Senin, 11 Juni 2012

Telaah Sarkasme Judul Berita Surat Kabar

Oleh: Agus Trianto
ABSTRACT
The purpose of this research was to describe the sarcasm in newspaper subtitles by politeness principles, using diction, and politeness theory face threatening act. The data or titles and subtitles was collected from Bengkulu Ekspress, Semarak Bengkulu, Kompas, Koran Tempo, dan Rakyat Merdeka. The result showed that (1) sarcasm was caused by infraction of politeness principles generally was caused by infraction of approbation and sympathy maxim; (2) sarcasm was caused by using diction which has impact on rudeness and hyperbolic meaning; (3) sarcasm was caused by infraction of politeness principles and using diction were also face threatening act, positive and negative; (4) politeness principles, using diction, and avoid face threatening act were more effective in communication than using sarcasm or euphemism.

A. PENDAHULUAN
“Apa pentingnya siapa yang berbicara, seseorang berkata, apa pentingnya siapa yang berbicara” (Beckett, 1974). Ucapan ini menyiratkan salah suatu prinsip mendasar, yaitu etika. Sebagai suatu prinsip sebuah bahasa yang diucapkan tidak hanya terbatas pada segi interior semata, namun juga terjadi penyebaran eksteriornya yang pada tahap selanjutnya hal tersebut akan menguji batas-batas keberaturannya, pelanggaran dan pemutarbalikan, suatu tatanan yang berterima atau termanipulasi (Rusbiantoro, 2001).
Derek Walcott pemenang hadiah nobel kesusastraan 1992 berpendapat bahwa bahasa adalah titik sentral kebudayaan, dan kebudayaan akan menjadi amburadul bila masyarakat mulai kehilangan hormatnya terhadap bahasa (Jatmiko, 1995). Lalu bagaimana kita hendak “melihat” perkembangan bahasa yang baik dan benar dalam konteks tersebut?

Manusia sebagai makhluk sosial tentu akan berinteraksi dengan sesamanya, baik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maupun untuk berkomunikasi. Bahasa merupakan alat yang paling banyak digunakan untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari manusia. Di samping itu, bahasa juga merupakan salah satu aspek terpenting dalam kebudayaan. Aspek yang terpenting itu adalah norma-norma kebudayaan yang membawakan prilaku kebahasaan anggotanya. Misalnya, tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta apa yang santun dan apa yang kurang santun di dalam berbahasa. Dengan kata lain, kebudayaan suatu masyarakat atau guyub tutur itu tercermin pada nilai-nilai kebahasaan mereka.

Nilai-nilai kebahasaan dapat berubah-ubah sesuai perubahan zaman atau perkembangan kebudayaan. Hasan Alwi (Kompas, 22 Maret 2001) mengemukakan bahwa telah terjadi perubahan yang ekstrem dari kramanisasi bahasa Indonesia karena adanya hegemoni semantik yang terjadi selama masa orde baru menjadi vulgarisasi bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi seiring bergulirnya era reformasi. Lebih kanjut Alwi juga mengatakan bahwa perilaku berbahasa menjadi sebebas-bebasnya. Orang berbicara apa saja dengan cara bagaimana saja.

Kerisauan masyarakat bahasa terhadap penggunaan bahasa di media massa juga diungkap oleh Bachtiar Aly yang dikutip Kompas (16 Januari 2001) dari Seminar tentang Paradigma Baru Politik Bahasa dan Budaya Nasional di Jakarta. Aly mengatakan bahwa penggunaan bahasa Indonesia oleh para elite politik dan media massa yang keras dan tidak santun, diyakini menjadi penyebab masyarakat menganut budaya kekerasan. Hal ini dikarenakan dinamika bahasa sangat bergantung pada komando bahasa yang dipegang oleh elite dan media massa. Dikatakan demikian karena budaya yang masih paternalistik mereka juga menjadi panutan dalam berbahasa masyarakat.

Sehubungan dengan hal itu agar media massa tidak terjebak pada situasi paradoksal (Kompas, 10 November 2001), penggunaan eufimisme berlebihan di satu pihak dan penggunaan sarkasme di lain pihak, maka penggunaan bahasa di surat kabar haruslah memperhatikan kesantunan berbahasa sebagai upaya membina moral bangsa melalui bahasa.

Bahasa yang digunakan dalam surat kabar adalah bahasa baku yang memiliki ciri-ciri yang khas yaitu singkat, jelas, padat, sederhana, lancar, lugas, dan menarik. Ciri khas ini tentunya juga harus terkait dengan etika komunikasi atau kesantunan dalam berbahasa. Penggunaan sarkasme yang berlebihan di media massa akan membuat masyarakat menjadi terdidik dengan bahasa yang sarkastik. Artinya, media massa ikut memberi contoh buruk terhadap penggunaan bahasa yang tidak santun sehingga dapat mempertajam konflik dan membakar emosi pembaca hanya untuk sekedar melakukan sensasi jurnalistik.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk menjawab masalah berikut ini: Bagaimanakah sarkasme judul berita di surat kabar?

B. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan penelitian ini pada hakikatnya adalah mencari jawaban atas permasalahan yang dikemukakan dalam perumusan masalah yaitu mendeskripsikan sarkasme di surat kabar.
Kontribusi utama penelitian ini adalah pada bidang pragmatik bahasa Indonesia. Secara khusus, penelitian ini berkontribusi pada bagaimanakah sarkasme dalam pemakaiaan bahasa Indonesia pada judul berita di harian berskala nasional dan daerah. Pembahasan penelitian ini lebih mengarah pada bentuk yang menjadi kepala berita di harian tersebut ditinjau dari sarkasme berbahasa dalam surat kabar berdasarkan teori kesantunan berbahasa. Dengan demikian maka didapatkan suatu bukti sejauh mana peran penggunaan bahasa di surat kabar dalam memberikan kontribusi terhadap pembinaan moral bangsa.

C. TINJAUAN PUSTAKA
Bahasa dan daya cipta adalah dua milik manusia yang sangat penting dan khas. Dapat dikatakan pula bahwa manusia sebagai individu atau masyarakat. Bahasa adalah wahana penentu satu-satunya dalam pemprosesan kebudayaan, dan daya cipta yang kreatif. Daya cipta yang kreatif itu adalah pencipta tunggal kebudayaan itu sendiri, yang dalam tindakannya nampak dengan memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan dari segala apa yang disadari adanya oleh manusia. Kebudayaan pun pada hakikatnya dapat dan mampu berkembang hanya jika ada bahasa yang kreatif.

Perkembangan kebudayaan melalui bahasa secara praktis terkait dengan fungsi bahasa itu sendiri. Dengan berjalannya fungsi-fungsi bahasa maka kebudayaan dapat berkembang dengan baik. Jakobson (dalam Stern, 1984) mengklasifikasikan fungsi bahasa menjadi lima, yaitu (1) fungsi emotif atau ekspresif untuk menyatakan perasaan penutur, (2) fungsi fatik untuk memelihara hubungan sosial antar masyarakat, (3) fungsi referensial untuk penyebaran informasi, (4) fungsi puitik untuk menyatakan keindahan, dan (5) fungsi konatif untuk mengarahkan sikap dan keyakinan.

Dalam upaya memelihara hubungan sosial antar anggota masyarakat dalam suatu kebudayaan, sarananya adalah bahasa sebagai alat komunikasi dengan fungsi fatik dan fungsi konatif. Abdul Wahab (Kompas, 21 juli 2001) menyatakan bahwa fungsi fatik ditentukan dengan adanya ungkapan yang empan papan, sedangkan fungsi konatif tercermin dalam ungkapan hormat dan sungkan.

Tidak berjalannya fungsi bahasa, misalnya fungsi fatik dan konatif, akan berpengaruh terhadap kebudayaan. Hal ini dimungkinkan sebagaimana diungkapkan Wahab bahwa keberingasan bangsa merupakan akibat kealpaan penutur asli bahasa Jawa yang telah mengabaikan stratifikasi bahasa yang sudah tertata rapi, yang cenderung terpengaruh untuk beringas, kejam, dan tidak mengenal kesantunan.

Bahasa juga memilki kesopanan dalam berbahasa “unda-usuk atau sering dikenal kesantunan berbahasa”. Baik dalam ragam berbahasa lisan maupun dalam ragam bahasa tulis. Ketidaksantunan dalam bebahasa akan menciptakan ungkapan-ungkapan yang sarkastik dalam komunikasi. Melalui pembahasan ini diharapakan terdapat gambaran mengenai penggunaan bahasa, sarkasme dalam berkomunikasi khususnya dalam bahasa tulis di media massa.
1. Sarkasme
Secara etimologis, sarkasme berasal dari perancis yang bahasa latinnya sarcasmus asal katanya sarkasmos atau sarkazo. Arti dari sarkazo itu sendiri adalah daging yang tertusuk atau hati yang tertusuk. Jadi sarkazo itu adalah sesuatu yang dihujamkan dan menyebabkan rasa sakit yang mendalam. Dalam perkembangannya kata sarkazo lebih dikenal dengan kata sarx-sarkos yang artinya menyindir dengan tajam atau sindiran yang tajam (Webster’s World Encyclopedia, 2000). Sedangkan dalam penggunaan dewasa ini lebih kita kenal dengan kata sarcasm atau dalam bahasa Indonesia sarkasme.

Sarkasme adalah penggucapan yang dilakukan secara amat kasar yang diduga akan menyakiti hati orang lain. Sarkasme adalah kata-kata yang biasa digunakan untuk pengucapan kata-kata yang pahit dan kasar. Penggunaan kata-kata ini untuk mengejek, cemooh atau menyindir yang diduga akan menyakiti hati orang lain dan hal ini melanggar kesantunan dalam berbahasa. Sarkasme adalah penggunaan kata-kata yang diduga melanggar kaidah–kaidah kesantunan berbahasa sehingga menimbulkan efek emosi tertentu, misalnya terhina, sakit hati, tidak enak, marah, dan lain-lain.

2. Sarkasme Karena Melanggar Prinsip-Prinsip Sopan Santun
Sarkasme merupakan ucapan atau tuturan yang diucapkan secara amat kasar yang diduga akan menyakiti hati orang lain dan melanggar prinsip-prinsip sopan santun serta tidak memperhatikan situasi maka ujaran tersebut dianggap tidak santun. Sebuah tuturan yang sopan diinterpretasikan sebagai tuturan yang sungguh-sungguh sopan atau hanya tuturan basa-basi saja. Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa.

