Dewasa ini, konflik horisontal dalam kehidupan yang mengatasnamakan agama masih terjadi hingga sekarang ini. Konflik ini pun secara tidak langsung menjadi momok tersendiri bagi orang yang beragama. Satu sisi, agama datang untuk memberikan petunjuk bagi orang-orang yang lalai sehingga menuju jalan kebajikan. Namun sejak terjadinya konflik horisontal yang mengatasnamakan agama, agama pun menjadi pedang yang siap menumpas orang ada di sekitar. di mana agama dijadikan sebagai legitimasi di dalam setiap melakukan aksi kekerasannya.
Sebenarnya apakah agama demikian adanya yang seperti pedang bermata dua. Di mana agama yang misinya membawa pencerahan bagi umat manusia, namun di sisi lain juga sekaligus membawa duka lara. Ataukah sebenarnya ada sebab lain yang melatarbelakangi konflik horisontal? Di mana bukanlah agama yang menjadi penyebab terjadinya konflik, namun jutru aspek-aspek yang lain, seperti politik, ekonomi, doktrin dan sebagainya.
Berangkat dari pentingnya memahami hal tersebut, pada acara “Training Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbasis Kearifan lokal untuk Siswa SMA/SMK”, salah satu materi yang disampaikan adalah Islam dan Toleransi. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) ini dilaksanakan pada 7-10 Januari 2014 di Islamic Center Semarang. Pesertanya dari SMA/SMK Se eks Kresidenan Semarang, meliputi Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Demak. Adapun tujuan dari penyisipan materi Islam dan Toleransi ini tidak lain ingin mewujudkan sebuah pemahaman bahwa Islam bukanlah agama yang membawa kekerasan. Namun justru sebaliknya, ia adalah agama yang membawa kebajikan untuk seluruh alam dengan misi rahmatan lil ‘Alamin.
Pada materi ini, peserta yang sudah dibagi menjadi 6 kelompok diminta untuk memperhatikan film “The Imam and Pastur”. Film dokumenter ini merupakan film yang menggambarkan perjalanan Ashafa salah satu tokoh muslim dan James yang merupakan pastur di negara Nigeria. Mereka berdua sebagai pelopor pergerakan untuk melakukan mediasi perdamaian akibat dari konflik di daerah Kaduna tahun 1992. Konflik ini telah mengakibatkan banyak pertumbahan darah di kota tersebut. Tidak hanya itu saja, kondisi kota berubah menjadi mencekam yang dahulu kala damai nan tentram.
Film yang berdurasi sekitar 35 menit ini, peserta diberikan waktu dan diminta untuk melakukan diskusi dengan kelompoknya masing-masing setelah memperhatikan film tersebut. Diskusi ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan film tersebut. Dalam menjawab pertanyaan ini masing-masing kelompok ada perwakilan yang akan mempresentasikan hasil dari diskusi kelompok di depan kelompok yang lain. Di dalam forum ini pun terjadi dialog antar kelompok-satu dengan kelompok yang lain. Ini salah satu bentuk upaya menumbuhkan daya kritis bagi siswa-siswi dalam belajar.
Adapun pertanyaan yang diberikan meliputi, 1) Apa yang menyebabkan konflik terjadi? 2) Apa solusi yang diberikan oleh para tokoh agama tersebut? 3) Faktor-faktor apa saja yang meredam konflik? 4) Apa langkah-langkah yang dilakukan oleh para tokoh dalam melakukan usaha perdamaian?, dan 5) nilai-nilai apa saja yang diambil dari film dokumenter tersebut?
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut setiap kelompok mendiskripsikan jawabanya lewat tulisan kemudian disampaikan dengan lisan. Dari jawaban tersebut maka akan terlihat seberapa besar kualitas dari jawaban mereka. Tentu ini tidak lepas dari kekuatan mereka dalam mengkritisi dari suatu konflik yang perhatikan. Sehingga ini akan membentuk pola kritis setiap peserta dalam menyikapi setiap konflik yang terjadi dan juga mendorong mereka untuk melakukan tindakan dan langkah-langkah yang dilakukan untuk meredamkan konflik tersebut.
