Jumat, 14 Februari 2014

Mengadili Keyakinan

Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama secara materi telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya yang berkaitan dengan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan bagi kaum minoritas. Alih-alih dirancang untuk menciptakan kerukunan dan ketertiban, ternyata justru banyak memakan korban. Dilihat dari kacamata politik, hal tersebut menggambarkan kesewenang-wengangan mayoritas terhadap minoritas.

Berdasarkan hasil monitoring eLSA Semarang tahun 2011-2012, ditemukan 8 kasus yang berkaitan dengan implementasi undang-undang tersebut. Selanjutnya, didapatkan variasi penyelesaian perkara sebagai berikut:
Pertama, melalui jalur pengadilan yang berakhir vonis. Ini sebagaimana kasus Antonius Richmond Bawengan (ARB) di Temanggung yang bermula dari tuduhan penodaan agama pria berusia 59 tahun tersebut. Dirinya menyebarkan selebaran dan buku yang ia tulis dan diberi judul “Ya Tuhanku, Tertipu Aku!” (tebal 60 halaman) dan “Saudara Perlukan Sponsor!” (tebal 35 halaman). Buku dan selebaran itu disebarkan oleh ARB sejak 23 Oktober 2010.

Tindakan tersebut akhirnya memicu kemarahan warga di lingkungan Kenalan, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Kranggan dan dilaporkan ke pihak berwajib. Kasus ini kemudian disidangkan pada 8 Februari 2011 berdasarkan surat dakwaan No. Reg. Perk: PDM-44/TMANG/EP.2/12/2010 di mana perbuatan terdakwa diancam pidana sesuai pasal 156 huruf a KUHP (primer) dan pasal 156 KUHP (subsider).

Sidang pertama (13 Januari 2011) dan kedua (20 Januari 2011) cukup menyedot banyak pengunjung. Selepas pelaksanaan sidang kedua terjadi kericuhan di luar Pengadilan Negeri (PN) Temanggung. ARB dipukuli oleh massa dan Polisi membawa keluar ruang sidang. Pemukulan masih berlanjut sampai mobil tahanan. Pada sidang ketiga selepas pelaksanaan sidang masa berorasi dan menuntut terdakwa dihukum mati. Masa melempari rutan dengan batako selama 5-10 menit. Yang menyebabkan genteng rutan, kaca mobil dinas bagian belakang dan kaca pos jaga pecah. Pada sidang keempat, Jaksa Penuntut Umum menyampaikan tuntutan maksimal, tuntutan 5 tahun penjara. Hakim kemudian memvonis kepada terdakwah dengan hukuman penjara lima tahun.

Dua buku karya Antonius Richmond Bawengan (dok. eLSA)
Dalam kasus yang pertama ini, setidaknya ada lima tindakan antara lain, vonis 5 tahun penjara, pemukulan terhadap terdakwa, perusakan genteng  rumah tahanan, perusakan mobil dinas dan perusakan kaca pos jaga. Diantara lima tindakan tersebut, hanya ada satu tindakan yang memiliki hubungan langsung dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan yakni vonis 5 tahun penjara atas dugaan melakukan penodaan agama.

Selepas mengikuti persidangan keempat kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Antonius Richmond Bawengan di PN Temanggung, masa yang merasa kecewa terhadap putusan majelis hakim (Dwi Dayanto) bereaksi dengan melempari gedung PN. Masa menggulingkan dan membakar dua mobil Dalmas, merusak sepeda motor. Lalu, masa berpencar menuju sejumlah tempat ibadah dan melakukan perusakan Gereja Bethel Indonesia (GBI) di jalan Suyoto.

Mereka merusak kantin TK dan kelompok bermain Shekinah serta gedung pertemuan, 8 unit sepeda motor dan ruang satpam. Kemudian, masa kembali membakar gerbang Gereja Pantekosta dengan merusak pagar besi halaman, membakar 3 unit mobil, 6 unit sepeda motor serta di Gereja Santo Petrus-Paulus juga tak luput dari amuk masa dengan merusak balai keluarga, pintu masuk gereja, dan perabot gereja. Terakhir, Markas Polres Temanggung pun dirusak. Pada setiap sidang ARB, masa selalu memenuhi gedung pengadilan. Pihak kepolisian tidak berhasil menghalau dan mencegah masa untuk tidak berbuat anarkis. Padahal, dalam setiap sidang selalu ada pengerahan masa dalam jumlah yang banyak.

