Senin, 26 September 2011

Aspirasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Kebijakan Daerah Pasca Undang-Undang No.32 Tahun 2004

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Beberapa waktu belakangan semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah satu topik yang banyak dibicarakan. Otonomi Daerah menjadi wacana dan bahan kajian dari berbagai kalangan, baik pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, kalangan akademisi, pelaku ekonomi bahkan masayarakat awam. Semua pihak berbicara dan memberikan komentar tentang “otonomi daerah” menurut pemahaman dan persepsinya masing-masing. Perbedaan pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap otonomi daerah sangat disebabkan perbedaan sudut pandang dan pendekatan yang digunakan.
Walaupun sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah suatu hal yang baru karena semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia , konsep otonomi daerah sudah digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bahkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan dilaksanakanya program otonomi daerah, pada umumnya masyarakat mengharapkan adanya peningkatan kesejahteraan dalam bentuk peningkatan mutu pelayanan masyarakat, partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam pengambilan kebijakan publik, yang sejauh ini hal tersebut kurang mendapat perhatian dari pemerintah pusat. Namun kenyataannya sejak diterapkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah sejak Januari 2001, belum menunjukkan perkembangan yang signifikan bagi pemenuhan harapan masyarakat tersebut.
Berbagai kemungkinan penyimpangan kekuasaan lahir dari era transisi desentralisasi kewenangan. Diantara penyimpangan itu antara lain seperti: korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) termasuk juga didalamnya bidang politik di daerah. Diantara penyimpangan itu yang sangat menonjol setelah otonomi daerah ini bergulir antara lain semakin merebaknya kasus-kasus politik uang dalam pemilihan kepala daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang tidak memihak pada kesejahteraan rakyat banyak, penggemukan instansi-instansi tertentu di daerah yang menimbulkan disalokasi anggaran, dan meningkatkan pungutan-pungutan melalui peraturan-peraturan daerah (perda) yang memberatkan masyarakat dan tidak kondusif bagi pengembangan dunia usaha di daerah.
Berbagai pihak menyoroti realitas otonomi daerah yang rawan terhadap terjadinya KKN tersebut, dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :


(1) Program otonomi daerah hanya terbatas pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat atau tanpa partisipasi masyarakat secara luas. Dengan perkataan lain, program otonomi daerah tidak diikuti dengan prograrn demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan umum di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada para elit lokal (daerah) baik elit eksekutif maupun elit legislatif untuk mengakses sumber-sumber ekonomi daerah dan politik daerah, yang rawan terhadap KKN, perbuatan sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang dan atau perbuatan yang rnelampui batas wewenang;
(2) Tidak adanya institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif
penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik bupati maupun Walikota tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan
bertanggungjawab kepada DPRD. Hubungan pemerintahan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah tidak lagi struktural, melainkan fungsional yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah.
(3) Terjadi indikasi KKN yang cukup krusial antara pemerintah daerah dan DPRD, sehingga kontrol terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintah

