Oleh: Ricky A. Manik
Abstrak
Kajian dilakukan terhadap kumpulan cerpen Salju di Paris karya Sitor Situmorang. Kumpulan cerpen ini mempunyai latar/setting yang berbeda, yakni Eropa (secara tempat dan sosial sebagai reperesentasi entitas Barat) dan Indonesia–sebagai representasi entitas Timur. Dalam kumpulan cerpen ini sebagai benang merahnya menghadirkan dua kebudayaan yang berbeda, yaitu Timur dan Barat yang berhubungan dengan kehidupan Sitor Situmorang. Sitor menerima pendidikan ala Barat dari kolonialisme semenjak duduk di bangku sekolah.
Kolonialisme ini menimbulkan keinginan Sitor untuk bebas dan merdeka dari penjajahan. Ketertarikannya akan budaya dan kehidupan Barat merupakan keinginannya untuk lebih mendalami di bidang seni dan kesusastraan, baginya kebudayaan tempat dia dilahirkan tidak bisa dilupakannya. Hal tersebut menjadi suatu yang unik dan khas yang tidak dimiliki oleh bangsa Barat, yakni dari aspek religius dan mistik.
Simbol-simbol yang hadir dalam kumpulan cerpen tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kehidupan Sitor Situmorang sebagai pengarang. Kehidupan dengan kebudayaan yang berbeda menjadi indeksikal ditemukannya simbol Timur dalam bentuk Kolektivitas, Religiusitas, dan Mistis. Sedangkan simbol Barat ditemukan dalam bentuk Individualisme, Nasionalisme, dan Eksistensialisme.
Kata Kunci: Individualisme, Eksistensionalisme, dan Religuitas.
1. Latar Belakang
Sastra yang terbawa oleh bahasa yang menjadi alat pengucapannya, sejak semula memperlihatkan kecenderungan kepada simbolisme. Sastra menggunakan bahasa sebagai medium merupakan institusi sosial dengan teknik tradisional, seperti simbolisme dan mantra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat (Wellek & Waren, 1995: 109).
Dalam memahami karya-karya Sitor Situmorang (dibaca : SS) dibutuhkan pengetahuan mengenai latar belakang sosial budaya yang mempengaruhinya, sehingga menciptakan karya yang erat pengaruhnya dari kebudayaan tempat pengarang itu berada. Dikemukakan Abrams dalam Pradopo (2002: 59), bahwa sastrawan sebagai anggota masyarakat tidak lepas dari tata masyarakat dan kebudayaannya. Semuanya itu sangat berpengaruh dalam karya sastranya ataupun tercermin dalam karya sastranya. Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan-keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.
Sitor Situmorang hidup dalam pengembaraan, seperti di Belanda, Perancis, Jepang, dan daerah-daerah lain, sehingga kebudayaan di sana mempengaruhi karya-karyanya. Simbolisme berpengaruh dalam karya-karya SS walaupun dia sendiri tidak pernah mengakuinya.
Lingkungan budaya di Indonesia yang membesarkan SS telah menyiapkan tanah yang subur untuk menumbuhkan simbolisme di dalam karya-karyanya. Kecenderungan timbulnya simbolisme SS didasarkan pada kebiasaannya yang berbicara tidak langsung dengan mempergunakan berbagai lambang.
Simbolisme merupakan aliran yang berkembang di Perancis sekitar tahun empat puluhan akhir abad ke-19 (Sastrowardoyo, 1980: 57). Simbolisme juga ditemukan di dalam gaya persajakan yang lebih tua, tradisi sastra masyarakat Melayu, dan di negeri-negeri lain di Asia. Sekalipun alasan-alasan simbolisme itu tidak dirumuskan secara arif seperti di Perancis, oleh penyair-penyair Baudelaire, Rimbaud dan Mallarme, tetapi asas dan niat di balik gejala simbolisme di dalam sastra tradisional itu dikatakan sama. Sitor Situmorang rupanya tanpa sadar menerima akan hal itu. Pujangga Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, dan Sanusi Pane dipengaruhi oleh gerakan Delapan Puluh di negeri Belanda sekitar dua puluh tahun akhir abad ke-19, sedangkan SS meneladan aliran Simbolisme Perancis dari masa yang hampir bersamaan (Sastrowardoyo, 1980: 66-67).
Ketertarikannya dengan kehidupan dan kebudayaan Barat tidak membuat SS lupa dengan tanah airnya Indonesia. Sitor Situmorang memandang kehidupan dan kebudayaan Barat tidak bermakna bila dipandang dari segi rohani kebudayaan Timur dan Indonesia khususnya. Prof. A.H. Johns (dalam Harry Avelling, 2002: 58-59) mengatakan ”SS adalah seorang “penyair di antara dua dunia. Pengaruh kebudayaan Barat begitu disadarinya, tetapi kebudayaan tempat dia dilahirkan bisa dilupakan”.
