Dunia abad 21 ini sebetulnya hanya menggunakan tiga landasan dalam berkomunikasi:
1. Bahasa Inggris
2. Komunikasi digital: internet, multi media atau ICT (Information Communication Technology)
3. Hampir semua bidang atau disiplin ilmu menuntut metode analisa yang rasional. Bukan berarti harus secara matematis saja tapi juga harus runtut dan sistematis.
Tiga landasan komunikasi di ataslah yang menyebabkan orang India memiliki bahasa Inggris versi India, Malaysia dengan bahasa Inggris versi Malaysia demikian juga Singapura termasuk Perancis. Di Perancis bahkan kini ada satu sikap yang menolak keras the Americanization of Marian. Marian, adalah seorang perempuan muda yang mengibarkan bendera pada saat revolusi Perancis. Nama Marian kini menjadi lambang nasionalisme Perancis. Perancis berjuang mati-matian agar kosakata bahasa Inggris tidak menyerbu masuk ke dalam bahasa Perancis.
ICT (Information Communication Technology) tidak bisa dipungkiri didominasi oleh apa yang terjadi di negara-negara barat terutama di Silicon Valley di Amerika Serikat yang nota bene berbahasa Inggris. Mulai dari perangkat keras, perangkat lunak, aplikasi hingga ke sistem. Cara berpikir analitis juga ikut terpengaruh dimana pengaruh ICT (Information Communication Technology) memaksa kita untuk berpikir lebih cepat.
Tuntutan berpikir cepat ini bertentangan dengan budaya Indonesia dimana seringkali kita diam atau tersenyum sebagai pernyataan sikap kita. Sikap diam dan senyum ini jelas tidak tertangkap oleh ICT (Information Communication Technology) yang semuanya harus serba eksplisit. Hal-hal semacam inilah yang membuat Dewan Bahasa di setiap negara kewalahan.
Untuk meminimalkan tiga gelombang pasang ini terhadap bahasa Indonesia maka harus ada kegiatan yang secara terus menerus dilakukan melalui kelompok-kelompok besar seperti birokrasi, militer, partai politik dan dunia akademik. Namun kelompok yang lebih besar lagi yang menurut saya paling efektif dalam memasyarakatkan bahasa Indonesia adalah ribuan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang tersebar di Indonesia. Ribuan LSM inilah yang sekarang merasuki berbagai jenis permasalahan di sekitar kita yang tidak sempat ditangani pemerintah. Mulai dari yang perduli soal lingkungan hingga hanya satu spesies hewan. Kalau kita lihat dari rentangan LSM di dunia, maka jelas sekali keperluan bahasa itu bukan main. LSM ini jelas harus diikutsertakan dalam pengembangan dan pemasyarakatan bahasa. Inilah yang belum dilakukan oleh Dewan Bahasa.
ICT (Information Communication Technology) bisa dimanfaatkan untuk saling bertukar informasi antar LSM. Misalnya pada saat bicara masalah global warming. Apa betul terjemahannya pemanasan bumi? Istilah lain misalnya globalization. Apa tepat menerjemahkannya menjadi globalisasi? Karena rakyat kita belum tentu mengerti istilah globalisasi. Secara gramatika global itu dari globe dan -sasi itu dari -zation. Mengapa bukan penduniaan?
Yang kini ada di garis depan pembangunan bangsa adalah generasi muda yang terlibat dalam ribuan LSM karena di masa depan tidak mungkin pemerintah mampu menampung generasi muda. Jadi, jika Anda ingin menyelamatkan khasanah nasional atau national heritage seperti candi-candi, maka Anda akan dihadapi pada kenyataan dimana banyak sekali istilah-istilah arkeologi yang belum memiliki padanan dalam bahasa Indonesia sehingga masih menggunakan istilah-istilah asing hingga sekarang. Ditambah lagi dengan Google yang menguasai pemetaan dunia, dimana jika seseorang ingin mencari lokasi Borobudur maka setiap peristilahan yang muncul di peta Google semuanya dalam bahasa Inggris. Tentunya pertanyaan berikutnya adalah apakah semuanya harus diIndonesiakan? Kita jelas menghadapi dilema yang tidak bisa dihindari.
Di bidang ilmu kedokteran kini ada istilah rekayasa DNA atau GMO (genetically modified organism) yang dikritik habis oleh LSM karena menyebabkan timbulnya makanan baru yang disebut Frankefood yaitu makanan yang serupa Frankenstein karena mencampur DNA tumbuhan hewan dan manusia. Bagaimana menterjemahkan persoalan di atas ke dalam bahasa Indonesia yang mampu dimengerti oleh rakyat?
Jadi dalam pembentukan istilah atau mencari padanan kata istilah asing di dalam bahasa Indonesia, anggota Dewan Bahasa sebaiknya tidak hanya terdiri dari ahli bahasa (linguist) tapi juga para ahli dari berbagai disiplin ilmu yang mampu bekerja sama dengan Pusat Bahasa. Misalnya orang yang tahu betul masalah teaterlah yang bisa bicara mengenai peristilahan di dalam dunia teater.
Ketika saya ditahan bersama almarhum WS Rendra, saya pernah ditantang untuk menterjemahkan puisi-puisinya ke dalam bahasa Inggris. Sebuah tantangan yang menarik karena menerjemahkan puisi tidak bisa menerjemahkannya begitu saja tanpa memahami arti dari puisi itu sendiri.
Sumber: http://bahasakita.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...