Oleh: Prof. Johni Najwan, S.H., M.H., Ph. D.
ABSTRACT
Law positivism strictly separates the existing law and the law wich should have properly been existing, isolates law from its non-legal elements, and puts it in front ot he written law or regulations as a command from legal authority. Hence, separating strictly the law from its non-legal aspects will make the law lose its nature, i.e. moral values, justice and fidelity. As a result, the effect of this is that positivism and legalism cannot be maintained in social interaction of human beings.
Keywords : Law positivism, implication, analytical jurisprudence.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Argumen yang menyebutkan, bahwa induk dari segala macam ilmu pengetahuan adalah filsafat adalah merupakan argumen yang hampir diterima oleh semua kalangan. Hal ini terbukti dengan adanya hubungan yang erat antara ilmu pengetahuan tertentu dengan filsafat tertentu, atau munculnya ilmu tertentu berasal dari filsafat tertentu, misalnya filsafat ekonomi melahirkan ilmu ekonomi, filsafat hukum melahirkan ilmu hukum, dan seterusnya. Meskipun pernyataan ini terkesan mudah untuk diterima, akan tetapi dalam kenyataannya masih menyimpan berbagai persoalan lain yang tak kalah rumit, yakni adanya pernyataan tentang mana yang lahir lebih dahulu antara ilmu dengan filsafat?
Bukankah dapat disaksikan sejumlah filsafat yang muncul belakangan setelah ilmu, seperti halnya juga disaksikan munculnya ilmu setelah ada kontemplasi falsafi (filsafat)? Disebabkan sukarnya memberikan jawaban terhadap persoalan ini, maka seringkali terjadi tumpang tindih antara ilmu tertentu dengan filsafat tertentu. Padahal untuk keperluan pengembangan pemikiran, pemisahan antara ilmu dan filsafat secara metodologis adalah sangat penting. Bila merujuk pada sejarah pemikiran Barat, seperti disebutkan Scheltens, “filsafat merupakan bentuk tertua dari pemikiran rasional yang bersifat pengertian dan dapat mempertanggungjawabkan diri sendiri”. Boleh dikatakan meliputi seluruh daerah pemikiran manusia, yang merupakan keseluruhan yang hampir-hampir tidak dapat dibedakan.
Dalam perkembangannya, berbagai pengetahuan menyadari obyek dan metodenya sendiri, bahkan mengabsolutkan diri, yang lambat laun memisahkan diri dari filsafat. Lebih lanjut Scheltens menyebutkan, bahwa “para ilmuwan berpatah arang dengan filsafat, karena mereka menganggap filsafat sama sekali tidak diperlukan, tidak bermanfaat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan”. Terpukau oleh keberhasilan metodenya sendiri dan karena kejelasan serta ketetapan lapangan telaah sendiri, orang lalu menghapus filsafat, dengan keyakinan bahwa mulai sekarang hasil-hasil berbagai ilmu pengetahuan pasti dapat menggantikan dan mengabaikan filsafat.
Kecenderungan para Pemikir Barat untuk melepaskan diri dari filsafat tersebut memperoleh dukungan dari gagasan tiga tahap Auguste Comte. Menurutnya sejarah pemikiran manusia berevolusi dalam tiga tahap, yakni:3
1. Tahap teologis (mistis) dimana manusia memecahkan berbagai persoalan dengan meminta bantuan pada dunia Tuhan atau dewa-dewa, yang tidak terjangkau oleh panca indera.
2. Tahap falsafi dimana pada tahap ini hakikat benda-benda merupakan keterangan terakhir dari semua, dan
3. Tahap positivis, tahap dimana dunia fakta yang dapat diamati dengan panca indera merupakan satu-satunya obyek pengetahuan manusia. Pada tahap terakhir inilah dunia Tuhan dan dunia filsafat telah ditinggalkan.
Sumber: http://online-journal.unja.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...