Kehidupan yang berpindah-pindah dari lingkungan budaya satu dengan budaya yang lain menciptakan karya SS tidak saja dipengaruhi budaya Timur, tetapi juga budaya dan kehidupan Barat. Kebudayaan ini kemudian diserap dan dihadirkan melalui karya-karyanya, baik puisi maupun cerpen. Simbolisme Timur dan Barat yang diciptan SS dapat dilihat dari karya-karyanya berupa sajak, seperti “Sajak Gadis Bali”, “Matinya Juara Judi”, “Surat Kertas Hijau”, “Wajah Tak Bernama”, “Kebun Binatang”, “Si Anak Hilang”, “The Rites of the Bali Aga”, “Malam Lebaran”. Semua itu mengidentifikasikan SS lebih dikenal sebagai seoarang penyair ketimbang seorang cerpenis atau esais. Hal ini memang cukup beralasan karena SS lebih banyak menerbitkan kumpulan sajak dibandingkan dengan kumpulan cerpen dan esai-esainya.
Karya SS yang berbentuk cerpen memang tidak produktif. Dari tahun 1956 hingga sekarang, SS hanya menerbitkan 4 kumpulan cerpen, yaitu Pertempuran dan Salju di Paris (Jakarta: Dian Rakyat, 1956, 99 halaman; berisi enam cerpen), Pangeran (Bandung: Kiwari, 1963, 78 halaman: berisi delapan cerpen), Danau Toba (Jakarta: Sinar Harapan, 1981, 56 halaman: berisi empat cerpen) dan kumpulan cerpennya yang terakhir berjudul Kisah Surat dari Legian (Jakarta: Komunitas Bambu, 2003, 86 halaman; berisi lima cerpen). Secara keseluruhan cerpen ini berjumlah duapuluhtiga cerpen.
Kumpulan cerpennya yang cukup menonjol Pertempuran dan Salju di Paris. Keduanya telah memenangkan Hadiah Sastra Nasional Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BKMN) tahun 1955/1956 untuk kategori kumpulan cerpen. Disebabkan kesulitan dalam mendapatkan kumpulan-kumpulan cerpen SS, maka dari hasil rundingan antara editor dan SS dibuatlah kumpulan cerpen yang berjudul Salju di Paris (1994).
Untuk melakukan analisis dalam melihat simbolisme Timur dan Barat dalam kumpulan cerpen Salju di Paris (baca: SDP) karya SS, penulis menggunakan pendekatan semiotik yang dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce. Diklasifikasikan berdasarkan ikon, indeks, dan simbol yang difokuskan pada kajian simbol-simbol Timur dan Barat yang terdapat dalam kumpulan cerpen tersebut.
Kumpulan cerpen SDP merupakan pemadatan dari ketiga kumpulan cerpen Pertempuran dan Salju di Paris, Pangeran, dan Danau Toba. Komposisi kumpulan cerpen SDP adalah sebagai berikut: lima cerpen diambil dari kumpulan Pertempuran dan Salju di Paris ( “Salju di Paris”, “Fontenay aux Roses”, “Harimau Tua”, “Jin”, dan “Ibu Pergi ke Sorga”), lima cerpen dari kumpulan Pangeran ( “Cinta Pertama”, “Peribahasa Jepang”, “Kereta Api Internasional”, “Kota S”, dan “Pangeran”), dan dua cerpen dari kumpulan Danau Toba (“Perjamuan Kudus” dan “Diplomat Muda”).
Kumpulan cerpen ini terbagi dua bagian--pertama, “Salju di Paris”, berisi enam cerpen yang berlatar luar negeri (Perancis, Italia, dan Jepang)--kedua, “Harimau Tua”, juga berisi enam cerpen berlatar Indonesia (Sumatra Utara dan Jogyakarta). Latar yang dikemukan dalam kumpulan cerpen ini terlihat bahwa SS hidup dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Sitor Sitomurang begitu paham mendeskripsikan situasi dan kondisi mulai dari manusianya (tokoh), desa, dan kota. Semua itu dianggap sebagai simbol suatu kondisi sosial masyarakat baik yang ada di Perancis, Itali, Jepang dan Indonesia. Keinginannya untuk memahami kebudayaan dan kehidupan Barat didapatnya setelah ia lama tinggal di Paris. Sikap individualisme bangsa Barat banyak ditemukan dalam tema-tema cerpen yang berlatar asing tersebut.
Pengaruh filsafat eksistensialis yang dikemukakan oleh Jean Paul Sartre juga menjadikan SS tertarik dalam memahami arti kehidupan pada manusia. Cerpen Salju di Paris mengungkapkan ’salju’ nerupakan simbol suatu musim dingin yang ada di Eropa (Barat) dan biasanya datang pada akhir tahun selama tiga bulan. Salju merupakan zat padat yang mengalami proses pembekuan at cair. Ketika suhu berubah menjadi panas, maka salju akan menjadi cair kembali. Karena itu salju merupakan simbol ketidakabadian dan kesunyian. Dalam persajakan Barat musim sering ditemukan makna simbolis, seperti musim semi diasosiasikan dengan hidup baru, perkembangan; musim gugur dengan kesedihan dan kehancuran; musim dingin dengan kekakuan, kemandekan, kematian (Luxemburg, 1991: 68).
Dari beberapa cerpen SS yang terdapat dalam kumpulan cerpen Salju di Paris, maka masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini simbol-simbol apa saja yang terdapat dalam kumpulan cerpen SDP, apa hubungan simbolisme Timur-Barat dalam kumpulan cerpen SDP dihubungkan dengan biografi SS.
Sumber: Jurnal Mlangun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...