Selasa, 24 Januari 2012

Gaya Bahasa Metafor dalam Alquran

Abstract

Language is a category for referring to a particular object. It represents reality, not the reality itself. Therefore, language is basically partial, does not represent something completely. For that reason, it is difficult for us to name a certain object because not all of languages provide them. In our empirical world, it is difficult to select an appropriate language to represent reality. Moreover, Koran language emphasize the aspect of belief and understanding. So, in the effort to overcome the language stagnancy, it is very realistic to find out metaphorical and analogous language in Koran. It is due to the fact that metaphor and analogy can bridge the limited human ratio and the unlimited Koran.

Keywords

metaphor, tashbih, majaz, kinayah, isti’arah



Pendahuluan

Makna sentral pemberian wahyu adalah pemberian informasi, yaitu sebuah komunikasi antara dua pihak dengan menyampaikan pesan secara samar dan rahasia (al-Zarqani, 2004:41). Situasi komunikasi dalam konteks wahyu sangat berbeda dengan situasi komunikasi lainnya. Dua sisi komunikasi yang mendasar dalam proses pewahyuan adalah Allah di satu pihak, dan Rasul yang manusiawi di pihak lain. Akan tetapi, beliau telah dipersiapkan oleh Allah untuk memiliki kemampuan menerima firman-Nya sehingga terpelihara dari kemungkinan deviasi ketika Jibryl menyampaikan wahyu kepadanya. Proses ini memiliki cara-cara tertentu sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an (QS. Al-Syuraa:42). Namun pada prinsipnya, seperti yang dikemukakan Deddy Mulyana dengan mengutip pendapat Aristoteles, bahwa proses komunikasi melibatkan tiga unsur yang tidak bisa dipisahkan, yaitu pembicara (speaker), pesan (message) dan pendengar (listener) (Mulyana, 2001:134).

Berkomunikasi, pada hakikatnya, adalah untuk menunjukkan eksistensi diri. Bahasa sebagai salah satu media berkomunikasi merupakan ekspresi dan eksternalisasi diri, agar ia dipahami dan diterima orang lain. Bahasa adalah kategori-kategori untuk merujuk pada obyek tertentu, ia hanya mewakili realitas, bukan realitas itu sendiri. Dengan demikian, bahasa pada dasarnya bersifat parsial, tidak melukiskan sesuatu secara utuh. Sebab itu, ada kalanya kita sulit menamai suatu obyek karena tidak semua bahasa tersedia untuk itu. Ungkapan "dan lain-lain," "dan sebagainya," "dan seterusnya," sebenarnya menunjukkan bahwa tidak ada suatu pernyataan yang dapat mewakili dunia nyata. Meskipun terdapat pengetahuan yang komprehensip mengenai suatu obyek, akan tetapi selalu ada celah atau hal baru untuk dipertimbangkan (Mulyana, 2001:248).

Dalam dunia empiris saja, kita sulit memilih bahasa yang tepat untuk mewakili sebuah realitas, apalagi bahasa al-Qur’an yang sangat menekankan aspek believing (keyakinan) dan understanding (pemahaman) ketimbang explaining (menjelaskan) dan describing (menggambarkan) (Hidayat, 1996:86). Bahasa al-Qur’an memiliki hakikat yang khusus, berbeda dengan bahasa-bahasa yang lain. Ia bukan hanya mengacu pada dunia empirik, tetapi juga mengacu pada dimensi metafisik. Seperti yang dipaparkan Asep, di antara kelemahan bahasa adalah tidak setiap kata yang diungkap mengacu pada suatu obyek yang konkrit, empirik dan dapat dibuktikan secara riel, misalnya, kata jannah (surga) dan naar (neraka) (Hidayat, 2006:35). Sebab itu, dalam upaya mengatasi stagnasi bahasa (M.S, 2003:73), maka sangat realistis bilamana kemudian dikembangkan bahasa metafor dan analogi (Keraf, 2004:137), karena bahasa metafor dan analogi dapat menjembatani rasio manusia yang terbatas dengan bahasa al-Qur’an yang serba tidak terbatas (Badawi, 1950:244).

Bahasa al-Qur’an sangat komunikatif dan bisa diterima, sekalipun dalam satu sisi sangat menantang kemampuan dan kepandaian para ahli bahasa dan sastra pada saat itu. Mereka adalah masyarakat yang paling mengetahui tentang keunikan dan keistimewaan al-Qur’an, serta menyadari akan ketidakmampuannya untuk menyusun semisal al-Qur’an. Meskipun demikian, sebagian mereka ada yang tidak mau menerima kehadiran al-Qur’an, karena pesan-pesan yang dikandungnya tidak sejalan dan bertentangan dengan kebiasaan, tradisi, dan kepercayaan yang diyakini. Sikap penolakan yang mereka lontarkan sesungguhnya bertentangan dengan keyakinan yang sebenarnya. Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an adalah syair, namun mereka sangat menyadari akan keindahan susunan dan irama yang itu tidak mungkin dibuat Muhammad.

Keunikan dan keistimewaan al-Qur’an dari segi bahasa, merupakan kemukjizatan utama dan pertama yang ditunjukkan kepada masyarakat Arab 15 abad yang lalu. Kemukjizatan yang dihadapkan kepada mereka ketika itu, bukan dari segi isyarat ilmiah dan pemberitaan gaibnya, karena kedua aspek ini berada di luar jangkauan pemikiran mereka. Satu huruf dalam al-Qur’an dapat melahirkan keserasian bunyi dalam sebuah kata, dan kumpulan kata akan membentuk keserasian irama dalam rangkaian kalimat, juga dengan kumpulan kalimat akan merangkai keserasian irama dalam ayat. Inilah yang menjadi salah satu mukjizat al-Qur’an dari sisi lafadz dan usluub-nya (al-Qaththan, T.t:262). Sebagaimana dikatakan Abu Sulaiman Ahmad bin Muhammad (w. 388 H.), keindahan susunan lafadz dan ketepatan maknanya, menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah mukjizat yang tidak akan tertandingi selamanya (al-Khafaji, 1992:46).

Kalau memperhatikan lebih seksama tentang struktur kalimat, al-Qur’an sering menggunakan kalimat yang berbeda untuk satu pesan, atau menggunakan struktur kalimat yang sama untuk kasus yang berbeda, sehingga kadang tampak seperti ada deviasi dari aspek tata bahasa yang baku. Dalam pemilihan kata, misalnya, al-Qur’an sering menggunakan beberapa kata yang memiliki arti sama dalam bahasa Indonesia, misalnya, kata "bashar," "insaan," dan "naas" bila diterjemahkan berarti "manusia". Yang menarik adalah, jika setiap kata itu memang memiliki makna yang sama, niscaya antara satu kata dengan kata lainnya bisa saling mengganti. Namun, penggantian semacam itu dalam al-Qur’an tidak diperbolehkan. Pengertian ini mengindikasikan bahwa setiap kata yang diungkap al-Qur’an memiliki karakter makna sesuai dengan konteks pembicaraan.

