Sabtu, 21 Januari 2012

Rekonstruksi Sistem Kepemilikan SDA untuk Kesejahteraan Rakyat

Pengantar
Siapa yang tidak kenal Kalimantan? Pulau terbesar di Indonesia ini menyimpan segudang kekayaan alam. Kekayaan sumber daya alam Kalimantan meliputi kehutanan, pertanian, perkebunan, dan pertambangan.

Dalam Laporan Pemetaan Sektor Ekonomi yang dipublikasikan Bank Indonesia[1], Kalimantan Timur menempati peringkat kedua setelah Papua sebagai provinsi yang memiliki keunggulan di sektor pertambangan dan penggalian sedangkan Kalimantan Selatan menempati peringkat ketujuh. Pada sub sektor minyak dan gas bumi, Kalimantan Timur tempati peringkat kedua di bawah Riau. Untuk sub sektor pertambangan tanpa migas Kalimantan Selatan berada diperingkat ketiga di bawah Papua dan Nusa Tenggara Barat.

Hanya saja limpahan kekayaan alam tersebut tidak serta merta mengangkat derajat kehidupan penduduk di Kalimantan secara adil dan merata apalagi untuk seluruh rakyat Indonesia. Justru negara melalui berbagai regulasi dan kebijakan membuka kesempatan luas terjadinya penghisapan ekonomi di Kalimantan.

Kutukan Globalisasi
Mengapa wilayah yang kaya SDA justru mengalami pemburukan kinerja dari sisi kesejahteraan masyarakat? Joseph Stiglitz dalam bukunya Making Globalization Work menyebut masalah ini sebagai “kutukan SDA” (natural resource curse).[2]

Menurut Stiglitz, buruknya kinerja tersebut disebabkan oleh banyaknya negara berkembang yang perekonomiannya sangat bergantung pada SDA dan paradoks negara kaya SDA cenderung menjadi negara kaya dengan penduduk yang miskin. Stiglitz menekankan paradoks ini sebagai kegagalan globalisasi yang menjadi pusat kepentingan negara-negara maju.[3]

Secara nasional Kalimantan berkontribusi 9,20% terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto Indonesia yakni sebesar Rp422,7 trilyun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 66,57% Produk Domestik Regional Bruto Kalimantan disumbangkan oleh provinsi Kalimantan Timur (lihat grafik di samping).

Besarnya kontribusi Kaltim terhadap pembentukan PDRB Kalimantan disebabkan oleh potensi pertambangan di provinsi ini jauh lebih besar dibandingkan provinsi lainnya. Struktur PDRB Kaltim sendiri 47,13% disumbangkan oleh sektor pertambangan. Hal ini berbeda dengan provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah yang peran sektor pertambangannya jauh lebih kecil masing-masing 1,48% dan 7,44%. Hanya provinsi Kalimantan Selatan saja yang sektor pertambangannya cukup besar yakni 21,40%.

Meskipun PDRB Kaltim sangat besar bukan jaminan Kaltim tidak ada masalah. Justru provinsi yang paling kaya di Indonesia ini memiliki kinerja yang memprihatinkan dalam upaya mengangkat kesejahteraan rakyatnya. Jikalau output total perekonomian Kaltim (PDRB) diibaratkan sebagai kue, maka hanya sebagian kecil kue saja yang dapat dimakan penduduk Kaltim. Hal yang serupa juga berlaku untuk provinsi lainnya.

Dengan PDRB Rp 281,4 trilyun maka PDRB perkapita Kaltim tahun 2009 mencapai Rp 88,90 juta sehingga menempatkan pendapatan perkapita provinsi ini tertinggi di Indonesia. Anehnya dengan pendapatan rata-rata di atas kertas Rp 7,41 juta per bulan, tingkat pengeluaran perkapita penduduk Kaltim hanya Rp 622.754 saja di mana 45,45% di antaranya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan (lihat lampiran).

Data tersebut menggambarkan adanya gap yang sangat lebar antara pendapatan perkapita di atas kertas dengan pengeluaran perkapita penduduk. Gap ini merupakan indikator terjadinya penghisapan ekonomi. Dari data ini dapat diukur berapa tingkat penghisapan ekonomi.[4]

Tingkat penghisapan ekonomi di Kaltim adalah yang tertinggi di Kalimantan yakni sebesar 90,65%. Berdasarkan perhitungan ini dari Rp 281,4 trilyun PDRB Kaltim hanya 9,35% saja yang dapat dinikmati penduduk selebihnya (90,65%) lari ke luar khususnya ke Jakarta dan ke luar negeri.

