Sejarah Suku Anak Dalam atau SAD
masih penuh misteri, bahkan hingga kini tak ada yang bisa memastikan asal usul
mereka. Hanya beberapa teori, dan cerita dari mulut ke mulut para keturunan
yang bisa menguak sedikit sejarah mereka.
Sejarah lisan Orang Rimba selalu
diturunkan para leluhur. Tengganai Ngembar (80), pemangku adat sekaligus warga
tertua SAD yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, mendapat
dua versi cerita mengenai sejarah Orang Rimba dari para terdahulu. Ia
memperkirakan dua versi ini punya keterkaitan.
Yang
pertama, leluhur mereka adalah orang Maalau
Sesat, yang meninggalkan keluarga dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam,
TNBD. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo.
Sedangkan
versi kedua, penghuni
rimba adalah masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bermigrasi mencari
sumber-sumber penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan karena kondisi keamanan
tidak kondusif atau pasokan pangan tidak memadai di Pagaruyung, mereka pun
menetap di hutan itu.
Versi kedua ini lebih banyak
dikuatkan dari segi bahasa, karena terdapat sejumlah kesamaan antara bahasa
rimba dan Minang. Orang Rimba juga menganut sistem matrilineal, sama dengan
budaya Minang. Dan yang lebih mengejutkan, Orang Rimba mengenal Pucuk Undang
Nang Delapan, terdiri atas hukum empat ke atas dan empat ke bawah, yang juga
dikenal di ranah Minang.
Di Kabupaten Tanah Datar sebagai
pusat Kerajaan Pagaruyung sendiri, terdapat sebuah daerah, yaitu Kubu Kandang.
Merekalah yang diperkirakan bermigrasi ke beberapa wilayah di Jambi bagian
barat.
Sedangkan perilaku Orang Rimba yang
kubu atau terbelakang, menurut Ngembar, disebabkan beratus tahun moyang mereka
hidup di tengah hutan, tidak mengenal peradaban. Kehidupan mereka sangat dekat
dan bergantung pada alam. “Kami beranak pinak dalam rimba, makan sirih,
berburu, dan meramu obat alam, sehingga lupa dengan peradaban orang desa. Kami
terbentuk jadi Orang Rimba,” tuturnya.
Mereka hidup seminomaden, karena
kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi
“melangun” atau pindah ketika ada warga meninggal, menghindari musuh, dan
membuka ladang baru. Orang Rimba tinggal di pondok-pondok, yang disebut
sesudungon, bangunan kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun
serdang benal.
Hasil survei Kelompok Konservasi
Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba di
TNBD ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan
TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin,
dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil
Orang Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan
desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan
hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.
Selain di TNBD, kelompok- kelompok
Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di
Bayung Lencir, Sumatera Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada
sepanjang aliran anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier),
seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga
yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin,
Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang. Kelompok lainnya menempati Taman
Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang. Karena tidak dekat dengan peradaban dan hukum modern, Orang Rimba memiliki
sendiri hukum rimba. Mereka menyebutnya seloka adat.
Ada satu seloka yang bisa
menjelaskan tentang Orang Rimba:
Bertubuh onggok
berpisang cangko
beratap tikai
berdinding baner
melemak buah betatal
minum air dari bonggol kayu.
Ada lagi:
berkambing kijang
berkerbau tenu
bersapi ruso
Mereka sehari-harinya tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya
hanyalah beratap rumbia dan dinding dari kayu. Cara hidup dengan makan buah-buahan
di hutan, berburu, dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol
kayu. Makanan mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa. Identitas Orang Rimba yang tertuang
lewat seloka, membedakannya dari orang terang – sebutan untuk masyarakat di
desa.
Mereka membuat seloka tentang orang
terang:
berpinang gayur
berumah tanggo
berdusun beralaman
beternak angso
Seloka yang muncul lewat mimpi juga
memberi panduan mengenai hidup sosial di rimba. Aturan-aturan Orang Rimba
memang tidak jauh dari Pucuk Undang Nang Delapan, yang dibawa dari minang.
Aturan rimba sendiri melarang adanya pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan.
Inilah larangan terberat, yang jika dilanggar akan dikenai hukuman 500 lembar
kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat, dan sangat sulit
disanggupi, karenanya Orang Rimba berusaha untuk mematuhi.
Kisah yang dituturkan Ngembar tak
berbeda jauh dengan warga Suku Anak Dalam (SAD) di kawasan lain TNBD.
Tumenggung Tarib, pimpinan di salah satu rombongan SAD, mengemukakan bahwa
mereka adalah keturunan Kerajaan Pagaruyung (dharmacraya) yang merantau ke
Jambi. Untuk sejarah lisan ini, menurut Tarib, diturunkan sampai enam generasi
ke bawah.
Terdesak
penjajahan
Johan Weintre, salah seorang
peneliti antropologi asal Australia, yang juga pernah menetap di hutan rimba
Taman Nasional Bukit Dua belas (TNBD), menuliskan, Kerajaan Sriwijaya menguasai
Selat Malaka serta melakukan perniagaan dan memiliki hubungan sosial dengan
mancanegara, termasuk Tiongkok dan Chola, sebuah kerajaan di India Selatan.
Sekitar tahun 1025, Kerajaan Chola menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menguasai daerahnya.
Lalu sebagian penduduk yang tidak ingin dikuasai penjajah, mengungsi ke hutan.
Mereka kemudian disebut kubu, membangun komunitas baru di daerah terpencil.
