A.
Latar Belakang
UU 22/1999 dan UU 25/1999 yang diberlakukan
semenjak 1 Januari 2001 telah mengakibatkan perubahan yang sangat besar dalam
sistem pemerintahan di Indonesia. Ada dua bentuk perubahan besar terjadi yaitu pertama,
penghapusan sistem pemerintahan bertingkat sebagaimana ditetapkan oleh UU
5/1974. UU 22/1999 tentang sistem pemerintahan daerah memberikan otonomi luas
pada daerah Kabupaten dan Kota (dulu disebut sebagai Kabupaten dan Kotamadya
atau dati II). Sedangkan Provinsi diberikan otonomi terbatas.
Tidak ada hubungan hiearki Provinsi dengan
Kabupaten/Kota. Kedua, DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah mempunyai
peranan jauh lebih besar dibandingkan periode sebelumnya. Dia berkedudukan
sejajar dan menjadi mitra Pemerintah Daerah.
Untuk
meningkatkan keberhasilan sistem pemerintahan daerah yang baru ini yang disebut
juga aturan tentang “otonomi daerah”, Pemerintah melakukan perubahan yang besar
pula dalam Hubungan Keuangan Pusat - Daerah yang diatur oleh UU 25/1999.
Pemerintah, berdasarkan undang-undang tersebut memberikan bantuan dan sumbangan
pada Daerah
dalam
bentuk “Dana Alokasi Umum (DAU)”. Penggunaan dana ini sepenuhnya ditentukan
oleh
Daerah (Pemerintah Daerah bersama DPRD).
Sehingga dengan demikian keberhasilan penggunaan dana tersebut ditentukan oleh
Pemerintahan Daerah. PP 105/2000 yang merupakan ketentuan pelaksanaan
undang-undang tentang Perimbangan Keuangan Pusat - Daerah menetapkan berbagai
aturan tentang “pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Daerah”. Peraturan
Pemerintah ini secara rinci memuat berbagai ketentuan penggunaan Keuangan
Daerah yang diperoleh dari berbagai sumber penerimaan, mulai dari perencanaan
sampai pertanggungjawaban dan pengawasan.
Wadahnya disebut sebagai APBD (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah) yang ditetapkan oleh DPRD bersama Kepala Daerah.
Peranan DPRD sebagai Badan Perwakilan Rakyat di Daerah adalah besar sekali. Disamping
itu, untuk meningkatkan keberhasilan Pemerintahan Daerah dalam penggunaan
Keuangan Daerah sesuai dengan tujuan pemberian otonomi baik yang bersifat terbatas
maupun yang bersifat luas, Menteri Dalam Negeri menetapkan pedoman tentang pengurusan,
pertanggungjawaban, pengawasan dan tata usaha Keuangan Daerah.
Pedoman ini, walaupun sudah agak terlambat,
diharapkan akan dikeluarkan menjelang akhir tahun 2001. Nampaknya masih sulit
untuk digunakan sebagai pedoman penyusunan APBD 2002 yang pada waktu tersebut
sedang dalam taraf penyelesaian sesuai aturan yang ada. Walaupun demikian,
norma dan prinsip anggaran yang telah dijadikan sebagai pedoman penyusunan APBD
semenjak beberapa tahun yang lalu masih tetap dipertahankan. Untuk penyusunan APBD
2001 ditetapkan dengan Surat Menteri Dalam Negeri No. 903/2735/SJ tanggal 17 Nopember
2000. Yang menjadi pertanyaan adalah kemampuan dan kesanggupan DPRD dengan semua
anggotanya untuk mengetahui dan melaksanakan fungsinya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang baru tersebut. Apakah dalam pelaksanaan fungsinya masih terpengaruh oleh
ketentuan lama (UU 5/1974) yang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi?
Pembahasan
diarahkan pada proses penyusunan dan pengesahan APBD, sebab kebijaksanaan ini
mempunyai hubungan yang kuat dengan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis
mencoba untuk membahasa tentang tentang:
1.
Bagaimanakah Sejarah
Perkembangan Otonomi Daerah?
2.
Bagaimanakah Konsep dan
Sistem Penyerahan Wewenang?
3.
Apa yang Menjadi Tujuan dari
Otonomi Daerah itu?
