Kebudayaan Melayu dengan segala petatah-petitih, ungkapan, syair, gurindam, dan pantunnya, bagi masyarakat non-Melayu, laksana berada nun jauh di sana, tetapi terasa begitu dekat. Ibarat pepatah: Tak kenal maka tak sayang. Begitulah ketika kita sekadar melihat bentuk luar produk kebudayaan Melayu, maka kesan yang segera muncul adalah semacam potret zadul (zaman dulu). Tetapi itulah Melayu. Masyarakatnya secara sadar bersikukuh memelihara tradisi sebagai bentuk dari sikapnya yang tidak berkhianat pada –meminjam ungkapan Sutardji Calzoum Bachri—: Mak budaya, ibu budaya, tradisi yang hidup dan menyatu dengan perilaku masyarakatnya. Dalam konteks itu, Mutiara Karam (Depok: Yayasan Panggung Melayu, 2008, 251 halaman) karya Tusiran Suseno laksana hendak menegaskan kembali sikapnya pada kebudayaan puaknya: Marwah Melayu!
Berkenaan dengan itu, membaca novel Mutiara Karam, kita laksana dibawa memasuki selok-belok serangkaian peristiwa dengan segala panoramanya yang khas Melayu. Meminjam bahasa gaul: Melayu banget! Tak pelak lagi, inilah novel Indonesia yang merepresentasikan kultur, semangat, dan estetika Melayu. Oleh karena itu, pemahaman terhadapnya, juga mesti berangkat dari perspektif dunia Melayu.
Berbeda dengan dua novel Taufik Ikram Jamil, Hempasan Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001) yang menempatkan puak Melayu sebagai pintu masuk melakukan perlawanan kultural, Ediruslan Pe Amanriza dalam Dikalahkan Sang Sapurba (Pekanbaru: Yayasan Pustaka Riau, 2000) yang menolak pencaplokan hutan di Riau oleh para pemegang HPH atau Rida K Liamsi dalam Bulang Cahaya (Surabaya: JP Book, 2007, v + 326 halaman) yang mengangkat konflik Melayu—Bugis yang menyebabkan terbelahnya Kerajaan Melayu, Tusiran Suseno dalam Mutiara Karam berkisah tentang dunia lanun, kehidupan para perompak.
Kisahnya sendiri tidaklah rumit: sebuah keluarga dibajak di tengah laut. Suri, putri tunggal keluarga itu, selamat meski menjadi tawanan para perompak. Sahar, putra mantan salah seorang prajurit Kerajaan Lingga, mengamankannya. Dan seperti telah dapat diduga, cinta pun bersemi dalam diri keduanya. Tetapi di sana ada Kapau, anak tunggal salah seorang ketua lanun. Terjadilah kisah cinta segi empat, karena sebelumnya Kapau telah bertunangan dengan Bibah. Dan di tengah intrik itu, Sahar –dan terutama ayahnya—bermaksud kembali ke Lingga sebagai bentuk pertobatan atas perbuatannya sebagai perompak. Tetapi sebelum harapan itu wujud menjadi kenyataan, perkampungan lanun diserbu prajurit Kerajaan Lingga. Dalam pertempuran itu, Kapau mati dalam duel dengan Sahar yang membela prajurit Lingga. Sahar sendiri akhirnya tewas lantaran luka-luka yang dideritanya. Dan Suri sampai akhir hayatnya, tetap sendiri sebagai wujud cinta-sucinya kepada Sahar.
Dari segi bentuk, novel ini tidaklah menyuguhkan teknik bercerita yang rumit dan jlimet. Segalanya dikisahkan secara konvensional. Meski di sana ada beberapa peristiwa sorot balik (flashback), secara keseluruhan pembaca sudah dapat menduga, ke mana peristiwa berikutnya akan diarahkan. Tujuannya, tentu saja agar pembaca memperoleh gambaran lengkap tentang satu atau beberapa peristiwa dalam novel itu. Akibatnya, dalam sejumlah peristiwa yang digambarkan dalam novel itu, tak terhindarkan, muncul hingar (noise), lantaran pengarang ikut hadir di sana. Bahkan, penokohan terkesan stereotipe, hitam—putih dengan beberapa hujah sengaja ditimpakan kepada tokoh tertentu.