Pemilihan kata dalam al-Qur’an tidak saja dalam arti keindahan, melainkan juga kekayaan makna yang dapat melahirkan beragam pemahaman. Salah satu faktor yang melatari pemilihan kata dalam al-Qur’an adalah keberadaan konteks, baik yang bersifat geografis, sosial maupun budaya. Dalam kajian sosiolinguistik disebutkan, ketika aktifitas bicara berlangsung, ada dua faktor yang turut menentukan, yaitu faktor situasional dan sosial. Faktor situasi turut mempengaruhi pembicaraan, terutama pemilihan kata-kata dan bagaimana caranya mengkode, sedangkan faktor sosial menentukan bahasa yang dipergunakan (Pateda, 1994:15).

Paradigma Bahasa Metafor: Analisis Historis

Dalam kajian gaya bahasa Arab modern, istilah metafor diidentikkan dengan konsep majaz, yang lazim digunakan oleh para sarjana klasik sebagai lawan dari istilah haqiqat. Berkaitan dengan persoalan majaz, secara historis setidaknya ada tiga kelompok berbeda pandangan, yang memposisikan majaz sebagai lawan dari haqiqat. Pertama, Mu’tazilah, yang secara dogmatis ajarannya banyak bersinggungan dengan majaz. Mereka menjadikan majaz sebagai senjata untuk memberikan interpretasi terhadap teks-teks yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka. Kedua, Dzahiriyah, kelompok yang menolak keberadaan majaz baik dalam bahasa maupun dalam al-Qur’an, dan sebagai konsekuensi mereka juga menolak adanya ta’wil (interpretasi). Pada intinya, mereka menentang dengan keras pemahaman terhadap teks yang melampaui bahasa. Ketiga, Asy’ariyyah, yang mengakui adanya majaz dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Paling tidak mereka memposisikan diri secara moderat di antara dua kelompok di atas (Abu Zaid, 1994:122).

Perbedaan pendapat berkenaan dengan eksistensi majaz dalam al-Qur’an, disebabkan karena perbedaan analisis dan kesimpulan mengenai asal-usul bahasa. Kalangan Mu’tazilah berkeyakinan, bahwa bahasa semata-mata merupakan konvensi murni manusia. Sementara kalangan Dzahiriyah berkeyakinan, bahwa bahasa merupakan pemberian Tuhan (tawqify) yang diajarkan kepada Adam, dan setelah itu beralih kepada anak keturunannya. Berbeda dengan kelompok Asy’ariyyah, yang menyatakan bahasa merupakan kreativitas manusia, akan tetapi tidak bisa dipungkiri, bahwa Tuhan juga berperan dalam memberikan kemampuan kepada manusia.

Meminjam istilah Komaruddin, secara garis besar terdapat tiga teori mengenai asal-usul bahasa, yaitu; teologis, naturalis dan konvensionalis. Pendukung aliran teologis mengatakan, manusia bisa berbahasa karena anugerah Tuhan, pada mulanya Tuhan mengajarkan kepada Adam selaku nenek moyang seluruh manusia. Teori kedua, naturalis, beranggapan bahwa kemampuan manusia berbahasa merupakan bawaan alam, sebagaimana kemampuan untuk melihat, mendengar maupun berjalan. Teori ketiga, konvensionalis, berpandangan bahwa bahasa pada awalnya muncul sebagai produk sosial. Ia merupakan hasil konvensi yang disepakati dan kemudian dilestarikan oleh masyarakat (Hidayat, 1996:29).

Pertentangan mengenai asal-usul bahasa, jauh sebelum pemikir muslim telah muncul dan menjadi polemik di kalangan filosof Yunani. Apakah bahasa itu dikuasai alam, nature atau fisei, ataukah bahasa itu bersifat konvensi atau nomos. Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa adalah bersifat alamiah (fisei), yaitu bahasa mempunyai hubungan dengan asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tak dapat diganti di luar manusia itu sendiri, dan karena itu tak dapat ditolak. Kaum naturalis dengan para tokohnya, seperti Cratylus dalam dialog dengan Plato mengatakan, bahwa semua kata pada umumnya mendekati benda yang ditunjuk. Jadi, ada hubungan antara komposisi bunyi dengan apa yang dimaksud. Bahasa bukanlah hanya bersifat fisis belaka, melainkan telah mencapai makna secara alamiah, atau fisei.

Sebaliknya, kaum konvensionalis berpendapat, bahwa makna bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan berupa persetujuan bersama. Karena itu, bahasa dapat berubah dalam perjalanan zaman. Bahasa bukanlah pemberian Tuhan, melainkan bersifat konvensional. Demikian pendapat Hermogenes saat berdialog dengan Plato (M.S, 1998:28).

Secara etimologis, kata majaz tidak ditemukan dalam al-Qur’an, namun akar kata dari kata majaz, yaitu j-w-z, seperti jawwaza (memotong) dan tajawwaza (melewati) ada dalam al-Qur’an. Joseph van Ess, seperti yang dikutip Nur Kholis menyatakan, bahwa pada abad pertama Hijriyah kata majaz dalam kerangka argumentasi teologis, secara substantif telah dipergunakan. Pengertian substantif yang dimaksud adalah sebagai makna yang melewati batas-batas leksikal dan bukan arti yang sebenarnya. Salah satu contoh, adalah interpretasi Joseph terhadap argumentasi-argumentasi teologis yang dikemukakan oleh Hasan Muhammad Ibn al-Hanafiyah (w. 100 H.) yang dipahami sebagai pemahaman majazi. Pemahaman Joseph terhadap ungkapan Ibn al-Hanafiyah berangkat dari paradigma yang dibangun Jahm ibn Safwan (w.128 H.), yang menyatakan bahwa kemampuan manusia melakukan sesuatu hanyalah merupakan ungkapan majazi, sehingga seolah-olah bisa dikatakan dalam ungkapan lain, “tumbuh-tumbuhan bergerak” atau “matahari terbenam”, yang sejatinya adalah Tuhan-lah yang melakukannya (Setiawan, 2005:183).

Khususnya pada era Bani Umayyah, sulit untuk memisahkan antara argumentasi-argumentasi teologis dengan beberapa tendensi yang ada di luar tafsir dalam karya-karya tafisr klasik. Karena dalam sejarah kesarjanaan klasik, telah didapatkan data sekaligus pemikiran-pemikiran teologis begitu kuat mewarnai penafsiran al-Qur’an. Misalnya karya Abu Ubaidah (w. 207 H.) yang berjudul “Majaz al-Qur’an”, menurut banyak peneliti dianggap sebagai karya paling awal yang secara eksplisit menggunakan kata majaz. Kajian John Wansbrough terhadap karya Abu Ubaidah, menemukan sebanyak 39 model dan jenis ungkapan yang kesemuanya disebut dengan majaz. Akan tetapi majaz yang dimaksud tidak ada hubungannya secara eksplisit dengan majaz dalam pengertian kajian sastra Arab modern.