Respon Siswa
Menyikapi pertanyaan yang pertama, 5 kelompok menyebutkan bahwa dalam konflik yang ada di film tersebut bukanlah berpangkal dari agama. Namun mereka beranggapan bahwa faktor ekonomi lah yang menyebakan konflik itu terjadi. Di mana pertikaian itu terjadi karena pasar didominasi oleh orang-orang Islam, sehingga menimbulkan kecemburuan kaum kristen hingga berujung pada kekerasan. Sedangkan 1 kelompok yang lain menjawab secara umum, yakni perbedaan pendapat antara kedua belah pihak antara muslim dan kristen.
Pada pertanyaan kedua, 4 kelompok menjawab musyawarah atau melakukan pertemuan kedua belah pihak, yaitu perwakilan dari tokoh muslim dan tokoh kristen guna untuk membahas perdamaian. Karena dengan jalan musyawarah inilah akan ditemukan kesepatakan. Tidak jauh berbeda dengan jawaban 1 kelompok yang lain, kelompok ini menyatakan bahwa membuat Tim Lintas Agama yang anggotanya perwakilan dari kedua belah pihak menjadi solusi yang tepat. Sedangkan 1 kelompok yang lainnya lagi menjawab secara singkat, di mana ia menilai bahwa setiap individu harus memiliki sifat saling memaafkan, menghormati dan melihat hati nurani.
Dalam melakukan peredaman konflik, tentu ada faktor-faktor yang mendukung. Memperhatikan film dokumentar tersebut, siswa-siswi ini memberikan respon. Respon dari 2 kelompok menyebutkan bahwa faktor yang mendukung ialah kepercayaan dari tokoh muslim dan kriten yang beranggapan bahwa agama itu mengajarkan tentang kasih sayang dengan sesama manusia. Pendapat ini mereka lihat dari sikap James yang merasa terharu dengan kedatangan Ashafa ketika ibu James meninggal dunia. Selain itu, peserta mencotohkan kata-kata yang disampaikan oleh James bahwa kejahatan sebaiknya jangan dibalas dengan kejahatan karena agama kristen mengajarkan kasih sayang dan kedamaian.
Hampir sama dengan jawaban tersebut, ada kelompok yang menyebutkan bahwa faktor pendukung ialah bergabungnya James dan Ashafa ke Tim Lintas Iman yang membawa misi “Peace is Divine” yang bertujuan mendamaikan antar umat muslim dan kristen, terutama memberikan pengarahan tentang perdamaian di daerah-daerah terpencil. Sedangkan 3 kelompok yang lain menjawab dengan singkat bahwa faktor yang mendukung ialah faktor intern. Faktor tersebut berupa sikap saling menghargai, saling memaafkan dan menumbuhkan sikap toleransi yang harus ditumbuhkan pada diri masing-masing.
Menilai pendapat siswa-siswi tentang langkah-langkah yang dilakukan oleh para tokoh dalam melakukan usaha perdamaian, penulis mencantumkan semua pendapat mereka dan mensistematiskannya. Hal dikarenakan pendapat satu dengan yang lain yang mereka berikan saling melengkapi. Tentunya maksud yang ingin disampaikan tidak lain merupakan langkah-langkah yang dilakukan oleh James dan Ashafa dalam mewukudkan perdamain. Pendapat tersebut meliputi mengadakan pertemuan tokoh-tokoh lintas iman, membuat komunitas lintas iman, melakukan sosialisasi perdamaian berupa seminar dan workshop, tidak lupa membuat kesepakatan kedua belah pihak yang dituangkan dalam sebuah surat perdamaian.
Pada respon terakhir ini, siswa-siswi ini diminta untuk memberikan pendapatnya tentang nilai-nilai apa yang dapat diambil dari film dokumenter. Hal ini sangat penting, salah satu untuk melihat seberapa besar kepekaan mereka dalam menyikapi suatu hal. Tentunya ini berkaitan dengan nilai positif yang dapat dijadikan pelajaran bagi mereka.
Mereka menilai bahwa kekerasan bukanlah jalan untuk mewujudkan perdamaian, musyawarah jalan terbaik meredam konflik, toleransi dalam perbedaan agama dan keberagaman merupakan suatu bentuk kekuatan. Menariknya lagi ada yang menulis bahwa perbedaan agama tidak selamanya akan berakhir dengan pertengkaran dengan adanya perbedaan dapat terjalin hubungan yang saling toleransi satu sama lain.