Sebenarnya, masyarakat SAD tidak
jauh berbeda dengan masyarakat lain di sekitarnya. Pengaruh Minang tidak hanya
lekat di sana, namun juga pada daerah sekitarnya, wilayah Kabupaten Sarolangun,
Merangin, Bungo, dan Muaro Tebo, yang mengitari kawasan TNBD. Salah satu buktinya, masyarakat adat
melayu kuno di Kuto Rayo, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, juga memegang
hukum adat Pucuk Undang Nang Delapan dari Minang, dan menganut sistem
matrilineal. Sejarah mereka juga kaum pelarian pada Perang Sriwijaya.
B. Asal
Usul Suku Anak Dalam Kubu
Penyebutan Orang Rimba pertama kali
dipublikasikan oleh Muntholib Soetomo tahun 1995 dalam desertasinya yang
berjudul ‘Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat terasing di
Makekal, Propinsi Jambi’. Penyebutan Orang Rimba dengan berakhiran huruf ‘o’
pada disertasi tersebut dipertentangkan oleh beberapa antropolog meski tidak
ada perbedaan makna, tetapi akhiran ‘o’ pada sebutan Orang Rimbo merupakan
dialek Melayu Jambi dan Minang. Sementara fakta yang sebenarnya adalah Orang
Rimba tanpa akhiran ‘o’ (Aritonang).
Tentang asal usul Suku Anak Dalam
(Muchlas, 1975) menyebutkan adanya berbagai hikayat dari penuturan lisan yang
dapat ditelusuri seperti Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau),
Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatra Tengah, Cerita Perang Bagindo Ali,
Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu
Besar dan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu. Dari hakikat tersebut Muchlas
menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam berasal dari tiga turunan yaitu:
1.Keturunan dari Sumatera Selatan,
umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
2.Keturunan dari Minangkabau, umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersam
(Batanghari).
3.Keturunan dari Jambi Asli yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko
(Muchlas, 1975)
Versi Departemen sosial dalam data
dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku Anak Dalam dimulai
sejak tahun 1624 ketika Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang sebenarnya
masih satu rumpun, terus menerus bersitegang sampai pecahnya pertempuran di Air
Hitam pada tahun 1929. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada 2 kelompok
masyarakat anak dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat
istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera
Selatan) Berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan berpostur tubuh ras Mongoloid
seperti orang palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan Palembang.
Kelompok lainnya tinggal dikawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut
ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan
negrito ). Konon mereka tentara bayaran Kerajaan Jambi dari Negara lain.
Versi lain adalah cerita tentang
Perang Jambi dengan Belanda yang berakhir pada tahun 1904, Pihak pasukan Jambi
yang dibela oleh Anak Dalam yang di pimpin oleh Raden Perang. Raden Perang
adalah seorang cucu dari Raden Nagasari. Dalam perang gerilya Anak Dalam
terkenal dengan sebutan orang Kubu artinya orang yang tak mau menyerah pada
penjajahan Belanda. Orang belanda disebutnya orang Kayo Putih sebagai lawan
Raja Jambi (Orang Kayo Hitam).
Lebih lanjut tentang asal usul Suku
Anak Dalam ini juga dimuat pada seri Profil masyarakat Terasing (BMT, Depsos,
1988 ) dengan kisah sebagai berikut:
Pada zaman dahulu kala terjadi
peperangan antara kerajaan Jambi yang di pimpin oleh Puti Selara Pinang Masak
dan Kerajaan Tanjung Jabung yang dipimpim oleh Rangkayo Hitam. Peperangan ini
semakin berkobar, hingga akhirnya di dengar oleh Raja Pagar Ruyung, yaitu ayah
dari Putri Selaras Pinang Masak.
Untuk menyelesaikan peperangan
tersebut Raja Pagar Ruyung mengirimkan prajurit prajurit yang gagah berani
untuk membantu kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Putri Selaras Pinang Masak.
Raja Pagar Ruyung memerintah agar dapat menaklukkan Kerajaan Rangkayo Hitam,
mereka menyanggupi dan bersumpah tidak akan kembali sebelum menang.
Jarak antara kerajaan Pagar Ruyung
dengan kerajaan Jambi sangat jauh, harus melalui hutan rimba belantara dengan
berjalan kaki. Perjalanan mereka sudah berhari hari lamanya, kondisi mereka
sudah mulai menurun sedangkan persediaan bahan makanan sudah habis, mereka
sudah kebingungan. Perjalanan yang ditempuh masih jauh, untuk kembali ke
kerajaan Pagar Ruyung mereka merasa malu. Sehingga mereka bermusyawarah untuk
mempertahankan diri hidup di dalam hutan. Untuk menghindarkan rasa malu, mereka
mencari tempat tempat sepi dan jauh ke dalam rimba raya. Keadaan kehidupan
mereka makin lama makin terpencil, keturunan mereka menamakan dirinya Suku Anak
Dalam.
Dari uraian di atas sejalan dengan
apa yang dikemukakan (Koentjaraningrat, 1993) bahwa asal mula adanya masyarakat
terasing dapat di bagi dua yaitu pertama, dengan menganggap bahwa masyarakat
terasing itu merupakan sisa sisa dari suatu produk lama yang tertinggal di
daerah daerah yang tidak dilewati penduduk sekarang, kedua bahwa mereka
merupakan bagian dari penduduk sekarang yang karena peristiwa peristiwa
tertentu diusir atau melarikan diri ke daerah daerah terpencil sehingga mereka
tidak mengikut perkembangan dan kemajuan penduduk sekarang.