Dalam peristiwa ini, setidaknya ada lima tindakan yang muncul. Kelimanya adalah, perusakan GBI, Gereja Pantekosta di Indonesia, Gereja Petrus-Paulus, Sekolah Shekina dan Mobil Dalmas. Sementara, tindakan yang memiliki relevansi dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah kemungkinan absennya negara dalam melakukan proteksi terhadap amuk masa terhadap tiga rumah ibadah.

Selanjutnya kasus yang menimpa Amanat Keagungan Ilahi (AKI) di Kampung Girimulyo, Kelurahan Gergunung, Kecamatan Klaten Utara, Kabupaten Klaten. AKI digerebek warga dengan mendapat pengawalan dari Polres Klaten, Muspika Klaten Utara, Danramil, perangkat desa, laskar MMI dan Camat. Bersama pelaku, diamankan pula satu kitab suci al-Qur’an, puluhan poster ajaran, senjata tajam, dan selebaran ajaran AKI. Aliran ini diketuai Andreas Guntur. Diantara ajarannya ialah anggota AKI tidak diwajibkan menjalankan shalat lima waktu.

Dari kejadian itu, Sat Reskrim Polres Klaten menyelidiki kasus itu dengan dugaan penistaan agama yang diduga dilakukan oleh G (37). Selain Andreas Guntur, tujuh orang pengikut AKI juga ikut diperiksa. ”Sudah tujuh pengikut yang diperiksa, sisanya menyusul,” ungkap sumber di Mapolres Klaten, Minggu (16/10). Tujuh orang itu semuanya merupakan warga luar Kabupaten Klaten yang itu diperiksa sebagai saksi.
Mereka diduga mengetahui ajaran dan praktik jamaah Andreas Guntur Cs. Pasalnya, ketujuh orang itu saat penggerebekan ada di lokasi bersama puluhan lainnya. Selain memeriksa saksi, kata sumber tersebut, kasus itu sudah dilaporkan resmi oleh warga.

Dalam peristiwa ini, ada setidaknya tiga komponen tindakan antara lain, penyitaan, penggerebekan dan penutupan tempat ibadah kelompok AKI. Semua tindakan itu berhubungan dengan dugaan atas terlanggarnya hak menganut agama dan keyakinan, hak untuk beribadah dan berjamaah dimana negara memiliki kewajiban untuk menghormatinya.

Setelah tiga bulan berlalu, Selasa (10/1), pemimpin aliran Amanat Keagungan Ilahi (AKI), Andreas Guntur (37), akhirnya menjalani sidang untuk kali pertama. Ia didakwa terkait dengan kasus dakwaan penodaan agama. Sidang di Pengadilan Negeri Klaten ini dipimpin Ketua Majelis Hakim, Didik Wuryanto. Diduga, kasus AKI merupakan aliran sesat. Pasalnya, kesesatan itu bisa dilihat dari beberapa hal seperti tidak ada kewajiban menjalankan shalat dan puasa Ramadan, menyamakan Allah dengan iblis dan manusia, menggunakan atribut Islam untuk melakukan ritual yang bertentangan dengan ajaran, dan lain-lain. Pada Selasa, 13 Maret 2012, majelis hakim menjatuhkan vonis empat tahun penjara kepada terdakwa. Seusai putusan dibacakan, terdakwa mengajukan banding karena semua pembelaannya ditolak.

