Abstrak
Tulisan ini merupakan
salah satu identifikasi terhadap salah satu isu dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, yaitu isu hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Salah satu faktor yang mendorong pentingnya isu tersebut adalah karena hingga
saat ini masalah hubungan antara Pusat dan Daerah yang berlangsung selama ini
masih mencari bentuk, dan oleh karena itu, berbagai upaya untuk menemukan
format yang ideal dan tepat terus dikaji. hingga saat ini masalah hubungan
antara Pusat dan Daerah yang berlangsung selama ini masih mencari bentuk, dan
oleh karena itu, berbagai upaya untuk menemukan format yang ideal dan tepat
terus dikaji. Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan
keuangan antara Pusat dan Daerah tidak mempergunakan istilah “hubungan
keuangan” sebagai nama undang-undang tersebut, melainkan menggunakan istilah
“perimbangan keuangan”. Analisis difokuskan kepada Pendapatan Daerah dan
selanjutnya dibatasi hanya menyangkut Pendapatan Asli Daerah saja. Dalam hal
ini, kemampuan Daerah untuk mengembangkan kompetensi dalam mengelola secara
optimal sumber penghasilan dan keuangan guna pembiayaan aktivitas pemerintahan
dan pembangunan merupakan salah satu pilar pelaksanaan otonomi daerah.
Kata kunci: desentralisasi, hubungan keuangan, dan
otonomi daerah.
A.
Latar Belakang
Masalah
Salah isu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang cukup mengemuka
adalah isu hubungan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Menurut Muhammad Fauzan (2006: 1), kenyataan
tersebut terkonfirmasi ketika hingga saat ini masalah hubungan antara Pusat dan
Daerah yang berlangsung selama ini masih mencari bentuk, dan oleh karena itu,
berbagai upaya untuk menemukan format yang ideal dan tepat terus dikaji.
Sehubungan dengan bentuk organisasi negara yang bersifat negara kesatuan, maka
masalah hubungan Pusat dan Daerah dapat dilihat dalam 2 (dua) sudut pandang
(Bagir Manan, 1994: 19). Cara pertama disebut sentralisasi, yang mana segala
urusan, fungsi, tugas, dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan ada pada
Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya dilakukan secara dekonsentrasi. Cara kedua
dikenal sebagai desentralisasi, di mana urusan, tugas, dan wewenang pelaksanaan
pemerintahan diserahkan seluas-luasnya kepada Daerah.
Pembagian urusan, tugas, dan fungsi serta tanggung jawab antara
Pusat dan Daerah menunjukkan bahwa tidak mungkin semua urusan pemerintahan
diselenggarakan oleh Pusat saja (Muhammad Fauzan, 2006: 3). Hal ini merupakan
wujud nyata pelaksanaan prinsip desentralisasi, suatu prinsip yang dapat
disinonimkan dengan istilah “diet” dalam bahasa kesehatan, yaitu untuk
mengurangi obesitas akut yang diderita oleh suatu negara. Menurut Ahmad Erani
Yustika (2008: 3), obesitas tersebut terpantul dalam wujud jumlah penduduk yang
besar, wilayah yang teramat luas, dan ragam multikultur masyarakat yang sangat
variatif.
Dengan desentralisasi diharapkan kemampuan pemerintah daerah untuk
manajemen pembangunan menjadi lebih lincah, akurat, dan tepat. Pengakuan
tersebut memberikan peluang kepada Daerah untuk berusaha mengatur dan mengurus
serta menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Dengan demikian, pengaturan
mengenai hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam hal ini adalah hubungan
dalam bidang keuangan merupakan permasalahan yang memerlukan pengaturan yang
baik, komprehensif, dan responsif terhadap tuntutan kemandirian dan
perkembangan daerah. Menurut Farida Rahmawati (2008: 29), tuntutan yang
demikian didasari kepada konsep bahwa setiap kewenangan yang diberikan kepada
Daerah harus disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan besarnya
beban kewenangan tersebut. Konsep inilah yang dikenal dengan money follow function, bukan lagi konsep
function follow money. Artinya,
pertama-tama beberapa tugas dan kewenangan yang dipandang efisien ditangani
oleh Daerah. Kewajiban pemerintah pusat adalah menjamin sumber keuangan untuk
pendelegasian kewenangan tersebut. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan
antara Pusat dan Daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa, sehingga
kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab Daerah dapat dibiayai dari
sumber-sumber penerimaan yang ada.