Etika berbahasa ini sangat erat berkaitan dengan pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat. Oleh karena itu etika berbahasa memiliki atauran (a) apa yang harus kita katakan pada waktu dan keadaan tertentu kepada seseorang partisipan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu; (b) ragam bahasa apa yang paling wajar kita gunakan dalam situasi sosiolinguistik dan budaya tertentu; (c) kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita, dan menyela pembicaraan orang lain; (d) kapan kita harus diam; (e) bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita dalam berbicara itu. Seseorang dapat dikatakan pandai berbicara apabila menguasai tata cara atau etika berbahasa itu.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kesantunan berbahasa adalah sebagai berikut :
(1) kesantunan itu merupakan bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri.
(2) Pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada ujaran.
(3) Kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi. Yang artinya apakah ujaran terdengar santun atau tidak ini diukur berdasarkan apakah si petutur tidak melampaui haknya kepada lawan bicara dengan apakah si penutur memenuhi kewajiban kepada lawan bicaranya.

Sopan santun makna berbicara sering kali berhubungan dengan personal yang bersifat interpersonal atau dapat kita katakan juga etika berbahasa terkait dengan retorika interpersonal yang memiliki sejumlah prinsip sopan santun, apabila penutur tidak memperhatikan salah satu prinsip-prinsip sopan santun dalam retorika interpersonal, sebagai bagian pembahasan filsafat bahasa terminologi Grice (1981) yang juga dibahas Leech (1993) sebagai berikut: (1) maksim kearifan, maksim ini mengungkapkan buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin; (2) maksim kedermawanan, maksim ini menyatakan buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin; (3) maksim pujian, maksim ini menyatakan kecamlah orang lain sedikit mungkin dan pujilah orang sebanyak mungkin; (4) maksim kerendahan hati, maksim ini menyatakan pujilah diri sendiri sedikit mungkin; kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin; (5) maksim kesepakatan, maksim ini menyatakan usahakanlah ketaksepaktan antara diri dan orang lain terjadi sedikit mungkin dan usahakan agar kesepakatan antara diri dengan orang lain terjadi sebanyak mungkin; (6) maksim simpati, .maksim ini menyatakan kurangilah rasa anti pati antara diri dengan orang lain hingga sekecil mungkin dan tingkatkanlah rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dengan orang lain.

Lakoff menyebut tiga kaidah kesantunan yaitu formalitas (formality), ketegasan (hesitancy) dan persamaaan atau kesekawanan (eguality or camaraderie). Formalitas yang artinya jangan memaksa atau jangan angkuh (aloof); ketegasan berarti buatlah sedemikian rupa sebagai lawan bicara Anda dapat menentukan pilihan; persamaan yang artinya bertindaklah seolah-olah Anda dan lawan bicara Anda sama yang berarti pula buatlah ia merasa senang. Jadi sebuah ujaran dikatakan santun jika tidak terdengar memaksa atau angkuh, Ujaran itu memberi pilihan tindakan kepada lawan bicara, dan lawan bicara itu menjadi senang.

3. Sarkasme karena Diksi atau Pilihan Kata
Sarkasme yang penggunaan diksinya tidak pada tempatnya maka kata-kata tersebut akan terdengan kasar dan tidak santun, dengan demikian ketepatan dan kesesuaian dan pilihan kata ini perlu diperhatikan dalam bahasa manapun semua konsep dinyatakan dengan kata. Kita dapat berbahasa apabila menguasai sejumlah kata-kata. Ketepatan dan kesesuaian pemilihan kata ini perlu diperhatikan karena penulisan apapun, baik itu penulisan pada media masa ataupun pada penulisan ilmiah menginginkan ketepatan dan keajekan baik dalam makna dan bentuk. Begitu juga yang dilakukan oleh seorang pengarang untuk mewakili ide-ide ataupun pikiran ke dalam bentuk tulisan haruslah tepat, karena kata merupakan salah satu unsur dasar penting bahasa.

Dalam memilih kata ada dua persyaratan harus diperhatikan yaitu, (1) ketepatan dan (2) kesesuaian. Persyaratan ketepatan menyangkut makna, aspek logika kata-kata, kata-kata yang dipilih harus secara tepat mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan. Dengan demikian, pendengar atau pembaca juga menafsirkan kata-kata tersebut tepat seperti maksud yang diinginkan. Dalam penggunaan diksi ini harus diperhatikan, apakah kata-kata itu bermakna konotatif, denotatif termasuk kata umum, kata khusus dan juga diksi yang baku.

Makna denotatif adalah bahasa kamus atau definisi utama suatu kata sehingga lawan dari pada konotasi-konotasinya atau makna-makna yang ada kaitannya dengan, sedangkan makna konotatif adalah segala sesuatu yang kita pikirkan apabila kita melihat kata tersebut, yang mungkin dan juga mungkin tidak sesuai dengan makna sebenarnya. Berdasarkan pengertian di atas maka ragam konotasi dapat dibagi menjadi, (a) konotasi baik yang mencakup pula konotasi tinggi dan konotasi ramah; (b) konotasi yang tidak baik mencakup konotasi berbahaya, tidak pantas, tidak enak, kasar, keras; (c) konotasi netral atau biasa, yang mencakup pula konotasi bentukkan sekolah, konotasi kanak-kanak, konotasi hipokoristik, dan konotasi bentuk nonsens (Tarigan, 1986). Dalam kaitan dengan sarkasme lebih mempersoalkan penggunaan diksi yang berkonotasi tidak baik.