Dalam konteks kesusastraan Indonesia, novel Mutiara Karam tentu saja secara tematis ikut memperkaya tema novel sejenis yang bermain dalam tataran warna lokal dengan segala kearifan lokalnya. Dan kultur Melayu dengan segala petatah-petitih, peribahasa, pantun dan gurindamnya, secara cantik berkelindan menyusup—masuk dalam narasi dan dialog tokoh-tokohnya. Dengan demikian, kemelayuan itu melesap, nemplok begitu saja dalam segala peristiwa. Di situlah segala petatah-petitih itu memperlihatkan fungsinya dalam kehidupan kebudayaan masyarakat Melayu.
Segala pantun dan peribahasa berhasil menjadi bagian integral keseluruhan peristiwa cerita. Segalanya itu hadir tidak artifisial. Itulah etika dan adab susila Melayu, yang dalam ungkapan Tenas Effendy –Bapak Pantun Nusantara—sebagai tunjuk ajar. Bagaimanapun, pantun atau apa pun dalam masyarakat Melayu dapat seenaknya hadir tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Maka, saya dapat memahami peristiwa menjelang kematian tokoh Sahar, yang dalam sakaratul maut pun, ia menyampaikan pantun: Beras pulut di negeri seberang/Habis tinggal dimakan tekukur/ Jangan takut ditinggal seorang/Arwahku tinggal menemani tidur// (hlm. 247). Dan setelah menyampaikan pantun, melayanglah arwah tokoh itu.
***
Penekanan pada satu atau beberapa aspek dalam sastra (: novel) memang kerap berimplikasi sejumlah risiko. Itu pula yang terjadi pada novel Mutiara Karam. Lihat saja, bagaimana proses penerimaan Suri atas cinta Sahar, tokoh yang justru menjadi bagian tak terpisahkan dari kematian Encik Bakak, ayahnya. Ketika ayah menjadi tumpuan segala harapan, sumber segala kasih sayang, kematian yang wajar dan tidak tiba-tiba pun, tetap akan menyisakan kepedihan. Dan kini, kematian itu justru secara tiba-tiba dengan cara yang tak wajar. Niscaya, peristiwa itu akan memendamkan kepedihan yang tak terperikan. Ia menjadi trauma yang teramat dalam. Penyembuhannya pun, tentu saja memerlukan proses panjang. Bahkan, sangat mungkin malah tak dapat sembuh sepanjang seusia. Jadi, agaknya ada keterlupaan yang dilakukan Tusiran Suseno: problem psikologis!
Persoalannya berbeda dengan perubahan sikap tokoh Panglima Kaman, ayah Sahar. Kesadarannya untuk kembali ke Lingga sebagai bentuk pertobatan, tidak berkaitan secara langsung dengan persoalan trauma psikologis, melainkan dengan persoalan harga diri: hasrat memperoleh pangakuan, legitimasi sosial, semacam dengan postpower sindrom. Mereka yang mengalami sindrom kekuasaan seperti itu, cenderung mudah sembuh ketika ia memperoleh kekuasaan atau jabatan lain. Dengan demikian, setelah sekian lama menggelandang jadi lanun, kesadaran itu muncul manakala kelelahan dan usia makin mematangkan jiwanya.
