Minggu, 03 Juni 2012

Tujuan Disentralisasi dan Perspektif Daerah Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah


A.   Latar Belakang
UU 22/1999 dan UU 25/1999 yang diberlakukan semenjak 1 Januari 2001 telah mengakibatkan perubahan yang sangat besar dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Ada dua bentuk perubahan besar terjadi yaitu pertama, penghapusan sistem pemerintahan bertingkat sebagaimana ditetapkan oleh UU 5/1974. UU 22/1999 tentang sistem pemerintahan daerah memberikan otonomi luas pada daerah Kabupaten dan Kota (dulu disebut sebagai Kabupaten dan Kotamadya atau dati II). Sedangkan Provinsi diberikan otonomi terbatas.

Tidak ada hubungan hiearki Provinsi dengan Kabupaten/Kota. Kedua, DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah mempunyai peranan jauh lebih besar dibandingkan periode sebelumnya. Dia berkedudukan sejajar dan menjadi mitra Pemerintah Daerah.
Untuk meningkatkan keberhasilan sistem pemerintahan daerah yang baru ini yang disebut juga aturan tentang “otonomi daerah”, Pemerintah melakukan perubahan yang besar pula dalam Hubungan Keuangan Pusat - Daerah yang diatur oleh UU 25/1999. Pemerintah, berdasarkan undang-undang tersebut memberikan bantuan dan sumbangan pada Daerah
dalam bentuk “Dana Alokasi Umum (DAU)”. Penggunaan dana ini sepenuhnya ditentukan oleh
Daerah (Pemerintah Daerah bersama DPRD). Sehingga dengan demikian keberhasilan penggunaan dana tersebut ditentukan oleh Pemerintahan Daerah. PP 105/2000 yang merupakan ketentuan pelaksanaan undang-undang tentang Perimbangan Keuangan Pusat - Daerah menetapkan berbagai aturan tentang “pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Daerah”. Peraturan Pemerintah ini secara rinci memuat berbagai ketentuan penggunaan Keuangan Daerah yang diperoleh dari berbagai sumber penerimaan, mulai dari perencanaan sampai pertanggungjawaban dan pengawasan.

Wadahnya disebut sebagai APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang ditetapkan oleh DPRD bersama Kepala Daerah. Peranan DPRD sebagai Badan Perwakilan Rakyat di Daerah adalah besar sekali. Disamping itu, untuk meningkatkan keberhasilan Pemerintahan Daerah dalam penggunaan Keuangan Daerah sesuai dengan tujuan pemberian otonomi baik yang bersifat terbatas maupun yang bersifat luas, Menteri Dalam Negeri menetapkan pedoman tentang pengurusan, pertanggungjawaban, pengawasan dan tata usaha Keuangan Daerah.

Pedoman ini, walaupun sudah agak terlambat, diharapkan akan dikeluarkan menjelang akhir tahun 2001. Nampaknya masih sulit untuk digunakan sebagai pedoman penyusunan APBD 2002 yang pada waktu tersebut sedang dalam taraf penyelesaian sesuai aturan yang ada. Walaupun demikian, norma dan prinsip anggaran yang telah dijadikan sebagai pedoman penyusunan APBD semenjak beberapa tahun yang lalu masih tetap dipertahankan. Untuk penyusunan APBD 2001 ditetapkan dengan Surat Menteri Dalam Negeri No. 903/2735/SJ tanggal 17 Nopember 2000. Yang menjadi pertanyaan adalah kemampuan dan kesanggupan DPRD dengan semua anggotanya untuk mengetahui dan melaksanakan fungsinya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang baru tersebut. Apakah dalam pelaksanaan fungsinya masih terpengaruh oleh ketentuan lama (UU 5/1974) yang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi?
Pembahasan diarahkan pada proses penyusunan dan pengesahan APBD, sebab kebijaksanaan ini mempunyai hubungan yang kuat dengan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah.

B.   Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis mencoba untuk membahasa tentang tentang:
1.    Bagaimanakah Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah?
2.    Bagaimanakah Konsep dan Sistem Penyerahan Wewenang?
3.    Apa yang Menjadi Tujuan dari Otonomi Daerah itu?

Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah
Isu tentang desentralisasi sudah ada semenjak pemerintahan Hindia Belanda (tahun 1903) dan kemudian berkembang pada zaman pemerintahan Jepang. Baik pada zaman Hindia Belanda maupun pada masa pemerintahan Jepang, politik desentralisasi bertujuan untuk mempertahankan kekuasaannya di Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda lebih mengenal dekonsentrasi dibandingkan dengan desentralisasi. Dekonsentrasi berarti pelimpahan kekuasaan dari aparatur pemerintahan pusat kepada pejabat-pejabat pusat yang lebih rendah tingkatannya secara hiearki (Gie, 1968a, hal. 21-30).
Keinginan untuk pelaksanaan sistem pemerintahan yang berbentuk dekonsentrasi tersebut bukanlah merupakan keinginan pusat saja, tetapi adalah merupakan keinginan dan perjuangan masyarakat dari berbagai kalangan keturunan yang ada di Indonesia. Dari kalangan penduduk Eropa, Timur Asing dan elit Indonesia muncul keinginan agar pemerintahan disusun secara lebih modern dan demokratis. Bahkan tuntutan ini datang pula dari kalangan bangsa Belanda sendiri yang menghendaki agar politik kolonial tidak semata-mata bertujuan mengeruk kekayaan bumi Indonesia saja, melainkan juga untuk meningkatkan taraf kecerdasan dan kehidupan rakyat Indonesia. Disamping itu didukung pula oleh bertambah luasnya tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh pemerintah pusat.
Seperti diungkapkan oleh Gie (1968a), istilah desentralisasi dimunculkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) setelah berakhirnya kekuasaan Jepang. Istilah ini muncul dalam rancangan Mr. Yamin yang menyebutkan bahwa Negara Rakyat Indonesia menjalankan pembagian pekerjaan negara atas dasar desentralisasi atau dekonsentrasi yang tidak mengenal federalisme atau perpecahan negara. Mr. Yamin membagi pemerintahan menjadi pemerintahan atasan untuk pusat dan pemerintahan bawahan untuk desa atau setingkatnya.
Sedangkan antaranya disebut sebagai pemerintah tengahan. Kemudian konsep ini disempurnakan oleh Mr. Soepomo dalam rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan bahwa di bawah Pemerintah Pusat ada Pemerintahan Daerah. Sedangkan Pemerintah Daerah disusun dalam undang-undang. Disamping itu, negara juga menghormati kedudukan daerah-daerah yang mempunyai susunan asli yang disebut sebagai Daerah Istimewa.
Pembahasan mengenai sistem pemerintahan ini semakin luas dalam UUDS 1950 yang menjadi landasan pelaksanaan Otonomi Daerah. Pembahasan lebih tertuju pada pembentukan “badan/organisasi ketatanegaraan yang mandiri”. Otonomi (autonomy) disini diartikan sebagai “hak mengurus rumah tangga sendiri” bagi satu Daerah. Sedangkan UUD 1945 lebih banyak memberikan perhatian pada pembagian daerah Indonesia atas Daerah besar dan Daerah kecil.
Tanpa mengemukakan pandangan berbagai ahli hukum, Gie (1968 b) menyimpulkan bahwa sistem desentralisasi dalam kehidupan tata negara di Indonesia sudah menjadi keharusan. Tetapi dia merupakan masalah yang sulit, terutama dalam penentuan peranan daerah dalam pemerintahan. Peran apa yang diberikan pada daerah dan berapa besarnya adalah merupakan persoalan yang sulit untuk ditentukan secara tegas.
Keinginan untuk tetap melaksanakan sistem desentralisasi terus berkembang sambil berusaha mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi. UU 5/1974 lebih memperjelas sistem dan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Daerah di Indonesia dibedakan menjadi Daerah Otonom dan Wilayah Administratif. Yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri adalah Daerah Otonom. Sedangkan Daerah yang termasuk pada Wilayah Administratif hanya berhak menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintahan umum di daerah saja.
Sehingga dengan demikian sistem desentralisasi pemerintahan hanya diberikan pada Daerah Otonom. UU 5/1974 memperkenalkan sistem pemerintahan daerah otonomi bertingkat dengan titik berat Otonomi Daerah diletakan pada Daerah Tingkat II. Daerah Tingkat I adalah menjadi atasan Derah Tingkat II dan selanjutnya. Pusat adalah menjadi atasan Daerah Tingkat I. Penyerahan urusan (desentralisasi) yang menjadi tanggung jawab daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Urusan yang telah diserahkan dapat ditarik kembali dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat.
Terlambatnya penyerahan urusan oleh Pusat pada Daerah Otonom merupakan masalah utama dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Keterlambatan ini dipengaruhi pula oleh kesulitan penentuan urusan yang akan diserahkan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut dan atas desakan dari berbagai daerah dibentuklah undang-undang tentang sistem pemerintahan daerah yang lebih komprehensif yang dikenal dengan UU 22/1999 yang mulai berlaku tahun 2001. Seiring dengan undang-undang ini, diterbitkan pula UU 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan Pusat- Daerah. Dengan diterbitkannya kedua undang-undang ini berarti pelaksanaan sistem desentralisasi semakin jelas, baik ditinjau dari sisi administrasi pemerintahan maupun dilihat dari segi pembiayaan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah.
UU 22/1999 tidak mengenal penjenjangan daerah dalam pelaksanaan administrasi pemerintahan. Propinsi yang sebelumnya dikenal sebagai Daerah Tingkat I yang menjadi atasan Daerah Tingkat II, tidak lagi mempunyai hubungan hierarki satu sama lain. Sedangkan daerah Tingkat II dihapus dan diganti dengan sebutan daerah Kabupaten dan daerah Kota. Masing-masing daerah, baik Propinsi, Kabupaten ataupun Kota berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai kewenangan menurut prakarsa sendiri dan berdasarkan aspirasi masyarakat.

