Oleh: Agus Hernawan*
Sastra dan pasar. Hubungan keduanya, barangkali, menyerupai perselingkuhan. Ia sesuatu yang mengasyikkan, tetapi juga mencemaskan. Ada hal yang dianggap normatif, semacam pakem tentang sesuatu yang tak bisa dijual.
Sementara, pasar jelas adalah persoalan bagaimana sebuah produk harus memiliki kemolekan dan kekuatan bujuk rayu. Selain itu, pasar menuntut daya saing dalam capaian-capaian inovasi yang tak mengenal ujung. Nah,di sinilah masalahnya. Dunia sastra kita tak punya perbendaharaan pada persaingan yang wajar dan rasional.
Sebaliknya, dunia sastra kita lebih kaya dengan khazanah persaingan yang berarti permusuhan, kebencian lengkap dengan praktik-praktik culas, juga tipu daya. Kembali ke soal hubungan sastra dan pasar. Di tengah-tengah pewarisan kelisanan, baik tahap pertama maupun kedua, ditambah beban mission-sacred (misi suci) beserta citraan kepujanggaan yang agung, sastra (dengan “s” kapital) agaknya tetap berhasrat membuat jarak dengan pasar.Sementara, pasar jelas adalah persoalan bagaimana sebuah produk harus memiliki kemolekan dan kekuatan bujuk rayu. Selain itu, pasar menuntut daya saing dalam capaian-capaian inovasi yang tak mengenal ujung. Nah,di sinilah masalahnya. Dunia sastra kita tak punya perbendaharaan pada persaingan yang wajar dan rasional.
Ada keengganan di sini.Keengganan yang disebabkan oleh kesan pasar sebagai sesuatu yang kotor dan rendah, yang kontras dengan sastra (dengan “s” kapital) dalam romantisme sebagai bacaan elite,mungkin juga “sakral”. Sekadar perbandingan, di masa silam, dalam kuasa kolonialis-imperialis yang menyakitkan, melalui Multatuli, Marco, sejumlah tonil yang dikarang Syahril dan Tjipto, juga melalui sastra lisan, seperti Hikayat Perang Sabil.
Sastra pernah dielukan karena ia menawarkan apa yang disebut sebagai alternative reality. Berkat tawaran alternative reality ini, sekian waktu, sastra menjadi bagian dari sebuah dunia yang sedang diimajinasikan, sebuah dunia yang masih di seberang kenyataan. Pada masa itu, melalui karya-karya sastra yang sebagian akan dicap sebagai “bacaan liar” oleh pemerintah kolonial Belanda, pesan-pesan mesianis, juga mimpi-mimpi tentang Ratu Adil, dibisikkan.
Memang, tidak ada relasi langsung antara teks sastra yang masih hidup dalam lingkup terbatas dan amuk buruh di perkebunan dan pembakaran ladang tebu yang jamak terjadi, tetapi jelas sulit untuk menafikan sejenis kaitan antara pikiran-pikiran subversif yang ditawarkan kesastraan dengan terbitnya sikap antikolonialisme di kalangan pribumi terjajah.
Bahkan, imajinasi kebangsaan—apa yang terkesan menjadi olok-olok di kalangan elite politik pada hari—sebagai satu produk pikiran yang subversif di hadapan realitas kolonial yang hierarki, diskriminasi,dan menindas dengan jelas membayang dalam Syair Rempah-rempah Marco. Seandainya Aku Seorang Landa… (Als ik een Nederlander was…), tulisan Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara yang pertama kali terbit dalam bentuk selebaran pada 1913, jadi semacam “letusan bedil tanpa suara”bagi realitas kolonial.
Di balik kata “seandainya” itu, tulisan Soewardi membentangkan satu pikiran yang subversif, tabu, sekaligus menyodorkan alternative reality.Kita mungkin akan menemu sebuah tapal dengan sebuah dunia alternatif yang berada di seberangnya, di balik sebuah pengandaian dan sebuah tulisan.
Hal yang sama berlangsung pada surat- surat Kartini yang diterbitkan dan diberi judul Door Duisternis too Licht (Dari Gelap menuju Terang) oleh J.H.Abendanon. Judul ini menyiratkan mission-sacred politik balas budi, beserta kesuksesannya. Namun, di tangan Armijn Pane surat- surat itu diterjemahkan dan diberi judul baru: Habis Gelap Terbitlah Terang. Judul Armijn, selain mengeksplisitkan mission-sacred politik kebangsaan, juga memulangkan makna “gelap” itu ke realitas kolonial.
Kemudian, seiring terjadinya perombakan struktural: dari sinyo dan menir ke priyayi lokal dan elite nasional,kesastraan agaknya masih terus dihinggapi mission- sacred,dan terus berkutat pada upaya penggalian pikiran-pikiran subversif dan alternative reality. Hoa Kiauw di Indonesia karya Pramudya Ananta Toer, menjadi momen korektif yang sukses mengantarkan penulisnya ke dalam jeruji penjara.
Momen korektif ini, khususnya upaya penggalian alternative reality, demikian bergemuruh seiring terbentuknya Lekra pada Agustus 1950. Lekra yang memilih resos (realisme sosialis) sebagai aliran dan gaya dalam penciptaan karya sastra, melalui “turba”, melalui pemakaian bahasa sederhana, dan melalui karya yang condong jadi slogan,terkesan berkeinginan untuk menjadikan kesastraan sebagai momen korektif dengan pikiran-pikiran subversif dan tawaran alternative reality.