Konotasi Tinggi bisa terjadi bahwa kata-kata sastra dan klasik lebih indah dan anggun terdengar oleh telinga umum; oleh karena itu kita tidak perlu heran bahwa kata-kata seperti itu mendapat konotasi tinggi atau nilai rasa tinggi. Konotasi Ramah bisa terjadi di dalam kehidupan sehari-hari yang sering menggunakan bahasa daerah dengan demikian terjadilah bahasa campuran yang kadang-kadang lebih terasa ramah dari pada bahasa Indonesia karena hal ini membuat kita merasa lebih akrab dan dapat saling merasakan satu sama lain; Konotasi Berbahaya ini erat sekali berhubungan dengan kepercayaan masyarakat yang bersifat magis. Dalam saat-saat tertentu dalam kehidupan masyarakat, kita harus berhati-hati mengucapakan suatu kata supaya jangan terjadi hal-hal yang tidak kita ingini, hal-hal yang mungkin mendatangkan marabahaya. Konotasi berbahaya juga terkait dengan efek yang ditimbulkan secara sosial. Konotasi Tidak Pantas dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat terdapat sejumlah kata yang jika diucapkan tidak pada tempatnya, kata-kata tersebut mendapat nilai rasa yang tidak pantas. 

Konotasi Tidak Enak ada sejumlah kata yang karena biasa dipakai dalam hubungan tidak atau kurang baik, maka tidak enak didengar oleh telinga dan mendapat nilai rasa yang tidak enak. Konotasi Kasar adakalanya kata-kata yang dipakai oleh rakyar jelata terdengar kasar dan mendapat nilai rasa kasar. Konotasi Keras melebih-lebihkan suatu keadaan kita biasa memakai kata-kata atau ungkapan. Dilihat dari segi arti maka hal itu dapat disebut hiperbola, dan dari segi nilai rasa atau konotasi hal serupa itu dapat disebut konotasi keras. Konotasi Bentukan Sekolah bahwa setiap nilai rasa biasa mempunyai suatu kesejajaran dengan nilai rasa yang dipelajari atau nilai rasa bentukan sekolah. Konotasi Kanak-Kanak ini biasa terdapat dalam dunia kanak-kanak. Konotasi Hipokoristik terutama sekali dipakai dalam dunia kanak-kanak, yaitu sebutan nama kanak-kanak yang dipendekkan lalu diulang. Konotasi Bentuk Nonsens sudah sangat lazim dipakai, sama sekali tidak mengandung arti.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apabila maksud dan tujuan lain ingin dicapai dan dimengerti oleh pendengar atau pembaca maka hendaknya kata-kata yang digunakan kata-kata yang sudah dikenal oleh pendengar atau pembaca. Misalnya kata-kata yang populer akan lebih cepat dikenal dan lebih efektif dari pada kata-kata yang muluk-muluk atau kata-kata yang belum dikenal.

4. Sarkasme Karena Keterancaman Muka
Sarkasme dapat terjkadi akibat penggunaan unsur bahasa yang melanggar teori kesantunan. Teori kesantunan yang paling berpengaruh diletakkan oleh Brown & Levinson (1978 dan direvisi 1987). Pusat teori kesantunan Brown & Levinson adalah konsep ‘muka’ (face). Istilah ‘muka’ bermakna ‘reputasi’ atau ‘nama baik’. Dalam teori kesantunan ‘muka’ dipahami sebagai perasaan citra diri individual; citra ini dapat hancur, dipertahankan, atau ditingkatkan melalui interaksi dengan orang lain. Muka memiliki dua aspek—‘positif’ dan ‘negatif’. Muka positif individu dicerminkan oleh keinginan disukai, disetujui, dihargai oleh orang lain. Muka negatif individu dicerminkan oleh keinginan tidak diganggu atau terbebani, memiliki kebebasan bertindak terhadap suatu pilihan. Sarkasme dikarenakan adanya keterancaman muka bagi si petutur yang mengakibatkan adanya keterancaman muka yang mengacu ke citra diri setiap orang yang dituju.

Menurut Brown & Levinson, tindak ilokusioner tertentu mungkin menghancurkan atau mengancam muka seseorang, seperti tindak yang dikenal sebagai ‘face-threatening acts’ (FTAs). Suatu tindak ilokusi memiliki potensi untuk menghancurkan muka positif pendengar (dengan menghina atau mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap sesuatu yang diyakini seseorang), atau muka negatif (suatu perintah yang yang mengenai kebebasan bertindak seseorang); atau tindak ilokusioner dapat berpotensi menghancurkan muka positif pembicara sendiri (misalnya, jika harus mengakui telah merusak pekerjaan) atau muka negatif pembicara (jika pembicara dipojokkan untuk membuat penawaran bantuan). Untuk mengurangi kemungkinan kahancuran muka pendengar atau pembicara sendiri perlu mengadopsi strategi tertentu. Pilihan strategi dibuat berdasarkan penilaian pembicara tentang ukuran FTA. Pembicara dapat menghitung ukuran FTA berdasarkan parameter kekuatan (power), jarak (distance), dan tingkat kerugian (rating of imposition). Hal ini dikombinasikan dengan nilai-nilai menentukan ‘pembobotan’ keseluruhan FTA yang akan mempengaruhi strategi yang digunakan.