Adalah Abu Ziyaad al-Farra’ (w. 210 H.) seorang linguis yang beralian Kuffah, juga menggunakan derivasi kata majaz, yaitu tajawwuz (melampaui). Maksud tajawwuz di sini, bisa berarti melampaui batas-batas leksikal dan gramatikalnya, tidak lagi terpaku pada makna dasar yang dimiliki sebuah kalimat. Misalnya, ketika al-Farra’ menafsirkan ayat “famaa rabihat tijaaratuhum” (maka tidaklah beruntung perniagaan mereka)(QS. Al-Baqarah:16), klausa ini melampaui batas-batas aturan kebahasaan Arab keseharian. Pemakaian “perniagaan yang menguntungkan” itu tidak lazim, dan yang dipakai adalah “pedagang yang mendapatkan untung dalam perniagaannya”, atau “perniagaan anda untung, dan perniagaan anda merugi” (Setiawan, 2005:189).

Pengembangan konsep istilah majaz, kemudian dilakukan oleh seorang teolog dan kritikus sastra berhaluan Mu’tazilah, adalah al-Jahidz (w. 155 H.). Ia banyak mengembangkan teori bahasa dan filsafat bahasa. Karya berjudul “al-Bayaan wa al-Tabyiin” dan “al-hayawaan”, merupakan karya yang memuat analisis teori bahasa yang mencerminkan pemikiran Mu’tazilah. Menurut al-Jahidz, majaz dipahami sebagai lawan dari haqiqat. Dalam karya-karyanya, ia tidak hanya menggunakan satu-satunya kata majaz sebagai konsep inti, tetapi ia juga menggunakan beberapa kata yang memiliki arti senada, seperti mathal dan ishtiqaaq, yang dalam penggunaannya mengarah kepada makna sesuatu yang lain. Terkait dengan majaz, al-Jahidz menetapkan dua persyaratan, sehingga memungkinkan terjadinya peralihan makna: pertama, terdapat relasi atau hubungan antara makna leksikal dan makna hasil peralihan, dan kedua, peralihan makna tersebut merupakan hasil konvensi pengguna bahasa, bukan rekayasa individu.

Juga seorang teolog yang beraliran Sunny, Ibn Qutaibah (w. 276 H.) dalam karyanya yang berjudul “Ta’wil Musykil al-Qur’an”, memuat beberapa pembahasan tentang konsep majaz. Secara teoritis, ia membagi majaz dalam dua kategori; pertama majaz lafdzi, dan kedua majaz ma’nawy. Ibn Qutaibah mendefinisikan majaz sebagai bentuk gaya tutur, atau seni bertutur. Untuk itu, kata majaz yang dipergunakan, mencakup peminjaman kata (isti’arah), perumpamaan (tamthyl), resiprokal (maqluub), susun balik (taqdym wa ta’khyr), eliptik (hadhf), pengulangan kata (tikraar), ungkapan tidak langsung (ikhfaa’), ungkapana langsung (idzhaar), sindiran (kinayah), dan sebagainya (Lasyin, 1985:129). Menurut pengertian di atas, ungkap Qutaibah, dalam al-Qur’an banyak ditemukan kata majaz sebagai lawan dari haqiqat. Dalam hal ini, haqiqat dimengerti sebagai kata yang bermakna leksikal, atau makna apa adanya. Lebih jauh ia menyatakan, bahwa penolakan terhadap majaz dalam al-Qur’an, berarti semua ungkapan kalimat dalam al-Qur’an merupakan kebohongan, karena ia bukan pengertian yang sesungguhnya. Ketika majaz dipahami sebagai bentuk kebohongan, maka semua kata kerja yang dipakai untuk binatang dan tumbuhan adalah salah. Juga dengan ungkapan komunitas, karena manusia mengatakan pohon tumbuh besar, bukit berdiri tegak, dan sebagainya.

Konsep majaz berikutnya dikembangkan oleh seorang ahli al-Qur’an, ahli gramatika, dan ahli filologi, adalah Sibawayh (w. 180 H.) menyatakan, majaz adalah seni bertutur yang memungkinkan terjadinya perluasan makna. Tokoh gramatik lainnya, yang juga memberikan kontribusi terhadap konsep majaz adalah al-Mubarrad (w. 286 H.), yang mengatakan, majaz merupakan seni bertutur dan berfungsi untuk mengalihkan makna dasar yang sebenarnya. Begitu pula dengan Ibn Jinny (w. 392 H.), seorang linguis yang turut menguraikan definisi majaz. Ia mengatakan, majaz sebagai lawan dari haqiqat, dan makna haqiqat adalah makna dari setiap kata yang asli, sedangkan majaz adalah sebaliknya, yaitu setiap kata yang maknanya beralih kepada makna lainnya. Tidak ketinggalan, al-Qaadhy ‘Abd al-Jabbaar (W. 417 H.), seorang teolog beraliran Mu’tazilah mengatakan, majaz adalah peralihan makna dari makna dasar atau leksikal ke makna lainnya, yang lebih luas. Konvensi bahasa dan maksud penutur merupakan prasyarat terjadinya ungkapan majazi, dengan begitu ‘Abd al-Jabbaar membagi dua model majaz, yaitu majaz dalm konvensi, dan majaz dalam maksud penutur (Setiawan, 2005:199).

Adalah ‘Abd al-Qaahir al-Jurjaany (W. 471 H.) melalui penalaran dua konsep, yakni majaz versus haqiqat, ia mengatakan sebuah kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain disebut dengan haqiqat. Sedangkan majaz adalah ketika seseorang mengalihkan makna dasar ke makna lainnya, karena alasan tertentu, atau ia bermaksud melebarkan medan makna dari makna dasarnya. Secara teoritik, menurut al-Jurjaany, majaz adalah peralihan makna dari yang leksikal menuju yang literer, atau dari yang denotatif menuju yang konotatif. Secara implisit, definisi di atas mengacu pada pengertian majaz mufrad, yakni majaz dalam kosa kata, sekaligus ia menunjukkan jenis majaz yang kedua, yaitu majaz dalam kalimat. Pembagian ini dilandasi pada pertimbangan bahwa seseorang bisa merangkai majaz, baik dalam bentuk kosa kata maupun dalam bentuk kalimat. Dan penggunaan ini sangat bergantung pada konteksnya (Setiawan, 2005:202).

Termasuk katagori ungkapan majaz, yang pernah berkembang di kalangan sarjana muslim klasik adalah tasybiih. Istilah tasybiih pertama kali dipakai pada era al-Mubarrad (w. 286 H.) dan Ibn al-Mu’taz (w. 296 H.), meskipun kata tersebut juga muncul pada era al-Farra’ dan Abu Ubaidah, namun hanya sebatas sebagai tambahan penjelasan kebahasaan, dan belum sampai pada pengertian sebagai diskursus ilmu bayaan. Al-Jaahidz (w. 255 H.) misalnya, meskipun dalam banyak karya tidak menjadikan tasybiih sebagai obyek kajiannya, namun ia sudah mengulas dan mempergunakannya sebagai penopang argumentasinya akan keindahan ungkapan al-Qur’an (Abas, 1985:18).

