Kamis, 05 April 2012

Rekonseptualisasi KUHAP

Fenomena kegagalan transformasi pendidikan hukum ini, tidak menjadi alasan bagi masyrakat untuk berdiam diri. Justru bagi masyarakat, merosotnya fungsi hukum dan buruknya mental polisi, jaksa, hakim dan advokat merupakan “laboratorium hukum” untuk mengeksploitasi praktik-praktik tercela yang tersem-bunyi di balik meja polisi, jaksa, hakim maupun tas hitam sang advokat.


Seperti yang selama ini disuarakan berbagai lembaga swadaya masyarakat.Termasuk hasil temuan pers di Surabaya, yang kemudian memaksa Pengadilan Tinggi Jawa Timur menjatuhkan sanksi terhadap hakim Budi Susilo, SH, karena pelanggaran aturan sidang. Dan sanksi persidangan ulang kasus kepemilikan 100 butir ekstasi dan 18,7 gram sabu-sabu dengan hakim tunggal Budi Susilo, SH di Pengadilan Negeri Surabaya (Surya, 28 Desember 2007).
Tidak terasa, tanggal 31 Desember 2007 ini, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana, atau kemudian dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) genap berusia 26 tahun. Dalam usia lebih dari seperempat abad ini, terungkap berbagai kelemahan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia. Karena KUHAP yang secara normatif merupakan pijakan hukum pelaksaan sistem peradilan pidana, tidak dapat lagi dianggap sebagai karya agung bangsa Indonesia.
Kelemahan itu, di antaranya ketidakseimbangan hak antara hak-hak tersangka/terdakwa dengan hak-hak korban, sehingga berakibat lemahnya posisi korban. Hal ini akan memperlebar disparitas kebijakan pidana terhadap tersangka/terdakwa dan korban.
Kenyataan lain yang harus dihadapi KUHAP, bahwa komponen yang bekerja di dalam sistem peradilan pidana di negara hukum ini, adalah institusi negara yang telah tercoreng kewibawaannya. Mulai insitusi kepolisian, kejaksaan sampai kehakiman, terlibat dalam pratik penyalahgunaan kekuasaan, maupun berbagai jenis tindak pidana.
Realitas ini menunjukkan sistem peradilan pidana di Indonesia gagal men-trasformasikan “pendidikan hukum” bagi pencari keadilan. Padahal melalui trans-fomasi pendidikan ini, tidak saja membebaskan masyarakat dari keterbelakang-an. Akan meningkatkan pula kepercayaan para pencari keadilan terhadap insti-tusi penegak hukum, sehingga dengan sendirinya menepis berbagai ungkapan sinis masyarakat terhadap polisi, jaksa, hakim dan advokat.
Sebagaimana terungkap di Surabaya, selama tahun 2007 ada tiga kasus tindak pidana korupsi yang diputus bebas. Sementara hakim dan jaksa yang menangani kasus-kasus itu, saling tuding dan membela diri (Catatan Akhir Tahun, Surya, 24 Desember 2007).
Fenomena kegagalan transformasi pendidikan hukum ini, tidak menjadi alasan bagi masyrakat untuk berdiam diri. Justru bagi masyarakat, merosotnya fungsi hukum dan buruknya mental polisi, jaksa, hakim dan advokat merupakan “laboratorium hukum” untuk mengeksploitasi praktik-praktik tercela yang tersembunyi di balik meja polisi, jaksa, hakim maupun tas hitam sang advokat.
Seperti yang selama ini disuarakan berbagai lembaga swadaya masyarakat.,Termasuk hasil temuan pers di Surabaya, yang kemudian memaksa Pengadilan Tinggi Jawa Timur menjatuhkan sanksi terhadap hakim Budi Susilo SH, karena pelanggaran aturan sidang. Dan sanksi persidangan ulang kasus kepemilikan 100 butir ekstasi dan 18,7 gram sabu-sabu dengan hakim tunggal Budi Susilo SH di Pengadilan Negeri Surabaya (Surya, 28 Desember 2007).
Secuil borok kegagalan tersebut, bukan tidak mungkin dapat membangun kultur hitam dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana di Indonesia. Sejalan dengan kekhawatiran itu dan dalam upaya meningkatkan kembali kualitas fungsi hukum, sehingga terpenuhinya kepastian, kemanfaatan dan keadilan, maka sudah saatnya dilakukan rekonseptualisasi terhadap KUHAP.