Seiring dengan proses pembaruan terhadap isu otonomi daerah dan
desentralisasi, dewasa ini telah diberlakukan UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimabngan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Ketentuan dalam UU No.
33 Tahun 2004 telah memberikan kerangka bagi terlaksananya desentralisasi fiskal.
Menurut Farida Rahmawati (2008: 35), implementasi desentralisasi fiskal
memberikan kewenangan kepada kabupaten/kota untuk menggali dan mengelola sumber
keuangannya sendiri, sehingga berdampak pada munculnya berbagai kebijakan yang
mengarah kepada upaya peningkatan penerimaan daerah. Atas dasar adanya
desentralisasi fiskal inilah maka dipandang perlu untuk melakukan analisis
terhadap pembiayaan pelaksanaan desentralisasi sebagai bentuk hubungan keuangan
Pusat dan Daerah.
B. Dimensi Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah
Menurut Bagir Manan (2001: 35), untuk mengetahui hubungan antara
Pusat dan Daerah, maka salah satu dimensi yang menjadi pokok pembicaraan adalah
hubungan keuangan.
Istilah formal mengenai keuangan negara dijumpai dalam naskah asli
UUD 1945 (sebelum Perubahan). Di dalam Pasal 23 ayat (4) ditentukan bahwa hal keuangan negara selanjutnya diatur
dengan undang-undang. Sementara itu, ketentuan Pasal 23 ayat (5)
menyebutkan bahwa untuk memeriksa
tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan,
yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu
diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah Perubahan UUD 1945
istilah “hubungan keuangan” dijumpai dalam Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 yang
menegaskan bahwa hubungan
keuangan...antara pemerintah Pusat dan pemerintahan Daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan
keuangan antara Pusat dan Daerah tidak mempergunakan istilah “hubungan
keuangan” sebagai nama undang-undang tersebut, melainkan menggunakan istilah
“perimbangan keuangan”. Hal tersebut dapat dilihat dalam: (i) UU No. 32 Tahun
1956; (ii) UU No. 25 Tahun 1999; dan (iii) UU No. 33 Tahun 2004.
Dalam UU No. 32 Tahun 1956 bahkan istilah perimbangan keuangan
sebagai nama undang-undang yang bersangkutan, diikuti dengan frasa “antara
negara dengan daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.”Kata
“negara” dipergunakan untuk menunjuk Pemerintah Pusat, sedangkan kata
“daerag-daerah” dimaksudkan untuk menunjuk daerah otonom. Sementara itu, UU No.
25 Tahun 1999 dan UU No. 33 Tahun 2004 mempergunakan istilah yang sama sebagai
nama undang-undang tersebut, yaitu perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Istilah “hubungan keuangan” juga dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat
(6) UU No. 33 Tahun 2004, yang menyatakan Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya
dilaksanakan secara adil dan selaras. Istilah itu juga dapat dijumpai dalam
Pasal 15 UU No. 33 Tahun 2004, hanya saja baik dalam UUD 1945 maupun UU No. 32
Tahun 1956, UU No. 25 Tahun 1999, dan UU No. 33 Tahun 2004 sama sekali tidak
diketemukan batasan mengenai istilah “hubungan keuangan.”
Sementara itu, untuk memberikan pijakan pemahaman mengenai
hubungan keuangan tersebut perlu sekali diketahui mengenai apa yang dimaksud
dengan keuangan negara itu. Secara teoritis di sini akan dikemukakan pemahaman
mengenai keuangan negara seperti paparan Subagio dan M. Ichwan.
Menurut Subagio (1987: 11), keuangan negara adalah semua hak dan
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu, baik
uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara, berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sementara itu, M. Ichwan, sebagaimana
dikutip oleh W. Riawan Tjandra (2006: 1), mengatakan bahwa keuangan negara
adalah rencana kegiatan secara kuantitatif (dengan angka-angka diantaranya
diwujudkan dalam jumlah mata uang), yang akan dijalankan untuk masa mendatang,
lazimnya satu tahun mendatang. Jika dicermati, pendapat Subagio mencerminkan
pemahaman keuangan negara dalam perspektif yang luas. Hal ini karena ia
menyebut bahwa keuangan negara meliputi: (i) hak dan kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang; (ii) uang milik negara; dan (iii) barang milik negara.
Hemat penulis, pemahaman itu memandang keuangan negara dari segi obyeknya.
Sementara itu, M. Ichwan menunjuk keuangan negara dari sudut pandang proses,
meskipun juga terkesan sederhana, karena hanya menyangkut pengelolaan keuangan
negara. Bahkan, hemat penulis, pendapat M. Ichwan itu tidak mendefinisikan
keuangan negara, tetapi lebih tepat dipandang sebagai pengertian anggaran
negara.