Jika seorang pembicara memutuskan untuk melakukan FTA, ada empat kemungkinan: tiga perangkat strategi super ‘on record’ (melakukan FTA on-record tanpa tindakan memperbaiki (bald-on-record), melakukan FTA on-record menggunakan kesantunan positif, melakukan FTA on-record menggunakan kesantunan negatif) dan satu perangkat strategi ‘off-record’. Jika pembicara memutuskan bahwa derajat keterancaman muka sangat besar, dia dapat memutuskan menghindari FTA (dengan kata lain, tidak berkata apa-apa).
Brown dan Levinson, mengatakan bahwa suatu tindak ujaran atau tindak tutur dapat merupakan ancaman terhadap muka (face threatening act). Penutur perlu menghitung radiasi (derajat) keterancaman tindak ujaran yang akan ia ujarkan dengan mempertimbangkan di dalam situasi yang biasa, faktor-faktor seperti (1) jarak sosial diantara penutur dan pendengar, (2) besarnya perbedaan kekuasaan atau dominasi keduanya,dan (3) status relatif tindak ujaran di dalam kebudayaan yang bersangkutan (artinya, ada tindak ujaran yang didalam suatu kebudayaan dianggap tidak terlalu mengancam muka, dan sebagainya) (dalam Goody, 1978). Berdasarkan perkiraan itulah penutur memilih struktur yang tepat. Apabila penutur tidak memilih struktur yang tepat maka akan mengakibatkan keterancaman muka bagi si petutur hal ini dianggap tidak santun. Pilihan lain selain santun atau netral adalah tidak santun atau sarkastik.
Brown dan Levinson mendasarkan pada nosi muka, sedangkan Leech mendasarkan pada nosi yang meliputi:(1) biaya dan keuntungan; (2) kesetujuan; (3) pujian; (4) simpati atau antipati. Keempat nosi ini dipakai oleh Leech untuk menyusun prinsip kesantunan yang dijabarkan menjadi enam maksim dalam Leech yang telah jelaskan pada uraian sebelumnya.

5. Tuturan yang Netral
Suatu tuturan dikatakan netral karena petutur menganggap tuturan tersebut netral dan tidak ada prinsip sopan-santun yang dilanggar, kata yang digunakan tidak memiliki konotasi tidak baik, atau tidak adanya keterancaman muka yang muncul. Dalam segala aspek yang ditimbulkan itu netral dan bagi si petutur hal ini tidak menjadi masalah.

6. Judul Berita sebagai Bentuk Pertuturan
Komunikasi meliputi pemindahan informasi dari satu dunia individu ke dunia individu atau kelompok yang lain, dari satu latar skemata ke latar skemata yang lainnya. Informasi antarindividu saling dipertukarkan melalui sistem simbol atau tingkah laku. Jadi ada tiga hal yang selalu terlibat dalam peristiwa komunikasi, yaitu pihak yang berkomunikasi, informasi yang dikomunikasikan, dan medium komunikasi.
Analisis tindak tutur adalah tugas ilmu pragmatik yang bertujuan memberikan pemerian penggunaan bahasa yang dilakukan partisipan dalam situasi tertentu. Dalam setiap peristiwa komunikasi dengan bahasa selalu ada “pembicara” (B) dan “pendengar (D). Biasanya situasi (S) tempat B dan D berkomunikasi merupakan salah satu yang juga ada. Selanjutnya partisipan melakukan tindak bahasa (T). Pada saat melakukan T, B secara simultan mengujarkan bunyi (u), menghasilkan tindak proposisi (p), dan tindak ilokusi (i). Gambar berikut menggambarkan wacana sehari-hari.
B1---T1---D1B2---T2---D2S1S2T1 = {u1, p1, i1)T2 = {u2, p2, i2)
Tindak tutur T1 dan T2 berbeda karena situasinya berbeda. Teks, dengan kata lain, adalah tindak tutur yang terpisah dari situasi ruang dan waktunya yang asli, dan dihadirkan kembali ke dalam susunan ruang-dan-waktu yang lain. Teks menggantikan batas-batas komunikasi bersemuka (face-to-face). Teks dalam hal ini menjadi pembawa informasi, dapat memindahkan pengetahuan melampaui ruang dan waktu. Prosesnya dapat digambarkan sebagai berikut. S1:B1 T1 D1S2:B2T2D2=
Dengan demikian judul berita sebagai bagian teks surat kabar secara keseluruhan juga merupakan sebuah pertuturan.

D. METODOLOGI PENELITIAN
Rancangan penelitian ini adalah studi deskriptif kualitatif. Penelitian ini bertujuan mendapatkan deskripsi memadai tentang sarkasme judul berita surat kabar Untuk tujuan ini digunakan metode analisis isi (content analysis) yang memang menganalisis kecenderungan (trends) dan pola (patterns) (Krippendorf, 1991) yang ditentukan oleh teori kesantunan berbahasa atau berkomunikasi.