daerah sulit terlaksana, sementara kontrol dari kalangan masyarakat masih sangat lemah.
Berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis dan akuntabel, merupakan isu yang sangat penting dan strategis. Hal tersebut sesungguhnya merupakan konsekuensi logis otonomi daerah yang semestinya memungkinkan:
(1) Semakin dekatnya pelayanan pemerintahan daerah kepada masyarakat;
(2) Penyelesaian masalah-masalah di daerah menjadi lebih terfokus dan mandiri;
(3) Partisipasi masyarakat menjadi lebih luas dalam pembangunan daerah;
(4) Masyarakat melakukan pengawasan lebih intensif terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Keempat faktor tersebut hanya dapat berlangsung dalam suatu pemerintahan yang demokratis dan akuntabel. Pelaksanaan otonomi daerah tanpa diimbangi dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis dan akuntabel, pada hakekatnya otonomi daerah tersebut telah kehilangan jati diri dan maknanya.
Pemerintahan daerah yang demokratis dapat dikaji dari dua aspek, yakni aspek tataran proses maupun aspek tataran substansinya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dikatakan demokratis secara proses, apabila pemerintahan daerah yang bersangkutan mampu membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat dalam semua pembuatan maupun pengkritisan terhadap sesuatu kebijakan daerah yang dilaksanakan. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dikatakan demokratis secara substansial apabila kebijakan-kebijakan daerah yang dibuat oleh para penguasa daerah mencerminkan aspirasi masyarakat.
Sesuatu pemerintahan daerah dikatakan akuntabel, apabila ia mampu menjalankan prosedur-prosedur yang telah ada dan dapat mepertanggungjawabkannya kepada publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kebijakan-kebijakan daerah yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, demikian pula dengan tidak adanya keterpaduan dalam mekanisme pembuatan kebijakan daerah antara kepala daerah dengan DPRD, menimbulkan permasalahan di berbagai daerah.
Dengan demikian tidak ada kejelasan mengenai produk hukum daerah, yang dapat mendukung proses mengalirnya partisipasi masyarakat dalam setiap proses pembuatan kebijakan daerah dan atau pengkritisan atas suatu pelaksanaan setiap kebijakan daerah. Dengan perkataan lain tidak ada kejelasan mengenai pranata hukum daerah yang mengatur mekanisme penyaluran aspirasi masyarakat guna mewujudkan suatu pemerintahan daerah yang bersih bebas dari KKN.
Sebagai ilustrasi pemerintahan Kabupaten Kerinci secara perposif dipilih sebagai lokasi penelitian hukum empiris, dengan pertimbangan bahwa (pemerintahan Kabupaten Kerinci merupakan salah satu pemerintahan daerah yang mempunyai kedudukan, fungsi dan peranan yang sejajar dengan pemerintahan daerah lainnya, dalam jajaran dan sistem pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia. Demikian pula secara perposif ilustrasi obyek kajian dibatasi khusus eksistensi kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari KKN.

2. Perumusan Masalah
Bertolak dari paparan latar belakang masalah, dapat dirumuskan sebagai isu sentral dalam penelitian ini yaitu : "ketidak jelasan eksistensi kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme", yang kemudian diungkapkan dalam judul penelitian yaitu : "ASPIRASI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBUATAN KEBIJAKAN DAERAH PASCA UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2004". Isu sentral tersebut mengandung berbagai permasalahan, baik permasalahan hukum empiris maupun permasalahan hukum normatif, baik permasalahan hukum normatif pada lapisan dogmatik hukum maupun pada lapisan teori hukum.
Dengan demikian dapatlah dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1. Permasalahan hukum empiris, bagaimanakah realisasi pembuatan kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih.
2. Permasalahan hukum normatif pada lapisan dogmatik hukum, apakah dalam setiap pembuatan kebijakan daerah telah melibatkan partisipasi masyarakat, demikian pula apakah produk-produk kebijakan daerah pasca UU No. 32 Tahun 2004 telah mencerminkan aspirasi masyarakat.
3. Permasalahan hukum normatif pada lapisan teori hukum, mengapa masyarakat perlu dilibatkan dalam setiap pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah.

4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini meliputi berbagai dimensi antara lain :
a. Tujuan deskriptif, untuk mengetahui realisasi pembuatan dan atau evaluasi kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan
b. Tujuan kreatif, untuk mengetahui ada tidaknya partisipasi masyarakat dalam setiap pembuatan kebijakan daerah dan untuk mengetahui aspiratif tidaknya produk-produk kebijakan daerah pasca UU No. 32 Tahun 2004.
c. Tujuan inovatif, untuk mengetahui perlu tidaknya masyarakat dilibatkan dalam setiap pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah.

5. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik untuk kepentingan akademis maupun untuk kepentingan praktis,
a. Manfaat akademis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pengembangan ilmu hukum pada khususnya.
b. Manfaat praktis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan wacana bagi para elit eksekuttf dan legislatff dalam pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah, serta bagi masyarakat luas agar menyadari akan hak dan kewajibannya untuk berperan serta aktif dalam setiap pembuatan dan evaluasi atas kebijakan-kebijakan daerah.
6. Metode Penelitian
Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan kombinasi antara penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif. Masing-masing tipe penelitian tersebut digunakan sesuai dengan kebutuhannya.
Penelitian hukum empiris dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam (in depth interviews) dengan para responden dan nara sumber yang berkompeten dan terkait dengan masalah yang diteliti (obyek yang diteliti), untuk mendapatkan data primer dan akan dilakukan pula dengan studi kasus.
Penelitian hukum normatif dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum baik primer, sekunder dan atau tersier. Dalam rangka mendapatkan jawaban atau penyelesaian atas masalah-masalah (isu hukum) yang telah dirumuskan, dapat dipergunakan empat model pendekatan penyelesaian masalah yaitu pendekatan peraturan perundang-undangan (statutory approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan historis (historical approach), yang penerapannya disesuaikan dengan kebutuhan. Semua pendekatan yang disebutkan di atas diterapkan pada lapisan ilmu hukum dogmatik dan atau lapisan hukum teoritik sebagai berikut:
(1) Lapisan Dogmatik Hukum
Pada lapisan ini uraian mengarah dalam bentuk memaparkan, membandingkan, menginterpretasikan hukum yang berlaku atau hukum positif. Dalam penelitian ini analisis mengarah pada ada tidaknya partisipasi masyarakat dalam setiap pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah Kabupaten Kerinci dan aspiratif tidaknya produk-produk kebijakan daerah. Kabupaten Kerinci pasca UU No. 32 Tahun 2004.
(2) Lapisan Teori Hukum
Dalam lapisan ini dianalisis peraturan perundangan yang ada, apakah telah memberikan pemahaman sepenuhnya atau memberikan penjelasan bila ada perbedaan tentang semua obyek atau pengertian aturan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini analisis mengarah pada perlu tidaknya masyarakat dilibatkan dalam setiap pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah Kabupaten Kerinci.
Dalam pendekatan dari sudut pandang teori bukum, dikenal tiga lapisan ilmu hukum, yang terdiri dari :
1. Dogmatik hukum
D.H.M. Meuwissen, memberikan batasan pengertian dogmatik hukum sebagai ".... Memaparkan, menganalisis, mensistimatisasi dan menginterpretasikan hukum yang berlaku atau hukum positif” (Sukismo, 2002 (b): 15, Meuwissen, 1979 : 660).
M. Van Hoecke memberikan pengertian doghmatika hukura sebagai: "... cabang ilmu hukum (dalam arti luas) yang memaparkan, mensistematisasi hukum positif yang berlaku dalam masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu, dari sudut pandang normatif” (Gijessels, Hoeke, 1982.: 75).
J.J.H. Bruggink (Sukismo, 2002 (b): 15-16, Bruggink (alih bahasa Arief Sidharta), 1996 :169-170) mengemukakan pendapatnya bahwa :
"Dengan bertolak dari kenyataan yang ada dalam hukum pada suatu saat tertentu ia berkenaan dengan suatu masalah tertentu, hendak menawarkan alternatif penyelesaian yuridisk yang mungkin. Hal itu dengan sendirinya menyebabkan bahwa dogmatikus hukum bekerja dari sudut perspektif internal. Ia justru menghendaki sebagai parisipan yang ikut berbicara (peserta aktif secara langsung) dalam diskusi yuridik mengemukakan wawasannya tehadap hukum positif. Justru keakraban dengan sistem hukum yang dipelajarinya, menyebabkan (membuat) ia menjadi dogmatikus yang berarti.”
2. Teori Hukum Dalam Arti Sempit.
Teori hukum dalam arti sempit, selanjutnya disebut teori hukum, terletak antara Dogmatika Hukum dan Filsafat Hukum.
M. Van Hoecke (Gijssels- Hoecke, 1982: 75) mencoba memperjelas dengan perbedaan dalam jenis-jenis teori hukum dengan menggunakan pengertian meta teori:
"Meta teori adalah teori yang didalamnya suatu teori lain direnungkan. Jadi, jenis teori hukum yang satu dapat ditipikasi sebagai meta teori dari dogmatika Hukum, dan yang lainnya sebagai teori hukum dari hukum positif. Karena dimungkinkan lagi adanya teori tentang meta teori (yang disebut meta teori), maka rangkaian ini dapat dilanjutkan tanpa batas.
M. Van Hoecke menjelaskan lagi bahwa :
"Ikhwalnya tidaklah demikian. Sampai pada filsafat hukum, yang seperti akan kita lihat merupakan teori yang fundamental, kita menemukan titik akhir. Filsafat hukum adalah juga teori yang merefleksikan teorinya sendiri dan tidak memiliki meta teori diatasnya, maka ia sendiri harus meneliti masalah-masalah berkenaan dengan sifat keilmuan dan metodologi Filsafat Hukum. Jadi disini filsafat Hukum harus merefleksi diri (Sukismo, 2002 (b): 17, Bruggink, 1996 : 171).
Hubungan antara dogmatika hukum, teori hukum, dan filsafat hukum dalam meta teori-meta teori seperti telah dijelaskan oleh M. Van Hoecke atau dalam perbedaan tataran analisis seperti yang dilakukan oleh Meuwissen dan selanjutnya dijelaskan oleh Bruggink (Sukismo, 2002 (b) : 17, Bruggink, 1996 : 175-176) bahwa Filsafat Hukum adalah meta teori untuk teori hukum. Mengingat bahwa teori hukum, adalah teori untuk dogmatika Hukum, maka filsafat Hukum adalah meta teori-meta teori untuk dogmatika hukum. Tetapi dalam penelitian tesis ini penulis hanya menganalisis pada lapisan Dogmatik Hukum dan Teori Hukum. Penjelasan yang senada diungkapkan oleh B. Arief Sidharta dalam disertasinya mensitir pendapat M. Van Hoecke tentang hubungan antara dogmatika hukum, teori hukum dan Filsafat Hukum dengan menggunakan konsep meta teori yakni ilmu (disiplin) yang obyek studinya adalah ilmu lain. Berdasarkan konsep ini, teori hukum terdiri dari dua jenis :
a. Meta teori dogmatika hukum yang mempersoalkan ajaran ilmu (yang membahas landasan kefilsafatan) dan ajaran metode dari dogmatika hukum.
b. Teori tentang hukum positif yang menelaah pengertian hukum, pengertian-pengertian dalam hukum, metodologi hukum yang mencakup metodologi pembentukan hukum dan metodologi penerapan hukum. Filsafat hukum adalah meta teori dari teori hukum dan meta teori dari dogmatika hukum serta teori tentang hukum (refleksi tentang hakekat hukum dan keadilan). Filsafat hukum sendiri tidak mempunyai meta teori, karena sebagai filsafat ia merefleksi dirinya sendiri untuk mempertanggungjawabkan keberadaannya dan menjelaskan makna karaktemya (Sukismo, 2002 (b) : 13. Sidharta, 1996 : 141-142. Gijjssels - Hoecke, 1982 : 76,91-95).
Guna pengembangan hukum teoritis yang dimaksud oleh Meuwissen, Bruggink mengguaakan istilah "Teori Hukum dalam arti luas" yang didefinisikan sebagai "keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, sistem tersebut sebagian dipositifkan" (Sukismo, 2002(b): 13. Sidharta, 1996 :142. Bruggink, 1996: 4)
Teori hukum dalam arti luas ini terdiri atas sosiologi hukum, dogmatika hukum, teori hukum dalam arti sempit, dan filsafat hukum (Sukismo, 2002 (b): 18, Sidharta, 1996 :142). JJ.H. Bruggink menjelaskan bahwa :
"Teori hukum itu membedakan diri dari dogmatika hukum, karena ia memiliki penentuan tujuan yang berbeda sekali, yakni semata-mata teoritikal. Masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum yang mungkin ada atau hukum adil atau berkenaan dengan keadilan dari hukum, yang dalam filsafat sering menempati posisi sentral. Obyek teori hukum ini mencakup kegiatan yurisdik seperti pengembangan (rechtbeofening). Dogmatig hukum, pembentukan hukum dan penemuan hukum. Dalam bidang ini berbagai jenis teori hukum diberi nama juga teori (dari) ilmu hukum, dan teori penemuan hukum. Objek yang penting pada bagian ini adalah studi tentang metode yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan yuridisk tersebut".
"Dari uraian tadi sudah dikemukakan sesuatu tentang penetapan tentang tujuan teori hukum Penetapan tujuan teoritikalnya membedakan teori hukum dari dokmatika hukum, yang diarahkan pada praktek hukum. Teoritikus hukum terutama hendak memberikan pemahaman tentang objek yang dipelajari. Sebab pemahaman ini berdampak ke dalam praktek hukum. Walaupun teori hukum tidak mempunyai kepentingan praktikal secara langsung, tetapi teori hukum tetap penting bagi praktek hukum, karena turut memerankan peranan yang pasti mempertinggi kualitas praktek hukum (Sukismo, 2002 (b): 18-19, Bruggink, 1996 : 173-175).