Konsep dan Sistem Penyerahan Wewenang
Wewenang oleh Gie (1968 c) diartikan sebagai kekuasaan yang sah untuk memerintahkan sesuatu atau melakukan sesuatu tindakan. Lawan dari wewenang adalah kewajiban. Dengan istilah lain dapat dinyatakan sebagai “tugas” untuk wewenang dan “tanggung jawab” untuk kewajiban. Ini adalah mirip dengan istilah “authority” dan “responsibility” dalam dunia bisnis. Sehingga pelimpahan wewenang dalam bidang publik dapat disamakan dengan istilah delegation of authority dalam dunia bisnis.
Ketidakjelasan konsep dan sistem penyerahan wewenang akan berakibat fatal terhadap pencapaian tujuan organisasi. Organisasi yang lebih kecil yang dapat diartikan sebagai Daerah Otonom bagi sebuah Negara tidak akan dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik sesuai dengan tujuan organisasi yang lebih besar yaitu Negara. Kegagalan pelaksanaan otonomi akan terjadi bila Daerah tidak dapat melaksanakan tugas atau kewenangan dengan baik.
Akhirnya, pencapaian tujuan Bangsa akan semakin jauh sebagai akibat pelaksanaan desentralisasi dengan konsep dan sistem penyerahan wewenang yang kabur. Inilah selama ini yang terjadi dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Persoalan utama adalah dalam penentuan peranan pemerintah daerah dalam era otonomi. Ada dua isu penting yang muncul yaitu pertama adalah isu tentang pengertian tugas atau urusan administrasi pemerintahan dan kedua adalah isu tentang sistem penyerahan urusan tersebut dari Pusat ke Daerah. Penyerahan urusan didasarkan pada kesiapan daerah untuk menerimanya.
Jika daerah belum siap, maka penyerahan urusan tidak dapat dilakukan. Jadi berarti pelaksanaan desentrasilasi berdasarkan UU 5/1974 adalah secara bertahap. Mengukur kesiapan daerah yang dijadikan sebagai dasar penyerahan urusan telah menjadi kendala dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pusat menganggap Daerah belum siap untuk menerima urusan tertentu. Sedangkan pada pihak lain, Daerah menganggap dia telah siap
dan Pusat enggan menyerahkan urusan yang sebenarnya sudah dapat dilaksanakannya.
Keadaan ini memperbesar konflik antara Pusat dan Daerah. Akibatnya adalah memperlambat pelaksanaan undang-undang tersebut. Percontohan pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU 5/1994 baru dimulai tahun 1995. Kabupaten Tanah Datar dijadikan sebagai pilot proyek untuk Sumatera Barat dan hasilnya tidak memuaskan, sebagai akibat dari kesulitan penentuan urusan yang diperlukan oleh Daerah yang bersangkutan (lihat. Syahruddin 1999).

