Oleh: Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Tidak
mudah untuk mendefinisikan dua kata ini, yakni kata etika dan moral. Setiap
kali berusaha mendefinisikan dua kata ini dengan menggunakan bahasa sendiri
sering kali penulis merasa seperti dibenturkan dengan pendapat lain yang
mungkin saja akan berbeda. Apa yang saat ini menurut kita adalah sesuatu hal yang
kurang etis mungkin saja menurut orang lain adalah hal yang biasa saja. Kenyataan
yang terkadang kontradiktif ini menjadikan etika bersifat relatif. Ia akan
dianggap etis dan tidak etis tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Bisa
saja hari ini dinilai tidak etis tapi dikemudian hari akan menjadi hal yang
biasa saja. Hal ini dipengaruhi oleh bagaimana persepsi kolektif itu dibangun.
Dalam
kehidupan sehari-hari etika sering kali disandingkan dengan moral. Seolah-olah
menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan yang melekat pada masing-masing
individu yang ikut berperan dalam menentukan apakah individu itu layak untuk
dikatakan baik atau pun sebaliknya.
Dalam
perjalanan sejarah tidak jarang pula kita jumpai pejabat publik dari belahan
dunia yang tersandung kasus yang berkaitan dengan etika dan moral, dan tidak
jarang pula karena persoalan etika dan moral itu pula mereka dipaksa
menanggalkan jabatan publik mereka. Begitulah salah satu akibat yang mungkin
saja akan terjadi pada pejabat publik ketika etika dan moral itu diabaikan.
Begitu
juga dengan kasus kontroversi yang menimpa Bupati Garut Aceng H.M. Fikri. Tindakan
Sang Bupati dianggap oleh sebagian pihak sebagai tindakan yang tidak etis serta
telah merendahkan derajad dan martabat perempuan karena secara sadar telah menceraikan
istrinya Fany Octora yang baru saja empat hari ia nikahi. Bukan itu saja
ternyata cara yang ia gunakan untuk menceraikan istrinya adalah cara yang tidak
lazim digunakan baik dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun
dalam hukum Islam. Ia menceraikan istrinya melalui pesan singkat.
Persepsi
tentang etika cenderung akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan zaman, karena
membicarakan etika berarti membicarakan persoalan pandangan atau persepsi individu
atau sekelompok orang yang erat hubungannya dengan upaya menentukan perbuatan
yang dilakukan seseorang untuk dapat dikatakan baik atau buruk. Di samping itu
etika juga berkaitan dengan aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh
akal manusia. Dengan adanya etika dalam sebuah pergaulan masyarakat akan dapat dilihat
baik dan buruknya.
Antara Etika dan Moral
Moral
adalah istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat serta
peran, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan
benar, salah, baik, atau buruk. Kalau kita sandingkan antara etika dan moral
kemudian kita lihat dengan sudut pandang objek, maka kita akan mendapati hal
yang sama, yakni antara etika dan moral sama-sama membahas tentang perbuatan
manusia yang akan menentukan baik buruknya perbuatan tersebut.
Di
samping memiliki persamaan dalam soal objek, etika dan moral juga memiliki
perbedaan. Pertama dalam hal tolok
ukur, Dalam mengukur tingkah laku manusia moral menggunakan tolok ukur yang berkaitan
dengan adat istiadat, kebiasaan, dan hal lainnya yang berlaku di masyarakat. Kedua dalam hal pemakaian, Moral dipakai
untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk sistem nilai
yang ada. Moral berkaitan dengan akhlak dan budi pekerti seseorang. Dalam sebuah
teori, moral digunakan untuk memformulasikan suatu prosedur dan mekanisme untuk
pemecahan masalah-masalah etik.
Catatan untuk Pejabat
Publik
Mungkin
Bupati Garut boleh saja merasa terzolimi dan dipojokkkan dengan sebagian
pemberitaan media yang dianggapnya telah menggiring persoalan keluarga yang
merupakan persoalan privat ke ranah publik. Ditambah lagi berbagai aksi protes
dari kalangan perempuan yang menganggap tindakan yang dilakukan oleh Bupati
tersebut adalah perbuatan yang telah merendahkan derajad serta martabat kaum
perempuan. Namun jangan lupa bahwa disamping sebagai makhluk individu yang
mempunyai wilayah privat Bupati Garut juga harus memahami bahwa ada sebuah
jabatan publik yang melekat pada dirinya yang tidak bisa ia lepaskan begitu
saja. Dengan melekatnya jabatan publik pada dirinya maka ia berkewajiban
memberikan contoh yang baik serta harus bisa menjadikan dirinya sebagai panutan
bagi masyarakat yang dipimpinnya.
Hal
ini sebenarnya yang telah diabaikan oleh Bupati Garut. Ia lupa bahwa ia adalah
pejabat publik yang setiap gerak geriknya tidak lepas dari sorotan dari semua
kalangan sebagai bentuk control sosial. Dari kejadian ini sesungguhnya yang
dikhawatirkan adalah jika tindakan yang dilakukan oleh Bupati Garut ini didiamkan
saja tanpa diproses maka ditakutkan akan membentuk persepsi kolektif masyarakat
yang keliru sehingga apa yang telah dilakukan oleh Pak Bupati Garut tersebut dianggap
menjadi sebuah hal yang biasa dan ini akan berimbas buruk terhadap anggapan
masyarakat kepada pejabat publik lainnya.
Harapan
kita tentunya adalah apa yang telah terjadi dengan Bupati Garut tentang pelanggaran
etika dan moral hendaknya mendapat sanksi yang tegas sehingga hal seperti ini
tidak terulang lagi dan tidak akan dijadikan inspirasi bagi pejabat lain di
negeri ini, khususnya di Provinsi Jambi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...