Kesastraan sebagai momen korektif dengan pikiran-pikiran subversif dan tawaran alternative reality menjadi absen, setelah jatuhnya Orla dan naiknya rezim feodal-militer Orba.Pada masa itu, seperti pernyataan Parakitri yang dikutip David T. Hill dalam salah satu kertas kerjanya, sastra tinggal protes tersamar dengan inovasi teknik dan bentuk lebih ditonjolkan. Ia cenderung jadi sekadar “moment of beauty”di bawah ideologi tunggal kekuasaan, dan kehilangan komitmen sosial, serta terisolasi dari problem-problem sosial.
Hanya pada sejumlah karya Rendra, Wiji Tukul,dan terbitnya sejumlah karya eks-tapol, momen korektif itu kembali muncul dan Indonesia kembali dibincangkan sebagai satu realitas yang belum selesai.
***
Era sastra dengan mission-sacred kebangsaan yang demikian meletup-letup mungkin memang sudah kelar. Begitu pun era sastrawan dengan tampilnya sebagai pujangga, hero, dan sesosok satria di atas pelana kuda. Keduanya, baik beban mission-scared maupun citraan kepujanggan, terkesan demikian identik dengan dunia laki-laki. Sebuah dunia eksterior dan dunia makro yang acap mengabaikan yang interior,mikro,dan remeh. Apa yang justru akan tampil sebagai mission-sacred di pangkal abad yang lain.
“Proses politik 30 tahun yang bangsat”, mengutip salah satu lirik puisi Afrizal Malna, dengan gampang dapat dijadikan kambing hitam atau biang keladi, berakhirnya era “laki-laki”itu. Namun,pembusukan kebangsaan yang dilakukan oleh proses politik yang bangsat itu sesungguhnya tidaklah menjadi faktor penentu. Memang dalam proses politik tersebut berlangsung depolitisasi sastra dan isolasi sastrawan dari problem-problem sosial.
Tetapi, agaknya ada faktor lain yang boleh jadi justru penentu, yakni proses ekonomi nasional. Bergeraknya sistem ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi yang berorientasi pada pasar telah menuntut sejumlah konsekuensi,sekaligus membawa sejumlah perubahan penting dalam kesastraan.
Memang, sampai akhir 90-an, pasar sastra masihlah pasar yang belum jelas. Mission sacred kebangsaan yang mungkin menjadi “nilai jual” dan telah membawa sastra jadi “bacaan wajib” kalangan muda terpelajar di pangkal abad lalu, pada abad ini agaknya sudah bergeser (atau digeser) ke marjin. Saman karya Ayu Utami menjadi karya sastra yang tergolong karya laris, sekaligus membuka kemungkinan sastra menjadi ‘komoditas” di tengah-tengah pasar yang cerewet dan serba mengatur.
Dalam Saman, meski masih memuat jejak mission-sacreddi pangkal abad lalu, yang ditonjolkan adalah tubuh.Tubuh didedahkan secara gamblang dan dijelmakan jadi medan pertarungan, perlawanan, sekaligus pembangkangan. Namun, tubuh dalam Saman bukanlah “tubuh sosial”, tetapi “tubuh individual” yang akan menjadi mission-sacred dan menggeser kebangsaan sebagai “tubuh sosial” dan mission-sacred di pangkal abad yang lalu.
Tampilnya “tubuh individual” sebagai mission-sacred, sepertinya khas tuntutan pasar abad kini. Memang,di pangkal abad lalu,Marco dalam sejumlah novelnya telah mulai menyoal tubuh individual ini. Tetapi, pasar menolak dan Marco pun beralih menulis “tubuh sosial”. Bahkan, beberapa tahun kemudian, Belenggu ditolak oleh Balai Pustaka yang puritan dan sekian waktu dianggap novel cabul.
Kecenderungan pada “tubuh sosial” barangkali terkait dengan adanya tuntutan pasar yang didominasi oleh dunia laki-laki, terlepas apakah laki-laki pembaca mayoritas atau tidak. Hal ini, tentu berpangkal pada tradisi sastra kita yang sepenuhnya dimonopoli dunia laki-laki yang berada di balik tembok-tembok istana para raja.Karena itu, bukan hal yang aneh bila tematik perempuan, baik ditulis oleh perempuan atau pun laki-laki, cenderung meneguhkan kekuasaan patriarki,atau minimal hadir sebagai perempuan-perempuan yang bukan “sebagaimana adanya”, tetapi “sebagaimana mestinya”di dalam “tubuh sosial”yang dikonstruksi laki-laki.
Namun, pasar sastra berkehendak lain di pangkal abad kini. Bila di sepanjang abad lalu tuntutan pasar yang didominasi dunia laki-laki dan “tubuh sosialnya”, maka dipangkal abad kini tuntutan pasar terkesan didominasi oleh dunia perempuan dan “tubuh individualnya”. Di sini, boleh jadi dunia laki-laki dan “tubuh sosialnya” sudah demikian membosankan. Atau, boleh jadi juga perubahan kehendak pasar itu terhubung dengan tampilnya perempuan sebagai pembaca mayoritas.
Apa yang tentu sangat mungkin terjadi. Dari sini, motif yang “ideologis” sifatnya menyeruak tanpa bisa dielak. Motif ini memberi peluang bagi tampilnya perempuan penulis, dan berandil melahirkan gelombang perempuan penulis yang melampaui jumlah perempuan penulis sepanjang abad yang lalu.
*Agus Hernawan, Penyair, bergiat dalam Roda for Education and Culture
Sumber: http://sastra-indonesia.com/2011/09/sastra-pasaran/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...