Tingkat penghisapan ekonomi provinsi lainnya juga sangat parah tetapi masih di bawah Kaltim. Tingkat penghisapan ekonomi di provinsi Kalbar mencapai 61,98% sedangkan Kalteng dan Kalsel masing-masing 69,02% dan 59,18%. Fakta ini menunjukkan paradoks yang disebutkan oleh Stiglitz. Wilayah yang kaya SDA menjadi kaya dalam ukuran makro (PDRB) tetapi rakyatnya tidak dapat lepas dari kemiskinan karena terjadinya penghisapan.

Kaltim membuktikan sebagai provinsi yang paling besar potensi kekayaan SDA-nya sehingga menjadi provinsi yang paling kaya dalam ukuran makro ekonomi tetapi sebagian penduduknya masih hidup dalam kemiskinan. Dengan standar kemiskinan BPS yang sangat rendah saja, tingkat kemiskinan 2009 di Kaltim mencapai 7,66%. Lebih ironis lagi tingkat pengangguran Kaltim tahun 2009 adalah yang tertinggi di Kalimantan yakni sebesar 11,09%. Tingkat pengangguran ini berada di atas rata-rata tingkat pengangguran nasional 8,14%.

Tingkat pengangguran di provinsi Kalbar 5,63%, Kalteng 4,53%, dan Kalsel 6,75% lebih rendah dari Kaltim karena peran sektor pertanian sebagai penyerap tenaga kerja dalam struktur PDRB masih cukup besar. Peran sektor pertanian Kaltim hanya 5,76% saja sedangkan ketiga provinsi lainnya peran sektor pertanian di atas 20%.

Data-data yang disebutkan di atas membuktikan wilayah yang memiliki kekayaan SDA melimpah akan mengundang penghisapan ekonomi yang lebih besar dibandingkan wilayah yang kekayaan SDA-nya lebih kecil. Meskipun demikian tidak benar bahwa faktor kekayaan SDA menjadi sumber kutukan. Sebab fasilitator penghisapan ekonomi tersebut bukanlah kekayaan SDA itu sendiri melainkan sistem dan aturan kapitalis dan sekuler yang diterapkan di negeri kitalah penyebabnya.

Dalam hal ini globalisasi ekonomi yang didorong oleh motif-motif imperialis negara-negara maju menjadi aktor kunci penghisapan ekonomi di negara-negara berkembang. Negara-negara Kapitalis dengan berkedok globalisasi “mengunci” posisi negara-negara berkembang dalam pusaran liberalisasi ekonomi dan pasar bebas.

Globalisasi membentuk pemahaman bahwa kemakmuran suatu negara dapat diciptakan dengan mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menjadi jalan percepatan bagi sebuah negara (termasuk provinsi) untuk mencapai kemakmuran. Pertumbuhan ekonomi dapat diwujudkan manakala pemerintah pusat dan daerah fokus pada kebijakan peningkatan PDB dan PDRB.

Upaya ini otomatis mendorong pemerintah untuk memperbesar APBN melalui utang. Pemerintah juga dengan sendirinya melakukan liberalisasi ekonomi dan SDA untuk menarik masuknya investor, mencabut subsidi, menaikkan harga barang publik, serta meningkatkan surplus ekspor dari komoditas primer.

Pada tahun 2010 nilai ekspor Kaltim mencapai US$ 25,012 milyar, sedangkan Kalsel US$ 6,37 milyar, Kalbar US$1,05 milyar, dan Kalteng US$ 0,44 milyar. Dengan angka tersebut kontribusi Kaltim terhadap ekspor nasional mencapai 15,90%. Inilah bukti cara penghisapan melalui ekspor SDA yang kemudian hasil-hasilnya berpindah ke tangan para investor baik di Jakarta maupun di luar negeri.

Globalisasi membingkai pertumbuhan ekonomi, investasi asing, dan ekspor menjadi istilah “sakti” yang selalu diinginkan pemerintahan dunia berkembang termasuk para kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten. Padahal manakala pemerintahan daerah mengambil kebijakan tersebut, sesungguhnya mereka telah menjerumuskan rakyatnya dalam kancah global yang imperialis dengan wawasan lokal. Sangat berbahaya dan itu sudah dibuktikan oleh provinsi-provinsi di Kalimantan yang terkena “kutukan globalisasi”.