Al-Mubarrad (w. 285 H.) dalam karyanya yang berjudul “al-Kaamil”, memberikan ulasan tentang tasybiih. Uraian al-Mubarrad, dinilai oleh para kritikus sastra kontemporer sebagai sumbangan yang sangat berarti terhadap perkembangan tasybiih dalam diskursus retorik Arab. Ia berpendapat, tasybiih merupakan seni bertutur yang paling sering dipakai dalam bahasa Arab. Kajian khusus mengenai tasybiih, telah dilakukan oleh Ibn Aby ‘Awn (w. 323 H.), ia tidak saja membahas tasybiih secara komprehensif, melainkan juga pelbagai macam syair semenjak era klasik sampai era Abbasyyah. Dalam karyanya, “al-Tasybiihaat”, ia menempatkan ayat-ayat al-Qur’an sebagai pijakan dan basis keindahan serta kesempurnaan kei’jazan al-Qur’an. Tetapi, kajian tasybiih secara spesifik sebagai elemen ilmu bayaan dalam kerangka sebagai dogma kei’jazan al-Qur’an baru diangkat oleh al-Rummaany (w. 386 H.). Dibandingkan para sarjana sebelumnya, al-Rummany bukan saja membahas tasybiih pada tataran teoritis, tetapi ia sudah masuk bagaimana al-Qur’an bisa dilacak keindahan sastranya melalui tasybiih. Embrio pemikiran tasybiih di atas, kemudian disempurnakan oleh ‘Abd al-Qaahir al-Jurjaany (w. 471 H.), yang lebih menjelaskan perbedaan antara tasybiih dan tamthil.

Berkenaan dengan kajian tasybiih, maka pada tahapan berikutnya memunculkan tema sentral lainnya, yaitu isti’arah, yang merupakan pengembangan dari tasybiih, hanya saja perbedaannya, kalau isti’arah salah satu dari tharafaa tasybiih yang muncul. Sastrawan Arab pertama kali menggunakan istilah isti’arah adalah Abu ‘Amr bin al-’Alaa’ (w. 154 H.), kemudian diikuti oleh Ibn Qutaibah (w. 276 H.), al-Mubarrad (w. 285 H.), Tha’lab (w. 291 H.), Qadaamah (w. 337 H.), al-Jurjaany (w. 366 H.), al-Rummaaniy (w. 384 H.), Abu Hilaal (w. 395 H.), Ibn Rashiq (w. 463 H.), dan ‘Abd al-Qaahir (w. 471 H.), dan kemudian disempurnakan, sehingga menjadi bagian dari ‘ilm al-bayaan pada masa al-Sakaaky (w. 626 H.) (Lasyin, 1985:160).

Al-Qur’an menggunakan isti’arah bukan hanya sekedar sebagai proses peminjaman kata, seperti lazimnya digunakan dalam syair Arab, tetapi juga meminjam persamaan yang bisa dicerna secara nalar, atau sebagai persamaan yang diambil berdasarkan kemiripan akal sehingga prinsip peminjaman dalam al-Qur’an ini dimaksudkan untuk menarik perhatian para pendengar dan pembaca al-Qur’an sebagai resiptornya.

Selain tasybiih dan isti’arah, tema lain yang menjadi perbincangan adalah kinayah. Konsep ini telah muncul semenjak era Abu Ubaidah (w. 207 H.), al-Farra’ (w. 210 H.) dan al-Jaahidz (w. 255 H.). Penggunaan kinayah banyak dilakukan dalam hubungannya dengan ayat-ayat al-Qur’an. Hanya saja, konsep yang mereka kembangkan belum ditemukan penjelasan yang mendetail, khususnya terkait dengan kritik sastra Arab. Mereka menggunakan kinayah sebatas sebagai perangkat penjelasan, tanpa memasuki kepada kajian yang bersifat teoritis.

Selain al-Mubarrad (w. 258 H.), al-Jurjaany (w. 471 H.) juga pernah melakukakan kajian di mana ia menempatkan kinayah sejajar dengan format ungkapan puitik lainnya, seperti isti’arah, tasybiih dan mathal sebagai elemen pembangun teori konstruksinya. Penjelasan al-Jurjaany ini, selaras dengan pembagian mengenai ungkapan, yakni makna dan makna dari makna. Makna adalah isi dari kosa kata yang bisa dipahami seseorang tanpa melalui perantara. Sedangkan makna dari makna adalah makna yang tidak bisa didapatkan langsung dari bunyi sebuah kata, melainkan melalui perangkat, dan perangkat tersebut di antaranya, adalah isti’arah, tasybiih, mathal, dan kinayah.

Gaya Bahasa al-Qur’an

Dalam pembahasan ini, penulis hanya menyajikan beberapa gaya bahasa al-Qur’an dalam konteks ‘ilm al-bayaan, yang dalam kajian bahasa Arab ia identik dengan bahasa metafor. Di antaranya, adalah gaya bahasa tasybiih, isti’arah, majaz, dan kinayah dari sudut pandang komunikasi.

Pertama, Tashbih

Secara bahasa, tasybiih berarti penyerupaan, sedangkan secara terminologis adalah menyerupakan dua perkara atau lebih yang memiliki kesamaan dalam hal tertentu (al-Hasyimi, 1960:247). Para sastrawan Arab menjelaskan bahwa tasybiih merupakan elemen vital dalam karya sastra. Menurut mereka tasybiih memiliki empat unsur utama, yaitu: sesuatu yang diperbandingkan (al-mushabbah), obyek perbandingan (al-mushabbah bih), alasan perbandingan (wajh al-shibh), dan perangkat perbandingan (adaat al-tasybiih). Ahmad Badawy mengatakan, tasybiih berfungsi memperjelas makna serta memperkuat maksud dari sebuah ungkapan sehingga orang yang mendengarkan pembicaraan bisa merasakan seperti pengalaman psikologis si pembicara (Badawi, 1990:190).

Simile adalah suatu istilah yang hampir sama dengan tasybiih. Simile merupakan gaya bahasa perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud adalah ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Berbeda dengan metafora, ia semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Metafora sebagai perbandingan langsung ia tidak mempergunakan kata-kata, seperti, bagai, bagaikan, dan sebagainya, misalnya, "bunga bangsa", "buaya darat", "buah hati", dan seterusnya (Keraf, 2004:138). Menurut Wahab, metafora adalah ungkapan kebahasaan yang tidak dapat diartikan secara langsung dari lambang yang dipakai, melainkan dari prediksi yang dapat dipakai baik oleh lambang maupun oleh makna yang dimaksudkan oleh ungkapan kebahasaan itu (Wahab, 1998:65). Dari pengertian ini, dalam kajian sastra Arab istilah bahasa metafor memiliki kemiripan dengan majaz.

Contoh tasybiih dalam al-Qur’an, misalnya, surat an-Nuur ayat 39:

والذين كفروا أعمالهم كسراب بقيعة يحسبه الظمآن مآء حتى إذا جآءه لم يجده شيئا ووجد الله عنده فوفاه حسابه. والله سريع الحساب

Artinya: “Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun. Dan didapatinya (ketatapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya”.

