Sabtu, 28 April 2012

Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian Dan Permasalahannya Di Pengadilan Agama Sungai Penuh Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


BAB I

P E N D A H U L U A N
 A.    Latar Belakang
Dalam suatu perkawinan, baik suami maupun istri selalu berharap agar ikatan lahir batin yang mereka bina semakin kokoh sehingga tercipta suatu kehidupan yang harmonis, kekal dan bahagia. Jika semua itu tercapai maka   tujuan dari suatu perkawinan sebagaimana yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 akan semakin jelas, bahwa perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tujuannya adalah untuk kebahagiaan, kedamaian dan kesejahteraan dalam rumah tangga. Adapun tujuan perkawinan yang dinyatakan oleh Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu : Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk sebuah rumah tangga itu adalah suatu perbuatan luhur. Karena anggapan terhadap perkawinan sedemikian luhurnya, sehingga menyebabkan terlihatnya seluruh keluarga dan kerabat bahkan sebagian anggota masyarakat ikut memberikan restu bagi suami isteri.  Di samping itu juga petuah-petuah yang berharga banyak diberikan supaya perkawinan itu kekal sampai akhir hayatnya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh K. Wantjik Saleh, bahwa :
   Perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya ikatan lahir saja atau batin saja, tapi harus kedua-duanya. Ikatan lahir mengungkapkan adanya hubungan formil, sedangkan ikatan batin mengungkapkan adanya yang tidak formil (tidak dapat dilihat). Karena dengan terjalinnya ikatan lahir dan ikatan batin, merupakan pondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal .[1]

Dengan demikian suatu perkawinan itu sesuai dengan Pasal 30          Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 adalah untuk membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Untuk dapat mencapai tujuan itu maka para pihak yang melakukan perkawinan saling mengadakan pendekatan dengan jalan :
a. Saling berkorban sebab tanpa pengorbanan kedua belah pihak, yang masing-masing mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda, maka tujuan luhur dari perkawinan tentu saja sukar dicapai.
b. Harus berbudi pekerti yang tinggi sebagai sarana mewujudkan rumah tangga sebab keluhuran tidak terlepas dari pengertian akhlak dan moral.[2]

Karena rumah tangga merupakan bagian terkecil dalam hidup masyarakat, maka apabila tiap-tiap rumah tangga sudah terbina dengan sebaik-baiknya, hal ini akan mempengaruhi kehidupan dilingkungan masyarakat luas pada umumnya.
Namun suatu perkawinan tidak selamanya berada dalam kebahagiaan dan keharmonisan, akan tetapi bisa saja terjadi karena tidak adanya kecocokan lagi dalam rumah tangga. Selain itu masih banyak faktor lain yang menyebabkan suatu rumah tangga dalam perkawinan itu tidak kekal dan bahagia.
           