Sejarah
Perkembangan Otonomi Daerah
Isu tentang desentralisasi sudah ada semenjak
pemerintahan Hindia Belanda (tahun 1903) dan kemudian berkembang pada zaman
pemerintahan Jepang. Baik pada zaman Hindia Belanda maupun pada masa
pemerintahan Jepang, politik desentralisasi bertujuan untuk mempertahankan
kekuasaannya di Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda lebih mengenal dekonsentrasi
dibandingkan dengan desentralisasi. Dekonsentrasi berarti pelimpahan kekuasaan dari
aparatur pemerintahan pusat kepada pejabat-pejabat pusat yang lebih rendah
tingkatannya secara hiearki (Gie, 1968a, hal. 21-30).
Keinginan untuk pelaksanaan sistem
pemerintahan yang berbentuk dekonsentrasi tersebut bukanlah merupakan keinginan
pusat saja, tetapi adalah merupakan keinginan dan perjuangan masyarakat dari
berbagai kalangan keturunan yang ada di Indonesia. Dari kalangan penduduk
Eropa, Timur Asing dan elit Indonesia muncul keinginan agar pemerintahan
disusun secara lebih modern dan demokratis. Bahkan tuntutan ini datang pula
dari kalangan bangsa Belanda sendiri yang menghendaki agar politik kolonial
tidak semata-mata bertujuan mengeruk kekayaan bumi Indonesia saja, melainkan
juga untuk meningkatkan taraf kecerdasan dan kehidupan rakyat Indonesia.
Disamping itu didukung pula oleh bertambah luasnya tugas-tugas yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah pusat.
Seperti diungkapkan oleh Gie (1968a), istilah
desentralisasi dimunculkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
setelah berakhirnya kekuasaan Jepang. Istilah ini muncul dalam rancangan Mr.
Yamin yang menyebutkan bahwa Negara Rakyat Indonesia menjalankan pembagian
pekerjaan negara atas dasar desentralisasi atau dekonsentrasi yang tidak
mengenal federalisme atau perpecahan negara. Mr. Yamin membagi pemerintahan
menjadi pemerintahan atasan untuk pusat dan pemerintahan bawahan untuk desa
atau setingkatnya.
Sedangkan antaranya disebut sebagai
pemerintah tengahan. Kemudian konsep ini disempurnakan oleh Mr. Soepomo dalam
rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan bahwa di bawah Pemerintah
Pusat ada Pemerintahan Daerah. Sedangkan Pemerintah Daerah disusun dalam
undang-undang. Disamping itu, negara juga menghormati kedudukan daerah-daerah yang
mempunyai susunan asli yang disebut sebagai Daerah Istimewa.
Pembahasan mengenai sistem pemerintahan ini
semakin luas dalam UUDS 1950 yang menjadi landasan pelaksanaan Otonomi Daerah.
Pembahasan lebih tertuju pada pembentukan “badan/organisasi ketatanegaraan yang
mandiri”. Otonomi (autonomy) disini diartikan sebagai “hak mengurus
rumah tangga sendiri” bagi satu Daerah. Sedangkan UUD 1945 lebih banyak memberikan
perhatian pada pembagian daerah Indonesia atas Daerah besar dan Daerah kecil.
Tanpa mengemukakan pandangan berbagai ahli
hukum, Gie (1968 b) menyimpulkan bahwa sistem desentralisasi dalam kehidupan
tata negara di Indonesia sudah menjadi keharusan. Tetapi dia merupakan masalah
yang sulit, terutama dalam penentuan peranan daerah dalam pemerintahan. Peran
apa yang diberikan pada daerah dan berapa besarnya adalah merupakan persoalan
yang sulit untuk ditentukan secara tegas.
Keinginan untuk tetap melaksanakan sistem
desentralisasi terus berkembang sambil berusaha mengatasi berbagai kesulitan
yang dihadapi. UU 5/1974 lebih memperjelas sistem dan pelaksanaan
desentralisasi di Indonesia. Daerah di Indonesia dibedakan menjadi Daerah
Otonom dan Wilayah Administratif. Yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri adalah Daerah Otonom. Sedangkan Daerah yang termasuk pada
Wilayah Administratif hanya berhak menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintahan
umum di daerah saja.
