Senin, 21 Mei 2012

Dinamika Fonologis Bahasa Melayu Loloan Bali dalam Adaptasi Unsur Bahasa Indonesia dan Bahasa Bali


Oleh:
I Nyoman Suparwa
Program Magister Linguistik
Universitas Udayana


Abstrak
Penutur bahasa Melayu Loloan Bali (BMLB) adalah komunitas Orang Loloan yang merupakan campuran berbagai etnik di Indonesia, seperti Melayu-Pontianak (Kalimantan), Bugis (Sulawesi), Arab, Jawa, dan Bali. Karena orang Melayu-Pontianak sebagai pemuka agama dan ke-linguafranca-an bahasa Melayu waktu itu, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa untuk komunitas tersebut. Lingkungan kehidupan bahasa Melayu Loloan di daerah Bali yang mayoritas penutur bahasa Bali sebagai bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional/resmi menyebabkan terserapnya kosakata bahasa Bali dan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Melayu Loloan.
Penyerapan unsur bahasa itu umumnya dalam kosakata yang membawa konsekuensi pada perbuhan bunyi (fonologis). Kata bahasa Bali busung ’janur’ atau bahasa Indonesia pabrik yang menjadi bosung atau pabrek dalam BMLB memperlihatkan perendahan dan pengendoran bunyi, seperti juga toko BI menjadi [t􀀀k􀀀] BMLB menjadi argumentasi dominannya vokal e (pepet/schwa) (kedur) dalam posisi akhir kata, seperti lame ’lama’, biase ’biasa’, dan gekmane ’bagaimana’ dalam BMLB. Dinamika fonologis akibat lingkungan bahasa tersebut terlihat juga pada ketidakkonsistenan bunyi hambat-glotal sebagai fonem seperti dalam bahasa Melayu Pontianak (asal BMLB). Dalam BMLB tidak ditemukan hambat-glotal pada posisi onset. Selain itu, ditemukan juga ketidakkonsistenan bunyi konsonan hambat-bersuara pada posisi koda, seperti ongkeb ’panas’ bahasa Bali menjadi ongkep BMLB, tetapi ongkeban ’lebih panas’ tidak berubah dalam BMLB. Pada kata duri /duri/ [⎢uri] ‘duri’ atau padi /padi/ [pa⎢i] ‘padi’ dan pelafalan /t/ pada morfem tali /tali/ [􀀀ali] ‘tali’ atau bute /but↔/ [bu􀀀↔] ‘buta’, terlihat pelafalan bunyi /t, d/ sebagai retropleks bila berada pada posisi awal silabel, baik di awal morfem maupun di tengah morfem yang merupakan pengaruh bahasa Bali. Unsur fonologis bahasa Bali banyak masuk ke dalam BMLB ketika masa penjajahan, sedangkan unsur fonologis bahasa Indonesia banyak masuk pada tahun-tahun belakangan ini karena penutur BMLB ”merasa” bahasanya merupakan bahasa yang sama dengan bahasa Indonesia.
Kata Kunci: dinamika fonologis, adaptasi, bahasa Melayu Loloan Bali

1. Pendahuluan
Dinamika fonologis adalah dinamika sistem bunyi sebuah bahasa dalam kehidupan yang berkembang karena bunyi merupakan salah satu aspek bahasa di samping kosakata dan gramatika (Pennington, 2007:17). Bahasa hidup dan berkembang di dalam sebuah masyarakat yang senantiasa terus berubah dan berkembang. Perkembangan masyarakat umumnya terkait dengan kebutuhan ekonomi, politik, sosial, dan budaya masyarakat bersangkutan. Di samping itu, perubahan bahasa juga disebabkan oleh dinamika sosial masyarakat penutur bahasa dalam pergaulannya dengan masyarakat bahasa lain di suatu daerah pergaulan bahasa.


Terkait dengan itu, Haugen (1972:327) mengatakan bahwa kehidupan sebuah bahasa di lingkungan bahasa-bahasa lainnya atau ekologi bahasa tidak bisa menghindarkan diri dari terjadinya pengaruh unsur-unsur kebahasaan. Terjadinya pengaruh tersebut terkait dengan faktor ekstralinguistik dan faktor kebahasaan (intralinguistik). Situasi kebahasaan (ekstralinguistik) yang terkait dengan orang yang diajak bicara, topik pembicaraan, dan dorongan dari dalam diri pembicara, seperti dorongan untuk sejajar/diterima dalam penggunaan bahasa oleh penutur bahasa lain merupakan alasan sosial-kebahasaan seseorang menggunakan unsur bahasa lain. Selain itu, faktor kesiapan atau kemudahan pengucapan unsur bahasa tertentu merupakan faktor kebahasaan seseorang menggunakan unsur bahasa lainnya.