Tentang Suku Anak Dalam ini,
Ruliyanto, Wartawan Tempo (Tempo, April 2002) menulis bahwa sejumlah artikel
terakhir menyebutkan orang rimba merupakan kelompok melayu tua lainnya di
Indonesia seperti orang Dayak, Sakai, Mentawai, Nias, Toraja, Sasak, Papua, dan
Batak pedalaman. Kelompok Melayu Tua merupakan eksodus gelombang pertama yunani
(Dekat Lembah Sungai Yang Tze di Cina Selatan) yang masuk ke Indonesia selatan
tahun 2000 sebelum masehi. Mereka kemudian tersingkir dan lari ke hutan ketika
kelompok melayu muda datang dengan mengusung peradaban yang lebih tinggi antara
tahun 2000 dan 3000 sebelum masehi.
Menurut Van Dongen (1906) dalam
Tempo (2002), menyebutkan bahwa orang rimba sebagai orang primitif yang taraf
kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. Dalam hubungannya dengan
dunia luar orang rimba mempraktekkan Silent trade, mereka melakukan transaksi
dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter, mereka meletakkannya di
pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya. Gonggongan
anjing merupakan tanda barang telah ditukar.
Senada dengan Bernard Hagen (1908)
dalam Tempo (2002) (die orang kubu auf Sumatra) menyatakan orang rimba sebagai
orang pra melayu yang merupakan penduduk asli Sumatera. Demikian pula Paul
Bescrta mengatakan bahwa orang rimba adalah proto melayu (melayu tua) yang ada
di semenanjung Melayu yang terdesak oleh kedatangan melayu muda.
C. Karakteristik dan Kultur Suku Kubu
Ciri-ciri
fisik dan non fisik
Suku anak dalam termasuk golongan
ras mongoloid yang termasuk dalam migrasi pertama dari manusia proto melayu.
Perawakannya rata-rata sedang, kulit sawo matang, rambut agak keriting, telapak
kaki tebal, laki-laki dan perempuan yang dewasa banyak makan sirih.
Ciri fisik lain yang menonjol adalah
penampilan gigi mereka yang tidak terawat dan berwarna kecoklatan. Hal ini
terkait dengan kebiasaan mereka yang dari kecil nyaris tidak berhenti merokok
serta rambut yang terlihat kusut karena jarang disisir dan hanya dibasahi saja.
Budaya
Melangun
Seorang anggota keluarga Suku Anak
Dalam yang meninggal dunia merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan bagi
seluruh warga Suku, terutama pihak keluarganya. Kelompok mereka yang berada di
sekitar rumah kematian akan pergi karena menganggap bahwa tempat tersebut
tempat sial, selain untuk dapat lebih cepat melupakan kesedihan yang ada.
Mereka meninggalkan tempat mereka tersebut dalam waktu yang cukup lama, yang
pada jaman dulu bisa berlangsung antara 10 sampai 12 tahun. Namun kini karena
wilayah mereka sudah semakin sempit (Taman Nasional Buki XII) karena banyak
dijarah oleh orang, maka masa melangun menjadi semakin singkat yaitu sekitar 4
bulan sampai satu tahun. Wilayah melangun merekapun semakin dekat, tidak sejauh
dahulu.
Pada masa sekarang apabila terjadi
kematian di suatu daerah, juga tidak seluruh anggota Suku Anak Dalam tersebut
yang pergi melangun. Hanya angota keluarga-keluarga mendiang saja yang
melakukannya.
Pada saat kematian terjadi, seluruh
anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merasa sedih yang
mendalam, mereka menangis dan meraung-raung selama satu minggu. Sebagian
wanitanya sampai menghempas-hempaskan badannya ke pohon besar atau tanah, ada
yang berteriak dan berkata-kata “ya Tuhan kami kembalikan nyawo urang kami yang
mati.”
Jenazah orang yang telah meninggal
kemudian ditutup dengan kain dari mata kaki hingga menutupi kepala lalu
diangkat oleh 3 orang dari sudung/rumah menuju peristirahatannya yang terakhir
di sebuah pondok yang terletak lebih dari 4 Km ke dalam hutan.
Pondok jenazah ini jika untuk orang
dewasa tingginya 12 undukan dari tanah, jika anak-anak tingginya 4 undukan dari
tanah. Pondok ini diberi alas dari batang-batang kayu bulat kecil dan diberi
atap daun-daun kering. Jenazah Suku Anak Dalam tidak dimandikan dan dikuburkan
dalam tanah. Menurut tradisi meraka, orang yang sudah meninggal masih mungkin
hidup kembali, jika mereka dikuburkan dalam tanah, maka orang yang sudah
meninggal tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali menemui
kelompoknya.
Kepercayaan tersebut bermula dari
peristiwa dahulu kala dimana orang yang sudah sekarat (mungkin pingsan dalam waktu
yang lama) ditinggalkan oleh kelompoknya di sebuah pondok di dalam hutan, dan
kemudian ternyata ada di antara mereka yang dapat hidup dan sehat kembali serta
pulang ke kelompoknya. Kejadian ini yang mengilhami meraka untuk tidak
menguburkan jenazah orang yang sudah meninggal.
Anggota kelompok sesekali masih
menengok pondok dimana jenazah tersebut diletakan, mereke menengok dari jarak
jauh untuk memastikan keadaan jenazah. Dalam hal ini yang menjadi tabu buat
mereka, yaitu pelarangan menyebut rekan/keluarganya yang sudah meninggal dunia
karena hal ini akan membuat mereka merasa kembali kepada kesedihan yang
mendalam. Mereka mengatakan janganlah kawan sebut-sebut lagi orang yang sudah
mati.
Seloko dan Mantera
Kehidupan Suku Anak Dalam sangat
dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang sudah diterapkan dalam bentuk
seloko-seloko yang secara tegas dijadikan pedoman hukum oleh para pemimpin
Suku, khususnya Tumenggung dalam membuat suatu keputusan. Seloko juga menjadi
pedoman dalam bertutur kata dan bertingkah laku serta dalam kehidupan
bermasyarakat Suku Anak Dalam. Bentuk seloko itu antara lain:
1.Bak emas dengan suasa .
