Oleh: Elva Yusanti
Abstrak
Analisis Wacana Kritis (AWK) yang terdapat dalam tulisan ini merupakan upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subjek (penulis) yang mengemukakan suatu pernyataan. AWK dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa. Konsep sentral AWK adalah ideologi yang memproyeksikan suatu sistem nilai atau pandangan dunia tertentu.
Dalam teks naratif, menurut Roger Fowler, ideologi dikomunikasikan melalui bahasa teks. Dalam novel Sengsara Membawa Nikmat, ideologi diproyeksikan melalui dialog dan pernyataan narator.
Katakunci: ideologi, wacana, analisis wacana kritis
Abstract
Critical Discourse Analysis (CDA) in this writing is an effort to find out the hidden meaning from subject (the writer) who makes a statement. CDA is used to break the power in every language process. Central concepts of CDA is the ideology which projects a value system or world view. In narrative text, according Roger Fowler, ideology is communicated by a language of text. In Sengsara Membawa Nikmat, ideology is projected by dialogues and narrator’s speech.
Keywords: ideology, discourse, critical discourse analysis
1. Pendahuluan
Sengsara Membawa Nikmat (SMN) adalah novel yang berlatar belakang sosial dan kultur masyarakat Minangkabau tahun 1920-an. Novel yang dikarang oleh Tulis Sutan Sati ini bercerita tentang perjalanan hidup Midun, laki-laki Minangkabau yang digambarkan sebagai seorang yang alim, santun budi pekertinya, rendah hati, sehingga disenangi dan disegani masyarakat di kampungnya. Satu-satunya orang yang membenci Midun adalah Kacak, kemanakan Tuanku Laras, petinggi di kampung tersebut. Sebenarnya Kacak sangat dibenci pula oleh penduduk kampung, akan tetapi karena pamannya memiliki kedudukan penting di kampung itu maka orang pun takut kepadanya.
Kesengsaraan yang dialami Midun juga diakibatkan karena kecemburuan dan kebencian Kacak. Konflik yang terjadi di antara mereka berdua menyebabkan Midun, sebagai masyarakat kelas bawah, harus menanggung akibatnya. Midun sering mendapat hukuman, mulai dari masuk penjara sampai dibuang dari negerinya. Akan tetapi, karena Midun tergolong orang yang sabar, kesengsaraan tersebut pada akhirnya berbuah kenikmatan.
Sebagai sebuah novel yang muncul pada tahun 20-an, pemakaian bahasa dalam SMN sangat khas dan artistik. Berbagai kiasan dan ungkapan yang mendominasi SMN adalah salah satu ciri kekhasan novel-novel angkatan 20-an. Di samping itu, pemilihan kata, penggunaan gaya, serta pemanipulasian bahasa yang menimbulkan efek estetis, menunjukkan bahwa peranan bahasa dalam karya sastra sangat mendukung makna yang ingin disampaikan pengarang.
Pemakaian bahasa dalam teks sastra berbeda dengan pemakaian bahasa pada teks nonsastra. Menurut Julia Kristeva (Hermawan, 2009: 118) ”teks sastra merupakan mosaik kutipan yang berlapis-lapis yang membentuk struktur dialogis dan polyphonous” sehingga bahasa dalam sastra bukan sekadar deretan kata yang memunculkan makna tunggal, melainkan juga menghadirkan pengalaman hermeneutis yang multidimensi. Menurut Grondin (2007: 253) pengalaman hermeneutis tersebut mengisyaratkan adanya inflasi bahasa, yakni makna bahasa telah bergerak sedikit lebih jauh dan tidak lagi membatasi diri pada apa yang mampu diperkatakan diskursus tentangnya. Memaknai bahasa tidak lagi secara komprehensif tetapi juga menyelinap ke balik bahasa yang diucapkan. Dengan demikian, meskipun teks, menurut Pradotokusumo (2002: 23), secara harfiah didefinisikan sebagai ungkapan bahasa yang menurut pragmatik, sintaktik, dan semantik merupakan satu kesatuan, teks sastra lebih menekankan konteks dalam pemaparannya. Menurut Halliday dan Hasan (1992: 6) konteks adalah “jembatan antara teks dan situasi tempat teks betul-betul terjadi”. Konteks biasanya mendahului teks, artinya situasi dalam kehidupan lebih dahulu ada daripada teks (wacana) yang berhubungan dengan situasi tersebut.
Malinowski (dalam Halliday dan Hasan, 1992: 8) memaparkan bahwa ada dua macam konteks yang diperlukan untuk memahami sebuah teks (wacana), yaitu konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan dalam teks, tidak hanya lingkungan tutur (verbal), tetapi juga lingkungan keadaan tempat teks diucapkan; sedangkan konteks budaya adalah latar belakang budaya teks secara keseluruhan, baik bersifat praktis maupun ritual.