Sehingga dengan demikian sistem
desentralisasi pemerintahan hanya diberikan pada Daerah Otonom. UU 5/1974
memperkenalkan sistem pemerintahan daerah otonomi bertingkat dengan titik berat
Otonomi Daerah diletakan pada Daerah Tingkat II. Daerah Tingkat I adalah
menjadi atasan Derah Tingkat II dan selanjutnya. Pusat adalah menjadi atasan
Daerah Tingkat I. Penyerahan urusan (desentralisasi) yang menjadi tanggung
jawab daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Urusan yang telah
diserahkan dapat ditarik kembali dengan peraturan perundang-undangan yang
setingkat.
Terlambatnya penyerahan urusan oleh Pusat
pada Daerah Otonom merupakan masalah utama dalam pelaksanaan Otonomi Daerah.
Keterlambatan ini dipengaruhi pula oleh kesulitan penentuan urusan yang akan
diserahkan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut dan atas desakan dari berbagai
daerah dibentuklah undang-undang tentang sistem pemerintahan daerah yang lebih komprehensif
yang dikenal dengan UU 22/1999 yang mulai berlaku tahun 2001. Seiring dengan undang-undang
ini, diterbitkan pula UU 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan Pusat- Daerah.
Dengan diterbitkannya kedua undang-undang ini berarti pelaksanaan sistem desentralisasi
semakin jelas, baik ditinjau dari sisi administrasi pemerintahan maupun dilihat
dari segi pembiayaan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah.
UU 22/1999 tidak mengenal penjenjangan daerah
dalam pelaksanaan administrasi pemerintahan. Propinsi yang sebelumnya dikenal
sebagai Daerah Tingkat I yang menjadi atasan Daerah Tingkat II, tidak lagi
mempunyai hubungan hierarki satu sama lain. Sedangkan daerah Tingkat II dihapus
dan diganti dengan sebutan daerah Kabupaten dan daerah Kota. Masing-masing
daerah, baik Propinsi, Kabupaten ataupun Kota berhak mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat sesuai kewenangan menurut prakarsa sendiri dan berdasarkan aspirasi
masyarakat.
Konsep
dan Sistem Penyerahan Wewenang
Wewenang oleh Gie (1968 c) diartikan sebagai
kekuasaan yang sah untuk memerintahkan sesuatu atau melakukan sesuatu tindakan.
Lawan dari wewenang adalah kewajiban. Dengan istilah lain dapat dinyatakan
sebagai “tugas” untuk wewenang dan “tanggung jawab” untuk kewajiban. Ini adalah
mirip dengan istilah “authority” dan “responsibility” dalam dunia bisnis.
Sehingga pelimpahan wewenang dalam bidang publik dapat disamakan dengan istilah
delegation of authority dalam dunia bisnis.
Ketidakjelasan konsep dan sistem penyerahan
wewenang akan berakibat fatal terhadap pencapaian tujuan organisasi. Organisasi
yang lebih kecil yang dapat diartikan sebagai Daerah Otonom bagi sebuah Negara
tidak akan dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik sesuai dengan tujuan
organisasi yang lebih besar yaitu Negara. Kegagalan pelaksanaan otonomi akan terjadi
bila Daerah tidak dapat melaksanakan tugas atau kewenangan dengan baik.
Akhirnya, pencapaian tujuan Bangsa akan
semakin jauh sebagai akibat pelaksanaan desentralisasi dengan konsep dan sistem
penyerahan wewenang yang kabur. Inilah selama ini yang terjadi dalam sistem
pemerintahan di Indonesia. Persoalan utama adalah dalam penentuan peranan
pemerintah daerah dalam era otonomi. Ada dua isu penting yang muncul yaitu pertama
adalah isu tentang pengertian tugas atau urusan administrasi pemerintahan
dan kedua adalah isu tentang sistem penyerahan urusan tersebut dari
Pusat ke Daerah. Penyerahan urusan didasarkan pada kesiapan daerah untuk
menerimanya.
Jika daerah belum siap, maka penyerahan
urusan tidak dapat dilakukan. Jadi berarti pelaksanaan desentrasilasi
berdasarkan UU 5/1974 adalah secara bertahap. Mengukur kesiapan daerah yang
dijadikan sebagai dasar penyerahan urusan telah menjadi kendala dalam
pelaksanaan otonomi daerah. Pusat menganggap Daerah belum siap untuk menerima
urusan tertentu. Sedangkan pada pihak lain, Daerah menganggap dia telah siap
dan
Pusat enggan menyerahkan urusan yang sebenarnya sudah dapat dilaksanakannya.