Secara umum, siswa-siswi dapat menangkap dengan jelas pesan yang disampaikan oleh film tersebut. Bahkan ia mampu menilai sisi lain dari film tersebut. Hal ini dapat diperhatikan dalam jawaban mereka. Pada pertanyaan yang pertama, jawaban mereka sudah menunjukan pemahaman bahwa dibalik konflik horisontal yang mengatasnamakan agama, sebenarnya sebab awal konflik bukanlah agama itu sendiri. Namun dalam konteks ini penyebabnya adalah ekonomi. Agama dibawa-bawa ke dalam ranah konflik dan dijadikan alat untuk melakukan tindakan tersebut.
Hal serupa juga dapat dilihat dari jawaban kedua, mereka dapat menilai bahwa musyawarah atau dialog lintas agama menjadi solusi yang tepat. Sebab dengan dialog ini mereka akan saling memahami, pada akhirnya bisa menumbuhkan sikap toleransi. Perlu diperhatikan bahwa munculnya sikap toleransi berangkat dari hilangnya sikap kecurigaan. Sikap kecurigaan ini ditenggarai oleh ketidaktahuan. Maka jalan satu-satunya untuk menjadikan tahu ialah dengan melakukan dialog.
Lain halnya dalam menilai faktor pendukung yang meredam konflik dapat dipetakan menjadi dua, yakni faktor intern dan ekstern. Meskipun belum secara detail, namun siswa-siswi ini mampu memberikan beberapa faktor yang mendukung dalam menjalankan misi perdamaian. Faktor intern tidak lain adalah sikap positif dalam diri masing-masing dan pemahaman terhadap agama. Sedangkan faktor ekstern berupa adanya komunitas lintas iman dan dukungan dari pemerintah. Dua faktor inilah yang menjadi titik tekan dalam memahami faktor pendukung dalam meredam konflik.
Berbeda dengan jawaban sebelumnya, pada jawaban keempat ini setiap kelompok belum dapat memberikan jawaban secara sistematik terkait dengan langkah-langkah dalam meredam konflik. mereka hanya menyebutkan beberapa langkah saja yang menurut mereka dapat dijadikan sebagai suatu tindakan untuk meredam konflik. Namun terlepas dari kekurangan tersebut, setidaknya mereka mampu memberikan sebuah langkah yang semestinya dilakukan dalam meredam konflik. Ini sebagai langkah awal mereka dalam memahami kondisi sosial yang akan terus mereka hadapi.
Pada pertanyaan yang terakhir, jawaban dari semua kelompok sudah mencerminkan nilai-nilai yang dapat diambil dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mampi menyikapi bahwa perbedaan bukanlah sebuah problem dalam kehidupan. Sebab sikap toleransi dan saling menghargai tidak akan lahir apabila tidak ada perbedaan. Dan pandangan yang demikian sudah mulai dipahami oleh siswa-siswi. Maka dari itu, langkah untuk mengenalkan kepada mereka tentang agama-agama yang ada di Indonesia sejak dini menjadi salah satu saran penunjang dalam menumbuhkan sikap toleransi.
Membudayakan Dialog Lintas Agama
Kehadiran semua agama-agama yang ada di dunia selalu membawa misi untuk menciptakan tatanan masyarakat damai, termasuk agama Islam yang membawa misi rahmatan lil ‘alamin. Sehingga agama yang menjadi sumber kedamaian tersebut tidak mungkin secara bersamaan menjadi sumber konflik yang merusak perdamaian masyarakat. Mengapa demikian? Apabila kekerasan dijadikan langkah untuk menciptakan perdamaian, maka bukan perdamaian lah yang terwujud namun justru kekerasan yang akan ditimbulkannya. Sebab perdamaian tidak mungkin tercipta dengan cara kekerasan.