Gambaran tokoh Panglima Kaman sesungguhnya juga merupakan representasi pemimpin ideal dalam pandangan dunia Melayu. Ungkapan Melayu mengatakan, seorang pemimpin pantang mempunyai sifat-sifat berikut: “… sifat yang salah beserta sumbang, sifat tak menuruti syarak dan undang, sifat melawan adat terbentang, sifat menuju kebencian orang, sifat membinasakan muka belakang.” Bagaimanapun, Panglima Kaman pernah menjadi abdi negara yang kiprahnya semata-mata untuk kepentingan negeri. Niscaya, ia memahami betul filosofi pemimpin abdi yang dalam ungkapan Melayu dikatakan: “Hidup berjasa, mati berbudi. Kepentingan umat ia santuni. Kepentingan negeri ia dahului. Kepentingan dirinya ia batasi.” Jika kemudian ia menjadi lanun, tindakan itu sesungguhnya sebagai protes atau kompensasi atas sikap rajanya yang keliru. Maka, tentu saja perbuatannya sebagai lanun, tidak sepenuhnya sebagai sikap hidup. Ada kesadaran untuk berpantang pada sifat-sifat yang dinyatakan dalam ungkapan itu. “Apa tanda pemimpin terpuji? Mengabdikan dirinya hinggalah mati.” Itulah sikap hidup pemimpin abdi dalam pengertian sebagai abdi negeri.
Lalu mengapa pula Sahar berkhianat pada para pemimpin lanun? Bukankah pengkhianatan bagi orang Melayu sebagai sikap yang juga harus dipantangkan? Duduk perkaranya adalah bahwa para pemimpin lanun itu sekadar menciptakan kerusakan. Pemimpin semacam itu, dalam filosofi orang Melayu adalah apa yang disebut sebagai pemimpin acah. Ia bagaikan pancang di dalam bencah. Tegak tak kukuh, berdirinya goyah. Digoyang sedikit ia berpindah. Bila memimpin, rakyatnya susah.” Pemimpin lanun adalah sosok pemimpin yang: “bergantung pada yang serong/berpijak pada yang merusak/ bersandar pada yang ingkar/berumah pada yang salah// Itu pula dasar pertimbangan Sahar untuk berpaling membantu prajurit Lingga daripada menjani lanun.
***
Selain persoalan itu, dalam banyak peristiwa tampak benar keberpihakan atau penolakan pengarang pada tokoh-tokoh rekaannya. Dalam kasus ini, pengarang sengaja melakukan itu sebagai bentuk kesadarannya sebagai orang Melayu. Lihat saja, betapa busuknya karakter tokoh Bibah dan Bedah yang bertolak belakang dengan karakter tokoh Suri. Cermati juga, betapa idealnya karakter tokoh Sahar. Bahkan, ketika ia hanyut dalam nafsu asmara, meski Suri sendiri sudah merelakannya, pengarang masih harus menyelamatkan citra ideal lelaki Melayu. “Cinta sejati lebih pada jiwa, jiwa yang suci pula yang tidak terkotori oleh nafsu.” (hlm. 202) Maka, menjelang puncak birahi Sahar—Suri, “Sahar tersadar. Cepat ia bangkit dan mengenakan pakaiannya.” (hlm. 204) Dengan begitu, selamatlah Sahar, ketokohannya tak tercoreng oleh nafsu birahi.
Lalu apa maknanya penyelamatan yang dilakukan pengarang atas ketokohan Sahar? Itulah estetika Melayu. Ia harus tetap tampil sebagai anutan. Tampil sebagai tipe ideal seorang lelaki. Maka, betapapun secara logika, peristiwa itu dalam kenyataannya hamper musykil, duduk perkaranya adalah titik tekannya yang lebih berpihak pada konvensi sosial daripada semangat melakukan pemberontakan sebagai ekspresi kebebasan kreasi. Kultur Melayu telah terlanjur menjadi Mak Budaya yang telah melahirkan dan membesarkannya. Maka, ia tidak hendak berkhianat pada Mak Budaya, meski ia melanggar logika manusiawi. Tusiran Suseno lebih memilih ibu budayanya. Itulah yang kemudian melandasi filosofinya dalam berkesenian.
