Jumat, 27 Januari 2012

Tinjauan Yuridis terhadap Penerapan Sanksi Pidana Penjara dan Denda dalam Kasus Pemerkosaan Anak

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bagian yang tidak terpisahkan dan hukum pidana adalah masalah pidana dan pemidanaan. Sifat pidana merupakan suatu penderitaan. Pidana yang dijatuhkan bagi mereka yang dianggap bersalah merupakan sifat derita yang harus dijalani, meskipun demikian sanksi pidana bukan semata-mata bertujuan untuk memberikan efek derita.
Pelaksanaan pidana penjara di lembaga pemasyarakatan didasarkan atas prinsip-prinsip sistem pemasyarakatan dengan tujuan agar menjadi warga yang baik dan berguna. Warga binaan dalam sistem pemasyarakatan mempunyai hak-hak asasi untuk memperoleh pembinaan rohani dan jasmani serta dijamin untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar baik keluarganya maupun pihak lain, memperoleh informasi baik melalui media cetak maupun elektronik, memperoleh pendidikan yang layak dan sebagainya.
Hak-hak ini seharusnya diperoleh secara otomatis tanpa dengan syarat atau kriteria tertentu, walaupun seseorang dalam kondisi yang di pidana penjara. Agar hak narapidana ini dapat terselenggara dengan baik maka sistem penjara yang nota benenya adalah pembalasan terhadap pelaku tindak pidana harus diubah ke sistem pemasyarakatan yang bertujuan untuk. memulihkan narapidana dengan tetap berorientasi kepada kesatuan hak asasi antara individu dan masyarakat.
Pidana penjara bervariasi dan penjara sementara minimal 1 hari sampai pidana penjara seumur hidup. Pidana penjara seumur hidup hanya tercantum dimana ada ancaman pidana mati. Jadi, pada umumnya pidana penjara maksimum ialah 15 tahun.
Ditinjau dan segi filosofis, maka terdapat hal-hal yang saling bertentangan terhadap tujuan dan perampasan kemerdekaan (penjara), yang antara lain sebagai berikut: (1) Bahwa tujuan penjara yang pertama adalah menjamin keamanan para narapidana, dan tujuan yang kedua adalah memberikan kesempatan kepada narapidana untuk rehabilitasi. (2) Bahwa fungsi penjara tersebut seringkali mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya akan menimbulkan suatu kerugian bagi narapidana tersebut untuk melanjutkan kehidupan secara produktif didalam pergaulan masyarakat.
Oleh sebab itu di era reformasi ini, penjara diusahakan menjadi suatu lembaga dengan pendekatan manusiawi, namun sifat aslinya sebagai lembaga yang harus melakukan tindak pengamanan, pengendalian, narapidana tidak dapat ditinggalkan begitu saja.
Pada masa sekarang ini maksud dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan adalah bahwa dengan pidana itu dapat dilakukan pembinaan sedemikian rupa sehingga setelah terpidana selesai menjalani pidananya diharapkan menjadi orang yang Iebih baik dari sebelumnya. Namun, dalam kenyataannya makin lama pidana penjara dijalani, maka kecenderungan untuk menjadi narapidana secara sempurna, memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak pidana Iebih lanjut setelah dia keluar dan penjara.
Hal lain yang dapat memperburuk keadaan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek adalah panjang dan Iamanya waktu dari mulai tahap penyidikan untuk sampai kepada putusan hakim. Seringkali antara masa tahanan yang dijalani oleh terpidana dengan Iamanya pidana yang dijatuhkan oleh hakim tidak terpaut lama, bahkan tidak jarang pula begitu putusan dijatuhkan terpidana sudah harus keluar dari lembaga atau tempat bersangkutan ditahan.
Dengan demikian sampai saat ini keberadaan pidana perampasan kemerdekaan tetap ada atau sulit dihindari, meskipun kerugian-kerugian yang melekat padanya. Pada masa mendatang pidana perampasan kemerdekaan tetap merupakan pendukung dan sistem peradilan pidana. Yang penting adalah seberapa jauh penggunaan pidana perampasan kemerdekaan dapat dibatasi sehingga dapat keserasian, keselarasan dan keseimbangan penggunaannya dengan pidana non kemerdekaan.
Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam. Yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana tersendiri agar menjadi masyarakat yang baik. Demikianlah konsepsi baru fungsi pemidanaan yang bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga sebagai upaya rehabilitas dan reintegrasi sosial. Konsepsi itu di Indonesia disebut pemasyarakatan.
Pidana perampasan kemerdekaan yang dianggap menderitakan menimbulkan suatu alternatif bentuk pidana, yaitu berupa pidana denda. Pidana denda ini mengutamakan keserasian antara kewajiban yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana dengan besarnya denda yang harus dibayar oleh terpidana dengan mempertimbangkan minimum maupun maksimum pidana denda yang diancamkan terhadap suatu tindak pidana. Namun kecenderungan seperti ini belum maksimal dilakukan. Disamping itu, sikap hakim terhadap penilaian terhadap ancaman denda cenderung digunakan hanya untuk tindak pidana yang ringan dan pidana penjara atau kurungan tetap merupakan yang utama. Sekalipun diadakan usaha-usaha pembaruan dan perbaikan untuk mengurangi berlakunya pidana perampasan kemerdekaan namun suatu kenyataan bahwa pidana perampasan akan melekat kerugian-kerugian yang kadangkala sulit untuk dihindari dan diatasi, bilamana ditinjau dari segi tujuan yang hendak dicapai.