Bahasa Melayu Loloan Bali (BMLB) adalah sebuah bahasa daerah yang hidup dan berkembang di daerah pergaulan antar-etnis (multikultural) di Indonesia, khususnya di Bali, tepatnya Desa Loloan (barat dan timur) Kota Negara, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Daerah pakai itu merupakan daerah pusat dan pemakaian bahasa itu juga tersebar di beberapa desa pinggir pantai, yaitu Desa Tegal Badeng Barat, Tegal Badeng Timur, Banyubiru, Air Kuning, Cupel, Pengambengan yang berada di wilayah Kecamatan Negara, dan Desa Tuwed serta Melaya (pantai) yang berada di wilayah Kecamatan Melaya, Jembrana Bali. Bahasa ini didukung oleh jumlah penutur sekitar 31.865 jiwa dengan mayoritas penduduk beragama Islam dan umumnya bekerja sebagai pedagang dan jasa (Bappeda Kab Jembrana, 2003).

Etnis pendukung bahasa ini adalah campuran etnis, seperti Melayu-Pontianak (Kalimantan Barat), Bugis (Sulawesi), Trengganu (Malaysia), Arab, Jawa, dan Bali. Pemakaian BMLB sebagai bahasa pengantar antaretnis tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa etnis Melayu-Pontianak dan Malaysia merupakan pemimpin (agama, perdagangan, pasukan perang) kelompok tersebut; di samping faktor lain seperti bahasa Melayu merupakan lingua franca dan secara intralinguistik bahasa Melayu lebih sederhana daripada bahasa daerah lain di Indonesia karena bahasa ini tidak memiliki tingkatan bahasa yang rumit. Di samping digunakan dan didukung oleh kelompok masyarakat antar-etnik, bahasa tersebut juga digunakan dalam pergaulan masyarakat antar-etnik, yaitu “masyarakat Loloan” dan masyarakat Bali.
Penelitian bahasa Melayu Loloan Bali menjadi menarik karena bahasa itu memiliki ciri dan berada dalam ekologi bahasa tersendiri yang membedakannya dengan bahasa daerah atau bahasa Melayu yang lain di Indonesia, baik secara sosial-kebahasaan (makrolinguistik) maupun kebahasaan (mikrolinguistik).

Keberadaan bahasa Melayu Loloan sebagai bahasa minoritas di lingkungan bahasa mayoritas (bahasa Bali) menyebabkan bahasa ini berinteraksi secara ekstralingual. Penutur bahasa Melayu Loloan, umumnya, dwibahasawan (menguasai bahasa Melayu Loloan dan bahasa Indonesia serta mengerti bahasa Bali) dengan pemakaian bahasa Melayu Loloan dalam ranah informal, seperti intrakeluarga, upacara adat, dan pengajian. Situasi pemakaian bahasa seperti itu menimbulkan saling serap unsur kebahasaan. Penyerapan unsur bahasa, salah satunya, berupa masuknya unsur-unsur bahasa lain (bahasa lingkungan: bahasa Bali dan bahasa Indonesia), terutama dalam kosakata, dalam BMLB yang dibahas dalam kajian ini. Penyerapan kosakata tersebut membawa konsekuensi pada dinamika sistem bunyi BMLB karena kosakata pada prinsipnya adalah rangkaian bunyi.

2. Dinamika Fonologis Bahasa Melayu Loloan Bali
2.1 Kosakata Bahasa Bali dalam BMLB
Kontak sosial dua penutur bahasa yang berbeda (penutur BMLB dengan bahasa Bali) relatif sering terjadi karena mereka tinggal dalam satu satuan wilayah, terutama di Loloan Timur. Di daerah tersebut sering terjadi kontak sosial antara penutur bahasa Melayu dengan penutur bahasa Bali. Pertemuan tersebut bisa dalam situasi gotong royong, saling kunjung saat ada hajatan (upacara), atau situasi jual beli di warung (situasi terakhir ini paling sering ditemukan). Dalam pertemuan seperti itu, masing-masing penutur bahasa menggunakan bahasanya masing-masing (penutur bahasa Melayu berbahasa Melayu, penutur bahasa Bali berbahasa Bali). Perbedaan kode bahasa yang digunakan dalam komunikasi tersebut tidak mengganggu jalannya komunikasi secara keseluruhan karena masing-masing penutur bahasa memahami pemakaian bahasa lawan tuturnya.