Mewujudkan cita-cita yang arif tersebut tidak serta merta tanpa ditempuh dengan sebuah proses yang panjang. Namun harus diusahakan dengan melakukan dialog dalam setiap persoalan, termasuk dalam dialog lintas agama. Langkah ini sebagai sarana untuk mengenalkan keyakinan yang ada di sekitar. Sebab selama ini, pengikut agama satu dengan agama yang lain terkesan saling mengunggulkan agamanya masing-masing. Dalam benaknya tertanam bahwa agama yang lain salah dan menyesatkan, Bahkan agama yang berlainan dengan agamanya dianggap sebagai orang yang mengingkari kebenaran atau biasa disebut “kafir”. Munculnya stigma seperti kafir ini kemudian menimbulkan ketidakharmonisan dalam tatanan sosial. Sebab orang yang disebut kafir ini juga menganggap bahwa keyakinannya benar dan lain salah. Pada akhirnya mereka pun seakan mempersoalkan sesuatu yang tidak jelas dan tidak akan ditemukan titik temunya.
Dalam konteks keberagamaan ini, bukan masalah benar atau salah itu saja yang dipikirkan, namun ada hal yang jauh lebih penting untuk direnungkan. Hal itu tidak lain adalah bagaimana mewujudkan kehidupan yang harmonis. Selain itu, tindakan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang yang memiliki keyakinan. Ini penting sebagi bekal agar tidak mudah menyalahkan orang lain. Membudayakan dialog lintas iman menjadi langkah yang dapat dipertimbangkan dalam konteks ini. Sebab dengan ini, satu sama lain akan saling mengenal, terlebih di Indonesia yang memiliki masyarakat denyan berbagai keyakinannya.
Dalam mendialogkan ini dapat diformulasikan dengan berbagai bentuk, salah satunya dengan cara mengenalkan kepada siswa-siswi tentang agama-agama yang ada di Indonesia. Dalam hal ini keilmuan yang diberikan kepada mereka, bukan dalam bentuk keyakinan karena ini tidak lain sebuah wacana saja atau pengetahuan kepada mereka. Arah dari pengetahuan ini untuk mengenalkan kepada siswa-siswi tentang agama-agama di Indonesia. Tentunya mereka akan mengetahu bahwa ternyata agama itu tidak hanya satu, namun lebih dari itu. Kurikulum ini dapat disisipkan dalam pelajaran pendidikan agama Islam. Sebab selama ini di Indonesia yang diterapkan dalam pendidikan agama Islam yang itu sifatnya berupa keyakinan. Sehingga desainnya berbentuk doktrinasinya semata, seperti rukun iman, rukun islam dan sebagainya.
Desain sebagai tindak lanjut dari kurikulum pendidikan agama Islam ini dapat dilakukan dengan study banding ke komunitas lintas iman. Misalnya melakukan kunjungan ke Gereja, Pure, Vihara dan tempat ibadah agama lainnya. Tentu dalam forum tersebut terjadi dialog antar mereka. Sehingga ini secara tidak langsung memberikan pengetahuan tentang wacana keilmuan agama-agama kepada mereka. Apabila sejak dini mereka sudah dikenalkan dengan perbedaan, maka ketika menginjak masa pendewasaan, mereka menjadi tidak asing dengan perbedaan yang ada. Bahkan mereka pun akan dapat menyikapinya dengan bijak perbedaan tersebut.
Dengan demikian, melihat respon siswa-siswi SMA/SMK dalam menyikapi film dokumenter tersebut sudah menunjukkan daya kritis mereka sudah mulai berkembang. Mereka pun dapat memahami sebenarnya sumber konflik bukanlah berangkat dari agama, namun faktor lain lah yang menyebabkan konflik itu muncul. Sehingga ketika ada suatu konflik yang mengatasnamakan agama, sebetulnya itu bukan agama lah yang patut disalahkan. Tetapi ketaatan penganut agamanya yang perlu dipertanyakan. Sebab semua agama mengajak umatnya untuk melakukan kebajikan dalam hidup.
Desain dan implementasi pengembangan dalan pendidikan agama Islam menjadi sangat penting dalam dunia pendidikan. Melalui pendidikan lah bangsa ini dapat mencetak generasi bangsa yang baik. Hanya dengan pendidikan lah yang mampu membentuk karakter sdan budi pekerti yang luhur. Apabila desain kurikulum mengarah pada pembentukan karakter yang toleran, maka out put dari pendidikan tersebut akan melahirkan siswa-siswi yang memiliki sikap toleran. Tentu ini merupakan harapan kita semua, sebuah kehidupan yang tentram dalam keberagaman.