Subjek penelitian adalah judul berita dalam surat kabar berskala nasional Rakyat Merdeka, Koran Tempo, dan Kompas; dan skala daerah (Bengkulu Ekspress, Semarak Bengkulu di Bengkulu) yang ditentukan secara purposive sampling. Data akan dijaring selama satu blok waktu penelitian. Data diambil dalam blok waktu penelitian antara tahun 2001 hingga 2003.

Teknik analisis data digunakan untuk menemukan kecenderungan sarkasme berdasarkan teori kesantunan. Langkah yang dilakukan dalam analisis data adalah sebagai berikut:
(1) Judul berita dikumpulkan berdasarkan kelompok surat kabar yang ditetapkan yakni surat kabar yang bersifat lokal dan surat kabar yang berisifat nasional. Surat kabar ini dikumpulkan selama satu blok waktu. Data yang berasal dari satu surat kabar dikelompokan dalam satu tabel. Jadi tiap-tiap surat kabar memiliki satu tabel. Dalam tabel terdiri dari beberapa kolom. Kolom pertama berisikan nomor urut, yang kedua prinsip-prinsip sopan santun, kolom yang ke ketiga kategori diksi, kolom yang keempat keterancaman muka.
(2) Mengklasifikasikan data berdasarkan prinsip-prinsip sopan santun yang ditinjau dari ragam bahasa atau kesantunan berbahasa.
(3) Menganalisis data dan menafsirkan data sarkasme atau eufemisme yang ditinjau kesantunan berbahasa.
(4) Menarik kesimpulan.

E. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian
Berikut ini disajikan hasil penelitian mengenai sarkasme dalam judul berita surat kabar. Pengsarkasmean judul berita surat kabar terjadi karena melanggar prinsip-prinsip sopan santun, yaitu pada maksim kearifan, kedermawanan, pujian, kerendahan hati, kesepakatan, dan simpati. Sarkasme karena diksi yang berkategori berbahaya, tidak pantas, tidak enak, kasar, dan keras. Pengasrkasmean yang melanggar nosi muka, muka positif dan muka negatif.
Berdasarkan hal di atas, maka data yang diperoleh dari berbagai judul surat kabar (Bengkulu Ekspress, Semarak Bengkulu, Kompas, Tempo, dan Rakyat Merdeka) berjumlah 100 judul. Dari 100 judul yang dianalisis, terdapat 41 judul (41%) yang mengandung tuturan sarkasme, sedangkan yang netral berjumlah 59 judul (59%). 

Surat kabar yang paling banyak membuat judul yang mengandung makna sarkasme adalah Rakyat Merdeka (19 atau 46,3%) dan Bengkulu Ekspres (17 atau 41,5%). Surat kabar Semarak Bengkulu hanya 9,8%. Sedangkan surat kabar yang nyaris tidak membuat judul yang mengandung makna sarkasme adalah Koran Tempo dan Kompas.

Hal-hal yang menyebabkan suatu judul mengandung sarkasme dalam penelitian ini difiokuskan kepada tiga hal, yaitu pelanggaran maksim sopan-santun, diksi, dan nosi keterancaman muka. Setiap judul yang dianalisis ada kemungkinan melanggar A (prinsip sopan santun), B (diksi), dan C (nosi keterancaman muka), gabungan B dan C, B saja atau C saja. Maksim sopan santun yang banyak dilanggar adalah maksim pujian 19 (atau 41,3% dari jumlah pelanggaran prinsip sopan santun) dan maksim simpati 26 (56,5% dari jumlah pelanggaran prinsip sopan santun). Pelanggaran oleh karena pilihan kata (diksi) terkait dengan pelanggaran prinsip sopan santun. Diksi yang berkonotasi tidak baik yang juga mengandung makna sarkastik dalam penelitian ini adalah konotasi tidak pantas (2), konotasi tidak enak (9), konotasi kasar (19), dan konotasi keras (14). Nosi keterancaman muka dalam data di atas, mengancam muka positif (28) dan muka negatif (8).
Data tuturan yang mengandung sarkasme akibat pelanggaran prinsip sopan santun, lebih banyak karena pelanggaran maksim pujian dan simpati. Hal ini ditunjukkan dengan judul yang isinya mengecam dan bersikap antipati. Perhatikan judul berikut ini.
Di Mata Mahasiswa, Megawati Penakut
Ayo Mega! Yang Banyak Ngomong.
Cak Nur Jangan Banyak Omong
Dibilang Tidak Waras, Gus Dur Biarkan Saja

DPR Masukin Comberan
Wakil Rakyat Kok, Takut Sama Rakyatnya
Maklumat=Maklum Mau Tamat
Unsur Lonte dalam Pendidikan Nasional Kita
Kecoa dan Dinosaurus Mau Jadi Presiden
Matori Disuruh Sekolah Lagi

Contoh judul berita di atas dianggap tidak santun karena melanggar penentu kesantunan berbahasa, yaitu melanggar prinsip sopan santun pada maksim pujian. Maksim ini menyatakan bahwa agar dianggap santun maka kecamlah orang lain sedikit mungkin; pujilah orang lain sebanyak mungkin. Contoh judul berita di atas menunjukkan bahwa judul tersebut sebagai tuturan yang lebih banyak mengecam orang lain.