Pernah suatu ketika, orang Loloan (terutama golongan tua) begitu “fanatik” terhadap pemakaian bahasanya (seperti yang dituturkan oleh Pak Anwar Hisbullah; wawancara, Juni 2005).
Orang Loloan (penjual) : Mak, mari mak barang elok-elok!
‘Bu, ke sini bu barang bagus-bagus!’
Orang Bali (Pembeli) : Bu ngadep ape? ‘Ibu menjual apa?’
Orang Loloan : Ni mak nyual sagon ‘Ini ibu menjual sagon.
(sejenis kue)’
Orang Bali : Kuda mak sebungkus? ‘Berapa Bu sebungkus?’
Orang Loloan : Biase an tus seket. ‘Biasalah seratus lima puluh’
Orang Bali : Karoblah, ya? ‘Seratus lima puluh, ya?
Orang Loloan : Gekmane seh dah beri’inye tus seket.
‘Bagaimana ini sudah diberi seratus lima puluh’

Dialog tersebut terjadi di Loloan Timur ketika seorang pedagang (orang Loloan) bertemu dengan pembeli (orang Bali). Dalam situasi tersebut, masing-masing penutur menggunakan bahasanya sendiri-sendiri (orang Bali berbahasa Bali dan orang Loloan berbahasa Melayu). Keadaan seperti itu sering terjadi dan kedua belah pihak bisa saling mengerti. Hanya saja, ketika orang Bali menggunakan kata karoblah ‘seratus lima puluh’, orang Loloan ini tidak memahami arti kata tersebut, sehingga ia jengkel. Hal itu tergambar dari kalimat yang diucapkannya pada bagian akhir dialog tersebut.
Dalam keadaan pada umumnya, orang Loloan bersikap akomodatif terhadap pergaulan dengan masyarakat Bali. Hal itu tercermin dari ditemukannya beberapa orang Loloan kawin dengan orang Bali. Kawin campur dalam dua masyarakat tersebut bukanlah sesuatu yang aneh. Sebut saja misalnya Anak Agung Ayu Nurhatini dari Pergung (orang Bali) kawin dengan Mustakim (orang Loloan) secara otomatis orang Bali itu bisa dan menjadi penutur bahasa Melayu Loloan. Demikian juga sebaliknya, Ibu Masita (orang Loloan) kawin ke Air Kuning (dengan orang Bali) menjadi penutur bahasa Bali karena suaminya penutur bahasa Bali.

Keadaan seperti itu menyebabkan secara tidak sengaja, pengaruh bahasa Bali juga terlihat dalam pemakaian bahasa Melayu Loloan. Sikap akomodatif masyarakat Loloan dalam pergaulan dengan masyarakat Bali menyebabkan beberapa unsur bahasa Bali masuk ke dalam bahasa Melayu Loloan. Hal ini pernah diteliti oleh Laksmi (1984) yang menyimpulkan bahwa sebanyak kurang lebih lima ratus kata pungut bahasa Bali dalam bahasa Melayu Loloan. Dari jumlah tersebut, dikelompokkan ke dalam empat bidang kehidupan, yaitu bidang pertanian, nelayan, perdagangan, dan agama. Kemudian, dikelompokkan juga menurut jenis katanya, yaitu kata benda, kerja, sifat, dan bilangan; ternyata yang tergolong kata benda ditemukan paling banyak, yaitu 49,20% (246 kata).

Proses masuknya kata-kata bahasa Bali ke dalam bahasa Melayu Loloan dapat dipilah menjadi dua, yaitu secara adopsi (diserap secara utuh) dan adaptasi (diserap melalui perubahan bentuk). Penyerapan kata bahasa Bali melalui adopsi, seperti
Kata Bahasa Bali Kata BMLB Arti
mayah mayah ‘membayar’
pancing pancing ‘kail’
kebus kebus ‘panas’
sidu sidu ‘sendok’
silih silih ‘pinjam’
Beberapa kata ditemukan dalam bentuk perubahan adaptasi, seperti
Kata Bahasa Bali Kata BMLB Arti
subeng sobeng ‘giwang’
pikul pekul ‘junjung di pundak’
pipis pepis ‘uang’
kuping koping ‘telinga’
busung bosung ‘janur’
2.2 Kosakata Bahasa Indonesia dalam BMLB
Unsur bahasa Indonesia yang berupa unsur adopsi ditemukan, misalnya sebagai berikut.
BI BM LB Arti
honda honda ‘honda’
televisi televisi ‘televisi’
telepon telepon telepon’

Kata-kata bahasa Indonesia yang masuk ke dalam BMLB, umumnya merupakan kata-kata bahasa Indonesia hasil serapan dari bahasa asing (Inggris). Kata-kata lain memang banyak yang sama dengan bahasa Indonesia tetapi sulit menyebutkan kata itu berasal dari bahasa Indonesia yang masuk ke dalam BMLB karena memang bahasa Indonesia itu berasal dari bahasa Melayu. Akan tetapi, kata-kata bahasa Indonesia yang masuk setelah kemerdekaan atau kata-kata yang cenderung banyak digunakan oleh generasi muda umumnya diakui oleh penutur BMLB sebagai kata bahasa Indonesia yang masuk ke dalam BMLB.
Selain diterima secara utuh, beberapa kata bahasa Indonesia dalam BMLB mengalami perubahan fonologis. Kata-kata yang mengalami perubahan seperti itu digolongkan sebagai adaptasi. Misalnya kata-kata sebagai berikut.