Keadaan ini memperbesar konflik antara Pusat
dan Daerah. Akibatnya adalah memperlambat pelaksanaan undang-undang tersebut.
Percontohan pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU 5/1994 baru dimulai tahun
1995. Kabupaten Tanah Datar dijadikan sebagai pilot proyek untuk Sumatera Barat
dan hasilnya tidak memuaskan, sebagai akibat dari kesulitan penentuan urusan yang
diperlukan oleh Daerah yang bersangkutan (lihat. Syahruddin 1999).
UU 22/1999 yang mulai dilakukan tahun 2001
menganut konsep pembagian kewenangan. Penyerahan (pemberian) kewenangan kepada
Daerah Otonomi dilakukan secara umum. Yang dijelaskan secara rinci adalah
kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Sedangkan kewenangan
Kabupaten/Kota yang diberikan otonomi luas dalam undang-undang ini adalah semua
kewenangan dalam bidang pemerintahan diluar kewenangan Pemerintah dan Propinsi.
Untuk tidak memberikan dampak negatif pada pelaksanaan pemerintahan di daerah, undang-undang
menetapkan sejumlah kewenangan wajib yang akan dilaksanakan oleh Daerah Otonom.
Ada 11 (sebelas) bidang pemerintahan wajib
yang harus dilaksanakan oleh Daerah Otonom yaitu: (1) pekerjaan umum, (2)
kesehatan, (3) pendidikan dan kebudayaan, (4) pertanian, (5) perhubungan, (6)
industri dan perdagangan, (7) penanaman modal, (8) lingkungan hidup, (9) pertanahan,
(10) koperasi dan (11) tenaga kerja. Pemerintah Daerah dapat merinci bidang pemerintahan
wajib tersebut menjadi kewenangan daerah sesuai kebutuhan dan kemampuan daerah
untuk pembiayaannya serta sumber daya manusia yang tersedia.
Daerah diperkirakan tidak akan mengalami
kesulitan yang berarti baik untuk menentukan kewenangan maupun untuk
pelaksanaan keseluruhan bidang pemerintahan tersebut. Kesimpulan ini didasarkan
pada pengalaman Daerah dalam pelaksanaan pemerintahan selama ini. Kebanyakan
dari bidang pemerintahan tersebut telah pernah dilaksanakan di Daerah. Disamping
perbedaan metode penyerahan kewenangan oleh Pusat kepada Daerah Otonom,
terdapat pula dua bentuk perbedaan yang sangat berarti antara UU 22/1999 dengan
UU 5/1974.
Pertama, UU
22/1999 tidak mengenal lagi adanya hierarki dalam bidang pemerintahan. Istilah
Dati I untuk Propinsi dan Dati II untuk Kabupaten/Kotamadya tidak ada lagi.
Untuk daerah otonomi luas digunakan istilah Kabupaten dan Kota yang tidak
merupakan bawahan langsung dari Propinsi.
Kedua daerah
ini mempunyai kewenangan dalam bidang pemerintahan yang berbeda satu sama
lainnya. Kewenangan Propinsi disamping yang diatur dalam PP 25/2000 adalah kewenangan
yang bersifat lintas kabupaten-kota dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan
oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota (Ps. 9 UU 22/1999) Hapusnya dualisme
dalam sistem pemerintahan didaerah merupakan kemajuan yang cukup berarti dalam
sistem ketatanegaraan dengan diberlakukannya UU 22/1999. Di daerah tidak ada
lagi instansi vertikal seperti yang dianut dalam UU 5/1974, kecuali untuk lima
bidang pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah yaitu : (1) politik luar
negeri, (2) pertahanan keamanan, (3) peradilan, (4) moneter dan fiskal dan (5)
agama. Namun dengan keluarnya Keputusan Presiden 109/2000 tentang pengembalian
kewenangan daerah dalam bidang pertahanan kepada pemerintah menunjukan tidak
konsistennya Pemerintah dalam pelaksanaan UU 22/1999. Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa UU 22/1999 adalah merupakan penyempurnaan UU 5/1974. Konsep pembangian
kewenangan digunakan dalam penyerahan kewenangan kepada Daerah Otonomi.
Penyerahan kewenangan ini dilakukan secara umum, sehingga ketergantungan Daerah
terhadap Pemerintah dalam menjalankan pemerintahan di daerah akan dapat
diminimalkan. Dampaknya adalah berkurangnya kekuasaan Gubernur terhadap
Bupati/Walikota yang selama ini dimilikinya.