Karena keharmonisan, kebahagiaan dan kekekalan tidak bisa dipertahankan lagi, maka tidak jarang bahwa suatu rumah tangga itu akan diakhiri dengan suatu perceraian.    
Perceraian adalah putusnya hubungan perkawinan yang sah antara suami isteri dengan alasan-alasan tertentu yang telah ditentukan oleh undang-undang  dan dilaksanakan di depan sidang Pengadilan Agama.
Dengan demikian perceraian merupakan upaya terakhir yang dilakukan setelah upaya lain untuk mendamaikan keduanya belah pihak, baik itu pihak suami maupun pihak isteri tidak tercapai. Perdamaian yang dimaksud di sini adalah untuk merukunkan kembali keluarga yang sedang dilanda perpecahan dan melaksanakan hak dan kewajiban sebagai suami isteri. Perceraian baru akan terjadi setelah adanya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila perceraian terjadi berarti perkawinan dalam membentuk keluarga yang bahagia sebagai tujuan dari perkawinan itu tidak tercapai.
Salah satu azas dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera.  Oleh sebab itu melakukan perceraian harus dengan alasan-alasan       yang cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 ayat 2 Undang-undang             Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, bahwa         “ si suami atau isteri tidak dapat melaksanakan kewajibannya dan tidak dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri “.
Dengan terjadinya suatu perceraian, maka akan menimbulkan beberapa persoalan hukum terhadap hubungan antara suami isteri, yaitu salah satunya adalah mengenai harta bersama yang diperoleh selama perkawinan. Adapun akibat hukum yang timbul terhadap hubungan suami isteri adalah putusnya ikatan perkawinan antar suami isteri. Jadi di antara suami dan isteri tidak ada lagi hubungan suami isteri. Meskipun ikatan perkawinan sebagai suami isteri putus dan tidak ada lagi hubungan perkawinan, namun ternyata apabila isteri tidak mampu membiayai hidupnya, maka oleh undang-undang perkawinan di beri wewenang kepada Pengadilan agar bekas suami untuk memberi biaya hidup untuknya.
Hal ini dimaksudkan agar bekas isteri yang diceraikan tidak terlantar hidupnya dan tidak terjerumus ke lembah kehinaan.
 Perceraian juga membawa akibat hukum terhadap kedudukan anak       dalam hal pemeliharaan dan pendidikan si anak sebagaimana terdapat dalam                 Pasal 41 sub (a) dan (b) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dimana baik bapak maupun ibu tetap mempunyai kewajiban untuk memelihara anak-anak mereka sampai anak tersebut dewasa dan bisa hidup mandiri. Selain perceraian membawa akibat hukum terhadap hubungan suami isteri, kedudukan anak, perceraian juga membawa akibat hukum terhadap harta yang mereka peroleh selama perkawinan berlansung.
Memang harta benda terutama harta bersama selama perkawinan berlangsung dan setelah perkawinan berakhir sering menjadi keributan antara suami isteri. Dengan terjadinya suatu perceraian akan menimbulkan masalah dalam pembagian harta bersama yang mereka peroleh selama masa perkawinan,    di mana masing-masing pihak tidak mau haknya dikuasai oleh salah satu pihak saja. Akibatnya tidak jarang di antara suami isteri saling berebut harta kekayaan.
Harta bersama adalah harta suami isteri yang diperoleh selama masa perkawinan yang merupakan harta kekayaan yang oleh suami isteri itu dijadikan sebagai modal kekayaan dalam melangsungkan hidup bersama sebelum terjadinya perceraian.
Selanjutnya mengenai harta bersama dalam hal putusnya perkawinan, Iman Sudiyat menjelaskan bahwa “Harta yang diperoleh selama masa perkawinan menjadi harta bersama suami isteri, sehingga merupakan harta kekayaan yang bila perlu (khususnya dalam hal putusnya perkawinan) suami dan isteri dapat menuntut haknya atas (masing-masing untuk sebagian)”.[3]     
Sehubungan dengan itu pula yang terdapat Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dinyatakan bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama“.
Dalam Pasal 35 tersebut tidak ditentukan apakah harta itu diperoleh dari suami, isteri atau keduanya, dan tidak ditentukan pula mengenai pembagian harta bersama.
Dengan demikian, berapa banyak yang diperoleh oleh suami atau selama dalam ikatan perkawinan adalah menjadi milik bersama dari suami isteri tersebut. Hal ini menunjukkan adanya keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri pada harta bersama. Maka dalam penguasaannya harta bersama tersebut dikuasai oleh keduanya. Apabila salah satu pihak suami maupun isteri akan menggunakan harta bersama tersebut harus mendapat persetujuan dari kedua belah pihak. 
Menurut Hilman Hadikusuma, “ bahwa mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.“ [4]
Sementara  itu di dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 1 huruf (f) b menyatakan “Harta perkawinan dalam Islam atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun“. [5]
Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan harta bersama, tetapi dalam Pasal 85 tersirat adanya harta bersama sebagaimana dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta masing-masing suami isteri. Namun demikian menurut Kompilasi Hukum Islam apabila terjadi cerai hidup maka masing-masing suami isteri mendapat separuh dari harta bersama. Hal ini termuat dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “Janda atau duda cerai hidup berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Apabila kita perhatikan maksud yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan tentang harta bersama tersebut, maka maksud keduanya itu adalah sama. Walaupun pada umumnya Bangsa Indonesia harus taat dan patuh terhadap Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dalam bentuk tertulis, tetapi mereka juga diperkenankan untuk memakai ketentuan Hukum Adatnya masing-masing baik tertulis maupun tidak tertulis, asalkan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku secara nasional tersebut.  
Selanjutnya pada Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan “Bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing .“
Dalam penjelasan pasal tersebut, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya“ masing-masing ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembagian harta perkawinan karena perceraian dapat diselesaikan menurut Hukum Agama, Hukum Adat dan Hukum-hukum lainnya.
Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 387 K/ Sip/ 1958                tgl. 11-2-1959 dan No. 392 K/ Sip/ 1969 tgl. 30-8-1969 :
“ Apabila terjadi perceraian, maka di dalam penyelesaian pembagian harta bersama akibat perceraian adalah sebagai berikut :
1.)       Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam, hukum Islam tidak mengenal harta bersama, karena isteri diberi nafkah oleh suami.   Yang ada ialah harta milik masing-masing suami dan isteri.            Harta adalah hak mereka masing-masing.
2.)       Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam dan agama-agama lainnya, tetapi tunduk kepada hukum adat yang mengenal harta bersama (gono-gini, harta guna kaya), jika terjadi perceraian,                 bekas suami dan bekas isteri masing-masing mendapat separoh. [6]   
     

Berdasarkan  hal tersebut di atas, penulis sangat tertarik untuk melihat kenyataan sebenarnya yang terjadi, terutama mengenai ketentuan yang digunakan dalam pelaksanaaan pembagian harta bersama pada Pengadilan Agama Sungai Penuh di dalam putusannya tersebut kedalam suatu bentuk skripsi, dengan judul : “Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian Dan Permasalahannya Di Pengadilan Agama Sungai Penuh Berdasarkan  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 “ 



[1]K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980,   hal. 14-15.
[2]Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 93.
[3]Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Azas, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 147.
[4]Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 123.
[5]Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, hal. 94.
  [6]Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 117. 
Untuk lebih lanjut bisa email ke dee_nbl@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...