BI BM LB Arti
penduduk pendodok penduduk
pabrik pabrek pabrik
gaji gaje gaji
lulus lolos lulus
2.3 Adaftasi Bunyi (Fonologi)
Perubahan kata di atas memperlihatkan terjadi perubahan perendahan bunyi, yaitu bunyi /u/ yang tinggi-belakang menjadi /o/ yang sedang-belakang, seperti pada kuping ‘telinga’ dan subeng ‘giwang’ bahasa Bali menjadi koping ‘telinga’ dan sobeng ‘giwang’ BMLB atau perubahan /i/ yang tinggi-depan menjadi /e/ yang sedang-depan, seperti pikul ‘junjung di pundak’ dan pipis ‘uang’ bahasa Bali menjadi pekul ‘junjung di pundak’ dan pepis ‘uang’ BMLB. Perubahan tersebut menandakan bahwa sistem alat ucap penutur BMLB cenderung menggunakan cara pengucapan perendahan/lebih rendah daripada cara pengucapan bahasa Bali.
i u
e ↔ o
a
Contoh-contoh adaftasi leksikal bahasa Indonesia dalam BMLB juga memperlihatkan terjadinya perubahan bunyi yang konsisten, yaitu berupa perendahan bunyi. Bunyi /i/ yang depan tinggi dan bunyi /u/ yang belakang tinggi masing-masing menjadi bunyi /e/ yang depan-sedang dan bunyi /o/ yang belakang-sedang. Bunyi/ i/ seperti pada gaji atau pabrik bahasa Indonesia menjadi bunyi /e/, yaitu gaje ‘gaji’ atau pabrek ‘pabrik’ dalam BMLB. Bunyi /u/ seperti pada kata penduduk atau lulus bahasa Indonesia menjadi /o/, yaitu pendodok ’penduduk’ atau lolos ‘lulus’ dalam BMLB.
Secara keseluruhan bila dicermati perubahan bunyi yang terjadi pada BMLB, tampak terjadinya perubahan bunyi perendahan, yaitu dari bunyi /i/ menjadi /e/ dan dari bunyi /u/ menjadi bunyi /o/. Perubahan bunyi seperti itu bukan karena lingkungan bunyi terdekat (pengaruh bunyi terdekat), tetapi karena motivasi kebiasaan alat ucap (artikulatoris) bahwa penutur BMLB cenderung mengucapkan bunyi yang lebih rendah atau lebih lemah. Hal itu pulalah yang menjadi alasan dominannya bunyi /ə↔/ pada posisi akhir morfem, baik pada suku terbuka maupun tertutup, seperti die /diə↔/ ‘dia’, ape / apə↔/ ‘apa’, dan denger /də⎢ər/ ‘dengar’.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa penyerapan kosakata bahasa Bali dan bahasa Indonesia ke dalam BMLB tidak mengakibatkan perubahan dalam sistem vokal BMLB karena umumnya vokal kosakata bahasa lain tersebut menyesuaikan dengan sistem vokal BMLB. Hal berbeda ditemukan dalam bunyi hambat-glotal (/⎟/). Sistem bunyi hambat-glotal BMLB ditemukan dalam realisasi glotal [/] dan velar tak bersuara tak lepas [k>] dalam kaidah kecil. Bunyi glotal [/] yang umumnya ditemukan sebagai bunyi konsonan akhir silabel pada akhir morfem dalam data yang terkumpul, sepanjang penelitian ini, ditemukan juga sebagai bunyi konsonan akhir silabel di tengah morfem dalam dua kata. Kata yang dimaksud adalah gekane /gekan↔/ [gΕ/an↔] ‘seperti’ dan gekmane /gekman↔/ [gΕ/man↔] ‘bagaimana’. Kedua kata tersebut secara jelas mengandung glotal dalam pelafalan yang pelan, yaitu gek-ane ‘seperti’ dan gek-mane ‘bagaimana’. Kemudian, bunyi velar tak bersuara tak lepas [k>] yang umumnya ditemukan pada distribusi bunyi konsonan akhir silabel di tengah morfem, dalam penelitian ini,
sepanjang data yang terkumpul, ditemukan juga sebagai bunyi konsonan akhir silabel di akhir morfem dalam enam kata. Kata yang dimaksud adalah getok /g↔tok/ [g↔t􀀀k>] ‘ketuk‘, gampok /gampok/ [gamp􀀀k>] ‘pukul’, kapok /kapok/ [kap􀀀k>] ‘jera’, lempak /l↔mpak/ [l↔mpak>] ‘lempar’, kilik /kilik/ [kilik>] ‘gelitik, dan bongkok /boΝkok/ [b􀀀Νk􀀀k>] ‘bungkuk’.
Untuk lebih jelasnya tentang perbedaan kemunculan glotal [/] dan bunyi velar tak bersuara tak lepas [k>] dapat diperhatikan pada diagram pohon kata yang terdiri atas dua silabel sebagai berikut.
σ σ
O R O R
N K N K
([-silabis]) [ + silabis ] ([- silabis]) ([-silabis]) [ + silabis ] ([- silabis])
[K] V [k>] [K] V [?]
<[/]> <[k>]>
< > = kaidah kecil
Gambar di atas memperlihatkan sebuah struktur suku kata (σ) terdiri atas onset (O) dan sebuah rima (R). Onset merupakan konsonan sebagai pembuka/pengawal’ selabel/suku kata yang bersifat manasuka /opsional/tidak wajib, sedangkan rima adalah bagian suku kata yang membawa bagian inti suku kata tersebut. Bagian rima terdiri atas nukleus (N) dan koda (K). Bagian nukleus