Keuntungan yang terlihat adalah tidak
terjadinya penundaan pelaksanaan aturan yang ada. Pelaksanaan aturan otonomi
daerah ini dapat dilaksanakan sesuai jadwal. Namun pada pihak lain
ketidaksiapan daerah akan menjadi kendala utama. Disamping itu, koordinasi
antar daerah yang selama ini dilaksanakan oleh Propinsi menjadi sulit untuk
diwujudkan, kecuali adanya keinginan yang kuat antar Daerah Otonom.
Tujuan
Otonomi Daerah
Sulit untuk menemukan secara jelas tujuan
pemberian otonomi kepada Daerah baik yang bersifat terbatas maupun otonomi yang
bersifat luas. Oleh karena itu, sub-bahagian ini mencoba mengemukakan tujuan
otonomi melalui UU 22/1999 dan sumber-sumber lainnya. Melalui undang-undang ini,
tujuan otonomi dapat dilihat dari pembukaan, isi dan penjelasan UU 22/1999.
*
Tujuan Otonomi Berdasarkan Pembukaan
Butir menimbang dalam UU 22/1999 menyebutkan
banyak kata-kata tentang “Otonomi Daerah”. Butir (a) merupakan landasan
pemberian Otonomi Daerah yaitu UUD 1945. Butir (b) dan (c) dapat memberikan
gambaran tentang tujuan Otonomi Daerah. Isi kedua butir menimbang ini adalah
seperti berikut:
Bahwa dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan
pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.
Bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar
negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan Otonomi
Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab
kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah,
yang dilaksanakan dalam kerangka NKRI.
UU 22/1999 “menimbang” butir (b) dan (c)
Kata-kata yang ada pada butir pertama tidak
memberikan arti yang jelas. Apakah: prinsipprinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman Daerah merupakan alasan pemberian otonomi ataukah merupakan dasar
pemberian otonomi. Kata-kata demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan
mungkin dapat dikategorikan sebagai tujuan. Sedangkan kata potensi dan keanekaragaman
Daerah mungkin dapat digolongkan kepada dasar pemberian otonomi.
Selanjutnya, kata-kata yang ada pada alinea
kedua dapat dianggap sebagai tujuan atau sasaran yang diinginkan dari pemberian
Otonomi Daerah. Efisiensi atau daya saing daerah dapat dijadikan sebagai tujuan
otonomi. Kesimpulan ini terlihat dari kata-kata: (1) dalam menghadapi perkembangan
………., (2) dipandang perlu menyelenggarakan Otonomi Daerah. Krisis ekonomi yang
terjadi pertengahan tahun 1997 dan munculnya berbagai tuntutan yang mengarah
pada disintegrasi Bangsa adalah merupakan perkembangan keadaan yang ada di
dalam negeri.
Sedangkan perkembangan yang ada di luar
negeri adalah meningkatnya arus keinginan untuk pelaksanaan perdagangan bebas. Perkembangan
keadaan di dalam dan di luar negeri memaksa pemerintah untuk bekerja lebih
efisien dan berusaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi berdasarkan potensi yang
ada. Ketergantungan ekonomi pada luar negeri sangat besar akibatnya jika
terjadi gangguan pada nilai mata uang dalam negeri. Resesi ekonomi tahun 1997
telah memberikan pengalaman yang sangat berharga dalam menetapkan kebijaksanaan
peningkatan pertumbuhan di masa datang.
Industri yang menggunakan bahan baku impor
mengalami banyak kesulitan. Sebaliknya industri yang tingkat ketergantungannya
terhadap luar negeri kecil dapat bertahan dari kesulitan ekonomi yang terjadi
tersebut. Industri kecil dan menengah ternyata mempunyai daya tahan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan industri besar terhadap ketidak stabilan nilai
rupiah.