2.Bak tali berpintal tigo
3.Yang tersurat dan tersirat
4.Mengaji di atas surat
5.Banyak daun tempat berteduh
6.Meratap di atas bangkai
7.Dak teubah anjing makan tai (kebiasaan yang sulit di ubah )
8.Dimano biawak terjun disitu anjing tetulung (dimano kita berbuat salah disitu
adat yang dipakai).
9.Dimano bumi di pijak disitu langit di junjung (dimana kita berada, disitu
adat yang kita junjung, kita menyesuaikan diri)
10.Bini sekato laki dan anak sekato Bapak (bahwa dalam urusan keluarga sangat
menonjol peran seorang laki – laki atau Bapak )
11.Titian galling tenggung negeri (Tidak ke sini juga tidak kesana/labil)
Seloko-seloko adat ini menurut mereka
tidak hilang dan tidak bias (berubah). Seloko-seloko adat dan cerita asal usul
mereka adalah cerita Tumenggung Kecik Pagar Alam Ngunci Lidah yang usianya pada
saat laporan ini dibuat sekitar 80 tahun lebih.
Besale
Asal kata besale sampai saat ini belum
diketahui, namun demikian dapat diartikan secara harafiah duduk bersama untuk
bersama-sama memohon kepada Yang Kuasa agar diberikan kesehatan, ketentraman
dan dihindarkan dari mara bahaya. Besale dilaksanakan pada malam hari yang
dipimpin oleh seorang tokoh yang disegani yang disebut dukun. Tokoh ini harus
memiliki kemampuan lebih dan mampu berkomunikasi dengan dunia ghaib/arwah.
Sesajian disediakan untuk melengkapi
upacara. Pada intinya upacara besale merupakan kegiatan sakral yang bertujuan
untuk mengobati anggota yang sakit atau untuk menolak bala. Pelengkap besale
lainnya berupa bunyi-bunyian dan tarian yang mengiringi proses pengobatan.
Kepercayaan
Komunitas adat terpencil Suku Anak
Dalam pada umumnya mempunyai kepercayaan terhadap dewa, istilah ethnic mereka
yakni dewo dewo. Mereka juga mempercayai roh roh sebagai sesuatu kekuatan gaib.
Mereka mempercayai adanya dewa yang mendatangkan kebajikan jika mereka
menjalankan aturannya dan sebaliknya akan mendatangkan petaka jika mereka
melanggar aturan adat. Hal ini tercermin dari seloko mantera yang memiliki
kepercayaan Sumpah Dewo Tunggal yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka.
Hidup beranyam kuaw, bekambing kijang, berkerbau ruso, rumah (Sudung) beatap
sikai, badinding banir, balantai tanah yang berkelambu resam, suko berajo
bejenang, babatin bapanghulu. Atinya: Mereka (Suku Anak Dalam) mempunyai
larangan berupa pantang berkampung, pantang beratap seng, harus berumah beratap
daun kayu hutan, tidak boleh beternak, dan menanam tanaman tertentu, karena
mereka telah memiliki ternak kuaw (burung hutan) sebagai pengganti ayam,
kijang, ruso, babi hutan sebagai pengganti kambing atau kerbau.
Jika warga Suku Anak Dalam melanggar
adat pusaka persumpahan nenek moyang, maka hidup akan susah, berikut seloko
adat yang diungkap oleh Tumenggung Njawat “ Di bawah idak berakar, diatai idak
bepucuk, kalo ditengah ditebuk kumbang, kalau kedarat diterkam rimau, ke air
ditangkap buayo“. Artinya: Jika Warga Suku Anak Dalam melanggar adat pusaka
persumpahan nenek moyang mereka, maka hidupnya akan menderita atau mendapat
bencana, kecelakaan, dan kesengsaraan.
Kepercayaan tradisional Suku Anak
Dalam di Propinsi Jambi adalah sejalan dengan faham pollytheisme yang bersifat
animisme dan dinamisme. Mereka mempercayai roh-roh halus dan juga percaya
kepada tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan.
Pengelolaan
Sumberdaya Alam
Sebagaimana suku-suku terasing
lainya di Indonesia, Orang Rimba yang selama hidupnya dan segala aktifitas
dilakukan di hutan, juga memiliki budaya dan kearifan yang khas dalam mengelola
sumberdaya alam. Hutan, yang bagi mereka merupakan harta yang tidak ternilai
harganya, tempat mereka hidup, beranak-pinak, sumber pangan, sampai pada tempat
dilakukannya adat istiadat yang berlaku bagi mereka. Begitupula dengan sungai
sebagai sumber air minum dan berbagai fungsi lainnya. Perlu kita cermati disini
adalah bagaimana cara mereka memperlakukan sumberdaya alam tersebut secara
lestari dan berkelanjutan.
Dalam pengelolaan sumberdaya hutan,
Orang Rimba mengenal wilayah peruntukan seperti adanya Tanoh Peranokon, rimba,
ladang, sesap, belukor dan benuaron. Peruntukan wilayah merupakan rotasi
penggunaan tanah yang berurutan dan dapat dikatakan sebagai sistem suksesi
sumber daya hutan mereka. Hutan yang disebut rimba oleh mereka, diolah sebagai
ladang sebagai suplai makanan pokok (ubi kayu, padi ladang, ubi jalar),
kemudian setelah ditinggalkan berubah menjadi sesap. Sesap merupakan ladang
yang ditinggalkan yang masih menghasilkan sumber pangan bagi mereka.