Menawarkan gagasan tersebut, bukanlah jalan pintas untuk memberantas kultur hitam dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Sebab harus didukung political will pemerintah dan dilandasi kesadaran mereformasi akal pikir dan mental penegak hukum sebagai aparat negara. Rekonseptualisasi terhadap KUHAP, harus diikuti pula komitmen moral para penegak hukum. Jika tidak demikian, selain energi yang terbuang habis, sama halnya dengan melahirkan KUHAP sebagai macan ompong.
Kekhawatiran ini sangat beralasan. Oleh karena itu ketepatan dalam melakukan rekonseptualisasi KUHAP diharapkan mampu memformulasi tuntutan perubahan dan pembaharuan yang lebih transparan terhadap bekerjanya para penegak hukum. Mengingat potensi-potensi yang dimiliki masyarakat dalam membongkar praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan maupun praktik tercela lainnya, adalah aset yang kontributif bagi hukum pidana (KUHAP) untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan praktik tercela lainnya. Sehingga pada gilirannya KUHAP dan sistem peradilan pidana tidak lagi potensial sebagai faktor viktimogen.
Harapan ini sejalan dengan konsep pemikiran Philipe Nonet dan Philip Selznick (1978), bahwa kemampuan memformalasikan tuntutan perubahan dan pembaharuan hukum, niscaya akan mendekatkan hukum tersebut tidak jauh dari kepentingan dan harapan masyarakat. Melalui model responsif law (hukum yang responsif) akan menempatkan KUHAP secara terbuka dan mampu melayani kebutuhan dan kepentingan sosial, tidak oleh pejabat, melainkan masyarakat.
Harapan ini tentu saja akan menggugah sensitifitas para penegak hukum ketika berinteraksi dan berinterelasi dengan masyarakat di sekitarnya. Artinya, apakah hati nurani para penegak hukum ini dapat memaknai setiap masalah sosial yang ada, mampu menghadapi beragam tekanan, baik di dalam, maupun di luar sistem peradilan pidana itu sendiri, dengan berbagai aspek dan kepentingan yang berbeda.
Mengingat dalam pandangan masyarakat global, keadilan yang substansial tidak selamanya diperoleh di pengadilan. Dan pengadilan bukan satu-satunya ruang untuk mencari dan mendapatkan keadilan yang substansial. Karena keadilan yang substansial itu, bukan sesuatu yang jatuh dengan sendirinya dari langit. Tetapi hasil konstruksi sosial antara sistem peradilan pidana itu sendiri dengan sistem sosial masyarakat.
Sebagaimana diungkapan oleh Marc Galanter dalam karyanya yangmonumental justice in many rooms (Mauro Cappeletti, l981), selama ini kekuatan formallah yang telah menempatkan pengadilan sebagai simbol keadilan. Akibat-nya tertutuplah partisipasi masyarakat untuk mewujudkan keadilan yang substansial. Padahal keadilan itu sendiri dapat dicari dan ditemukan di institusi formal maupun non formal, termasuk di warung-warung pinggir jalan.
Inilah persolan lain yang akan dihadapi dalam rangka rekonseptualisasi terhadap KUHAP. Artinya apakah ketepatan melakukan formulasi tuntutan per-ubahan dan pembaharuan, diikuti pula dengan kemauan aparat penegak hukum untuk merubah paradigma berpikir yang kaku atau rigid dengan paradigma berpikir yang dianut oleh masyarakat global. Sebab di dalam masyarakat global interaksi dan interelasi antara masyarakat nasional dengan individu, serta sistem masyarakat dunia dengan nilai-nilai kemanusiaan, lebih bersifat dinamis.
Ini berarti bagaimana Indonesia menempatkan KUHAP dan sistem per-adilan pidananya di tengah-tengah peta global ? Dan bagaimana KUHAP dapat menjalankan perannya dalam sistem hukum internasional ? Mengingat dinamika masyarakat akan selalu memperdebatkan di mana tempat negara dalam hukum maupun tempat hukum dalam masyarakat.
Dan pada akhirnya rekonseptualisasi terhadap KUHAP, tidak harus berseberangan dengan adagium hominum causa jus constitutum  atau hukum diciptakan demi kesejahteraan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...