UU 22/1999 yang mulai dilakukan tahun 2001 menganut konsep pembagian kewenangan. Penyerahan (pemberian) kewenangan kepada Daerah Otonomi dilakukan secara umum. Yang dijelaskan secara rinci adalah kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Sedangkan kewenangan Kabupaten/Kota yang diberikan otonomi luas dalam undang-undang ini adalah semua kewenangan dalam bidang pemerintahan diluar kewenangan Pemerintah dan Propinsi. Untuk tidak memberikan dampak negatif pada pelaksanaan pemerintahan di daerah, undang-undang menetapkan sejumlah kewenangan wajib yang akan dilaksanakan oleh Daerah Otonom.
Ada 11 (sebelas) bidang pemerintahan wajib yang harus dilaksanakan oleh Daerah Otonom yaitu: (1) pekerjaan umum, (2) kesehatan, (3) pendidikan dan kebudayaan, (4) pertanian, (5) perhubungan, (6) industri dan perdagangan, (7) penanaman modal, (8) lingkungan hidup, (9) pertanahan, (10) koperasi dan (11) tenaga kerja. Pemerintah Daerah dapat merinci bidang pemerintahan wajib tersebut menjadi kewenangan daerah sesuai kebutuhan dan kemampuan daerah untuk pembiayaannya serta sumber daya manusia yang tersedia.
Daerah diperkirakan tidak akan mengalami kesulitan yang berarti baik untuk menentukan kewenangan maupun untuk pelaksanaan keseluruhan bidang pemerintahan tersebut. Kesimpulan ini didasarkan pada pengalaman Daerah dalam pelaksanaan pemerintahan selama ini. Kebanyakan dari bidang pemerintahan tersebut telah pernah dilaksanakan di Daerah. Disamping perbedaan metode penyerahan kewenangan oleh Pusat kepada Daerah Otonom, terdapat pula dua bentuk perbedaan yang sangat berarti antara UU 22/1999 dengan UU 5/1974.
Pertama, UU 22/1999 tidak mengenal lagi adanya hierarki dalam bidang pemerintahan. Istilah Dati I untuk Propinsi dan Dati II untuk Kabupaten/Kotamadya tidak ada lagi. Untuk daerah otonomi luas digunakan istilah Kabupaten dan Kota yang tidak merupakan bawahan langsung dari Propinsi.
Kedua daerah ini mempunyai kewenangan dalam bidang pemerintahan yang berbeda satu sama lainnya. Kewenangan Propinsi disamping yang diatur dalam PP 25/2000 adalah kewenangan yang bersifat lintas kabupaten-kota dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota (Ps. 9 UU 22/1999) Hapusnya dualisme dalam sistem pemerintahan didaerah merupakan kemajuan yang cukup berarti dalam sistem ketatanegaraan dengan diberlakukannya UU 22/1999. Di daerah tidak ada lagi instansi vertikal seperti yang dianut dalam UU 5/1974, kecuali untuk lima bidang pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah yaitu : (1) politik luar negeri, (2) pertahanan keamanan, (3) peradilan, (4) moneter dan fiskal dan (5) agama. Namun dengan keluarnya Keputusan Presiden 109/2000 tentang pengembalian kewenangan daerah dalam bidang pertahanan kepada pemerintah menunjukan tidak konsistennya Pemerintah dalam pelaksanaan UU 22/1999. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa UU 22/1999 adalah merupakan penyempurnaan UU 5/1974. Konsep pembangian kewenangan digunakan dalam penyerahan kewenangan kepada Daerah Otonomi. Penyerahan kewenangan ini dilakukan secara umum, sehingga ketergantungan Daerah terhadap Pemerintah dalam menjalankan pemerintahan di daerah akan dapat diminimalkan. Dampaknya adalah berkurangnya kekuasaan Gubernur terhadap Bupati/Walikota yang selama ini dimilikinya.
Keuntungan yang terlihat adalah tidak terjadinya penundaan pelaksanaan aturan yang ada. Pelaksanaan aturan otonomi daerah ini dapat dilaksanakan sesuai jadwal. Namun pada pihak lain ketidaksiapan daerah akan menjadi kendala utama. Disamping itu, koordinasi antar daerah yang selama ini dilaksanakan oleh Propinsi menjadi sulit untuk diwujudkan, kecuali adanya keinginan yang kuat antar Daerah Otonom.