Selanjutnya setelah tidak menghasilkan sumber makanan pokok, sesap berganti
menjadi belukor. Belukor meski tidak menghasilkan sumber makanan pokok, tetapi
masih menyisakan tanaman buah-buahan dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat bagi
mereka seperti durian, duku, bedaro, tampui, bekil, nadai, kuduk kuya, buah
sio, dekat, tayoy, buah buntor, rambutan, cempedak, petai, pohon sialong (jenis
pohon kayu Kruing, Kedundung, Pulai, Kayu Kawon/Muaro Keluang), pohon setubung
dan tenggeris (sebagai tempat menanam tali pusar bayi yang baru lahir), pohon
benal (daunnya digunakan untuk atap rumah), kayu berisil (digunakan untuk tuba
ikan) dan berbagai jenis rotan termasuk manau dan jernang.
Benuaron memiliki fungsi yang sangat
besar bagi Orang Rimba, dimana selain berperan sebagai sumber makanan
(buah-buahan) dan kayu bermanfaat (pohon benal, sialong, dan berisil) juga
berperan sebagai tanoh peranokon. Tanah peranokon merupakan tempat yang sangat
dijaga keberadaanya, tidak boleh dibuka atau dialih fungsikan untuk lahan
kegiatan lain, misalnya untuk lahan perladangan atau kebun karena merupakan
tempat proses persalinan ibu dalam melahirkan bayi. Tanoh peranokon yang
dipilih biasanya yang relatif dekat dengan tempat permukiman atau ladang mereka
serta sumber air atau sungai. Seiring berjalannya waktu, disaat seluruh
tumbuhan yang terdapat di benuaron tersebut semakin besar dan tua, maka pada
akhirnya benuaron tersebut kembali menjadi rimba.
Rotasi penggunaan sumberdaya hutan
dari rimba menjadi ladang kemudian sesap, belukor dan benuaron, terakhir kembali
menjadi rimba, merupakan warisan budaya mereka. Sehingga patut kita cermati
juga bahwa Orang Rimba yang tergolong sebagai masyarakat terasing, ternyata
memiliki kearifan tradisional dimana selama ini dilupakan oleh masyarakat atau
pemerintah pusat.
D. Sistem
Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Rimba
adalah matrilineal yang sama dengan system kekerabatan budaya Minangkabau.
Tempat hidup pasca pernikahan adalah uxorilokal, artinya saudara perempuan
tetap tinggal didalam satu pekarangan sebagai sebuah keluarga luas uxorilokal.
Sedangkan saudara laki-laki dari keluarga luas tersebut harus mencari istri
diluar pekarangan tempat tinggal.
Orang Rimba tidak diperbolehkan
memanggil istri atau suami dengan namanya, demikian pula antara adik dengan
kakak dan antara anak dengan orang tua. Mereka juga tidak menyebut nama orang
yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya menyebut nama seseorang dianggap tabu oleh
orang Rimba.
Sebelum menikah tidak ada tradisi
berpacaran, gadis dan pemuda laki-laki saling menjaga jarak. Waktu seorang anak
laki-laki beranjak remaja atau dewasa, sekitar umur 14-16 tahun, bila tertarik
kepada seorang gadis, akan mengatakan hal tersebut kepada orang tuanya. Lalu
orangtuanya akan menyampaikan keinginan anak mereka kepada orang tua si gadis
dan bersama-sama memutuskan apakah mereka cocok. Pernikahan
yang terjadi antara orang desa dan orang Rimba, sama dengan antara anak
kelompok Rimba dan kelompok Rimba lain.
Ada tiga jenis perkawinan, yaitu;
Pertama, dengan mas kawin.
Kedua, dengan prinsip pencurahan, yang artinya laki-laki sebelum menikah
harus ikut mertua dan bekerja di ladang dan berburu untuk dia membuktikan
dirinya.
Ketiga, dengan pertukaran gadis, artinya gadis dari kelompok lain bisa
ditukar dengan gadis dari kelompok tertentu sesuai dengan keinginan laki-laki
dan gadis-gadis tersebut.
Orang Rimba menganggap hubungan
endogami keluarga inti (saudara seperut/suadarakandung) atau hubungan dengan orang satu darah, merupakan sesuatu yang tabu.
Dengan kata lain, perbuatan sumbang (incest) dilarang, sama halnya dengan
budaya Minangkabau.
Mayoritas pernikahan adalah
monogami, tetapi ada juga hubungan poligami atau lebih tepat poligini, yang
kelihatannya untuk melestarikan asal suku. Sebenarnya, adalah alasan sosial
lain, samping melindungi sumber anak adalah keinginan untuk memelihara janda
atau perempuan mandul. Umur harapan hidup laki-laki lebih pendek daripada
harapan hidup perempuan dan perempuan selalu diutamakan, pada umumnya pekerjaan
berbahaya dilakukan oleh laki-laki. Kaum kerabat merupakan sumber semua bantuan.
Kebudayaan orang Rimba juga mengenal
sistem pelapisan sosial. Temenggung adalah pemimpin utama dalam struktur
kelompok., yang posisinya diwarisi sebagai hak lahir dari orang tua. Tetapi,
jika pemimpin tidak sesuai atau disetujui oleh anggota kelompok, pemimpin bisa
diganti melalui jalur “diskusi terbuka” atau forum yang bisa dilakukan dimana
mana.
Masyarakat Suku Anak Dalam hidup secara berkelompok, namun
keberadaan kelompok ini tidak dibatasi oleh wilayah tempat tinggal tertentu.