Dewasa ini telah berhasil diundangkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara. Dalam Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut diatur bahwa keuangan negara adalah semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu, baik
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Defisini menurut undang-undang
mengenai keuangan negara ini sangat luas, karena diperoleh dengan menggunakan
pendekatan dari sisi obyek, proses, dan tujuan.
Menurut W. Riawan Tjandra (2006: 4), definisi yang demikian luas itu
bertujuan untuk mencapai 3 (tiga) hal. Pertama,
terdapat perumusan definisi keuangan negara secara cermat dan teliti untuk
mencegah terjadinya multiintepretasi dalam segi pelaksanaan anggaran. Kedua, agar tidak terjadi kerugian
negara sebagai akibat kelemahan dalam perumusan undang-undang. Ketiga, memperjelas proses penegakan
hukum apabila terjadi maladministrasi dalam pengelolaan keuangan negara.
Selanjutnya, Pasal 6 UU No. 17 Tahun 2003 mengatur bahwa Presiden
selaku kepala pemerintahan memenang kekuasaan pengelolaan keuangan negara
sebagai bagi dari kekuasaan pemerintahan. Selanjutnya, kekuasaan Presiden itu
dalam rangka desentralisasi diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku
kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili
pemerintah daerah dalam kepemilikikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Di
snilah titik awal terjadinya hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah (Ateng
Syafrudin, 2001).
Menurut Ahmad Yani (2002: 98), hubungan keuangan antara Pusat dan
Daerah sering juga disebut sebagai perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan
Daerah. Dalam pandangan Bagir Manan (2001: 40), esensi dari perimbangan
keuangan tersebut adalah memperbesar pendapat asli daerah sehingga lumbung
keuangan daerah dapat berisi lebih banyak. Tetapi Kennet Davey, sebagaimana
dikutip oleh Syarif Hidayat (2000: 119), mengatakan bahwa inti dari hubungan
keuangan antara Pusat dan Daerah adalah pengaturan masalah distribusi, yaitu
konsekuensi dari distribusi kekuasaan kepada pemerintah daerah untuk
mengimplementasikan wewenang yang telah didesentralisasikan.
Dengan mencermati pemahaman di atas, dapat dikatakan bahwa salah
satu komponen utama desentralisasi adalah desentralisasi fiskal. Artinya,
berbicara desentralisasi tidak dapat dilepaskan dari isu kapasitas keuangan
daerah, di mana kemandirian daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan diukur
dari kemampuan menggali dan mengelola keuangannya (Farida Rahmawati, 2008: 28).
Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan daerah memerlukan pembiayaan.
Menurut UU No. 33 Tahun 2004, pembiayaan penyelenggarakan
pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan. Pembiayaan berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sementara itu, pembiayaan
berdasarkan asas dekonsentrasi dilakukan atas beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), sedangkan pembiayaan dalam tugas pembantuan dibiaya atas
beban anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan.
C. Analisis Pembiayaan Pelaksanaan Desentralisasi
Dalam rangka implementasi asas desentralisasi, maka pengertian
otonomi sebagai hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan serta aspirasi
Daerah harus diletakkan juga dalam kerangka pembiayaan atas penyelenggaraan
urusan Pemerintahan Daerah. Menurut Bird
dan Vaillancourt (2000: 135), membiayai diri sendiri menunjukkan bahwa Daerah
harus mempunyai sumber-sumber pendapatan sendiri.
Menurut Muhammad Fauzan (2006: 231), salah satu konsekuensi
pelaksanaan otonomi daerah adalah berhubungan dengan upaya untuk menciptakan
kemampuan membiaya diri sendiri. Kemampuan ini harus memperhatikan kemampuan
sumber daya Daerah-daerah lainnya yang tidak merata sehingga sistem pembiayaan
Daerah pun harus dapat dilaksanakan secara adil, artinya terhadap Daerah yang
kurang mampu perlu diperhatikan dengan perimbangan yang proporsional rasional
yang disusun dan ditentukan secara terbuka dengan melibatkan partisipasi warga
masyarakat. Berdasarkan pemahaman demikian, maka analisis mengenai pembiayaan
pelaksanaan desentralisasi terkait erat dengan sumber-sumber, peruntukkan, dan
pendistribusian penerimaan daerah.
Dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004 ditentukan bahwa
sumber penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas
Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Pendapatan Daerah meliputi: (i) Pendapatan
Asli Daerah; (ii) Dana Perimbangan; dan (iii) Lain-lain Pendapatan. Sementara
itu, Pembiayaan meliputi: (i) sisa lebih perhitungan anggaran daerah; (ii)
penerimaan Pinjaman Daerah; (iii) Dana
Cadangan Daerah; dan (iv) hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
Analisis ini difokuskan kepada Pendapatan Daerah dan selanjutnya
dibatasi hanya menyangkut Pendapatan Asli Daerah saja. Pertimbangan fokus
analisis ini adalah bahwa besarnya penerimaan daerah dari kedua sumber
pendapatan tersebut dipengaruhi oleh sistem perimbangan keuangan antara Pusat
dan Daerah yang dianut.
- Pendapatan
Asli Daerah
Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ditandai
dengan tingginya kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah. Hal ini
jelas terlihat dari rendahnya proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap
total pendapatan daerah dibanding besarnya subsidi (grant) yang diberikan oleh Pusat. Menurut Suwarno (2008: 51), indikator
desentralisasi fiskal adalah rasio antara PAD dengan total penerimaan Daerah.
Dalam hal ini, kemampuan Daerah untuk mengembangkan kompetensi dalam mengelola
secara optimal sumber penghasilan dan keuangan guna pembiayaan aktivitas
pemerintahan dan pembangunan merupakan salah satu pilar pelaksanaan otonomi
daerah (Mulyanto, 2002: 5).
Menurut Suhadak dan Tri Laksono Nugroho (2007: 163), dalam kaitan
dengan peningkatan PAD, kebijaksanaan yang perlu ditempuh adalah dalam bentuk
intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan sehingga diharapkan PAD akan lebih
berperan. Kebijaksanaan dan usaha intensifisikasi berupa peningkatan PAD dari
sumber-sumber yang ada atau berjalan selama ini. Sementara itu, kebijaksanaan
dan usaha ekstensifikasi dalam pemungutan ini berupa mencari dan menggali
sumber-sumber pendapatan daerah yang baru dalam batas ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pada sisi yang lain,
upaya-upaya intensifikasi dan ekstensfikasi sumber-sumber sangat tergantung
kepada kreativitas aparatur Daerah dalam mengkoordinasikan berbagai lembaga
penghasil sumber dana PAD dan kreativitas aparatur tentunya sangat ditentukan
oleh kualitas aparatur.
Diuraikan lebih lanjut oleh Suhadak dan Tri Laksono Nugroho (2007:
163-164), bahwa PAD seyogyanya lebih dititikberatkan pada ekstensifikasi dan
intensifikasi sumber-sumber retribusi. Sementara itu, pajak daerah cukup
ditetapkan sumber limitatif pada obyek-obyek yang cukup potensial bagi pajak
yang kurang potensial seyognyanya dihapuskan. Uraian selanjutnya terbatas kepada
masalah pajak daerah belaka.
- Pajak Daerah
Menurut Andriani, sebagaimana dikutip oleh Santoso Brotodiharjo
(1986: 2), pajak merupakan iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang
terhutang oleh wajib pajak menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat
prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan. Menurut N.J. Feldman, sebagaimana dikutip oleh
Early Suandy, pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang
kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum) tanpa ada
kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran
umum (Early Suandy, 2002: 9). Sementara
itu, menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun
2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pengertian Pajak Daerah
mencakup iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah
tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksankaan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintah Daerah dan pemabangunan Daerah. Dalam hal ini,
secara umum dapat dipahami bahwa pajak memuat unsur-unsur sebagai berikut: (i)
pungutan yang dilakukan oleh negara; (ii) berdasarkan undang-undang; (iii) pelaksanaannya
dapat dipaksakan kepada wajib pajak; dan (iv) tidak ada jasa balik secara
langsung.
Dalam konteks hubungan Pusat dan Daerah, Mustaqiem (2008: 169-170)
menunjuk adanya 2 (dua) pola pengaturan bidang perpajakan daerah, yaitu sistem
residu dan sistem material. Dalam sistem residu, Pemerintah Pusat dapat
menetapkan macam-macam pajak Pusat dan di luar yang ditetapkan oleh pemerintah
pusat merupakan Pajak Daerah. Pemerintah Daerah dengan sistem ini akan leluasa
dalam menetapkan dan mengatur bermcam-macam pajak daerah. Apabila timbul
persoalan-persoalan baru, Pemerintah Daerah akan cepat mengambil
langkah-langkah yang diperlukan dan tidak perlu menunggu keputusan dari pemerintah
pusat.