Tujuan Otonomi Daerah
Sulit untuk menemukan secara jelas tujuan pemberian otonomi kepada Daerah baik yang bersifat terbatas maupun otonomi yang bersifat luas. Oleh karena itu, sub-bahagian ini mencoba mengemukakan tujuan otonomi melalui UU 22/1999 dan sumber-sumber lainnya. Melalui undang-undang ini, tujuan otonomi dapat dilihat dari pembukaan, isi dan penjelasan UU 22/1999.

* Tujuan Otonomi Berdasarkan Pembukaan
Butir menimbang dalam UU 22/1999 menyebutkan banyak kata-kata tentang “Otonomi Daerah”. Butir (a) merupakan landasan pemberian Otonomi Daerah yaitu UUD 1945. Butir (b) dan (c) dapat memberikan gambaran tentang tujuan Otonomi Daerah. Isi kedua butir menimbang ini adalah seperti berikut:
􀁸 Bahwa dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.
􀁸 Bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka NKRI.
UU 22/1999 “menimbang” butir (b) dan (c) Kata-kata yang ada pada butir pertama tidak memberikan arti yang jelas. Apakah: prinsipprinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah merupakan alasan pemberian otonomi ataukah merupakan dasar pemberian otonomi. Kata-kata demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan mungkin dapat dikategorikan sebagai tujuan. Sedangkan kata potensi dan keanekaragaman Daerah mungkin dapat digolongkan kepada dasar pemberian otonomi.
Selanjutnya, kata-kata yang ada pada alinea kedua dapat dianggap sebagai tujuan atau sasaran yang diinginkan dari pemberian Otonomi Daerah. Efisiensi atau daya saing daerah dapat dijadikan sebagai tujuan otonomi. Kesimpulan ini terlihat dari kata-kata: (1) dalam menghadapi perkembangan ………., (2) dipandang perlu menyelenggarakan Otonomi Daerah. Krisis ekonomi yang terjadi pertengahan tahun 1997 dan munculnya berbagai tuntutan yang mengarah pada disintegrasi Bangsa adalah merupakan perkembangan keadaan yang ada di dalam negeri.
Sedangkan perkembangan yang ada di luar negeri adalah meningkatnya arus keinginan untuk pelaksanaan perdagangan bebas. Perkembangan keadaan di dalam dan di luar negeri memaksa pemerintah untuk bekerja lebih efisien dan berusaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi berdasarkan potensi yang ada. Ketergantungan ekonomi pada luar negeri sangat besar akibatnya jika terjadi gangguan pada nilai mata uang dalam negeri. Resesi ekonomi tahun 1997 telah memberikan pengalaman yang sangat berharga dalam menetapkan kebijaksanaan peningkatan pertumbuhan di masa datang.
Industri yang menggunakan bahan baku impor mengalami banyak kesulitan. Sebaliknya industri yang tingkat ketergantungannya terhadap luar negeri kecil dapat bertahan dari kesulitan ekonomi yang terjadi tersebut. Industri kecil dan menengah ternyata mempunyai daya tahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan industri besar terhadap ketidak stabilan nilai rupiah.
Jumlah industri (usaha) kecil adalah besar dan tersebar pada seluruh daerah di Indonesia. Oleh karena itu, seyogianyalah pembinaan dan pengembangan usaha-usaha tersebut diserahkan pada daerah. Daerah tentu akan lebih mengetahui persoalan-persoalan yang dihadapi oleh usaha kecil menengah tersebut dan dengan demikian daerah dapat diharapkan membina pertumbuhan usaha kecil dan menengah tersebut sesuai kondisi yang ada pada masing-masing daerah. Untuk maksud tersebut (peningkatan efisiensi dan daya saing pengusaha tentunya) perlu diselenggarakan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional. Pengertian otonomi disini adalah berbentuk “memberikan kewenangan”. Bertanggung jawab secara proporsional tentu mengandung arti kewenangan sama besarnya dengan tanggung jawab. Semakin besar kewenangan yang diberikan akan semakin besar tanggung jawab daerah dan sebaliknya. Sedangkan produknya adalah efisiensi.
Wujud dari pemberian kewenangan dan tanggung jawab tersebut adalah: pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Apakah kata-kata pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional memiliki sebuah arti ataukah tidak? Apakah pengaturan dan pembagian tertuju pada pemanfaatan sumber daya nasional ataukah tidak? Sedangkan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD) jelas mempunyai arti tersendiri, sebab Perimbangan Keuangan ini diatur oleh undangundang tersendiri (UU 25/1999).

