Jumat, 13 Mei 2016

"Muara Sinta": Pembacaan Dekonstruktif Danarto Terhadap Cerita Ramayana

Oleh: Mohamad Ikhwan Rosyidi 
Abstrak

Tulisan ini menganalisis permainan kata yang menimbulkan perubahan dan pergeseran makna antara penanda dan petanda yang akan dianalisis dengan pisau dekonstruksi. Dilakukan dengan mengemukakan: pertama, oposisi tertentu merupakan pemaksaan (imposition) ideologis dan metafisik dengan memperhatikan: presuposisi-presuposisi dan peranannya ke dalam sistem nilai-nilai metafisika menunjukkan bagaimana sistem itu dihancurkan dalam teks-teks yang mengungkapkan dan bersandar padanya ; kedua, mempertahankan oposisi itu dengan : memakainya dalam argumen sendiri, dan menerimanya kembali dengan suatu pembalikan yang memberinya status dan akibat yang berbeda.
Hasil yang diperoleh Muara Sinta lebih mengorientasikan perjalanan tokoh-tokohnya untuk tujuan keakhiratan. Upaya pendekonstruksian Danarto terhadap Cerita Ramayana menyilangkan orientasi cerita yang bersifat keduniaan dengan memarginalkan keakhiratan. Menurut Danarto, dunia harus digantikan dengan akhirat. Pengejawantahan dari itu semua adalah pemanunggalingan kawula lan Gusti.
Kata Kunci: dekonstruksi, oposisi, pembalikan, pergeseran makna

I. Pengantar
Tulisan sebuah sarana informasi yang luar biasa. Tulisan bisa memberikan makna yang berbeda pada setiap orang yang memaknainya. Tulisan berisi tanda-tanda yang mempunyai makna yang berisikan penanda dan petanda. Makna ini berbeda antara penanda dan petandanya yang terjadi dalam proses pembacaan tanda oleh pembaca. Menurut Derrida (dalam Piliang, 2003: 126) menyatakan bahwa tulisan pada kenyataan melepaskan diri dari ucapan dengan segala asumsi kebenaran alamiah (logos)nya dan dari predikat sebagai topeng dari Logos. Tulisan adalah sebuah permainan bebas unsur-unsur dalam bahasa dan komunikasi. Tulisan adalah proses perubahan makna secara terus-menerus dan menempatkannya pada posisi di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos).

Dasar inilah yang akan digunakan untuk membaca cerita pendek Danarto yang berjudul “Muara Sinta”. Cerita ini mengisahkan bagaimana Rama mencoba mencari Sinta yang sudah membakar diri. Keyakinan Rama bahwa Sinta masih bisa hidup yang mungkin menjelma di dalam diri siapa pun. Sebelum mencari Sinta, Rama bersemedi mencoba merefleksi kejadian yang menimpanya. Rahwana mendapatkan Sinta karena ia mengubah dirinya serupa dengan Rama. Setelah mendapatkan petunjuk, ia menyelesaikan pertapanya untuk mencari Sinta. Tanpa disadari wujud mukanya telah berubah menjadi Rahwana. Ketika Rama bertanya kepada orang dan dewa yang ditemuinya, mereka tidak percaya ia sebenarnya adalah Rama. Tidak dapat dipungkiri, ia tertolak dan tidak menjawab respon yang positif. Akhirnya, Rama dapat bertemu dengan Sinta dan mencoba meyakinkan Sinta bahwa ia adalah Rama. Namun, Sinta tidak percaya kalau ia adalah Rama. Menurut Sinta, ia adalah Rahwana yang mencoba berikrar kalau ia adalah Rama. 

Cerita ini menarik karena beberapa alasan. Penulis menilai pertama, Danarto adalah cerpenis yang berbeda dengan cerpenis-cerpenis Idrus, Asrul Sani, Budi Darma, atau Nh. Dini. Danarto menerabas pola baku penulisan cerpen yang sudah dikenal, baik mengenai tokoh, setting, peristiwa, maupun logika cerita. Atmosfer cerita-cerita Danarto (Rampan, 2005:270) berada pada posisi antara dunia nyata dan dunia tidak nyata, antara yang abstrak dan yang konkret, dan antara realitas dan khayal. Ia membebaskan diri dari konvensi dan memasuki sebuah pola inkonvensional yang mencirikan sastra sufistik yang ditulis secara improvisasi. Kedua, Danarto (Rampan, 2005:273) merupakan salah satu pembaru dalam cerita pendek Indonesia dan muncul sebagai tokoh penting pada pertengahan tahun 1960-an. Ketika itu penyair Sutardji Colzoum Bachri melahirkan karya-karyanya yang berakar dari dunia tradisional Melayu sebagai landasan pembaruan di bidang puisi Indonesia mutakhir. Sementara itu,  

Danarto menggali dunia tradisional Jawa dan jiwa sufisme sebagai landasan pembaruan di bidang cerita pendek. Alasan kedua, merujuk apa yang dikatakan Rampan (2003: 273) bahwa cerpen Danarto “Muara Sinta” memperlihatkan luasnya daerah penciptaan yang menjadi ajang garapannya, di mana ia menghidupkan dunia mitos dan menariknya pada suasana zaman kini dengan cara yang mengesankan. Terakhir, penulis melihat di dalam cerita ini terdapat ‘permainan kata-kata’. Permainan kata ini tentunya menimbulkan makna yang selalu berubah-ubah. Pergeseran makna antara penanda dan petanda inilah yang coba akan dianalisis dengan pisau dekonstruksi. 

Sumber: Jurnal Mlangun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...