Sumber: http://elsaonline.com/?p=2238
Sebenarnya apakah agama demikian adanya yang seperti pedang bermata dua. Di mana agama yang misinya membawa pencerahan bagi umat manusia, namun di sisi lain juga sekaligus membawa duka lara. Ataukah sebenarnya ada sebab lain yang melatarbelakangi konflik horisontal? Di mana bukanlah agama yang menjadi penyebab terjadinya konflik, namun jutru aspek-aspek yang lain, seperti politik, ekonomi, doktrin dan sebagainya.
Berangkat dari pentingnya memahami hal tersebut, pada acara “Training Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbasis Kearifan lokal untuk Siswa SMA/SMK”, salah satu materi yang disampaikan adalah Islam dan Toleransi. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) ini dilaksanakan pada 7-10 Januari 2014 di Islamic Center Semarang. Pesertanya dari SMA/SMK Se eks Kresidenan Semarang, meliputi Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Demak. Adapun tujuan dari penyisipan materi Islam dan Toleransi ini tidak lain ingin mewujudkan sebuah pemahaman bahwa Islam bukanlah agama yang membawa kekerasan. Namun justru sebaliknya, ia adalah agama yang membawa kebajikan untuk seluruh alam dengan misi rahmatan lil ‘Alamin.
Pada materi ini, peserta yang sudah dibagi menjadi 6 kelompok diminta untuk memperhatikan film “The Imam and Pastur”. Film dokumenter ini merupakan film yang menggambarkan perjalanan Ashafa salah satu tokoh muslim dan James yang merupakan pastur di negara Nigeria. Mereka berdua sebagai pelopor pergerakan untuk melakukan mediasi perdamaian akibat dari konflik di daerah Kaduna tahun 1992. Konflik ini telah mengakibatkan banyak pertumbahan darah di kota tersebut. Tidak hanya itu saja, kondisi kota berubah menjadi mencekam yang dahulu kala damai nan tentram.
Film yang berdurasi sekitar 35 menit ini, peserta diberikan waktu dan diminta untuk melakukan diskusi dengan kelompoknya masing-masing setelah memperhatikan film tersebut. Diskusi ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan film tersebut. Dalam menjawab pertanyaan ini masing-masing kelompok ada perwakilan yang akan mempresentasikan hasil dari diskusi kelompok di depan kelompok yang lain. Di dalam forum ini pun terjadi dialog antar kelompok-satu dengan kelompok yang lain. Ini salah satu bentuk upaya menumbuhkan daya kritis bagi siswa-siswi dalam belajar.
Adapun pertanyaan yang diberikan meliputi, 1) Apa yang menyebabkan konflik terjadi? 2) Apa solusi yang diberikan oleh para tokoh agama tersebut? 3) Faktor-faktor apa saja yang meredam konflik? 4) Apa langkah-langkah yang dilakukan oleh para tokoh dalam melakukan usaha perdamaian?, dan 5) nilai-nilai apa saja yang diambil dari film dokumenter tersebut?
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut setiap kelompok mendiskripsikan jawabanya lewat tulisan kemudian disampaikan dengan lisan. Dari jawaban tersebut maka akan terlihat seberapa besar kualitas dari jawaban mereka. Tentu ini tidak lepas dari kekuatan mereka dalam mengkritisi dari suatu konflik yang perhatikan. Sehingga ini akan membentuk pola kritis setiap peserta dalam menyikapi setiap konflik yang terjadi dan juga mendorong mereka untuk melakukan tindakan dan langkah-langkah yang dilakukan untuk meredamkan konflik tersebut.
Respon Siswa
Menyikapi pertanyaan yang pertama, 5 kelompok menyebutkan bahwa dalam konflik yang ada di film tersebut bukanlah berpangkal dari agama. Namun mereka beranggapan bahwa faktor ekonomi lah yang menyebakan konflik itu terjadi. Di mana pertikaian itu terjadi karena pasar didominasi oleh orang-orang Islam, sehingga menimbulkan kecemburuan kaum kristen hingga berujung pada kekerasan. Sedangkan 1 kelompok yang lain menjawab secara umum, yakni perbedaan pendapat antara kedua belah pihak antara muslim dan kristen.