Jika pengaturan, pembagian dan penggunaan sumberdaya nasional mempunyai pengertian sendiri-sendiri, maka pengaturan akan terkait pada pelaksanaan Otonomi Daerah. Dia akan mencakup semua aturan-aturan yang ada yaitu UU 22/1999 dengan semua aturan pelaksanaannya. Sedangkan kata pembagian mungkin dapat diartikan sebagai pembagian kewenangan antara Pemerintah (Pusat), Propinsi dan Kabupaten/Kota. Tetapi, jika pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional merupakan sebuah rangkaian kata-kata yang tidak terpisahkan satu sama lainnya, maka inti dari permasalahan adalah pemanfaatan sumber daya nasional. Sehingga dengan demikian, Otonomi daerah lebih mengarah kepada pelaksanaan pembangunan daerah. Selanjutnya, butir kedua diakhiri dengan kata-kata: sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Prinsip-prinsip ini adalah sama dengan bunyi butir pertama seperti telah dikemukakan di atas. Dengan anggapan kata-kata pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional mempunyai arti terpisah satu sama lainnya, maka prinsip-prinsip tersebut dapat berarti tujuan dan dasar pemberian Otonomi Daerah. Yang perlu mendapatkan perhatian lebih jauh adalah penggunaan kata-kata: dilaksanakan dalam kerangka NKRI. Dari kelima prinsip-prinsip tersebut, kata demokrasi yang diperkirakan dapat menganggu NKRI. Demokrasi yang terlalu jauh akan dapat merubah bentuk Daerah dari Otonomi menjadi Federal. Sedangkan kata-kata lain yaitu peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah berpotensi kecil terhadap batasan NKRI.

Butir-butir d, e dan f pada menimbang dalam UU 22/1999 memberikan informasi tentang kelemahan-kelemahan UU 5/1974 dan UU 5/1979. UU 5/1974 dianggap sebagai tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah dan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti. Begitu juga halnya dengan UU 5/1979 tentang Pemerintahan Desa dianggap tidak sesuai dengan jiwa UUD 1945. Jadi ketiga butir pada menimbang ini hanya memberikan dasar untuk pembuatan aturan baru dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah dan kembali pada ketentuan yang ada dalam UU 1945 untuk pengaturan sistem Pemerintahan Desa.

Kesimpulan
Dalam otonomi daerah ketidakjelasan konsep dan sistem penyerahan wewenang akan berakibat fatal terhadap pencapaian tujuan organisasi. Organisasi yang lebih kecil yang dapat diartikan sebagai Daerah Otonom bagi sebuah Negara tidak akan dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik sesuai dengan tujuan organisasi yang lebih besar yaitu Negara. Kegagalan pelaksanaan otonomi akan terjadi bila Daerah tidak dapat melaksanakan tugas atau kewenangan dengan baik.
Untuk itu perlu ada kejelasan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menjalnkan sistem roda pemerintahan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...