Lalu ada kasus yang hanya sampai kepolisian, Sebagai contoh kategori ini adalah kasus menimpa Warseno (34). Ia diduga seorang dukun penyebar isu kiamat di Desa Taruman, Kecamatan Klambu, Kabupaten Grobogan. Dia ditangkap tim gabungan aparat keamanan pada Jum’at, 9 Maret 2012. Dirinya diduga telah mengumumkan bahwa hari kiamat akan datang pada bulan Maret 2012. Kemudian, aktifitas lainnya yang dianggap sesat tersebut seperti dalam pertemuan rutin bersama jemaahnya untuk melakukan kegiatan dogmatis yang tidak lazim. Yakni, dalam waktu dekat langit akan tergulung, laut utara dan selatan akan bertemu sehingga terjadi banjir setinggi 70 meter.

Memang, awalnya Warseno berkedok sebagai paranormal atau tabib yang dapat mengobati orang. Namun belakangan terungkap kalau Warseno telah mengembangkan aliran yang oleh masyarakat setempat dianggap sesat. Setelah di introgasi aparat, ia tidak terbukti melakukan tindak pidana dan pada akhirnya ia dilepas pihak yang berwajib. Namun, ia tak berani pulang ke rumah dan memilih untuk tinggal sementara di Demak.
Kedua, adanya pencegahan melalui peraturan berdasarkan tekanan dari pihak tertentu. Di Kota Tegal, Walikota Tegal Ikmal Jaya mengeluarkan Surat Edaran bernomor: 451.1/008 tertanggal 02 Februari 2011. Surat tersebut berisi untuk mewaspadai Aliran Syiah Imamiyah yang dianggap tidak sesuai dengan syariat agama yang benar dan berkembang di kota Tegal.

Surat ini dikeluarkan sebagai respon atas permintaan beberapa pihak yang menginginkan pelarangan aliran Syiah. Mereka mendatangi Walikota Tegal, pada Jumat (28/1). Mereka menyampaikan adanya keprihatinan terhadap adanya aliran baru yang bernama Islam Syiah Imamiyyah. Pihak-pihak tersebut meminta pemkot mengeluarkan surat yang melarang aliran Syiah beredar di Kota Tegal. Namun, lanjut Ikmal, lantaran yang diminta produk hukum, dia tidak bisa menuliskannya sendiri. Ikmal meminta waktu untuk membahas permintaan larangan tersebut dengan unsur pimpinan pemerintah. Sebab, dijelaskan Ikmal, bagaimana pun secara hukum tata negara tidak diperbolehkan membuat aturan yang bertentangan dengan aturan di atasnya. Akhirnya, Walikota Tegal “hanya” mengeluarkannya dalam bentuk Surat Edaran. Surat ini secara langsung memiliki keterkaitan dengan aspek kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Ketiga, diselesaikan dengan tidak dibubarkan (dilakukan pengawasan dan pembinaan). Ini terjadi pada kasus berikutnya yang diduga mengandung dimensi freedom of religion and belief adalah Padepokan Padang Ati (PPA) pada tanggal 26 Maret 2011. PPA terletak di Dusun Semutan, Desa Jetak Sari Pulokulon, Grobogan. Padepokan supranatural ini didirikan Suranto alias Mbah Suranto. Ia seorang kuli bangunan yang ditengarai berdomisili di RT 5 RW 13, Desa Kertajaya, Kecamatan Padalarang, Bandung. Ciri khas padepokan ini mempunyai buku saku setebal 31 berisi risalah doa-doa bernama Tanwirul Qulub.

Diantara kegiatan yang dianggap sesat dan meresahkan masyarakat yaitu kegiatan mbah Ranto meminta secara suka rela kepada orang (pengikut) yang yakin dan butuh bantuan supaya meminjamkan istri kepadanya. Kepatuhan para pengikut Mbah Ranto disebabkan keyakinannya mereka akan kewaliannya. Sebagai tindak lanjutnya, melalui Kasi PENAMAS Kemenag Grobogan, pihaknya tidak hanya akan fokus pada pengawasan dan pemantauan. Mereka juga akan melakukan pembinaan terhadap para anggota PPA supaya kembali ke ajaran yang benar.