Pada pertanyaan kedua, 4 kelompok menjawab musyawarah atau melakukan pertemuan kedua belah pihak, yaitu perwakilan dari tokoh muslim dan tokoh kristen guna untuk membahas perdamaian. Karena dengan jalan musyawarah inilah akan ditemukan kesepatakan. Tidak jauh berbeda dengan jawaban 1 kelompok yang lain, kelompok ini menyatakan bahwa membuat Tim Lintas Agama yang anggotanya perwakilan dari kedua belah pihak menjadi solusi yang tepat. Sedangkan 1 kelompok yang lainnya lagi menjawab secara singkat, di mana ia menilai bahwa setiap individu harus memiliki sifat saling memaafkan, menghormati dan melihat hati nurani.
Dalam melakukan peredaman konflik, tentu ada faktor-faktor yang mendukung. Memperhatikan film dokumentar tersebut, siswa-siswi ini memberikan respon. Respon dari 2 kelompok menyebutkan bahwa faktor yang mendukung ialah kepercayaan dari tokoh muslim dan kriten yang beranggapan bahwa agama itu mengajarkan tentang kasih sayang dengan sesama manusia. Pendapat ini mereka lihat dari sikap James yang merasa terharu dengan kedatangan Ashafa ketika ibu James meninggal dunia. Selain itu, peserta mencotohkan kata-kata yang disampaikan oleh James bahwa kejahatan sebaiknya jangan dibalas dengan kejahatan karena agama kristen mengajarkan kasih sayang dan kedamaian.
Hampir sama dengan jawaban tersebut, ada kelompok yang menyebutkan bahwa faktor pendukung ialah bergabungnya James dan Ashafa ke Tim Lintas Iman yang membawa misi “Peace is Divine” yang bertujuan mendamaikan antar umat muslim dan kristen, terutama memberikan pengarahan tentang perdamaian di daerah-daerah terpencil. Sedangkan 3 kelompok yang lain menjawab dengan singkat bahwa faktor yang mendukung ialah faktor intern. Faktor tersebut berupa sikap saling menghargai, saling memaafkan dan menumbuhkan sikap toleransi yang harus ditumbuhkan pada diri masing-masing.
Menilai pendapat siswa-siswi tentang langkah-langkah yang dilakukan oleh para tokoh dalam melakukan usaha perdamaian, penulis mencantumkan semua pendapat mereka dan mensistematiskannya. Hal dikarenakan pendapat satu dengan yang lain yang mereka berikan saling melengkapi. Tentunya maksud yang ingin disampaikan tidak lain merupakan langkah-langkah yang dilakukan oleh James dan Ashafa dalam mewukudkan perdamain. Pendapat tersebut meliputi mengadakan pertemuan tokoh-tokoh lintas iman, membuat komunitas lintas iman, melakukan sosialisasi perdamaian berupa seminar dan workshop, tidak lupa membuat kesepakatan kedua belah pihak yang dituangkan dalam sebuah surat perdamaian.
Pada respon terakhir ini, siswa-siswi ini diminta untuk memberikan pendapatnya tentang nilai-nilai apa yang dapat diambil dari film dokumenter. Hal ini sangat penting, salah satu untuk melihat seberapa besar kepekaan mereka dalam menyikapi suatu hal. Tentunya ini berkaitan dengan nilai positif yang dapat dijadikan pelajaran bagi mereka.
Mereka menilai bahwa kekerasan bukanlah jalan untuk mewujudkan perdamaian, musyawarah jalan terbaik meredam konflik, toleransi dalam perbedaan agama dan keberagaman merupakan suatu bentuk kekuatan. Menariknya lagi ada yang menulis bahwa perbedaan agama tidak selamanya akan berakhir dengan pertengkaran dengan adanya perbedaan dapat terjalin hubungan yang saling toleransi satu sama lain.