Melihat kondisi geografi tanah Arab yang sulit untuk mendapatkan air, maka dalam ayat di atas Allah mempersamakan amalan orang-orang kafir seperti "kasaraabin bi qy’atin", yaitu fatamorgana di tanah datar. Kemudian orang-orang yang haus menyangka itu adalah air, dan apabila didatangi, maka tidak didapatinya. Satu gambaran yang benar-benar membuat mereka untuk berpikir mendalam, bahwa apa yang dilakukan selama ini di hadapan Allah tidak mendapatkan balasan sedikitpun. Mempersamakan amalan orang-orang kafir dengan fatamorgana karena di tempat mereka hidup sangat sulit untuk mendapatkan air, dan itu menjadi sumber kehidupan masyarakat Arab secara keseluruhan.

Karena itu, dalam konteks komunikasi pemilihan frase preposisional (jaar majruur) "kasaraabin bi qy’atin" sangat sesuai dengan situasi dan fenomena yang mengitari kehidupan mereka. Setidaknya, dalam konteks Arab ketika itu akan menimbulkan respon dari mereka untuk membaca fenomena alam yang kemudian direfleksikan kepada keyakinannya yang dianggap benar. Kemudian bagaimana al-Qur’an memberikan kabar gembira kepada orang yang beriman dan berbuat kebaikan? Perhatikan surat al-Baqarah ayat 25:

وبشر الذين آمنوا وعملوا الصالحات أن لهم جنات تجري من تحتها الأنهار. كلما رزقوا منها من ثمرات رزقا. قالوا هذا الذي رزقنا من قبل. وأتوا به متشابها. ولهم فيها أزواج مطهرة. وهم فيها خالدون.

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan, inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.

Sebuah perumpamaan yang dapat memikat hati masyarakat pagan Arab, jika mereka beriman dan berbuat baik maka baginya surga yang penuh dengan air, disuguhkan buah-buahan, dan disiapkan isteri-isteri. Tidak bersahabatnya kondisi alam membuat mereka kekurangan sumber air, dan tandusnya tanah padang pasir mengakibatkan sulitnya untuk mendapatkan bahan makanan. Peperangan-peperangan yang terjadi di antara mereka banyak disebabkan oleh kebutuhan pokok tersebut, bahkan dipicu oleh kecintaan kepada seorang wanita.

Kebutuhan fisik berupa air dan buah-buahan, serta kebutuhan biologis berupa isteri-isteri (bentuk jamak) merupakan fenomena dan realita yang menimpa masyarakat Arab. Untuk menggugah kepercayaannya, agar mereka mau beriman kepada ajaran yang dibawa Nabi SAW., dan kemudian diwujudkan dalam bentuk perbuatan nyata maka al-Qur’an perlu menyampaikan dalam bentuk gaya bahasa tashbih, yaitu surga diperumpamakan "anhaar" (sungai-sungai), di dalam surga mereka diberi "thamarah" (buah-buahan), dan disiapkan "azwaaj muthahharah" (isteri-isteri yang suci). Dengan kondisi geografi Arabia yang tidak ramah, maka pemilihan kata atau frase yang disajikan al-Qur’an seperti pada ayat di atas sangat memotivasi keyakinan mereka sekaligus menjadi dambaan dalam hidupnya.

Metafora kenikmatan surga lainnya, misalnya pada surat al-Nisaa’ ayat 57;

والذين آمنوا وعملوا الصالحات سندخلهم جنات تجري من تحتها الأنهار خالدين فيها أبدا. لهم فيها أزواج مطهرة. وندخلهم ظلا ظليلا.

Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman.

Selain surga diperumpamakan sungai-sungai, dan para penghuninya di dampingi isteri-isteri yang suci, mereka juga dimasukkan ke dalam naungan (dzalla). Kata dzalla dalam frase "dzillan dzalilaa" berarti teduh atau naung di mana sinar matahari tidak bisa menembus. Penduduk surga dimasukkan ke dalam tempat yang teduh merupakan bentuk ungkapan untuk menggambarkan kemulyaan dan anugerah Allah yang diberikan kepada mereka.

Iklim kawasan Arab yang terletak di daerah subtropik ditandai dengan berbagai gejala alam, seperti angka jatuh hujan sangat rendah, kelengasan udara tinggi, sehingga udara terasa kering. Sebagai akibatnya, bebatuan dalam tenggang waktu yang amat lama berubah menjadi padang pasir. Topan gurun menjadikan perbatuan gersang cepat tergerus menjadi lautan pasir yang tidak bertepi. Keadaan alam yang tandus dan kering, bila musim panas suhu matahari terasa membakar, dan sebaliknya, jika musim dingin cuaca berubah menjadi sangat dingin. Oleh sebab itu, pemilihan kata dzalla sebagai salah satu kenikmatan di dalam surga, seperti yang dijelasakan Abu ‘Abdillaah al-Raazy, adalah karena Jazirah Arab merupakan daerah yang sangat panas, sehingga keberadaan tempat yang teduh (dzillan dzaliilaa) bagi mereka menjadi kebutuhan fital untuk menggapai ketenangan. Di kalangan masyarakat Arab sendiri kata dzalla sudah menjadi bahasa konvensi atau sebagai bahasa kinayah bagi orang-orang yang memerlukan ketenangan hidup (Abu Hayyan, 1992:253). Sebagaimana dalam kajian sosiolinguistik disebutkan, bahwa faktor situasi sangat mempengaruhi pemilihan kata dan bagaimana cara memberikan kode. Pemilihan frase "dzillan dzalylaa" yang diungkap al-Qur’an untuk menggambarkan kenikmatan surga adalah sangat sesuai dengan konteks geografis yang melatari penduduk Arab ketika itu.

Metafora kenikmatan surga seperti pada ayat-ayat di atas adalah gambaran khas yang ditampilkan al-Qur’an yang keduanya digambarkan dalam bentuk fisikal. Oleh karena itu, apabila ungkapan-ungkapan tersebut dipahami sebagai ungkapan bahasa yang bersifat metaforik-simbolik, maka tidak dapat disalahkan. Karena secara kebahasaan, pada umumnya doktrin-doktrin keagamaan sangat diwarnai oleh realitas dan konteks sosio-kultural Arabia. Seperti yang dikatakan Syafi’ie, ada empat macam konteks yang mendasari terjadinya proses komunikasi berjalan efektif, yaitu: pertama, konteks fisik; yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa, obyek yang disajikan, dan tindakan dari para peran dalam peristiwa komunikasi. Kedua, konteks epistemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara maupun pendengar. Ketiga, konteks linguistik, yang terdiri atas kalimat yang mendahului kalimat tertentu. Keempat, konteks sosial, yaitu relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembicara dengan pendengar (Sobur, 2001:57).


Kedua, Isti’arah

Para ahli bahasa, termasuk kritikus sastra meski banyak memberikan definisi isti’arah berbeda-beda, namun inti yang dimaksud saling mendekati. Misalnya definisi yang dikemukakan Ibn Qutaibah (w. 276 H.), isti’arah adalah peminjaman kata untuk dipakai dalam kata yang lain karena ada beberapa faktor. Pada lazimnya, orang Arab sering meminjam kata dan menempatkannya untuk kata lain tatkala ditemukan alasan-alasan yang memungkinkan.