Mereka bebas untuk tinggal bersama dengan kelompok lain. Namun mereka tidak
dengan mudah berganti-ganti kelompok/tumenggungnya karena terdapat hukum adat
yang mengaturnya. Jika terjadi perkawinan antar kelompok, ada kencenderungan
bahwa pihak laki-laki akan mengikuti kelompok dari istrinya. Susunan organisasi
sosial pada masyarakat Suku Anak Dalam terdiri dari:
1.Tumenggung, Kepala adat/Kepala masyarakat
2.Wakil Tumenggung, Pengganti Tumenggung jika berhalangan
3.Depati, Pengawas terhadap kepemimpinan tumenggung
4.Menti, Menyidang orang secara adat/hakim
5.Mangku, Penimbang keputusan dalam sidang adat
6.Anak Dalam, Menjemput Tumenggung ke sidang adat
7.Debalang Batin, Pengawal Tumenggung
8.Tengganas/Tengganai, Pemegang keputusan tertinggi sidang adat dan dapat
membatalkan keputusan
Kepemimpinan pemimpin Suku Anak Dalam sudah tidak bersifat
mutlak. Pemimpin mereka sekarang dipilih berdasarkan pengajuan Tumenggung
sebelumnya untuk kemudian disetujui seluruh anggota. Jika sebagian besar
menyetujui maka orang tersebut dapat menduduki jabatan pemimpin dan disahkan
melalui pertemuan adat dalam suatu upacara.
Jabatan Tumenggung yang terlihat punya kekuasaan cukup
besarpun masih dibatasi oleh beberapa jabatan lain seperti jabatan Tengganas
yang mampu membatalkan keputusan Tumenggung. Ini menunjukkan bahwa Suku Anak
Dalam telah mengenal suasana demokrasi secara sehat.
Menurut Temenggung Tarib, jumlah kelompok yang diwakili oleh
Temenggung naik dari 3 kelompok pada tahun 1980an, sampai 6 kelompok yang di
wakili oleh Temenggung di Bukit Duabelas dewasa ini. Dulu ada kelompok Makekal, Kejasun dan Air Hitam, dewasa ini
di daerah Makekal adalah kelompok yang di Temenggungi oleh Temenggung Mukir dan
Temenggung Merah, daerah Kejasung dengan kelompok yang dipimpin oleh Temenggung
Mijah, Marid, Kecik dan Jelita dan di daerah Air Hitam adalah kelompok Tarib
dan Biring.
Banyak interaksi dan lintas pernikahan (cross weddings)
terjadi antar kelompok, misalnya istri Temenggung Tarib punya darah Makakal dan
orang kelompok Tarib nikah orang kelompok Biring. Hal tersebut mengakibatkan
struktur dan komposisi organisasi sosial hampir sama dengan kelompok lain.
Temenggung Biring setelah pindah keluar dan menganut agama
Islam berganti nama dan sekarang dikenal dengan nama Pak Helmi. Sebenarnya
anggota kelompok Biring serta anggota kelompok Tarib terpisah. Artinya, ada
anggota yang tinggal di hutan secara tradisional dan ada anggota kelompok yang
pindah keluar yang dapat bantuan dan merubah kepercayaan. Mungkin alasan
memisahkan diri adalah faktor ekonomi atau faktor akulturasi dengan budaya
pasca tradisional.
Menurut mantan Temenggung Biring, pak Helmi, struktur
masyarakat terdiri dari: Temenggung adalah kepala suku. Ketika dia absent dia
diwakili wakil Temenggung. Seorang yang bergelar Depati bertugas menyelesaikan
hal-hal yang terkait dengan hukum dan keadilan. Seorang yang bergelar Debalang
yang tugasnya terkait dengan stabilitas keamanan masyarakat dan seorang yang
bergelar Manti yang tugasnya memanggil masyarakat pada waktu tertentu.
Pengulu adalah sebuah institusi social yang mengurus dan
memimpin masyarakat orang Rimba. Ada juga yang bertugas seperti dukun, atau
Tengganai dan Alim yang mengawasi dan melayani masyarakat dalam masalah
spiritual dan di bidang kekeluargaan, nasehat adat dan sebagainya.
Temenggung Tarib sangat aktif mengorganisir hubungan dengan
dunia luar, supaya nasib orang Rimba diketahui. Misalnya dia bertemu dengan
Presiden Megawati Sukarnoputri, menjadi pewakil orang Rimba dalam Kongres Masyarakat
Adat Nusantara di Jakarta, 15-22 Maret 1999 dan wakil orang Rimba untuk Dewan
Aliansi Daerah untuk Aliansi Masyarakat Daerah propinsi Jambi dari periode 1999
sampai sekarang.
Orang Rimba yang tinggal di pinggir Bukit Duabelas
berinteraksi cukup sering dengan orang desa. Kelihatannya orang Rimba yang
tinggal lebih didalam Bukit Duabelas tidak berinteraksi sama sekali. Orang
Rimba sebenarnya sering memerlukan bantuan dari orang Rimba yang bermukim di
pinggir hutan. Mereka minta bantuan untuk mendapat barang dari pasar.
Maksudnya, orang Rimba yang tinggal didalam Bukit Duabelas memesan barang yang
dijual di pasar kepada orang Rimba di pinggir hutan, dan diambil oleh mereka
setelah barangnya sudah didapat.
Posisi Jenang, atau penghubung antara orang Rimba dan
pemerintah adalah warisan dari masa lampau, waktu belum sering ada hubungan
dengan luar. Tugas pertamanya beli barang dan jual kepada pihak tertentu, serta
jalur komunikasi dengan luar. Kelihatannya posisinya terkadang disalahgunakan,
itu alasan saat Jenang meninggal posisinya tidak diisi lagi dan orang Rimba
yang sudah cukup biasa dengan prosedur, melakukan perundingan sendiri dengan
luar
F.
Kehidupan Masyarakat Suku Kubu
Makanan
Saat ini mereka sudah banyak yang
menggunakan beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Beras ini mereka dapat
dari membeli di dusun-dusun atau masyarakat yang datang ke lokasi mereka.