Sedangkan kategori diksi yang dominan adalah yang berkonotasi tidak enak, kasar, dan keras. Nilai rasa tertentu yang berkesan “kasar” muncul akibat suatu kata yang dipilih tanpa memperhitungkan konteks komunikasi, penutur dan petutur, media penuturan, dan lain-lain. Diksi semacam ini digunakan untuk mengecam dan menunjukkan sikap antipati. Kata-kata yang digunakan antara lain: penakut, pengecut, masukin comberan, brengsek, disuruh sekolah lagi, kok loyo, unsur lonte, kecoa dan dinosaurus.

Kecaman dan sikap antipati yang ditunjukkan dengan kata-kata yang berkonotasi tidak baik pada akhirnya akan mengancam muka penerima tuturan. Data menunjukkan muka positif lebih banyak kemungkinan terancam, yaitu mengancam keinginan orang untuk disukai, dihargai, dan disetujui. Muka negatif yang terancam lebih mengarah kepada kewenangan penerima tutur untuk tidak merasa terganggu, terbebani, dan kebebasan memilih tindakan atas keinginan sendiri. Dalam kaitan muka negatif ini penerima tutur biasanya pejabat negara yang memiliki kewenangan tertentu.

2. Pembahasan
Pembahasan ini berkenaan dengan tujuan pengsarkasmean yang didasarkan pada fakta gejala pengsarkasmean yang tidak lagi hanya untuk menghindari penggunaan kata yang berkonotasi halus, tetapi juga karena sarkasme melanggar prinsip sopan-santun dan mengancam muka.

Berdasarkan hasil penelitian pelanggaran prinsip sopan santun yang terbanyak adalah pada maksim pujian dan maksim simpati. Ini berarti bahwa tuturan judul berita surat kabar memiliki kecenderungan untuk mengecam (yang diistilahkan oleh redaktur surat kabar bersangkutan dengan “mengkritik” atau “kontrol oleh pers”) dan menunjukkan secara terbuka sikap antipati. Kedua hal ini ditunjukkan dengan pemilihan kata yang berkonotasi kurang baik dan pada tahap selanjutnya sangat terkait dengan tindakan mengancam muka, baik itu muka positif maupun muka negatif.

Dalam bidang hubungan antar-orang dan komunikasi yang efektif, mengecam, sikap antipati, dan tindak mengancam muka cenderung menghasilkan penciptaan hubungan yang negatif. Pesan atau kritik yang ingin disampaikan biasanya lalu menjadi mubazir karena orang cenderung mengambil sikap bertahan jika diserang. Jika serangan dianggap terlalu sering dan melampaui batas maka aksi berikutnya adalah menyerang balik. Serangan balik dalam komunikasi melalui surat kabar dapat berupa polemik atau penggunaan hak jawab. Selain itu ada juga yang menggunakan jalur hukum, dan ini nampaknya yang lebih banyak dipilih. Sebut saja misalnya, kasus Texmaco dengan harian Kompas, kasus tanah abang dengan majalah Tempo. Meski untuk kedua media ini kasusnya lebih banyak mengarah kepada kebenaran fakta pemberitaan.

Surat kabar yang telah terkenal dan dikenal luas dalam penelitian ini sangat sedikit sekali atau tidak memiliki judul yang mengandung sarkasme, misalnya Kompas dan Koran Tempo. Sebaliknya surat kabar lokal (Bengkulu Ekspress) atau surat kabar yang muncul pada era reformasi (misalnya, Rakyat Merdeka) cenderung banyak menampilkan judul-judul yang mengandung sarkasme. Surat kabar Rakyat Merdeka bahkan sepertinya menggunakan bentuk sarkasme sebagai gaya penulisan pemberitaannya, meski untuk hal ini perlu pengkajian lebih mendalam.

Pemberitaan gaya Rakyat Merdeka semacam itu berakibat pada adanya tuntutan pidana oleh pengadilan oleh pihak atau orang yang merasa dirugikan. Yang sangat menonjol adalah adanya tuntutan pidana karena adanya pemberitaan yang menghina Presiden RI1 dan tuntutan Akbar Tandjung terhadap Rakyat Merdeka dalam kasus pencemaran nama baik (Rakyat Merdeka, 11 Juni 2003)2. Dalam pemberitaan yang dimuat Rakyat Merdeka (11 Juni 2003) Tim Pembela Rakyat Merdeka mengajukan permintaan penjelasan tentang definisi melanggar kesopanan, karena tidak ada aturan baku yang mengatur hal itu. Penelitian ini diharapkan dapat membantu mengenai penjelasan pelanggaran teori kesantunan ditinjau dari penggunaan bahasa.

Bentuk sarkasme yang ditampilkan oleh media massa sedikit banyak akan mempengaruhi gaya berkomunikasi masyarakat. Sebagaimana telah diungkapkan Derek Walcott pemenang hadiah nobel kesusastraan 1992 dimuka bahwa bahasa adalah titik sentral kebudayaan, dan kebudayaan akan menjadi amburadul bila masyarakat mulai kehilangan hormatnya terhadap bahasa (Jatmiko, 1995). Bersikap santun dalam berbahasa bukanlah selalu berarti bersikap hipokrit, dan bersikap sarkastik dalam berbahasa tidak juga mencerminkan suatu sikap terbuka dan demokratis. Kebenaran adalah tetap sebuah kebenaran, bagaimana cara menyampaikan atau berkomunikasi tentang kebenaran adalah soal lain. Strategi berbahasa (berkomunikasi) memberikan sarana untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang santun dan lebih efektif.