***
Jika diyakini bahwa sastra sebagai potret sosial, representasi kultural, maka Mutiara Karam telah memperlihatkan dirinya sebagai potret sosial-budaya yang melahirkan, membesarkan, dan melingkari diri pengarangnya. Oleh karena itu, memahami estetika novel itu, tidak dapat lain, kecuali melihatnya dari perspektif kultur Melayu. Hanya dengan cara itu kita dapat memperlakukan novel itu, bahkan karya-karya sastra lainnya, secara adil dan bertanggung jawab. Bukankah usaha memahami karya sastra selengkapnya hanya mungkin dapat dilakukan jika kita tidak memisahkan teks itu dengan konteks kebudayaan yang melahirkannya?
Demikianlah ….
** Diskusi dan Peluncuran Buku Mutiara Karam (Depok: Yayasan Panggung Melayu, 2008, 251 hlm) diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 30 November 2008, Pukul 13.00—16.00
Sebelum terjadi reformasi dan pemberlakuan otonomi daerah, sebagian besar sastrawan Riau cenderung mengangkat tema-tema perlawanan kultural. Pemerintah Pusat dengan kebijaksanaan sentralitasnya telah menghasilkan terjadinya ketimpangan sosial di hampir semua daerah di Indonesia, termasuk di dalamnya, Provinsi Riau. Munculnya kota dalam desa, sebagaimana yang terjadi di ladang-ladang perminyakan dan di Provinsi Riau terjadi di Dumai, telah menciptakan kemewahan di lokasi kilang-kilang minyak itu, dan kemelaratan di desa-desa di sekelilingnya. Hal yang sama terjadi di Batam. Kota itu dibangun sebagai pintu masuk Sijori (Singapura, Johor, Riau). Perumahan mewah lebih dari separuhnya milik orang-orang Jakarta, sementara masyarakat Melayu dibiarkan menonton dalam kondisi tetap melarat di tanahnya sendiri. Periksa Maman S Mahayana, “Cerpen Melayu—Riau: Kegelisahan Sebuah Mazhab” dalam Bermain dengan Cerpen, Jakarta: Gramedia, 2006.
Novel ini berkisah tentang pembangkangan penduduk atas penguasaan lahan hutan oleh para pengusaha. Boleh dikatakan, novel ini merepresentasikan kegelisahan masyarakat Riau –ketika itu—atas terjadinya penyerobotan hutan atas nama Hak Pengelolaan Hutan (HPH) oleh para pengusaha di Jakarta. Modus operadi yang kerap digunakan adalah dengan pembakaran hutan.
Novel ini menceritakan bagaimana cinta, kekuasaan, dan marwah berjalin kelindan menciptakan konflik antartokohnya yang kemudian wujud dalam intrik politik yang cerdas, beradab, beradat yang terjadi dalam lingkungan Kerajaan Melayu.
Kisah ini mengingatkan saya pada novel Muda Teruna (1922) Muhammad Kasim.
Perhatikan beberapa kutipan berikut ini yang memperlihatkan kehadiran pengarang: “Ya. Kita tinggalkan dulu cerita tentang budi dan bahasa, kita kembali kepada ‘nak dara yang berkerudung dengan kain sarungnya itu.” (hlm. 9—10). “Untuk sementara pandangan kita alihkan kembali ke sebuah pulau yang berada di hadapan Pulau Lingga, sebuah pulau kecil yang berpenghuni cukup ramai, yaitu Pulau Mepar. Dan kita mundur beberapa hari ke belakang sejak peristiwa penjarahan lanun terhadap perahu-perahu saudagar Encik Bakak dari Selat.” (hlm. 68—69). “Di awal tadi dikatakan bahwa ada seorang yang sangat gelisah.” (hlm. 180).
