Senin, 16 April 2012

Denny Vs Yusril: Perang Keadilan Substantif Vs Keadilan Prosedural

Seteru antara profesor senior Yusril Ihza Mahendra dengan profesor yang lebih muda, Denny Indrayana, terus menggelitik publik. Kemenangan Yusril menumbangkan Jaksa Agung Hendarman Supandji, diikuti oleh kemenangan lain. Denny yang saat ini menjadi satu-satunya akademisi hukum di pemerintahan pun pasang badan membela mati-matian pemerintah.


Terlepas sejarah politik di antara keduanya, sebenarnya apa yang dipertentangkan mereka dalam kacamata ilmiah?



Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis akan menyodorkan 3 contoh kasus yaitu kasus Jaksa Agung, kasus remisi terpidana dan pasal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).



Dalam kacamata pertama, Hendarman terjungkal dari kursi Jaksa Agung karena kesalahan admistratif belaka. Yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 'lupa' mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pengangkatan orang nomor satu di Korps Adhyaksa ini. Meski hanya sepucuk surat, maka menjadi inkonstitusionallah jabatan yang dipegang Hendarman. Kesalahan prosedural inilah yang menjadi kartu as sang Guru Besar Universitas Indonesia (UI) itu ke Mahkamah Kosntitusi (MK).



Saat itu, kubu pemerintah mati-matian membela Hendarman dengan logika kebenaran substantif: penunjukkan dan penetapan jaksa agung itu hak prerogratif presiden.



Kekalahan di MK ternyata tidak menjadi bahan pembelajaran buat Denny yang juga Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada (UGM). Terbukti pada saat menerbitkan SK pengetatan remisi koruptor, lagi-lagi Denny berdalih kebenaran substansif: koruptor itu kejahatan yang maha berbahaya.



Tetapi karena hanya bersandar kepada keadilan substantif, maka niat mulia ini malah menabrak prosedur hukum. Sehingga keadilan prosedural (mendapat remisi pada jatuh tempo) yang menjadi hak warga negara terlanggar.



Mendapat celah ini, Yusril yang saat itu telah mengantongi kartu advokat pun menjadikan kesalahan fatal tersebut sebagai kartu as. Hasilnya? Pengadilan lagi-lagi memenangkan Yusril.



Nah, logika bipolar prosedural versus substantif inilah yang akan dipakai oleh Yusril di MK dalam menumbangkan keputusan DPR tentang pasal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam UU APBN-P 2012.



Bedanya, jika pada 2 contoh di atas Yusril menggunakan 'ajian' kebenaran prosudural untuk menekuk lawan, kali ini Yusril akan menggunakan logika kebenaran substantif sebagai jurus pamungkasnya.



Perdebatan dua keadilan ini selalu bertarung dalam kehidupan bernegara di berbagai belahan dunia. Penumpasan PKI di era 1965 melambangkan keadilan substantif telah melanggar keadilan prosedural. Yaitu para anggota PKI dibunuh, ditangkap dan dipenjara tanpa prosedur hukum.



Menanggapi perdebatan kedua keadilan ini, mantan Ketua MA, Bagir Manan, menyatakan bahwa antara keadilan prosedural dan keadilan substansial haruslah berjalan beriringan. Di sinilah peran hakim diperlukan. Ketika keadilan sustansial ingin dicapai tapi terkendala keadilan prosedural, maka hakim harus bisa melakukan terobosan hukum supaya tidak melukai keadilan prosedural.



Dua logika diatas jualah yang membuat Denny saat ini dirundung masalah terkait penggerebekan LP Pekanbaru. Seakan tidak belajar dari pengalaman, niat mulia memberantas narkoba tersandung karena kesalahan prosedur.



Lantas apakah Yusril akan kembali menuai kemenangan dalam permohonan pasal harga BBM? Kita lihat ketokan palu Ketua MK, Mahfud MD, akan berbicara apa.



*) Andi Saputra adalah wartawan detikcom. Tulisan ini tidak mewakili kebijakan redaksi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...