpa riset, pengembangan, dan inovasi melalui penelitian. Tentunnya dosen juga tidak menginginkan calon guru yang dihasilkan hanya menggunakan bahan ajar, pendekatan, strategi pembelajaran metode dan media yang tak terbarukan karena rendahnya inovasi dalam pembelajaran. Dosen tentu saja tidak mau dituding sebagai “pewaris utama budaya malas meneliti” kepada mahasiswa calon guru yang menjadi penyakit turunan setelah mereka menjadi guru. Kelak jangan sampai muncul pikiran bahwa dosen dijadikan “kambing hitam” penyebab lemahnya kemampuan meneliti guru karena dilahirkan LPTK yang dosennya rendah budaya meneliti, sehingga mengalami kesulitan naik pangkat dan golongan bertahun-tahun.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pertanyaan di atas sulit dijawab langsung, tetapi jika direnungkan pasti terjawab dan banyak yang bisa dilakukan. Prasyarat utama untuk melakukan itu semua adalah ubah dulu mind set-nya. Jika kita menggunakan “otak reptil” dalam memproses stimulus tersebut diduga jawabannya akan tetap sama yakni “AKAP dan AKDP lebih baik daripada meneliti. Namun apabila melibatkan “otak emosi-mamalia dan neo-korteks” dalam berpikir dan bertindak pasti hasilnya akan beda. Meneliti adalah kebutuhan dan kewajiban, karena itu harus dilaksanakan meski dihadang berbagai rintangan termasuk soal dana.
Sebenarnya kalau keinginan meneliti dan budaya berinovasi tinggi, dana bukan persoalan. Dana penelitian yang rendah bukan sebagai penghambat melakukan penelitian. Integritas profesionalitas sebagai dosen peneliti, lingkungan, dan kolega yang kondusif ditambah dukungan lembaga yang kuat akan menjadikan dosen termotivasi untuk meneliti. Apalagi soal potensi UNP mungkin tidak kalah dengan LPTK lain bahkan dengan PTN ternama sekalipun. Terbukti dosen UNP sering mendapatkan penghargaan peneliti terbaik nasional.Alm.Mulyardi dkk.termasuk penulis sendiri pernah mendapatkan peneliti PTK terbaik nasional tahun 2007 dengan menyisihkan sekitar 650 peneliti seluruh Indonesia.
Paling tidak terdapat empat cara berikut yang dapat dilakukan. Pertama, diadakan program insentif penelitian yang tidak perlu semuanya diberikan secara kompetitif seperti yang selama ini dilakukan.Melainkan, diberikan secara langsung terutama kepada PT LPTK yang bermanfaat praktis dalam meningkatkan kualitas pembelajaran maupun pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Stimulus ini tentunya akan memberikan motivasi kepada para dosen yang “malas” meneliti karena alasan ketiadaan dana.
Kedua, sediakan reward khusus bagi peneliti terbaik dan tempatkan mereka yang telah berjaya di tingkat nasional sebagai “mentor” untuk lingkungan UNP. Beri mereka kesempatan untuk menularkan kemampuannya kepada dosen yang lebih muda dan belum berpengalaman dalam penelitian, melalui pelatihan dan workshop, sehingga kesinambungan prestasi penelitian terjaga.
Ketiga, Lemlit UNP harus proaktif mencari peluang kerjasama penelitian dengan Pemda Kab/Kota terutama penelitian pendidikan. Lemlit UNP diharapkan menjadi katalisator bagi para dosen/peneliti khususnya menyangkut hubungan ke luar, sehingga peluang itu tidak ditangkap PT lain yang bukan bidangnya.
Keempat, UNP sebaiknya tidak membiarkan Lemlit mengayunkan langkahnya sendiri untuk bertahan hidup dan menjadikannya sebagai lembaga pailit. Berikan dukungan dana yang memadai agar lembaga itu memiliki aktivitas dan kreativitas yang mumpuni. Semoga..!
Sumber: http://www.ganto.web.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...