Prinsip sopan santun dalam berbahasa, penggunaan diksi berkonotasi baik, dan teori kesantunan nosi muka adalah strategi berbahasa yang santun dan efektif. Penggunaan bahasa yang keras dan tidak santun yang diungkapkan para elite politik dan media massa diyakini menjadi penyebab masyarakat yang menganut budaya kekerasan (Kompas, 16 Januari 2001) karena dinamika bahasa sangat bergantung pada komando bahasa yang dipegang oleh elite dan media massa.

Sarkasme atau eufimisme dalam makna ekstrem tidak cocok untuk berkomunikasi yang efektif dan berhasil. Penggunaan salah satu dari kedua hal tersebut tetap dapat efektif jika konteksnya tepat. Artinya, sarkasme dan eufimisme sebagai suatu strategi berbahasa tetap dapat digunakan jika situasi, kondisi, dan konteksnya memang memerlukan strategi tersebut. Pilihan netral dan lebih masuk akal untuk berkomunikasi secara efektif dan berhasil adalah penggunaan teori kesantunan berbahasa.

F. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Surat kabar berskala nasional dan telah dikenal luas, dalam hal ini adalah Kompas dan Koran Tempo, cenderung kurang menampilkan judul yang mengandung makna sarkasme dibanding dengan koran lokal atau yang belum dikenal luas (Bengkulu Ekspress dan Rakyat Merdeka).
2. Pelanggaran prinsip sopan santun yang memungkinkan munculnya muatan sarkasme adalah pelanggaran maksim pujian dan maksim simpati.
1 Hal ini termuat dalam berita “Judul Sumanto Dianggap Keterlaluan Megawati Nggak Bisa Tidur” (Rakyat Merdeka, 22 Maret 2003) dan “Kalau Presiden Salah Pers Wajib Mengkritik” (Rakyat Merdeka, 15 Juni 2003).
2 Pencemaran nama baik ini terkait dengan pemuatan foto ilustrasi berita “Akbar Dihabisi Golkar Nangis Darah” edisi 8 Januari 2002.

3. Sarkasme yang diakibatkan oleh penggunaan diksi yang berkonotasi kurang baik adalah penggunaan kata-kata yang berkonotasi tidak enak, kasar, dan keras.
4. Tindak tuturan judul berita yang mengandung makna sarkasme akibat pelanggaran prinsip sopan santun dan diksi yang berkonotasi kurang baik sekaligus berarti tindak tuturan tersebut mengancam muka positif dan negatif.
5. Prinsip sopan santun, penggunaan diksi yang berkonotasi baik, dan tindak tutur yang tidak mengancam muka adalah pilihan strategi berbahasa yang efektif dalam berkomunikasi yang santun dan berbudaya dibanding penggunaan sarkasme atau eufimisme.

2. Saran
Sarkasme yang terdapat dalam judul berita surat kabar yang mengarah kepada pembudayaan jurnalisme yang kurang santun bukanlah cerminan kebebasan menyatakan pendapat. Kebebasan berpendapat dapat diungkapkan dengan cara berbahasa yang santun atau yang tidak santun. Dalam upaya untuk mencapai kesepakatan dari pihak pengritik dan yang dikritik atau yang berpendapat dan penerima pendapat maka cara yang santun lebih diupayakan dalam menyampaikan gagasan karena hal ini lebih menjamin keberhasilan interaksi komunikasi sosial dalam konteks berbahasa dan berbangsa.

Penggunaan sarkasme yang berlebihan adalah cermin pembudayaan kekerasan. Pembudayaan kekerasan yang nampak makin banyak di masyarakat dapat diminimalkan oleh gaya pemberitaan surat kabar. Bentuk pembudayaan kekerasan yang ada di masyarakat, misalnya unjuk rasa yang memaksakan kehendak dan anarkis, gaya berkomunikasi para elit politik yang dikutip secara langsung oleh media, ungkapan peringatan di jalan-jalan di Jakarta (misalnya, spanduk “lu jual gua beli”, “ngebut benjut”, “dilarang kencing di sini kecuali anjing”, dan lain-lain). Pembudayaan kekerasan sebaiknya diubah menjadi gerakan pembudayaan kelembutan, keramahan, kesantunan. Misalnya dengan memperbanyak ungkapan-ungkapan yang menyejukkan, seperti “terima kasih untuk tidak merokok”, “anda adalah pencinta kebersihan dan keindahan”, “damai itu indah”, “lebih nyaman persaudaraan dari pada tawuran” dan menulis ulang ungkapan para elit politik yang sarkastik.

Penelitian lanjutan yang terkait dengan hasil penelitian ini adalah efek sarkasme terhadap kemampuan masyarakat memberi penilaian kepada bentuk bahasa yang santun dan yang tidak santun. Di samping itu perlu juga dikaji lebih lanjut tentang sarkasme yang terdapat di pemberitaan berbagai media atau berupa perluasan data dari berbagai media cetak. Jika sarkasme dalam penelitian ini lebih banyak membahas data judul yang bermuatan politik maka sarkasme yang bernuansa pornografi juga tak kalah banyaknya terjadi di media massa.

Download

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...