Teori kebenaran yang mengedepan dan relevan berkaitan dengan penelitian tesis ini adalah teori kebenaran koherensi. Hal ini didasarkan atas alasan bahwa pada prinsipnya orientasi penelitian (kajian) tesis ini mengenai keterkaitan antara Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 dengan Peraturan Pemerintah 66 Tahun 2001, atau lebih konkritnya mengenai keterkaitan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-undang 25 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 .
Menurut White, teori kebenaran koherensi diberi makna/arti sebagai :
"...to say what is said (usually called a judment, belief, or proposition) is true or false is to say that coheres orfails coheres with a system of other things which are said; that is a member of a system whose elements are related to each other by ties of logical implication as the elements in a system of pure mathematics are related" (Sukismo, 2002 (b): 19, Allan, White, 1970 : 15)
Menurut Kattsoff, teori kebenaran koherensi diberi makna sebagai :
"... suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita"
(Sukismo, 2002 (b) : 19, Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2001 : 139. Katsoff, 1954, 1986:19).

Bertolak dari pendapat dari White dan Kattsoff tersebut yang bernada hampir sama, dapatlah diungkapkan dengan bahasa yang sederhana, bahwa teori kebenaran koherensi atau teori kebenaran saling berhubungan yaitu suatu proposisi itu atau makna dari pernyataan dari suatu pengetahuan bernilai benar bila proposisi itu mempunyai hubungan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang bernilai benar. Dengan demikian kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah, atau juga pembuktian proposisi itu melalui hubungan logis jika pernyataan yang hendak dibuktikan berkaitan dengan pernyataan-pernyataan logis atau matematis (Sukismo, 2002 (b): 20, Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2001:140).
3. Filsafat Hukum
Filsafat hukum diidentifikasi (diartikan) sebagai induk dari semua disiplin yurisdik, karena filsafat hukum membahas masalah-masalah yang paling fundamental yang timbul dalam hukum. Orang mengatakan juga bahwa filsafat hukum berkenaan dengan masalah-masalah sedemikian fundamental, sehingga bagi manusia tidak terpecahkan, karena masalah-raasalah itu akan melampaui kemampuan berfikir manusia. Filsafat hukum akan merupakan kegiatan yang tdak pemah berakhir, karena mencoba memberikan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan abadi. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan terhadapnya hanya dapat diberikan jawaban, yang menimbulkan lebih banyak pertanyaan baru. Filsafat hukum dapat diberikan definisi sebagai teori tentang dasar-dasar dan batas-batas kaidah hukum (Sukismo, 2002 (b): 20. Bruggink, 1996.: 175).
Penelitian ini diarahkan untuk dapat melakukan kajian ilmu hukum dalam dua lapisan ilmu hukum saja, yakni lapisan Dogmatik Hukum dan Teori Hukum. Sehubungan dengan itu maka objek penelitian yang telah ditetapkan, dipilah-pilahkan menjadi dua kelompok lapisan, yakni kelompok lapisan Dogmatik Hukum dan kelompok lapisan teori hukum, kemudian masing-masing kelompok lapisan keilmuan hukum tersebut dilakukan pengkajian, sesuai dengan karakternya masing-masing, yakni untuk lapisan Dogmatik hukum dan lapisan Teori Hukum menggunakan metode normatif. Dalam hal ini, J.J.H. Bruggink menjelaskan bahwa untuk lapisan Dogmatik hukum konsepnya berupa "technisch juridisch begripen. Eksplanasinya secara teknis yuridis, sifat keilmuan normatif, untuk lapisan teori Hukum konsepnya berupa "algemene begripen", eksplanasinya secara analitis, sifat keilmuannya normatif (dan dapat pula empiris) (Sukismo., 2002 (b): 21. Hadjon, 1994 : 10).

Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan pada tipe penelitian hukum empiris berupa hasil wawancara mendalam (in depth interviews) dengan responden maupun narasumber dan hasil observasi tentang realisasi pembuatan kebijakan daerah Kota Yogyakarta yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme.
Bahan penelitian yang digunakaa pada tipe penelitian hukum normatif berupa bahan hukum, baik bahan hukum primer (primary sources or authorities), maupun bahan hukum sekunder (secondary sources or authorities) dan diiengkapi dengan bahan hukum tersier yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang merupakan data sekunder.
(1) Bahan hukum primer
a). Pancasila
b). UUD45
c) Ketetapan MPR
d) Undang-U No.32 Tahun 2004
e) Peraturan perundang-undangan dan asas-asas yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah Kota Yogyakarta serta sistem pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme..
(2) Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer berupa bahan pustaka seperti buku, majalah,
hasil penelitian, makalah dan lainnya yang terkait dengan kebijakan
daerah yang demokratis dan sistem pemerintahan yang bersih bebas dari
korupsi kolusi dan nepotisme..
(3) Bahan hukum tersier, meliputi bahan yang memberikan kelengkapan
informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

Prosedur pengumpulan bahan penelitian
Bahan penelitian berupa data yang diperoleh melalui penelitian hukum empiris baik melalui wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara maupun melalui observasi, hasil yang terkumpul di narasikan secara komprehensif dan sistematis.
Bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian hukum normatif diinventarisasi, terhadap bahan hukum yang berkenaan dengan isu sentral dilakukan identifikasi.
Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan mengadakan penelusuran atau penemuan kembali melalui daftar petunjuk peraturan yang ada ataupun melalui informasi resmi lainnya ataupun bahan hukum tersier dilakukan dengan mengadakan penelusuran melalui katalog hukum yang terdapat di perpustakaan.
Langkah berikutnya adalah meringkas, mengutip dan mengulas bahan hukum yang telah dikumpulkan itu hasilnya ditulis dengan menggunakan sistem kartu (card system) yang terdiri dari : kartu ikhtisar, kartu kutipan dan kartu ulasan atau kartu analisis, kemudian dipilih dan dihimpun sesuai dengan ketentuan hukum dan atau asas-asas hukum positif yang mendasarinya untuk disusun secara sistematis guna mempermudah dalam analisis.