Sebenarnya makanan pokok mereka waktu dahulu adalah segala jenis umbi-umbian
yang tumbuh di hutan, seperti keladi, ubi kayu, ubi jalar, umbi silung dan
binatang buruan seperti babi hutan, rusa, kancil dan lain-lain.
Pakaian
Meraka pada umumnya tidak
berpakaian, namun mereka menggunakan cawat kain untuk menutupi kemaluannya.
Dahulu aslinya mereka menggunakan cawat dari kulit kayu terap atau serdang,
namun karena cawat dari kulit kayu sering menimbulkan rasa sakit akibat kutu
kayu yang masuk ke dalam kulit, sehingga mereka meninggalkannya dan beralih
dengan kain yang mereka beli di pasar melalui masyarakat umu. Jenis kain dan
warnanya bebas dan cara memasangnya disesuaikan oleh meraka sendiri. Untuk kaum
wanita sangat sulit untuk dilihat karena ada larangan, bahkan kalau dia melihat
orang luar selalu menghindar / lari. Tetapi menurut Tumenggung bahwa perempuan
Suku Anak Dalam yang wanitanya hanya berpakaian menutupi bagian pinggang saja
sedangkan payudara mereka dibiarkan terbuka.
Dalam hal penampilan sehari hari,
mereka memakai pakaian cawat untuk laki laki yang terbuat dari kain sarung,
tetapi kalau mereka keluar lingkungan rimba ada yang sudah memakai baju biasa
tetapi bawahnya tetap pakai cawat/kancut sedangkan yang perempuan memakai kain
sarung yang dikaitkan sampai dada. Tingkat kemampuan intelektual suku
anak dalam dapat disebut masih rendah dan temperamen mereka pada umumnya keras
dan pemalu. Walaupun masih terbatas, tetapi sudah terjadi interaksi sosial
dengan masyarakat luas sehingga keterbukaan terhadap nilai nilai budaya luar
semakin tampak.
Rumah dan permukiman
Mereka hidup berkelompok dalam satu
wilayah, biasanya kelompok Tumenggung yang satu tinggal di kelompok Tumenggung
yang lainnya. Walau tetap mengakui Tumenggung mereka yang sebanarnya. Tempat tinggal mereka agak masuk ke
dalam belukar yang lebat hutannya, tidak di tepi jalan setapak, setiap pondok (
sudung ) satu keluarga terpisah agak jauh dengan sesudung keluarga lainnya.
Namun sesudung yang masuk dalam suatu keluarga misalnya untuk anak-anak mereka
yang sudah besar dibuat sesudung sendiri yang tidak jauh dengan sesudung orang
tuanya. Begitu juga untuk keluarga istrinya. Sesudung dalam bahasa mereka
berarti rumah. Didirikan diatas batang-batang kayu bulat kecil panjang yang
disusun berjajar hingga dapat digunakan sebagai alas.
G. Peralatan, Komunikasi & Seni Suku Kubu
Nomaden didefinisikan sebagai orang
yang memiliki harta benda minimal, termasuk barang seni dan alat teknologi yang
minimal pula. Sebetulnya, gaya hidup orang Rimba hampir tabu untuk memiliki
atau menambah harta benda yang tidak termasuk kebutuhan primer atau memiliki
barangbarang yang menyulitkan untuk berpindah-pindah.
Kelihatannya menurut kosmologi orang
Rimba, mereka tidak terdorong atau tergoda mempunyai harta benda. Mungkin
alasan itu yang menyebabkan mereka tidak merasakan adanya kecemburuan dan iri
hati. Untuk memburu, membuka ladang, menebang pohon, dan lain-lain mereka
memakai peralatan yang terbuat dari kayu dan besi. Kuantitas jenis kerajinan
tangan terbatas. Ada kerajinan yang dibuat dari bambu, daun, rotan, rumput,
kayu dan kulit. Seperti tikar untuk membungkus barang atau sebagai tempat
tidur, dan wadah untuk tempat makanan, ubi, kain, damar, madu, garam dan
lain-lain. Wadah wadah berfungsi sebagai tempat menyimpan, untuk membawa barang
dan untuk melengkapi sistem adat, atau sebagai alat tukar-menukar dalam upacara
perkawinan.
Sebelum memiliki kain untuk membuat
cawat (kancut) orang Rimba membuat cawat dari kulit kayu yang dipukul-pukul
hingga lembut. Sudah lama laki-laki memakai cawat dari kain dan perempuan
memakai kain panjang yang dikenakan dari pusar sampai di bawah lutut atau
kadang-kadang betis. Pakaian seperti itu merupakan pakaian tradisional orang
Rimba yang memudahkan mereka bergerak cepat di dalam hutan, karena mereka perlu
untuk mengejar binatang buruan atau untuk menghindari dari hal-hal yang
berbahaya. Pada umumnya, saat mereka pergi ke
pasar mingguan atau keluar hutan untuk pergi ke dusun, laki-laki sering memakai
celana dan perempuan menutupi badannya agar mereka tidak merasa malu, demi menghormati budaya dusun serta agar diterima dengan
baik. Menyaksikan tarian, mendengarkan nyanyian, pantun atau seloka sulit sekali. Kebanyakan tarian dan nyanyian
adalah bagian upacara yang tidak terbuka bagi orang luar. Seorang Rimba
bernyanyi lagu yang digunakan untuk mengambil sarang madu dari pohon yang
tinggi.