Politik Ekonomi Islam
Penghisapan ekonomi terjadi karena kita selama ini mempercayai politik pertumbuhan sebagai politik ekonomi yang harus dijalankan. Menurut Abdurrahman al-Maliki[5] politik pertumbuhan merupakan politik ekonomi kapitalis yang menempatkan pertambahan pendapatan nasional sebagai asas perekonomian.

Metode ini hanya memperhatikan bagaimana besaran pendapatan nasional dapat bertambah yang ditandai dengan meningkatnya angka PDB. Metode ini juga menempatkan fokus perhatian negara pada faktor-faktor yang menjadi pendorong pertumbuhan yakni konsumsi masyarakat secara total, tingkat investasi, belanja negara yang dibiayai utang, dan ekspor.

Dalam konteks ini fokus pemecahan masalah ekonomi berkutat pada produksi nasional dalam rangka mendapatkan angka pertumbuhan yang signifikan. Sedangkan warga negara sebagai manusia yang harus dipenuhi kebutuhan hidupnya secara layak tidak mendapatkan perhatian untuk dipecahkan masalahnya. Fakta tentang penghisapan ekonomi di Kalimantan membuktikan masalah ini.

Dengan demikian jelaslah kekeliruan politik pertumbuhan sebagai asas perekonomian yang diterapkan di negara kita. Sedangkan masalah ekonomi sesungguhnya terletak pada pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara secara menyeluruh dan ini adalah tentang masalah distribusi kekayaan. Jadi politik ekonomi suatu negara seharusnya berpijak pada pemecahan masalah distribusi kekayaan.

Menurut Taqiyuddin an-Nabhani[6] politik ekonomi Islam menjadikan distribusi kekayaan sebagai fokus perhatian. Politik ekonomi Islam memandang manusia secara individu yang harus dijamin pemenuhan kebutuhan primernya secara layak dan menyeluruh, serta mendorong mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuan masing-masing.

Politik ekonomi Islam tidak memandang manusia secara kolektif sebagaimana politik pertumbuhan sistem ekonomi Kapitalis yang memecahkan masalah ekonomi dengan cara peningkatan pendapatan nasional tanpa memperhatikan lagi siapa yang memiliki dan menikmatinya.

Ketika Islam tidak menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai politik ekonomi, bukan berarti perekonomian dalam Islam tidak mengalami pertumbuhan. Sebab politik pertumbuhan dengan ekonomi yang tumbuh adalah dua hal yang berbeda.

Untuk merealisasikan politik ekonomi Islam pemerintah harus mengadopsi Syariah sebagai aturan resmi negara. Dalam hal ini pemerintah harus merekonstruksi ulang aturan tentang sistem kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan berdasarkan aturan Syariah.

Rekonstruksi Sistem Kepemilikan SDA
Politik pertumbuhan menyebabkan terjadinya penghisapan ekonomi yang sangat parah di Kalimantan. Langkah mutlak untuk menghentikan penghisapan tersebut adalah dengan cara merekonstruksi sistem kepemilikan atas SDA. Rekonstruksi sistem kepemilikan dalam Islam dilakukan dengan membagi kepemilikan ke dalam tiga jenis, yakni kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Ini merupakan jalan pertama untuk menciptakan struktur ekonomi yang adil dalam perekonomian.

Kepemilikan individu adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan (utility) tertentu sehingga siapa saja dapat memanfaatkan dan memilikinya.[7] Sedangkan kepemilikan negara adalah harta yang menjadi hak kaum muslimin, sementara pengelolaannya menjadi wewenang khalifah.[8]

Adapun kepemilikan umum merupakan izin Allah kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan benda, yakni benda-benda yang telah dinyatakan oleh Allah untuk suatu komunitas dimana mereka masing-masing saling membutuhkan, dan Allah melarang benda tersebut dikuasai oleh individu (swasta). Benda-benda kepemilikan umum ada tisga macam, yaitu:[9]

Fasilitas umum yang jika tidak terdapat dalam suatu komunitas dapat menyebabkan sengketa untuk mencarinya.
Barang tambang yang jumlahnya tak terbatas.
Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu (swasta).
Merekonstruksi kekayaan SDA Kalimantan ke dalam sistem kepemilikan Islam berarti menjadikan barang tambang yang tidak terbatas (dalam ukuran individu) dan hutan Kalimantan sebagai harta milik umum. Aplikasinya dengan menjadikan sumber daya migas, batubara, hutan, dan tambang mineral menjadi hak milik umat. Konsekwensinya adalah melarang individu termasuk investor asing menguasai kekayaan SDA tersebut.