6 Untuk menciptakan konflik lebih rumit, pengarang menghadirkan cinta segi empat lewat tokoh protagonis–antagonis: Sahar—Kapau dan Suri—Bibah. Perhatikan kutipan berikut yang memperlihatkan hujah pengarang dalam menilai tokoh tertentu: “Padahal keberadaan dua wanita itu, memang telah direncanakan oleh seseorang, seorang wanita yang berhati busuk, yang berhati culas, yang pendengki. Hati dan pikirannya bersahabat dengan iblis. Siapa lagi kalau bukan si Bedah!” (hlm. 125). “Pengalaman masa lalu membuatnya menjadi wanita yang jahat, sejahat-jahatnya, bagai kembaran iblis.” (hlm. 126). “Entahlah … yang jelas Bedah merasa, apa yang dilihatnya akan menjadi senjata, akan menjadi modal untuk menyusahkan orang sekaligus menyenangkan jiwa iblisnya. “ (hlm. 127). Dalam peristiwa berikutnya, tokoh Bedah—teman Bibah, dan Bibah sendiri “dihukum” oleh pengarangnya dengan kematian: Bedah mati tertusuk keris Kapau, dan Bibah mati tertusuk senjata Jalak. Perhatikan lagi “hukuman” pengarang kepada tokoh Bedah: “Seakan Malaikat Maut sengaja mencabut nyawa Bedah perlahan-lahan, sehingga sangat menyakitkan, mungkin sebagai sedikit gambaran dari ganjaran perbuatannya di dunia.” (hlm. 229)
Jauh sebelum itu, Suman Hs dalam Kasih tak Terlerai, juga memanfaatkan lokalitas Melayu yang memperlihatkan potret sosial zamannya.
Bagi masyarakat non-Melayu, peristiwa berpantun menjelang sakaratul maut, tentu saja tidak lazim. Tetapi itulah estetika Melayu. Pantun tidak terikat oleh ruang dan waktu, tidak tersekat oleh usia, jenis kelamin, stratifikasi sosial, dan agama. Bandingkan dengan film-film Bolywood yang menempatkan nyanyian dan tari-tarian sebagai bagian penting dalam setiap peristiwa. Dalam hal ini, Tusiran Soseno tampaknya sengaja menekankan betapa besar peranan pantun dalam kehidupan masyarakat Melayu. Dikatakan Tenas Effendy, “Orang tua-tua Melayu mengatakan, rendang kayu kerana daunnya, terpandang Melayu kerana pantunnya. Ungkapan ini mencerminkan betapa besarnya peranan pantun dalam kehidupan orang Melayu.” Lihat Tenas Effendy, Khazanah Pantun Melayu Riau, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007.
Dalam banyak kasus, berbagai peristiwa traumatik seperti perkosaan, kekerasan, bahkan juga pembunuhan, lebih dari 80 % korbannya mengalami gangguan psikologis selama hidup. Jadi, tampak di sini, Tusiran Suseno lalai pada problem itu lantaran ia tergoda pada alur cerita yang telah dirancangnya sejak awal. Meskipun demikian, kematian Sahar, boleh dikatakan merupakan bentuk penyelesaian yang cerdas untuk menghindari klise dan ketidakwajaran yang lebih parah.
Selengkapnya tentang filosofi kepemimpinan Melayu, lihat Tenas Effendy, Pemimpin dalam Ungkapan Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002.
Penggambaran pola penokohan hitam—putih yang seperti ini memang sejalan dengan tunjuk ajar, bagaimana seorang lelaki mengejawantahkan cintanya pada sang kekasih. Tokoh Sahar harus tetap tampil ideal. Bandingkan misalnya dengan romantisisme film-film Bolywood yang menabukan adegan berciuman. Jika adegan itu dilanggar, ia tidak diperlakukan sebagai inovasi atau pemberontakan pada tradisi estetik, melainkan justru sebagai pelanggaran pada konvensi sosial, norma, dan etika. Jadi, konsep konvensi—inovasi dalam konteks itu bukan pada pelanggaran terhadap tradisi dan konvensi sosial. Jadi, saya dapat memahami penyelamatan yang dilakukan pengarang atas ketokohan Sahar.
Sumber: http://mahayana-mahadewa.com/2010/09/11/estetika-melayu-dalam-mutiara-karam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...