Sebagai suatu teks, karya sastra dapat dipandang sebagai wacana sehingga dapat pula dianalisis melalui analisis wacana kritis (critical discourse analysis/CDA). Analisis wacana kritis (selanjutnya disingkat AWK) mempelajari tentang dominasi suatu ideologi serta ketidakadilan yang dioperasikan melalui wacana dan wacana sastra merupakan salah satu bentuk ideologi atau pencerminan ideologi tertentu (Darma, 2009: 195). AWK berawal dari pandangan kritis yang menyebutkan bahwa bahasa yang dipahami dalam wacana tidak dipusatkan pada kebenaran atau ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran, tetapi paradigma ini lebih menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna (Eriyanto, 2003: 6). AWK dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa. Bahasa adalah faktor penting dalam AWK karena bahasa dapat digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat. AWK melihat wacana –pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan- sebagai bentuk dari praktik sosial sehingga menyebabkan adanya hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu, dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. AWK juga menyelidiki bagaimana kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing melalui bahasa (Norman Fairclough dan Ruth Wodak dalam Eriyanto, 2003: 7). Dengan demikian, AWK dapat didefinisikan sebagai proses penguraian untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) sekaligus berusaha mengungkapkan maksud tersembunyi dari subjek (penulis) (Darma, 2009: 49).
Berdasarkan pandangan para tokoh AWK, seperti Teun A. van Dijk, Norman Fairclough, dan Ruth Wodak (dalam Eriyanto, 2003: 7), analisis ini memiliki lima karakteristik yang dapat diterapkan dalam penganalisisan karya sastra. Karakteristik tersebut, yaitu:
1. Tindakan: wacana dipahami sebagai tindakan (action) yang dilakukan oleh pengarang.
2. Konteks: wacana berada dalam situasi sosial (konteks) tertentu, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi.
3. Historis: wacana ditempatkan dalam konteks historis tertentu.
4. Kekuasaan: wacana tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan.
5. Ideologi: wacana dipandang sebagai medium untuk menyampaikan ideologi.
Di antara kelima karakteristik tersebut, ideologi merupakan konsep sentral dalam AWK. Ideologi dalam karya sastra memproyeksikan suatu sistem nilai atau pandangan dunia tertentu, terutama pandangan yang disampaikan pengarang secara implisit melalui karyanya. Ideologi atau pandangan dunia tersebut terproyeksikan melalui manifestasi kebahasaan sekaligus melatarbelakangi sudut pandang atau perspektif tokoh-tokoh dalam karya sastra (Budiman, 1994: 41). Sudut pandang ideologis (ideological point of view) dalam teks naratif, menurut Fowler (1990: 130), merupakan seperangkat nilai atau kepercayaan yang dikomunikasikan melalui bahasa teks. Muatan ideologi ini akan teridentifikasi melalui bahasa dalam teks.
Sebagai salah satu produk kesusastraan klasik, SMN juga dapat dikaji dari perspektif kritis. Hal ini sesuai dengan pandangan Sikana (2009: 340) yang mengatakan bahwa sastra klasik tetap memiliki manfaat dan benang merah dengan sastra modern. Meskipun novel ini berlatar belakang tahun 20-an, ideologi yang terkandung di dalamnya bisa diselaraskan dengan kondisi kekinian. Dalam novelnya tersebut, muatan ideologi yang disampaikan Tulis Sutan Sati terefleksi melalui dialog para tokoh dan pernyataan narator (pencerita). Sebagai pengarang, Tulis Sutan Sati tidak melibatkan diri secara eksplisit. Dia hanya bertindak sebagai pengamat cerita dan mengungkapkan ideologi tersebut melalui sudut pandang orang ketiga yang ditandai dengan penggunaan kata ganti dia, nya, atau mereka. Penggunaan sudut pandang ini membuat pengarang lebih leluasa mengungkapkan idenya sehingga pihak-pihak yang sebenarnya langsung menjadi sasaran kritikan pengarang tidak merasa tersinggung.
Di samping itu, penggunaan beberapa gaya bahasa, kiasan, dan peribahasa dalam tuturan para tokoh menunjukkan konteks sosial SMN yang berlatar belakang budaya Minangkabau pada zaman penjajahan kolonial. Bahasa yang digunakan masyarakat pada masa itu secara tidak langsung juga menunjukkan status sosialnya. Tuturan dengan menggunakan simile, personifikasi, atau aliterasi biasanya digunakan oleh masyarakat dari kalangan berpendidikan dan berakhlak, sedangkan sarkasme digunakan oleh oknum-oknum yang memiliki kekuasaan sehingga berhak memperlakukan orang dengan sewenang-wenang.
Sumber: Jurnal Mlangun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...