H. Wilayah
Persebaran Suku Kubu
Daerah yang didiami oleh Suku Anak
Dalam ada di kawasan Taman Nasional Bukit XII antara lain terdapat di daerah
Sungai Sorenggom, Sungai Terap dan Sungai Kejasung Besar/Kecil, Sungai Makekal
dan Sungai Sukalado. Nama-nama daerah tempat mereka bermukim mengacu pada
anak-anak sungai yang ada di dekat permukiman mereka.
Kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas adalah kawasan hidup Orang Rimba yang
dilindungi dan ditetapkan melalui Surat Usulan Gubernur Jambi No.
522/51/1973/1984 seluas 26.800 Ha. Ditetapkannya kawasan Bukit Dua Belas
sebagai Cagar Biosfir, adalah karena kawasan ini memenuhi ciri-ciri atau
kriteria yang sifatnya kualitatif yang mengacu pada kriteria umum Man and
Biosphere Reserve Program, UNESCO seperti berikut:
1.Merupakan kawasan yang mempunyai
keperwakilan ekosistem yang masih alami dan kawasan yang sudah mengalami
degradasi, modifikasi dan atau binaan.
2.Mempunyai komunitas alam yang unik, langka dan indah.
3.Merupakan landscape atau bentang alam yang cukup luas yang mencerminkan
interaksi antara komunitas alami dengan manusia beserta kegiatannya secara
harmonis.
4.Merupakan tempat bagi penyelenggaraan pemantauan perubahan perubahan ekologi
melalui kegiatan penelitian dan pendidikan (Dirjen PHPA, 1993).
Secara administratif kawasan Cagar
Biosfer Bukit Duabelas terletak di antara lima kabupaten yaitu kabupaten
Sarolangun, Merangin, Bungo, Tebo dan Batang Hari. Kelima kabupaten tersebut
saling berbatasan di punggungan Bukit Duabelas. Kawasan yang didiami oleh Orang
Rimba ini secara geografis adalah kawasan yang dibatasi oleh Batang Tabir di
sebelah barat, Batang Tembesi di sebelah timur, Batang Hari di sebelah utara
dan Batang Merangin di sebelah selatan. Selain itu, kawasan inipun terletak di
antara beberapa jalur perhubungan yaitu lintas tengah Sumatera, lintas tengah
penghubung antara kota Bangko-Muara Bungo-Jambi, dan lintas timur Sumatera.
Dengan letak yang demikian, maka dapat dikatakan kawasan ini berada di tengah tengah
propinsi Jambi.
Di kawasan Cagar Biosfir Bukit
Duabelas yang merupakan wilayah tempat tinggal atau habitat Orang Rimba ini ,
terdapat tiga kelompok Orang Rimba yaitu kelompok Air Hitam di bagian selatan
kawasan, Kejasung di bagian utara dan timur serta Makekal di bagian barat
kawasan. Penamaan kelompok-kelompok tersebut disesuaikan dengan nama sungai
tempat mereka tinggal. Seperti halnya masyarakat umum, Orang Rimba juga
merupakan masyarakat yang sangat tergantung dengan keberadaan sungai sebagai
sumber air minum, transportasi dan penopang aktifitas kehidupan lainnya. Orang
Rimba hidup dalam kelompok kelompok kecil yang selalu menempati wilayah
bantaran sungai baik di badan sungai besar ataupun di anak sungai dari hilir
sampai ke hulu.
Walaupun mereka jarang menggunakan
sungai sebagai tempat membersihkan dirinya, tetapi keberadaan sungai sebagai
sarana kehidupan mereka terutama untuk kebutuhan air minum, sehingga pemukiman
mereka selalu diarahkan tidak jauh dari anak anak sungai.
Wilayah Taman Nasional Bukit XII
memiliki beberapa tempat tinggal lain di kaki bukitnya, dengan Bukit Dua Belas
sebagai titik sentralnya. Dinamakan Bukit Dua Belas karena menurut Suku Anak
Dalam, bukit ini memliki 12 undakan untuk sampai dipuncaknya. Di tempat inilah
menurut mereka banyak terdapat roh nenek moyang mereka, dewa-dewa dan
hantu-hantu yang bisa memberikan kekuatan.
Sumber :
- Depsos RI. 1998, Masyarakat
Terasing Suku Anak Dalam dan Dusun Solea Dan Melinani, Direktorat Bina
Masyarakat Terasing, Jakarta.
- Dian Prihatini, 2007. Makalah
”kebudayaan Suku Anak Dalam”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi.
Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
- Dongen, C.J. Van. Tanpa Tahun,
Orang Kubu (Suku Kubu), Arsip Museum Provinsi Jambi, Jambi.
- Manurung, Butet. 2007, Sokola
Rimba, Insist Press, Yogyakarta.
- Muchlas, Munawir. 1975, Sedikit
Tentang Kehidupan Suku Anak Dalam (Orang Kubu) di Provinsi Jambi, Kanwil
Depsos Provinsi Jambi, Jambi.
- Soetomo, Muntholib, 1995, Orang
Rimbo : Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing Di Makekal
Provinsi Jambi, Universitas Padjajaran, Bandung.
- http://arfaangel.blogspot.com/2008/07/asal-usul-dan-sejarah-suku-anak-dalam.html
- http://jambicrew.blogspot.com
- http://www.boergala.com
- http://www.google.com
Saya tertarik dengan informasi mengenai suku budaya diatas. Indonesia memang Negeri yang memiliki keanekaragaman budaya yang memiliki ciri khas dan keunikan masing-masing.Selain itu, tulisan diatas sangat menarik untuk dipelajari yang dapat menambah wawasan kita mengenai kebudayaan di lndonesia. Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai Explore Indonesia yang bisa anda kunjungi di Explore Indonesia
BalasHapusTrmksh sblmnya sdh mampir, tp d Explore Indonesia lbh lengkap kyknya....Salam
BalasHapus