Juga dengan Tha’lab (w. 291 H.), ia mengatakan, isti’arah adalah peminjaman makna kata untuk kata lainnya yang mana kata tersebut pada awalnya tidak memiliki makna yang dipinjamkan. Sementara al-Jurjaany (w. 471 H.) mendefinisikan isti’arah sebagai peralihan makna dari kata yang dalam penggunaan bahasa keseharian memiliki makna dasar, atau makna asli, kemudian karena alasan tertentu makna tersebut beralih kepada makna lainnya, bahkan terkadang melampaui batas makna leksikalnya.

Perhatikan firman Allah surat Ibraahym ayat 1;

الـم. كتاب أنزلناه إليك لتخرج الناس من الظلمات إلى النور بإذن ربهم إلى صراط العزيز الحميد.

Alif, laam raa. (ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.

Dalam ayat di atas terdapat tiga kata yang dipinjam yaitu: al-dzulumaat (gelap gulita), al-nuur (cahaya), dan al-shiraat (jalan). Kata “al-dzulumaat” dipinjam dari kata “al-kufr” (kekufuran), asalnya kekufuran diserupakan dengan suasana gelap gulita karena sama-sama tidak ada cahaya atau petunjuk. Kemudian kata “al-kufr” dibuang dan maksudnya dipinjamkan kepada kata “al-dzulumaat”. Kata “al-nuur” dipinjam dari kata “al-ymaan” (keimanan), asalnya keimanan diserupakan dengan cahaya karena sama-sama menerangi kehidupan. Kemudian kata “al-imaan” dibuang dan maksudnya dipinjamkan kepada kata “al-nuur”.

Sedang kata “al-shiraat” dipinjam dari kata “al-Islaam” (keislaman), asalnya jalan diserupakan dengan Islam karena sama-sama memberikan cara atau aturan hidup. Kemudian kata “al-Islaam” dibuang dan maksudnya dipinjamkan kepada kata “al-shiraat”. Jadi, dalam memahami ayat tersebut hendaknya kata “al-dzulumaat” dipahami sebagai kekufuran, kata “al-nuur” dipahami dengan keimanan, dan kata “al-shiraat” dipahami dengan keislaman. Sebab menurut akal, diturunkannya al-Qur’an kepada manusia bukan karena supaya mereka keluar dari suasana gelap gulita menuju cahaya untuk memperoleh jalan, tetapi al-Qur’an sebagai pedoman hidup, ia diturunkan agar manusia bisa keluar dari kekufuran menuju keimanan dengan aturan yang telah ditetapkan dalam shari’at Islam.

Contoh isti’arah yang lain adalah;

فالذين آمنوا به وعزروه ونصروه واتبعوا النور الذي أنزل معه. أولئك هم المفلحون.

Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. 7: 157).

Kata “nuur” di sini dipinjam untuk memperjelas misi dan pesan kenabian, karena keduanya memiliki fungsi untuk meyakinkan, menghilangkan, serta menepis keraguan atas kebenaran misi yang dibawa Muhammad SAW. Jadi, maksud kata “al-nuur” di sini adalah kehadiran Nabi Muhammad SAW. bersama misinya yang membawa keselamatan dan kebahagiaan hidup manusia. Dalam gaya bahasa kiasan, isti’arah hampir semakna dengan gaya bahasa jenis hipalase, yaitu sebuah kata yang dipergunakan untuk menerangkan suatu kata yang seharusnya dikenakan pada kata yang lain (Keraf, 2004:142). Seperti, "Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah" (yang gelisah bukan bantalnya, tapi orangnya).

Di dalam al-Qur’an banyak ditemukan, misalnya kehadiran Nabi, al-Qur’an, keimanan, bahkan Allah seringkali disimbolkan dengan kata al-nuur (cahaya). Secara psikologis, untuk menyampaikan kebenaran kepada orang-orang Arab pagan Arab yang sudah memiliki keyakinan paganisme, yaitu menyembah berhala al-Qur’an sangat memperhatikan aspek psikis mereka. Di samping itu, mereka menjalani hidup nomad, berwatak kasar, dan tuhan yang disembah adalah berhala yang tampak secara inderawi. Berdasarkan fenomena ini maka al-Qur’an ketika menyampaikan pesan-pesan moral dan kebenaran, lebih-lebih yang terkait dengan persoalan ghaa’ib (metafisika) diekspresikan melalui pemilihan-pemilihan kata yang tepat. Dengan demikian, komunikasi yang disampaikan al-Qur’an dengan memperhatikan konteks sosial-budaya dan konteks keberagamaan akan mendapatkan respon dan tanggapan positif dari masyarakat Arab.

Ketiga, Majaz

Dalam pandangan ulama ahli balaaghah konsep majaz sesungguhnya tidak ada perbedaan yang krusial dengan isti’arah (peminjaman kata). Perbedaan keduanya terletak pada ‘alaaqah (relasi antara makna dasar dengan makna lain). Jika ‘alaaqah-nya mushaabahah (ada kesesuaian antara makna dasar dengan makna lain) maka disebut isti’arah, dan sebaliknya, jika ‘alaaqah-nya gairu mushaabahah (tidak ada kesesuaian) maka disebut majaz(al-Hasyimi, 1960:291).

Majaz menurut kaidah kebahasaan dapat dilakukan akibat adanya satu dari dua hal berikut, pertama, terdapat persamaan antara makna yang dikandung kosakata atau ungkapan dalam arti literalnya dengan makna yang dikandung oleh pengertian metaforis yang ditetapkan. Kedua, adanya perkaitan atau hubungan antara dua hal dalam ungkapan, sehingga mengakibatkan terjadinya penisbahan satu kalimat kepada sesuatu yang seharusnya bukan kepadanya, misalnya "langit menurunkan hujan". Di sini terdapat perkaitan antara langit dan hujan, karena langit atau awan adalah sumber kedatangannya dan dengan demikian kepadanya ia dinisbahkan. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut;
وإذا قرأت القرآن جعلنا بينك وبين الذين لا يؤمنون بالآخرة حجابا مستورا.
Dan apabila kamu membaca al-Qur’an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup (QS. 17: 45).

Bentuk majaz pada ayat di atas adalah kalimat “hijaban mastuuraa” (dinding yang tertutup). Menurut mayoritas mufassir maksudnya adalah dinding yang menutup, karena kata “mastuuraa” bermakna menjadi sasaran, bukan sebagai pelaku. Jadi, arti yang tepat pada kata “mastuuraa” adalah “saatiraa” (yang menutup). Di sini ‘alaaqah-nya adalah ghairu mushaabahah, yaitu tidak adanya kesesuaian antara makna dasar (mastuuraa/yang ditutup) dengan makna lain (saatiraa). Kata mastuuraa bermakna saatiraa disebut majaz aqly, salah satu ‘alaaqah-nya adalah "isnaad maa buniya ly al-maf’uul ilaa al-faa’il" (menyandarkan makna kata pasif kepada kata aktif).