Adapun fungsi negara terhadap kekayaan SDA adalah sebagai wakil umat yang berkewajiban mengelolanya untuk kesejahteraan rakyat dan kemandirian negara. Di sini fungsi negara hanya sebagai pengelola bukan sebagai pemilik. Karenanya haram hukumnya jika negara menyerahkan penguasaan dan pengelolaan harta milik umum tersebut ke tangan swasta dana asing.

Jika rekonstruksi sistem kepemilikan SDA ini disimulasikan, maka kita tidak perlu bertanya kemana perginya kekayaan SDA Kalimantan atau bahkan kekayaan alam Indonesia secara keseluruhan. Sebagai contoh, ekspor Kaltim tahun 2010 sebesar US$ 25,12 milyar. Karena sebagian besar ekspor Kaltim yakni US$ 23,61 milyar[10] adalah barang tambang maka hasilnya harus masuk ke dalam kas negara pada pos penerimaan harta milik umum. Nilai ekspor barang tambang tersebut setara dengan Rp 212,49 trilyun atau kurang lebih 20% dari rencana pendapatan negara dalam APBN 2011.

Kekayaan SDA dalam bentuk barang tambang adalah sebagian kecil dari harta milik umum. Jika seluruh potensi kekayaan ekonomi kita yang termasuk harta milik umum diperhitungkan maka jumlahnya sangat besar. Dengan menerapkan struktur kepemilikan dalam perekonomian nasional berdasarkan Syariah Islam, maka akan terbentuk struktur ekonomi dimana sebagian besar aset ekonomi termasuk harta milik umum. Selebihnya masuk harta milik individu dan milik negara (lihat grafik struktur kepemilikan dalam perekonomian di atas).

Metode ini tidak mengabaikan hak individu dalam kegiatan ekonomi. Justru struktur kepemilikan ini merupakan sebuah metode untuk menjamin keadilan dalam distribusi kekayaan dan mencegah penghisapan ekonomi. Dengan cara ini sektor swasta tidak dapat menguasai harta milik umum termasuk harta milik negara.

Apa yang terjadi di negeri kita seperti di Kalimantan, sektor swasta (sebagian besar diantaranya adalah asing) menguasai harta milik umum. Sehingga berapapun pertumbuhan ekonomi dapat digenjot hanya akan memperbesar kekayaan sekelompok kecil orang yang disebut pemilik modal. Sebaliknya rakyat yang berhak atas harta milik umum tersebut tetap hidup dalam kemiskinan. Pada saat yang sama agregat makro ekonomi dalam bentuk pendapatan nasional (PDB) terus bertambah besar ukurannya.

Tentu saja setiap kekayaan yang menjadi bagian dari harta milik umum dan juga bagian yang menjadi harta milik negara seluruhnya kembali pemanfaatannya kepada setiap individu yang menjadi warga negara dalam bentuk penyediaan barang publik dan pelayanan umum oleh negara. Ini adalah wujud dari politik negara dalam sistem Islam, yakni politik ri’ayah su’unil ummah.

Politik ini adalah sistem politik yang menempatkan negara sebagai pelayan dan pengatur urusan umat dengan menerapkan Syariah Islam secara totalitas. Bukan seperti negara Kapitalis-Sekuler dan sistem politik demokrasi yang menjadikan negara dan rakyat sebagai “hamba sahaya” dari para pemilik modal.

Penutup
Kalimantan adalah salah satu berkah Allah yang dianugerakan kepada kita selaku umatnya. Namun karena negara kita mengadopsi sistem Kapitalis-Sekuler maka yang terjadi bukan keberkahan yang kita raih melainkan kesengsaraan. Perekonomian kita dan kekayaan alam yang ada di atas bumi Kalimantan termasuk wilayah Indonesia lainnya menjadi obyek penghisapan Kapitalisme global dan Kapitalisme lokal.

Karena itu merekonstruksi sistem kepemilikan SDA sesuai aturan Syariah menjadi agenda yang tidak bisa ditawar-tawar lagi jika kita secara sungguh-sungguh menginginkan pemecahan masalah. Rekonstruksi ini membutuhkan kesadaran dan political will dari semua kalangan khususnya negara. Rekonstruksi ini juga harus diikuti dengan pengadopsian Syariah secara totalitas baik dalam wujud sistem kenegaraan dan politik, maupun dengan rekonstruksi sistem perundang-undangan dan penerapan politik ekonomi Islam. InsyaAllah.

Sumber: http://www.jurnal-ekonomi.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...