Jumlah industri (usaha) kecil adalah besar
dan tersebar pada seluruh daerah di Indonesia. Oleh karena itu, seyogianyalah
pembinaan dan pengembangan usaha-usaha tersebut diserahkan pada daerah. Daerah
tentu akan lebih mengetahui persoalan-persoalan yang dihadapi oleh usaha kecil
menengah tersebut dan dengan demikian daerah dapat diharapkan membina
pertumbuhan usaha kecil dan menengah tersebut sesuai kondisi yang ada pada
masing-masing daerah. Untuk maksud tersebut (peningkatan efisiensi dan daya
saing pengusaha tentunya) perlu diselenggarakan Otonomi Daerah dengan
memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah
secara proporsional. Pengertian otonomi disini adalah berbentuk “memberikan
kewenangan”. Bertanggung jawab secara proporsional tentu mengandung arti
kewenangan sama besarnya dengan tanggung jawab. Semakin besar kewenangan yang diberikan
akan semakin besar tanggung jawab daerah dan sebaliknya. Sedangkan produknya adalah
efisiensi.
Wujud dari pemberian kewenangan dan tanggung
jawab tersebut adalah: pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya
nasional serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Apakah kata-kata
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional memiliki sebuah arti
ataukah tidak? Apakah pengaturan dan pembagian tertuju pada pemanfaatan sumber
daya nasional ataukah tidak? Sedangkan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD)
jelas mempunyai arti tersendiri, sebab Perimbangan Keuangan ini diatur oleh
undangundang tersendiri (UU 25/1999).
Jika pengaturan, pembagian dan penggunaan
sumberdaya nasional mempunyai pengertian sendiri-sendiri, maka pengaturan akan
terkait pada pelaksanaan Otonomi Daerah. Dia akan mencakup semua aturan-aturan
yang ada yaitu UU 22/1999 dengan semua aturan pelaksanaannya. Sedangkan kata
pembagian mungkin dapat diartikan sebagai pembagian kewenangan antara
Pemerintah (Pusat), Propinsi dan Kabupaten/Kota. Tetapi, jika pengaturan pembagian
dan pemanfaatan sumber daya nasional merupakan sebuah rangkaian kata-kata yang tidak
terpisahkan satu sama lainnya, maka inti dari permasalahan adalah pemanfaatan
sumber daya nasional. Sehingga dengan demikian, Otonomi daerah lebih mengarah
kepada pelaksanaan pembangunan daerah. Selanjutnya, butir kedua diakhiri dengan
kata-kata: sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat,
pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah, yang
dilaksanakan dalam kerangka NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Prinsip-prinsip ini adalah sama dengan bunyi
butir pertama seperti telah dikemukakan di atas. Dengan anggapan kata-kata
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional mempunyai arti
terpisah satu sama lainnya, maka prinsip-prinsip tersebut dapat berarti tujuan
dan dasar pemberian Otonomi Daerah. Yang perlu mendapatkan perhatian lebih jauh
adalah penggunaan kata-kata: dilaksanakan dalam kerangka NKRI. Dari kelima
prinsip-prinsip tersebut, kata demokrasi yang diperkirakan dapat menganggu NKRI.
Demokrasi yang terlalu jauh akan dapat merubah bentuk Daerah dari Otonomi
menjadi Federal. Sedangkan kata-kata lain yaitu peran serta masyarakat, pemerataan
dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah berpotensi kecil
terhadap batasan NKRI.
Butir-butir d, e dan f pada menimbang dalam
UU 22/1999 memberikan informasi tentang kelemahan-kelemahan UU 5/1974 dan UU
5/1979. UU 5/1974 dianggap sebagai tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan
Otonomi Daerah dan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti. Begitu juga
halnya dengan UU 5/1979 tentang Pemerintahan Desa dianggap tidak sesuai dengan
jiwa UUD 1945. Jadi ketiga butir pada menimbang ini hanya memberikan dasar
untuk pembuatan aturan baru dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah dan kembali
pada ketentuan yang ada dalam UU 1945 untuk pengaturan sistem Pemerintahan
Desa.
Kesimpulan
Dalam otonomi daerah ketidakjelasan konsep
dan sistem penyerahan wewenang akan berakibat fatal terhadap pencapaian tujuan
organisasi. Organisasi yang lebih kecil yang dapat diartikan sebagai Daerah
Otonom bagi sebuah Negara tidak akan dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan
baik sesuai dengan tujuan organisasi yang lebih besar yaitu Negara. Kegagalan
pelaksanaan otonomi akan terjadi bila Daerah tidak dapat melaksanakan tugas
atau kewenangan dengan baik.
Untuk itu perlu ada kejelasan wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menjalnkan sistem roda
pemerintahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...