Pengolahan dan Analisis Bahan Penelitian
Bahan penelitian pada penelitian hukum empiris dikumpulkan dengan observasi dan mewawancarai para responden serta nara sumber khususnya yang berkaitan dengan permasalahan (obyek penelitian) hasilnya dianalisis secara kualitatif, kemudian dituangkan dalam bentuk deskripsi yang menggambarkan tentang realisasi pembuatan kebijakan daerah Kota Yogyakarta yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme.
Bahan penelitian pada penelitian hukum normatif berupa bahan hukum yang berkaitan dengan kebijakan daerah yang demokratis, partisipasi masyarakat dan sistem pemerintahan yang bersih bebas dari KKN, disusun secara sistematis, kemudian di klasifikasi sesuai pokok bahasan. Selanjutnya bahan-bahan hukum tersebut dilakukan analisis secara normatif, sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai jawaban atas permasalahan pada lapisan ilmu dogmatik hukum dan teori hukum, mengenai ada tidaknya partisipasi masyarakat dalam setiap pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah Kabupaten Kerinci dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari KKN serta aspiratif tidaknya produk-produk kebijakan daerah Kabupaten Kerinci pasca UU No. 32 Tahun 2004.
Berdasarkan hasil penelitian, baik penelitian hukum empiris maupun penelitian hukum normatif dapat ditarik kesimpulan dan diajukan saran seperlunya.
7. Sistematika Penulisan
Penulisan hasil penelitian ini akan diuraikan dalam lima bab, yakni Bab I, Bab II, Bab III, Bab IV dan Bab V. Dari bab-bab tersebut kemudian diuraikan lagi menjadi sub-sub bab yang diperlukan. Sistematika ini disusun berdasarkan urutan langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka kegiatan penelitian ini.
Penulisan bab-bab tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut :
Judul: ASPIRASI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBUATAN KEBIJAKAN DAERAH PASCA UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2004

BAB I: PENDAHULUAN, merupakan penjelasan awal yang berisi tentang : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan sistematika penulisan hasil penelitian, dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat selalu mengacu dan berjalan sesuai dengan hal-hal yang telah ditetapkan sebelumnya.
BABII: TINJAUAN PUSTAKA, merupakan uraian sistematis bahan pustaka yang akan dijadikan kerangka teori pada tipe penelitian hukum empiris, dan atau akan dijadikan bahan hukum utama pada tipe penelitian hukum normatif.
BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, merupakan analisis dan bahasan terhadap bahan penelitian yang dilakukan selama penelitian berlangsung, guna mendapatkan jawaban atas masalah-masalah yang telah dirumuskan, dipaparkan lebih lanjut dalam sub-sub bab yakni:
1. Aspirasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Kebijakan Daerah Pasca Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
2.1 Kebijakan Daerah yang Aspiratif
2.2 Kebijakan Daerah yang Demokratis
2.3 Peran Serta Masyarakat dalam Pembentukan Kebijakan Daerah
2. Realisasi Pembuatan dan Evaluasi Kebijakan Daerah
1.1. Mekanisme dan Prosedur Pembuatan Kebijakan Daerah
1.2. Keterbukaan dalam Pembentukan Kebijakan Daerah
1.3. Eksistensi Pemerintahan Daerah yang Bersih Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme
3. Legalitas dan Perlindungan Hukum dalam Pembentukan Kebijakan Daerah
3.1 Prinsip Negara Hukum dalam Pembentukan Kebijakan
Daerah
3.2 Legalitas dalam Pembentukan Kebijakan Daerah
3.3 Perlindungan Hukum dalam Pembentukan Kebijakan Daerah
BAB V: PENUTUP, memuat kesimpulan dan saran seperlunya

Sumber: http://www.google.co.id
Untuk lebih lengkap bisa email ke dee_nbl@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...