Peristiwa tersebut memunculkan dua tindakan yang bisa diidentifikasi dan memiliki korelasi dengan dugaan pelanggaran terhadap prinsip kebebasan beragama yakni, pengawasan dan pembinaan terhadap pengikut PPA. Pengawasan, secara tidak langsung merupakan langkah pembatasan yang membuat penganut sebuah agama terenggut kebebasannya. Sementara pembinaan, mengandaikan bahwa penganut ajaran atau keyakinan tertentu perlu dikembalikan pada satu tafsir atas keyakinan tertentu.

Selanjutnya pada kasus sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemkab Purbalingga diduga terindikasi ikut aliran sesat. Hal ini dimungkinkan muncul karena adanya kesalahan dalam penfsiran ajaran agama. Ditegaskan pula bahwa pelarangan mengikuti atau bahkan menyebarkan aliran sesat tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama. Dijelaskan, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa larangan dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia.  Pada kasus ini, para PNS yang telah terindikasi diberikan arahan dan bimbingan oleh Pemkab setempat.

Keempat, aliran yang dianggap “sesat” lalu diselesaikan dengan pembubaran, Pada tanggal 11/4/2011 di Cilacap ramai diberitakan kehadiran Komunitas Millah Abraham (Komar). Ajaran ini mengadopsi tiga kitab suci. Yakni, Alquran, Taurat, dan Injil. Mereka berkembang di wilayah Kecamatan Cilacap Selatan, Cilacap Tengah, dan Cilacap Utara. Ketuanya adalah Sudarno, warga RT 6 RW 2, Desa Kuripan, Kecamatan Kesugihan. Anggota Komar menjalankan shalat ritual atau wajib yang dilaksanakan sekali sehari pada sepertiga malam, dengan minimal tiga rakaat dan maksimal 11 rakaat. Usai shalat, mereka menghafal ayat Alquran atau Injil. Selain itu, anggota Komar juga melaksanakan shalat aplikasi, yang dilakukan dengan cara berbuat kebaikan terhadap sesamanya dan tidak berdusta. Ajaran komar ini dihentikan sekaligus dibubarkan oleh pemerintah (MUI Cilacap, Kepala KUA Cilacap & Kapolsek Cilacap).

Para pengikut Komar berkeyakinan penuh bahwa ajaran Muhammad menyambung kepada Yesus. Sedangkan ajaran Yesus menyambung kepada Musa, karena mereka adalah anak-anak Abraham. Ajaran itu menyebar ke 11 kabupaten/kota yang meliputi Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Kebumen, Tegal, Pekalongan, Brebes, Semarang (Kecamatan Semarang Timur dan Semarang Barat), Kudus, Karanganyar, Solo, dan Sukoharjo.

Peristiwa yang terjadi di Cilacap ini mengandung setidaknya dua komponen tindakan yakni penghentian dan pembubaran. Keduanya sangat berkaitan dengan hak menganut agama dan keyakinan serta hak untuk beribadah dan berjamaah. Posisi negara harusnya menghormati (to respect) terhadap apa pun keyakinan warga negaranya.

Selanjutnya kasus Sheh Abas Maulana Malik Ibrahim, Pemerintah Kabupaten Temanggung melalui Kantor Kesatuan Kebangsaan Politik (Kesbangpol) telah membubarkan aliran Sheh Abas Maulana Malik Ibrahim di Desa Danurejo, Kecamatan Kedu. Aliran ini dianggap meresahkan dan mengganggu kondusifitas masyarakat. Hal itu terkait keberadaan perkumpulan masyarakat yang tampaknya ditemukan kegiatan dan ideologinya mengarah kepada pembentukan aliran sesat. Perkumpulan yang dipimpin Bapak Sukir inilah pelan namun pasti keresahan dan ketidaktentraman warga mulai bergejolak. Lantaran ia mengajak beberapa pengikutnya dengan membangun punden di salah satu pemakaman yang dianggap sakral dan suci. Atas dasar bangunan punden kuburan itulah yang ternyata melanggar peraturan Desa Danurejo dengan menyalahi tata ruang pemakaman yang sudah menjadi kesepakatan warga. Tak pelak muncullah pro dan kontra terkait akan pembongkaran secara paksa oleh masyarakat setempat.

Sumber: Sumber: http://elsaonline.com/?p=1439


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...