merupakan inti silabel yang diisi oleh vokal dan bersifat wajib sedangkan bagian koda adalah bagian penutup suku kata yang diisi oleh konsonan dan bersifat opsional. Bunyi glotal [/] dalam bahasa Melayu Loloan Bali merupakan konsonan opsional silabel yang berdistribusi sebagai konsonan akhir (penutup/koda) suku kata pada akhir kata sedangkan bunyi velar tak bersuara tak lepas [k>] merupakan konsonan akhir (penutup/koda) suku kata yang berada di tengah kata. Kata yang tergambar di atas merupakan kata yang terdiri atas dua suku (silabel), dalam hal ini, glotal juga bisa muncul sebagai koda di tengah kata dan bunyi velar tak bersuara tak lepas juga dapat muncul sebagai koda di akhir kata sebagai kaidah kecil (minor), seperti ditunjukkan oleh data di atas.
Kamal (1986:29) menjelaskan bahwa keberadaan glotal pada posisi akhir silabel ditemukan dalam bahasa Melayu Pontianak yang merupakan asal bahasa Melayu Loloan Bali. Dalam kata-kata seperti budak [buda/] ‘anak’ , jak [ja/] ‘saja’, dan besak [b↔sa/] ‘besar’ merupakan contoh kemunculan glotal pada posisi akhir kata dalam bahasa Melayu Pontianak. Rupanya, bunyi glotal ditemukan sebagai fonem tersendiri pada bahasa asalnya.
Menarik untuk dibahas bunyi glotal bahasa Melayu Loloan Bali karena bunyi tersebut berkorelasi dengan berbagai bunyi bahasa Indonesia. Pertama, pada kata bahasa Indonesia taruh dan (di) bawah ditemukan menjadi tarok /tarok/ [tar􀀀/] ‘taruh’ dan bawak /bawak/ [bawa/] ‘(di) bawah’ dalam bahasa Melayu Loloan. Kedua, beberapa diftong bahasa Indonesia, seperti, pada kata sampai dan hirau bahasa Indonesia menjadi sampek /sampek/ [sampΕ/] ‘sampai’ dan herok /herok/ [her􀀀/] ‘hirau’ , yaitu glotal bahasa Melayu Loloan Bali. Ketiga, pada
jejeran vokal yang tidak ditemukan dalam morfem asal, seperti ei /↔i/ [↔i] dan ii /ii/ [ii], dibentuk dalam morfem turunan maka muncul bunyi glotal di antaranya. Misalnya, terlihat pada pembentukan cerite+i /c↔rit↔ + i/ [c↔rit↔ + i] ’ceritrakan’ dan beri + i /b↔ri +i / [b↔ri + i] ‘berikan’ maka menjadi cerite’i /c↔rit↔ki/ [c↔rit↔/i] ‘ceritrakan’ dan beri’i /b↔riki/ [b↔ri/i] ‘berikan’.
Selain fenomena tersebut di atas ditemukan juga alofon [k>] (hambat velar tak bersuara tak lepas) dari fonem /k/ pada sejumlah kecil data (seperti tersebut di atas). Misalnya, pada kata getok /g↔tok/ [g↔t􀀀k>] ‘pukul’, gampok /gampok/ [gamp􀀀k>], dan kapok /kapok/ [kap􀀀k>] ‘jera’ ditemukan bunyi hambat velar tak bersuara tak lepas pada posisi akhir suku kata (koda). Bila konsonan /k/ berada pada posisi awal suku kata (onset), akan muncul hambat velar tak bersuara lepas. Misalnya, pada kelape /k↔lap↔/ [k↔lap↔] ‘kelapa’, kambang /kambaΝ/ [kambaΝ] ‘(ter)apung’, dan keruk /k↔ruk/ [k↔rΥ/] ‘gali’ (seperti tersebut di atas). Pemakaian bunyi hambat velar tak bersuara tak lepas itu dapat dikenali bila morfem tersebut ditambahi sufiks {-i}. Perbedaan morfem dasar yang berakhir dengan bunyi glotal ([/]) dengan morfem dasar yang berakhir dengan bunyi hambat velar tak bersuara tak lepas terlihat dengan jelas ketika morfem tersebut ditambah sufiks {-i}. Apabila morfem tersebut berakhir dengan glotal dan ditambah sufiks {-i} tetap berwujud glotal. Hal itu bisa dilihat dalam contoh ambik /ambik/ [ambΙ/] ‘ambil’, tarok /tarok/ [tar􀀀/] ‘taruh’, dan herok /herok/ [her􀀀/] ‘hirau’ bila ditambah sufiks {-i} menjadi ambi’i /ambiki/ [ambΙ/i] ‘ambilkan’, taro’i /taroki/ [tar􀀀/i] ‘taruhkan/taruhi’, dan hero’i /heroki/ [her􀀀/i]
‘hiraukan’. Bila morfem dasar tersebut berakhir dengan bunyi hambat velar tak bersuara tak lepas ditambah sufiks {-i} menjadi hambat velar tak bersuara lepas. Misalnya, morfem dasar getok /g↔tok/ [g↔t􀀀k>] ‘pukul’, gampok /gampok/ [gamp􀀀k>], dan kapok /kapok/ [kap􀀀k>] ‘jera’ tersebut di atas ditambah sufiks {-i} menjadi getoki /g↔toki/ [g↔toki] ‘ketukkan’, gampok /gampok/ [gampoki] pukulkan/pukuli’, dan kapok /kapok/ [kapoki] ‘dibuat jera’. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa morfem yang berakhir dengan glotal menjadi tetap glotal, sedangkan morfem yang berakhir dengan hambat tak bersuara tak lepas menjadi hambat tak bersuara lepas. Perubahan tersebut juga disertai adanya perubahan vokal sebelum konsonan akhir yang sebelumnya kendur (karena berada pada silabel tertutup konsonan) setelah ditambah sufiks menjadi tegang karena tidak lagi berada pada silabel tertutup.