Secara umum, siswa-siswi dapat menangkap dengan jelas pesan yang disampaikan oleh film tersebut. Bahkan ia mampu menilai sisi lain dari film tersebut. Hal ini dapat diperhatikan dalam jawaban mereka. Pada pertanyaan yang pertama, jawaban mereka sudah menunjukan pemahaman bahwa dibalik konflik horisontal yang mengatasnamakan agama, sebenarnya sebab awal konflik bukanlah agama itu sendiri. Namun dalam konteks ini penyebabnya adalah ekonomi. Agama dibawa-bawa ke dalam ranah konflik dan dijadikan alat untuk melakukan tindakan tersebut.
Hal serupa juga dapat dilihat dari jawaban kedua, mereka dapat menilai bahwa musyawarah atau dialog lintas agama menjadi solusi yang tepat. Sebab dengan dialog ini mereka akan saling memahami, pada akhirnya bisa menumbuhkan sikap toleransi. Perlu diperhatikan bahwa munculnya sikap toleransi berangkat dari hilangnya sikap kecurigaan. Sikap kecurigaan ini ditenggarai oleh ketidaktahuan. Maka jalan satu-satunya untuk menjadikan tahu ialah dengan melakukan dialog.
Lain halnya dalam menilai faktor pendukung yang meredam konflik dapat dipetakan menjadi dua, yakni faktor intern dan ekstern. Meskipun belum secara detail, namun siswa-siswi ini mampu memberikan beberapa faktor yang mendukung dalam menjalankan misi perdamaian. Faktor intern tidak lain adalah sikap positif dalam diri masing-masing dan pemahaman terhadap agama. Sedangkan faktor ekstern berupa adanya komunitas lintas iman dan dukungan dari pemerintah. Dua faktor inilah yang menjadi titik tekan dalam memahami faktor pendukung dalam meredam konflik.
Berbeda dengan jawaban sebelumnya, pada jawaban keempat ini setiap kelompok belum dapat memberikan jawaban secara sistematik terkait dengan langkah-langkah dalam meredam konflik. mereka hanya menyebutkan beberapa langkah saja yang menurut mereka dapat dijadikan sebagai suatu tindakan untuk meredam konflik. Namun terlepas dari kekurangan tersebut, setidaknya mereka mampu memberikan sebuah langkah yang semestinya dilakukan dalam meredam konflik. Ini sebagai langkah awal mereka dalam memahami kondisi sosial yang akan terus mereka hadapi.
Pada pertanyaan yang terakhir, jawaban dari semua kelompok sudah mencerminkan nilai-nilai yang dapat diambil dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mampi menyikapi bahwa perbedaan bukanlah sebuah problem dalam kehidupan. Sebab sikap toleransi dan saling menghargai tidak akan lahir apabila tidak ada perbedaan. Dan pandangan yang demikian sudah mulai dipahami oleh siswa-siswi. Maka dari itu, langkah untuk mengenalkan kepada mereka tentang agama-agama yang ada di Indonesia sejak dini menjadi salah satu saran penunjang dalam menumbuhkan sikap toleransi.
Membudayakan Dialog Lintas Agama
Kehadiran semua agama-agama yang ada di dunia selalu membawa misi untuk menciptakan tatanan masyarakat damai, termasuk agama Islam yang membawa misi rahmatan lil ‘alamin. Sehingga agama yang menjadi sumber kedamaian tersebut tidak mungkin secara bersamaan menjadi sumber konflik yang merusak perdamaian masyarakat. Mengapa demikian? Apabila kekerasan dijadikan langkah untuk menciptakan perdamaian, maka bukan perdamaian lah yang terwujud namun justru kekerasan yang akan ditimbulkannya. Sebab perdamaian tidak mungkin tercipta dengan cara kekerasan.