Di dalam sistem material, jumlah dan jenis-jenis pajak daerah
ditetapkan secara riil oleh pemerintah Pusat, di luar yng telah ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat sebagai pajak daerah. Pola ini menyebabkan terpasungnya Daerah
dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang berasal dari sektor pajak daerah
karena Daerah tidak dapat leluasa menambah sendiri macam-macam pajaknya.
Kedua pola tersebut menunjukkan bahwa kewenngan memungut pajak
dapat dilaksanakan oleh Pusat maupun Daerah. Jika kewenangan berada pada Pusat,
maka bidang tersebut merupakan perpajakan Pusat, dan sebaliknya, jika
kewenangannya berada pada Daerah, maka bidang tersebut merupakan perpajakan
Daerah.
Agar dapat berperan sebagai sumber PAD yang efisien, maka perlu
ditempuh kebijaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah.
Intensifikasi pajak daerah diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh
pemerintah kota/kabupaten untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah yang biasa
diaplikasikan ke dalam 2 hal yaitu perubahan tarif pajak daerah dan peningkatan
pengelolaan pajak daerah (Abdul Halim, 2001: 69).
Kebijaksanaan perubahan tarif pajak daerah merupakan hal yang
sangat mudah dilakukan oleh Daerah dan secara nyata dapat meningkatkan
penerimaan pajak. Hanya saja efek negatif yang muncul adalah dapat menggangu
perekonomian daerah khususnya dalam kegiatan produksi dan kegiatan perdagangan
barang dan jasa. Bahkan, kebijaksanaan semacam ini dapat juga menimbulkan
terjadinya pelarian modal oleh para investor (crowding out) dari Daerah yang bersangkutan ke Daerah yang lain.
Sementara itu, peningkatan pengelolaan pajak daerah harus dilakukan secara
profesional melalui mekanisme dan prosedur yang baik dan transparan, guna
menghindari terjadinya pemborosan biaya pemungutan dan kebocoran penerimaan
pajak daerah.
Pada sisi lain, ektensifikasi pajak daerah merupakan suatu
kebijakan yang dilakukan oleh Daerah dalam upaya meningkatkan penciptaan
sumber-sumber pajak daerah. Hal ini sesuai dengan UU No. 18 Tahun 1997 jo UU
No. 34 Tahun 2000 di mana dalam usaha meningkatkan konstribusi pajak daerah
terhadap total penerimaan Daerah merupakan salah satu kebijakan yang sangat
rasional. Pelaksanaan kebijaksanaan ini sangat terbuka lebar, karena Daerah
diberi kesempatan untuk menggali potensi sumber-sumber keuangan yang ada di
wilayahnya dengan menetapkan jenis pajak selain yang telah ditetapkan dalam
undang-undang sepanjang memenuhi kriteria atau indikator yang telah digariskan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun
2000, pajak daerah terdiri atas Pajak Daerah Propinsi dan Pajak Daerah
Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 2 ayat (1), ditentukan bahwa Pajak Propinsi
meliputi: (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Kendaraan atas Air; (ii) Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor; (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; dan
(iv) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
Sementara itu, Pasal 2 ayat (2) menentukan bahwa Pajak Daerah Kabupaten/Kota
meliputi: (i) Pajak Hotel; (ii) Pajak Restoran; (iii) Pajak Hiburan; (iv) Pajak
Reklame; (v) Pajak Penerangan Jalan; (vi) Pajak Pengambilan Bahan Galian
Golongan C; dan (vii) Pajak Parkir.
D. Penutup
Keseluruhan
uraian di atas menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
- Desentralisasi memberikan peluang kepada Daerah
untuk berusaha mengatur dan mengurus serta menyelenggarakan pemerintahan
sendiri, yang kemudian menimbulkan tuntutan perumusan, pengaturan, dan
pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam kerangka hubungan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
- Salah satu aspek dalam pembahasan mengenai
hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah pembiayaan
pelaksanaan desentralisasi yang mencakup bidang penerimaan daerah dan
pembiayaan. Adapun bidang penerimaan daerah mencakup PAD, yang mana sumber
terbesar untuk pemenuhannya ditetapkan dari pajak daerah dan retribusi
daerah; dan
- Untuk menunjang desentralisasi fiskal,
khususnya PAD, maka diperlukan kebijaksanaan intensifikasi dan
ekstensifikasi dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku agar bermanfaat bagi pembiayaan pemerintah daerah dan pembangunan
daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...