fenomena lain yang perlu juga diketengahkan sebagai catatan temuan ini adalah kualitas segmen /d/ dan /t/ sebagai konsonan alveolar. Kualitas bunyi tersebut ditemukan bervariasi di dalam distribusi sebagai awal silabel dan sebagai akhir silabel. Konsonan /d, t/ pada awal silabel dilafalkan sebagai apiko-palatal karena kualitas lafal konsonan tersebut seperti /d, t/ Bali (bandingkan dengan Sulaga dkk., 1996:74) atau disebut juga konsonan retrofleks (Shane, 1992:xiii), sehingga dilafalkan sebagai [⎢,, 􀀀,] (retropleks), bukan seperti lafal konsonan bahasa Indonesia yang dental/alveolar (Alwi dkk., 1993:68). Konsonan itu dilafalkan dengan menempelkan daun lidah dan melengkung ke langit-langit bagian depan sehingga bukan alveolar penuh. Jika konsonan itu alveolar, pembentukannya dengan ujung lidah mendekati gusi.

Pelafalan tersebut merupakan pengaruh interferensi pelafalan bahasa Bali ke dalam bahasa Melayu Loloan Bali. Pengaruh tersebut terlihat sangat jelas pada pelafalan kata-kata bahasa Bali yang masuk ke dalam BM Loloan, seperti daki /daki/ [⎢aki] ‘kotor’, dekah /d↔kah/ [⎢↔kah] ‘batuk’, atau dengel /d↔Νel/ /⎢↔ΝΕl] ‘cantik’ dan pelafalan /t/ pada morfem tepeng /t↔p↔Ν/ [􀀀↔p↔Ν] ‘nasi bubur’ atau teres /t↔r↔s/ [􀀀↔r↔s] ‘kebiri’. Fenomena itu juga terlihat pada kata bahasa Melayu Loloan Bali yang berasal dari bahasa Indonesia, misalnya, morfem duri /duri/ [⎢uri] ‘duri’ atau padi /padi/ [pa⎢i] ‘padi’ dan pelafalan /t/ pada morfem tali /tali/ [􀀀ali] ‘tali’ atau bute /but↔/ [bu􀀀↔] ‘buta’. Hal itu memperlihatkan pelafalan bunyi /t, d/ sebagai retropleks bila berada pada posisi awal silabel, baik di awal morfem maupun di tengah morfem.
Sebagai pelafalan interferensi, sifat retropleks tersebut tidak ajeg/tetap pada berbagai distribusi. Apabila konsonan /t/ berada pada posisi sebagai konsonan akhir/penutup silabel, konsonan itu dilafalkan sebagai alveolar (penuh) yang tak lepas. Misalnya, terlihat pada morfem lalet /lal↔t/ [lal↔t>] ‘lalat’ atau daret /daret/ [dar↔t>] ‘darat’. Konsonan /d/ tidak ditemukan dalam realisasi fonetis pada akhir morfem/silabel. Morfem bahasa Melayu Loloan, termasuk yang berasal dari bahasa Indonesia atau bahasa Bali, yang berakhir dengan konsonan /d/ dilafalkan sebagai [t>] atau alveolar tak bersuara tak lepas. Misalnya, morfem abad /abad/ ‘abad’ atau nyed /⎠↔d/ ‘matang tidak bagus (ubi)’ dilafalkan sebagai [abat>] ‘abad’ atau [⎠↔t>] ‘matang tidak bagus (ubi)’. Hal itu lebih jelas terlihat pada kata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab, seperti maulud /maulud/ ‘maulud’. Secara fonetis, kata itu dilafalkan sebagai [maulΥt>] ‘maulud’ dengan [t>] pada akhir kata. Akan tetapi, realisasi fonetis tersebut akan kembali ke bunyi yang sama dengan fonemisnya bila berada pada posisi awal suku kata (di tengah kata), seperti dalam bentuk turunannya, yaitu mauludan /mauludan/ [mauludan] ‘perayaan maulud’.