Mewujudkan cita-cita yang arif tersebut tidak serta merta tanpa ditempuh dengan sebuah proses yang panjang. Namun harus diusahakan dengan melakukan dialog dalam setiap persoalan, termasuk dalam dialog lintas agama. Langkah ini sebagai sarana untuk mengenalkan keyakinan yang ada di sekitar. Sebab selama ini, pengikut agama satu dengan agama yang lain terkesan saling mengunggulkan agamanya masing-masing. Dalam benaknya tertanam bahwa agama yang lain salah dan menyesatkan, Bahkan agama yang berlainan dengan agamanya dianggap sebagai orang yang mengingkari kebenaran atau biasa disebut “kafir”. Munculnya stigma seperti kafir ini kemudian menimbulkan ketidakharmonisan dalam tatanan sosial. Sebab orang yang disebut kafir ini juga menganggap bahwa keyakinannya benar dan lain salah. Pada akhirnya mereka pun seakan mempersoalkan sesuatu yang tidak jelas dan tidak akan ditemukan titik temunya.
Dalam konteks keberagamaan ini, bukan masalah benar atau salah itu saja yang dipikirkan, namun ada hal yang jauh lebih penting untuk direnungkan. Hal itu tidak lain adalah bagaimana mewujudkan kehidupan yang harmonis. Selain itu, tindakan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang yang memiliki keyakinan. Ini penting sebagi bekal agar tidak mudah menyalahkan orang lain. Membudayakan dialog lintas iman menjadi langkah yang dapat dipertimbangkan dalam konteks ini. Sebab dengan ini, satu sama lain akan saling mengenal, terlebih di Indonesia yang memiliki masyarakat denyan berbagai keyakinannya.
Dalam mendialogkan ini dapat diformulasikan dengan berbagai bentuk, salah satunya dengan cara mengenalkan kepada siswa-siswi tentang agama-agama yang ada di Indonesia. Dalam hal ini keilmuan yang diberikan kepada mereka, bukan dalam bentuk keyakinan karena ini tidak lain sebuah wacana saja atau pengetahuan kepada mereka. Arah dari pengetahuan ini untuk mengenalkan kepada siswa-siswi tentang agama-agama di Indonesia. Tentunya mereka akan mengetahu bahwa ternyata agama itu tidak hanya satu, namun lebih dari itu. Kurikulum ini dapat disisipkan dalam pelajaran pendidikan agama Islam. Sebab selama ini di Indonesia yang diterapkan dalam pendidikan agama Islam yang itu sifatnya berupa keyakinan. Sehingga desainnya berbentuk doktrinasinya semata, seperti rukun iman, rukun islam dan sebagainya.
Desain sebagai tindak lanjut dari kurikulum pendidikan agama Islam ini dapat dilakukan dengan study banding ke komunitas lintas iman. Misalnya melakukan kunjungan ke Gereja, Pure, Vihara dan tempat ibadah agama lainnya. Tentu dalam forum tersebut terjadi dialog antar mereka. Sehingga ini secara tidak langsung memberikan pengetahuan tentang wacana keilmuan agama-agama kepada mereka. Apabila sejak dini mereka sudah dikenalkan dengan perbedaan, maka ketika menginjak masa pendewasaan, mereka menjadi tidak asing dengan perbedaan yang ada. Bahkan mereka pun akan dapat menyikapinya dengan bijak perbedaan tersebut.
Dengan demikian, melihat respon siswa-siswi SMA/SMK dalam menyikapi film dokumenter tersebut sudah menunjukkan daya kritis mereka sudah mulai berkembang. Mereka pun dapat memahami sebenarnya sumber konflik bukanlah berangkat dari agama, namun faktor lain lah yang menyebabkan konflik itu muncul. Sehingga ketika ada suatu konflik yang mengatasnamakan agama, sebetulnya itu bukan agama lah yang patut disalahkan. Tetapi ketaatan penganut agamanya yang perlu dipertanyakan. Sebab semua agama mengajak umatnya untuk melakukan kebajikan dalam hidup.
Desain dan implementasi pengembangan dalan pendidikan agama Islam menjadi sangat penting dalam dunia pendidikan. Melalui pendidikan lah bangsa ini dapat mencetak generasi bangsa yang baik. Hanya dengan pendidikan lah yang mampu membentuk karakter sdan budi pekerti yang luhur. Apabila desain kurikulum mengarah pada pembentukan karakter yang toleran, maka out put dari pendidikan tersebut akan melahirkan siswa-siswi yang memiliki sikap toleran. Tentu ini merupakan harapan kita semua, sebuah kehidupan yang tentram dalam keberagaman.
Sumber: http://elsaonline.com/?p=2238
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...