Pemilihan frase "hijaaban mastuuraa" menunjukkan bahwa al-Qur’an yang dibacakan Nabi kepada orang-orang musyrik Mekkah tidak akan membuat mereka mendapatkan petunjuk. Sebab di antara Nabi dan mereka ada hijab atau penutup yang dibuat oleh Allah. Dengan demikian, bacaan-bacaan al-Qur’an yang dilantunkan Nabi tidak mampu menembus dan merubah keyakinannya. Contoh majaz yang lain seperti pada surat al-Baqarah ayat 19;

أو كصيب من السماء فيه ظلمات ورعد وبرق يجعلون أصابعهم في آذانهم من الصواعق حذر الموت. والله محيط بالكافرين.

Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat, mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati, dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.

Keadaan orang-orang munafik Mekkah ketika mendengar ayat-ayat yang mengandung peringatan, adalah seperti orang yang ditimpa hujan lebat dan petir, mereka menyumbat telinganya karena tidak sanggup mendengar peringatan-peringatan al-Qur’an. Secara leksikal, kata “ashaabi’” maknanya adalah jari-jari, dan mustahil bagi mereka untuk menyumbat telinganya dengan semua jari karena takut bunyi guntur yang mematikan. Tetapi yang dimaksud “aṣaabi’” dalam ayat tersebut adalah sebagian dari jari-jari, bukan semuanya. Berdasarkan konsep teori di atas maka kata "aṣaabi’" disebut majaz, salah satu alasannya adalah menyampaikan ungkapan dalam bentuk plural (jama’) namun yang dimaksudkan adalah sebagian saja. Andaikata itupun bisa terjadi, yaitu menutup telinga dengan semua jarinya pasti dilakukan karena mereka benar-benar mengalami ketakutan yang luar biasa. Situasi ini digambarkan al-Qur’an karena pada awal misi kenabian Muhammad di Mekkah, banyak orang yang menyatakan beriman kepada Nabi, tetapi mereka masih menyembunyikan kekafiran di dalam hatinya (munafik).

Bentuk majaz di atas adalah majaz mursal, yang dalam kajian gaya bahasa Indonesia ia semakna dengan sinekdoke, yaitu semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan, atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Sinekdoke berasal dari bahasa Yunani, synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama (Keraf, 2004:142). Misalnya, "Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp. 1000", "Dalam pertandingan sepak bola antara Indonesia dan Arab Saudi di Stadion Utama Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3 – 4".

Empat, Kinayah

Al-Mubarrad (w. 258 H.) merupakan sarjana bahasa yang melakukan sistematisasi mengenai konsep kinayah. Dalam karyanya “al-Kaamil”, al-Mubarrad menguraikan tiga model kinayah beserta fungsinya. Pertama, menjadikan sesuatu lebih umum, kedua, memperindah ungkapan, dan ketiga, untaian pujian. Namun al-Mubarrad tidak banyak mengulas pada model pertama dan ketiga, ia lebih menitikberatkan pada model yang kedua, yaitu kinayah sebagai penyempurna keindahan ungkapan, khususnya yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an. Istilah kinayah ada kemiripan dengan gaya bahasa metonimia, ia berasal dari kata Yunani, meta yang berarti menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama. Dengan demikian, metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat (Keraf, 2004:142).

Kalau kita mengamati secara cermat ungkapan-ungkapan dalam al-Qur’an maka akan ditemukan beberapa ayat yang menggunakan bentuk penghalusan bahasa (eufimisme). Barangkali ungkapan tersebut muncul karena ada beberapa faktor, baik yang bersifat historis maupun bersifat etis. Konsekuensi dari ungkapan itu akan menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para mufassir, karena kebanyakan gaya bahasa eufimisme berimplikasi menjadi sebuah bahasa yang multi interpretatif (ambigu). Misalnya, kata "laamastum" dalam surat al-Nisaa’ ayat 43;

يا أيها الذين آمنوا لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون ولا جنبا إلا عابري سيبل حتى تغتسلوا. وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أو لامستم النساء فلم تجدوا مآء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم. إن الله كان عفوا غفورا.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Secara leksikal, kata “laamastum” berarti saling menyentuh, tetapi jika melihat konteks keseluruhan ayat maka yang dimaksudkan menurut jumhur ulama adalah berhubungan badan (jaama’tum), sekalipun ada sebagian berpendapat lain, yaitu menyentuh. Penggunaan gaya bahasa eufimisme pada ayat di atas sangat dimaklumi. Sebab secara geografis, keadaan alam Arabia yang kering dan tandus sangat memaksa orang-orang Arab untuk hidup berpindah-pindah dari satu wadi ke wadi yang lain (nomad) guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebiasaan ini membuka peluang yang cukup besar akan terjadinya peperangan antara satu kabilah dengan kabilah lainnya. Sikap permusuhan antara kabilah ini menyebabkan munculnya sifat buruk, yaitu mereka tidak menyukai anak perempuan karena tidak bisa diajak berperang dan hidup keras. Mereka berharap anak keturunan laki-laki yang banyak untuk regenerasi dalam kesatuan kabilah. Karena hanya dengan itu kekuatan dan kehormatan kabilah dapat terjaga.

Dikarenakan faktor cuaca yang tidak bersahabat dan suasana kehidupan yang gersang, maka harapan yang menyelimuti kehidupan mereka terkontaminasi oleh khayalan-khayalan kotor yang mengakibatkan timbulnya al-shahwah al-hayawaanyyah (nafsu binatang). Munculnya nafsu binatang ini bersamaan dengan gaya hidup nomad (tanaqqul) yang harus mereka jalani sangat berpengaruh terhadap karakter dan tabiat mereka, yaitu terbentuknya sikap mendua terhadap wanita. Seringkali mereka menaruh rasa cinta kepada wanita lain, dan bahkan lebih dari pada itu mereka menyukai hidup “berpoligami” (Hasan, 1990:18). Kondisi ini seringkali mengilhami para penyair untuk menuangkan karya sastranya dengan bertemakan al-ghazal (romance). Jadi, perbincangan mengenai kecantikan seorang wanita di kalangan para penyair jahili bukan merupakan sesuatu yang tabu. Bahkan dalam pandangan mereka tema al-ghazal tak ubahnya seperti garam dalam masakan.

Karena latar seperti itu sehingga bahasa al-Qur’an yang membicarakan tentang perempuan dan yang terkait dengannya selalu menggunakan preferensi atau pemilihan kata yang halus, sopan, dan etis. Secara psikologis, kalau bahasa yang digunakan itu vulgar atau sesuai dengan konteksnya mungkin akan memancing munculnya sifat-sifat di atas yang sudah menjadi karakter hidup mereka. Karena itu, untuk memendam sifat-sifat tersebut al-Qur’an sengaja menyampaikan dengan gaya bahasa berbentuk kinayah, yaitu kata "laamastum". Menurut ‘Aly al-Shabuuny, dalam tradisi bahasa Arab apabila kata "laamastum" bersanding dengan kata al-nisaa’, maka pengertiannya adalah bersetubuh. Oleh sebab itu, al-Qur’an sering mengungkap dengan kata "al-mubaasyarah" atau "al-lams" sebagai kinayah dari makna bersetubuh (al-Shaabuuny, 1980:478).