Kemudian, apabila konsonan /d, t/ sebagai awal morfem mendapat prefiks {Ν) atau nasal, nasal yang muncul adalah nasal alveolar {-n}, seperti pada morfem /dap↔t/ [dap↔t>] ‘dapat’ menjadi /nap↔ti/ [nap↔ti] ‘mendapatkan’ dan /tiop/ [tiy􀀀p>] ‘tiup’ menjadi /m↔niop/ [m↔niy􀀀p>] ‘meniup’. Fenomena itu memperlihatkan bahwa variasi pelafalan /d/ dan /t/ merupakan interferensi bunyi yang tidak ajeg/konsisten dalam sistem bunyi. Variasi seperti itu dalam bagan diabaikan karena tidak bersifat distribusi komplementer atau kontras sehingga bunyi (intinya) tersebut tetap dianggap sebagai alveolar.

3. Base Lame ‘Bahasa Lama’ dan Base Karang Ini ‘Bahasa Sekarang’
Base Lame ‘bahasa lama’ dipakai oleh penutur untuk menyebut bahasa mereka pada zaman dulu. Bahasa itu umumnya digunakan oleh golongan tua dan beberapa katanya tidak dikenal lagi oleh penutur golongan muda. Kosakata “lama” dan tidak dikenal oleh golongan muda umumnya kata-kata benda yang acuannya (bendanya) sudah tidak ditemukan lagi. Hal itu bisa diakibatkan oleh dinamika budaya yang terjadi, seperti perubahan bentuk/struktur rumah, perubahan bentuk kesenian, atau perubahan pola pekerjaan.
Bentuk rumah panggung yang sekarang berubah menjadi bentuk rumah Indonesia pada umumnya menyebabkan beberapa istilah di rumah panggung, seperti bate-bate ‘tempat barang di kolong rumah panggung’ atau tontongan ‘jendela rumah panggung yang ada jari-jarinya’ tidak ditemukan lagi sekarang. Istilah bidang kesenian, seperti pereret, leko, atau seni magembang tidak ditemukan lagi di Loloan Negara karena hilangnya tradisi kesenian tersebut. Istilah dalam bidang pekerjaan, seperti pleting ‘alat penggulung benang’, rueng alat tenun‘, atau belebas ‘nama perkakas tenun’, yaitu istilah bidang pekerjaan menenun atau istilah melentek ‘mencari ikan dengan lampu’, rawe ‘pancing bermata banyak’, atau plas ‘pancing ditarik sampan’, yaitu istilah bidang pekerjaan nelayan sudah tidak dikenal oleh generasi muda karena pekerjaan itu tidak dilakukan lagi.

Dalam hal variasi ucapan, ditemukan juga pemakaian base lame ‘bahasa lama’ dan base karang ini ‘bahasa sekarang’. Ucapan kata kerete ‘kereta’ dan duse ‘dosa’ misalnya merupakan pelafalan yang “dianggap” oleh penutur sebagai bahasa lama (base lame). Bahasa lama itu cenderung digunakan oleh golongan tua dan terkesan kuno (tradisional). Bahasa sekarang (base karang ini) adalah bahasa yang cenderung digunakan oleh golongan anak muda dan terkesal modern atau gaul. Anak-anak muda yang banyak bergaul dengan orang non-Loloan atau anak-anak Loloan yang berpendidikan tinggi dan merantau di luar Loloan, biasanya enggan disebut sebagai anak-anak yang “tidak gaul”, sehingga mereka cenderung menghindari pemakaian bentuk-bentuk leksikal yang terkesan kuno tersebut dan menggunakan bentuk-bentuk yang tergolong modern.