Suatu tindak pidana hanya akan diancamkan dengan pidana denda apabila dinilai tidak perlu diancam dengan pidana penjara, atau bobotnya dinilai kurang dan satu tahun. Akan tetapi bukan berarti bahwa pidana penjara atau pidana kurungan di bawah satu tahun tidak dapat dijatuhkan sama sekali. Karena menurut ketentuan-ketentuan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru, dalam hal tindak pidana yang tidak diancam dengan minimum khusus maka hakim masih memilih kebebasan untuk menjatuhkan pidana penjara atau pidana kurungan jangka pendek. Demikian juga untuk denda yang tidak dibayar, harus ganti dengan pidana penjara.
Pidana denda yang apabila dihubungkan dengan tujuan pemidanaan, lebih diutamakan dalam delik-delik terhadap harta benda. Sehingga harus dicari keserasian antara kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana dengan besarnya pidana denda yang harus dibayar oleh terpidana. Oleh karena itu harus dipertimbangkan dengan seksama, minimum maupun rnaksimum pidana denda yang diancamkan terhadap suatu tindak pidana.
Dalam era globalisai yang ditandai dengan semakin tingginya kemampuan manusia dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi maka bukan hanya menimbulkan dampak positif tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang antara lain berupa semakin canggih dan berkembangnya kejahatan baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas dan semakin menglobal. Peristiwa kejahatan tersebut di Indonesia korbannya bukan hanya ditujukan kepada orang dewasa tetapi anak juga rawan menjadi korban kejahatan.
Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya dan perlu mendapat perlindungan dari kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan pada dirinya,yang menimbulkan kerugian mental, fisik, dan sosial. Perlindungan anak dalam hal ini disebut perlindungan hukum yuridis (legal protection).
Kasus pemerkosaan terhadap anak merupakan bagian dan kesusilaan yang diatur dalam KUHPidana dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Sebagai contoh kasus yang menjadi momok bagi masyarakat dan memasuki tahap yang memperhatinkan, karena setiap harinya kasus pemerkosaan yang melibatkan anak sebagai korbannya sering kita dapatkan dan kita saksikan diberbagai media massa, baik dimajalah, koran, maupun stasiun-stasiun televisi swasta yang kini marak menyajikan berita-berita seputar dunia kriminal.Banyak kasus pemerkosaan yang menimpa anak sebagai korbannya yang terjadi tidak hanya di Iingkungan sekolah, Iingkungan rumah (bertetangga), tempat-tempat yang memungkinkan seseorang untuk melakukan perbuatan amoral, bahkan dapat terjadi di lingkungan keIuar.
Hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam kasus pemerkosaan adalah “pembuktian”. Dalam pasal 184 (1)KUHAP menyatakan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat ,petunjuk dan keterangan terdakwa. Untuk menentukan seseorang dapat dijatuhi hukum pidana sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah (pasal 183 KUHAP). Khusus terhadap kasus pemerkosaan, dengan adanya ketentuan pasal 183 KUHAP ini maka semakin sulit saja seseorang korban untuk menuntut pelakunya. Karena sangat jarang ada saksi yang mengetahui adanya perkosaan kecuali perkosaan tersebut tertangkap basah atau pelaku itu lebih dan satu orang. Begitu juga dengan pengakuan pelaku, seorang pelaku perkosaan jarang yang mengakui perbuataannya. Kalaupun pelaku mengakui perbuatannya tetapi kalau bukti yang lain tidak ada maka pelaku belum dapat dikenakan hukuman.
Kekurangan yang lain dapat dilihat dari kasus-kasus pemerkosaaan adalah ancaman hukuman yang dikenakan kepada pelaku apabila pelaku terbukti melakukan kesalahan. KUHP hanya mengenal ancaman hukuman maksimal namun tidak mengenal ancaman hukuman minimal. Seperti kasus-kasus pemerkosaan yang sampai diperiksa ditingkat pengadilan, pernah ditemui seorang pelaku perkosaan dihukum satu tahun delapan bulan penjara. Hukuman yang dijalani oleh seorang pelaku sebenarnya tidak sebanding dengan derita yang dialami korban seumur hidup. Belum lagi adanya anggapan dari masyarakat bahwa korbanlah yang memancing pelaku untuk melakukan perkosaan tersebut. Ketiadaan ancaman hukuman minimal membuat pelaku-pelaku lain tidak merasa takut untuk melakukannya.
Berangkat dari uraian di atas, mendorong keingintahuan penulis untuk mengkaji Iebih jauh tentang pidana bersyarat, sehingga penulis memilih judul “ Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Pidana Penjara Dan Denda Dalam Kasus Pemerkosaan Anak (Studi Kasus Putusan: No. 83/ Pid.B / 2010 / PN.Makassar) “.

Sumber: http://tugas2kuliah.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...