Pada ayat yang lain, terkadang seorang perempuan disimbolkan dengan kata "harth", seperti ayat berikut ini;

نسآءكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم.

Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki (QS. 2: 223).

Secara harfiah, memahami ayat di atas seakan-akan ada kebebasan bagi sang suami. Namun tidak demikian, sekalipun dalam kenyataannya superioritas laki-laki terhadap perempuan sangat mendominasi saat itu, tetapi Islam telah memberikan aturan yang jelas dan adil. Pada ayat sebelumnya (ayat 222) al-Qur’an membicarakan kondisi perempuan yang menstruasi. Islam memberikan tuntunan bahwa perempuan yang sedang menstruasi tidak boleh diperlakukan seperti dalam keadaan normal. Maka untuk melunakkan dan meluluhkan hati mereka, al-Qur’an menggambarkan seorang isteri seperti ladang, jika ia dalam keadaan suci.

Dalam fenomena masyarakat Arab, ladang memang menjadi simbol ketenangan dan kemakmuran hidup. Peperangan yang terjadi antar kabilah salah satunya disebabkan karena mereka berebut ladang sebagai sumber mata pencarian. Supaya mereka tetap mencintai isterinya, seperti layaknya mereka menyukai ladang untuk bercocok tanam maka sang isteri di dalam al-Qur’an digambarkan seperti ladang (harth). Sebab, dalam tradisi masyarakat Arab pra-Islam, apabila isteri dalam keadaan menstruasi ia ditinggalkan begitu saja dan tidak pernah diberi nafkah. Tradisi dan budaya yang mendeskriditkan posisi perempuan ini kemudian diperbaiki oleh Islam dengan cara yang halus, agar kaum perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kaum laki-laki. Oleh karena itu, preferensi kata "harth" adalah kinayah bagi seorang isteri dalam hubungan pergaulan (mu’aasyarah).

Penutup

Berkomunikasi, pada hakikatnya, adalah untuk menunjukkan eksistensi diri. Bahasa sebagai salah satu media berkomunikasi merupakan ekspresi dan eksternalisasi diri, agar ia dipahami dan diterima orang lain. Bahasa adalah kategori-kategori untuk merujuk pada obyek tertentu, ia hanya mewakili realitas, bukan realitas itu sendiri. Dengan demikian, bahasa pada dasarnya bersifat parsial, tidak melukiskan sesuatu secara utuh. Sebab itu, ada kalanya kita sulit menamai suatu obyek karena tidak semua bahasa tersedia untuk itu. Meskipun terdapat pengetahuan yang komprehensip mengenai suatu obyek, akan tetapi selalu ada celah atau hal baru untuk dipertimbangkan.

Dalam dunia empiris saja, kita sulit memilih bahasa yang tepat untuk mewakili sebuah realitas, apalagi bahasa al-Qur’an yang sangat menekankan aspek keyakinan dan pemahaman ketimbang menjelaskan dan menggambarkan. Bahasa al-Qur’an memiliki hakikat yang khusus, berbeda dengan bahasa-bahasa yang lain. Ia bukan hanya mengacu pada dunia empirik, tetapi juga mengacu pada dimensi metafisik. Sebab itu, dalam upaya mengatasi stagnasi bahasa, maka sangat realistis bilamana kemudian di dalam al-Qur’an ditemukan penggunaan bahasa metafor dan analogi, karena bahasa metafor dan analogi dapat menjembatani rasio manusia yang terbatas dengan bahasa al-Qur’an yang serba tidak terbatas.

Pemahaman pesan dari suatu proses komunikasi sesungguhnya tidak bergantung pada kondisi pengirim dan penerima saja, tetapi keberadaan konteks, yang berupa situasi, keadaan, budaya, sosial, dan seterusnya juga turut mempengaruhi makna dari pesan itu. Karena itu, komunikasi tidak berlangsung dalam suatu ruang hampa, melainkan dalam suatu konteks dan situasi tertentu. Secara luas konteks di sini berarti semua faktor di luar orang-orang yang berkomunikasi, misalnya, aspek fisik, aspek psikologis, aspek waktu, aspek sosial, seperti norma, nilai sosial, karakteristik budaya, dan seterusnya. Oleh sebab itu, seseorang tidak mungkin mengerti dan dapat memahami pesan-pesan al-Qur’an secara komprehensip, holistik, dan utuh dengan mengambil teks di luar konteksnya. Konteks yang dimaksud di sini lebih luas dari asbaab al-nuzuul, ia meliputi faktor geografis, historis, budaya, sosial, keagamaan (asbaab al-dzuruuf), dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

‘Abaas, Fadhal Hasan. 1985. al-Balaaghah Funuunuhaa wa Afnaanuhaa. Tanpa tempat: Daar al-Furqaan

Abu Zaid, Nasr Hamid. 1994. Naqd al-Khitaab al-Diniy. Kairo: Jumhuuryyah Mishr al-’Arabyyah.

Badawy, Ahmad Ahmad. 1950. Min Balaaghah al-Qur’an. Kairo: Daar Nahdhah.

Hasan, Husein al-Haajj. 1990. Adab al-’Arab fii ‘Asyr al-Jaahilyyah. Beirut: Tanpa penerbit.

al-Haashimy, Ahmad. 1990. Jawaahir al-Balaaghah fii al-Ma’aany wa al-Bayaan wa al-Bady’. Jakarta: Maktabah Daar Ihyaa’ al-Kutub al-’Arabyyah.

Hayyaan, Abu. 1992. Al-Bahr al-Muhyth fii al-Tafsyr. Kairo: Daar al-Fikr.

Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Hidayat, Komaruddin. 1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik . Jakarta: Paramadina.

Khafaajy, Muhammad ‘Abd al-Mun’im. 1992. al-Usluubyyah wa al-Bayaan al-’Araby. Beirut: al-Daar al-Mishriyyah al-Lubnaaniyyah.

Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Laashyn, ‘Abd al-Fattaah. 1985. Al-Bayaan fii Dawi Asaalyb al-Qur’an. Kairo: Daar al-Ma’aarif.

M.S, Kaelan. 2003. “Kajian Makna al-Qur’an (Suatu Pendekatan Analitika Bahasa),” dalam Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya, ed. Sahiron Syamsuddin, dkk. Yogyakarta: Islamika.

_________. 1998. Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Paradigma.

Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Pateda, Mansoer. 1994. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

al-Qaththaan, Mannaa’. Tanpa tahun. Mabaahith fii ‘Uluum al-Qur’an. Tanpa tempat: tanpa penerbit.

al-Shaabuuny, Muhammad ‘Aly. 1980. Shafwah al-Tafaasiir. Beirut: Daar al-Fikr.

Setiawan, M. Nur Kholis. 2005. al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: eLSAQ Press.

Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Rosdakarya.

Wahab, Abdul. 1998. Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press.

al-Zarqaany, Muhammad ‘Abd al-’Adzym. 2004. Manaahil al-’Irfaan fii ‘Uluum al-Qur’an, Juz 1. Beirut: Daar Ihyaa’ al-Kutub al-’Ilmiyah.

Sumber: http://www.jurnallingua.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...