Untuk contoh leksikal di atas, bentuk “modern”-nya adalah kereta untuk kerete dan dosa untuk duse. Dari dua contoh leksikal tersebut terlihat bahwa pemakaian bentuk yang berakhir dengan /a/ yang merupakan ciri bahasa Indonesia “dipandang” sebagai bentuk yang modern. Bentuk yang berakhir dengan /↔/ yang merupakan ciri fonologis BMLB “dianggap” sebagai bentuk yang kuno/tradisional dan cenderung dihindari dalam pemakaian BMLB. Sebaliknya, bentuk bahasa Indonesia dipandang sebagai bentuk yang modern (gaul) dan cenderung digunakan dalam pemakaian bahasa. Keadaan seperti itu tentu tidak menguntungkan bagi kehidupan BMLB karena perlahan-lahan bentuk-bentuk “asli” BMLB cenderung ditinggalkan dalam pemakaiannya oleh penuturnya.
Kekhawatiran tersebut juga dirasakan oleh kaum muda yang peduli terhadap pelestarian dan perkembangan bahasa dan budaya Melayu Loloan Bali. Seperti yang dikatakan oleh Agika dan Negara dari Komunitas Budaye Loloan bahwa “Loloan lame sangat berbudaye. Karang ini orang mude kian jauh dari adat dan istiadat budaye. Mereka lebih suka mejeng atau menonton sinetron daripada ke mesjid. Lama-lama budaye “santri” akan hilang yang merupakan “benteng” pemertahan budaye Loloan”. Artinya, menurut mereka bahwa keadaan Loloan sekarang ini sudah berubah yang jauh dari Loloan dulu yang mereka sebut sangat berbudaya. Sikap dan tingkah laku anak muda cenderung meninggalkan adat dan budayaanya, termasuk bahasanya, dan cenderung mengikuti adat-istiadat dan budaya (termasuk bahasa) yang disebut “modern”. Hal itu sangat memprihatinkan mereka yang peduli terhadap kelestarian adat-istiadat, budaya, dan bahasa Melayu Loloan, Bali.

4. Simpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, dapat ditarik beberapa butir simpulan sebagai berikut.
(1) Unsur leksikal bahasa Bali banyak yang masuk ke dalam unsur leksikal BMLB, baik secara adopsi maupun adaptasi. Misalnya, kata sidu ‘sendok’ dan silih ‘pinjam’ diserap secara utuh, sedangkan kata pipis ‘uang’ dan kuping ‘telinga’ diserap dengan adaptasi fonologis menjadi pepis ‘uang’ dan koping ‘telinga’. Di samping itu, unsur leksikal bahasa Indonesia juga banyak memperkaya kosakata BMLB, seperti kata honda dan televisi diserap secara utuh, sedangkan kata gaji dan lulus diserap dengan adaptasi fonologis menjadi gaje ‘gaji’ dan lolos ‘lulus’.

(2) Perubahan bunyi (fonologi) yang tampak dari perubahan kosa kata tersebut adalah perendahan bunyi. Perubahan tersebut menyangkut perubahan bunyi tinggi-depan (/i/), baik bahasa Bali maupun bahasa Indonesia menjadi bunyi sedang-depan (/e/) dalam BMLB. Bunyi tinggi-belakang (/u/), baik dalam bahasa Bali maupun bahasa Indonesia menjadi bunyi sedang-belakang (/o/) dalam BMLB. Artinya, terjadi adapatasi bunyi vokal dari bahasa Bali atau bahasa Indonesia ke dalam BMLB dengan penyesuaian pada BMLB. Akan tetapi, perubahan bunyi hambat glotal yang mulanya bersifat fonemis, dalam BMLB dewasa ini tidak fonemis lagi. Bunyi itu bersifat alofonis pada akhir kata/morfem dan pada posisi tengah morfem bersifat alofonis dan fonemis (dalam kata terbatas/kaidah kecil). Adaptasi juga ditemukan pada bunyi
alveolar (/t, d/) yang retrofleks seperti bahasa Bali pada posisi awal morfem/kata. Pada posisi lain bunyi tersebut seperti bahasa Indonesia.

Selain itu, masih ditemukan unsur leksikal yang hilang/berubah terkait dengan perubahan budaya “lama” ke budaya “baru”, seperti tontongan ‘jendela rumah panggung yang ada jari-jarinya’ yang tidak ditemukan lagi atau perubahan kata kerete ‘kereta’ menjadi kereta karena kata kereta “dipandang” lebih modern.
Beberapa fenomena yang tidak menguntungkan bagi kehidupan BMLB tersebut di depan mendorong dikemukakannya beberapa rekomendasi pada analisis ini. Pertama, perlu segera disusun sistem penulisan untuk BMLB, sehingga pendokumentasinya bisa lebih baik. Kedua, perlu diselenggarakan pengajaran BMLB di sekolah agar pewarisan bahasa tersebut dapat lebih terencana dan terstruktur.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...