Jumat, 03 Juni 2016

Dunia dan Citra Perempuan dalam Novel Raumanen Karya Marianne Katoppo: Kritik Sastra Feminis

Oleh: Yenni Hayati 
Abstrak

Novel Raumanen karya Marianne Katoppo menggambarkan perjuangan perempuan dalam kehidupan. Tokoh Perempuan dalam novel ini berusaha mengkritik secara halus budaya patriarkat yang ada dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari bermacam suku dan budaya.
Terdapat dua dunia yang digeluti oleh tokoh perempuan dalam novel ini, yaitu dunia publik yang meliputi dunia kampus, tempat tokoh Manen melanjutkan pendidikan, dan dunia domestik, yaitu lingkungan rumah tempat tokoh Manen tinggal. Citra perempuan yang digambarkan meliputi citra diri, yaitu gambaran fisik dan mental tokoh Manen, dan citra sosial, yang berupa penggambaran sosial tokoh. Feminisme sangat tergambar dalam novel ini mulai dari judul, sampai kepada unsur-unsur intrinsik, seperti tokoh, sudut pandang, dan latar.
Katakunci; dunia, citra, perempuan, feminism

Abstract
Rumanen novel written by Marianne Katopo describes about a woman struggle in her life. The woman character in this novel tries to criticize patriarchy culture system in different etnich and culture of  Indonesian society softly.  Thre are two worlds focused by the woman character in this novel, first public world of campus  where the character Manen studies there, and domestic world, the environment where she lives.    The woman image described here covering self-image that is Manen’s description of her physical appearance and  personality, and social image as social character description. This novel really reflects feminism issues beginning from the title of the novel to intrinsic elements like character, point of view, and setting.
Key words: world, image, woman, feminism.

1. Pendahuluan
Di dunia sastra (yang merupakan dunia imajinatif) banyak ditemukan karya-karya yang membahas masalah yang berhubungan dengan perempuan. Tidak peduli pengarangnya laki-laki atau perempuan itu sendiri. Dalam karya sastra yang dikarang oleh pengarang laki-laki  sering ditemukan tokoh-tokoh perempuan yang diciptakan oleh pengarang tersebut, tentu saja mereka melihat permasalahan yang dihadapi perempuan dari kaca mata mereka sebagai laki-laki. Lalu, bagaimana dengan pengarang perempuan?. Beberapa pengarang perempuan menciptaan tokoh perempuan dalam karya sastra mereka dari perspektif mereka sebagai perempuan, dan beberapa pengarang perempuan lain masih memakai pandangan laki-laki mengenai perempuan dalam menggambarkan tokoh-tokoh perempuan.

Pada awal perkembangan sastra para pengarang yang dikenal dan dikaji karyanya hanya pengarang laki-laki, padahal perempuan sudah ada sejak awal perkembangan sastra. Sebagai contoh, Hamidah dengan karyanya yang berjudul Kehilangan Mestika, Selasih dengan karyanya Kalau tak Untung, dan Suwarsih Djojopuspito dengan cerpen-cerpennya yang sebagian besar berbahasa Belanda.

Kemudian pada dekade 1950-an N.H. Dini menyemarakkan sastra Indonesia dengan karya-karyanya yang sangat bermutu dan mempunyai nilai sastra yang bagus. Prihatmi (1977) malah menempatkan N.H. Dini sebagai peringkat pertama menurut kedudukan nilai literer karya-karyanya. Kemudian pada tahun 1998 kita dikejutkan oleh kehadiran sastrawan perempuan yang dianggap sebagai pengarang yang berbeda dari pengarang lainnya. Pengarang tersebut adalah Ayu Utami dengan karya yang berjudul Saman.

Menurut Rampan (2005) hingga awal 1990 tercatat  lebih kurang 40 penulis perempuan Indonesia, baik sebagai penulis fiksi, puisi, maupun drama. Dalam tulisannya yang lain Rampan (1990) mencatat ada 22 perempuan yang menulis cerpen yang dianggap sudah memiliki nilai sastra yang cukup menggembirakan. Walaupun demikian, pengarang perempuan tetap saja belum diperhitungkan dalam perkembangan sastra di Indonesia.

Marianne Katoppo adalah salah satu pengarang perempuan yang mulai berkarya semenjak tahun 1970-an. Pada waktu itu karya sastra yang dihasilkan pengarang perempuan tidak dianggap sebagai karya sastra yang dilabeli ‘S’ (Sastra dengan huruf S besar), karya sastra pengarang perempuan dianggap sebagai karya kelas dua dengan label ‘S’ (dengan huruf kecil). Akan tetapi, Marianne Katoppo membuat karya sastranya menjadi berbeda karena keberaniannya mengusung masalah kesukuan, kebangsaan, dan masalah ketuhanan. Salah satu novel ciptaanya yang cukup fenomenal adalah Raumanen.

Novel Raumanen mengangkat permasalahan yang ditimbulkan karena sikap fanatisme kesukuan masyarakat Batak. Permasalahan tersebut menimbulkan konflik yang tidak berkesudahan pada diri tokoh cerita, yaitu Manen yang berujung pada nasib tragis yang dialaminya, yaitu bunuh diri. Novel ini unik karena pusat pengisahan yang menggunakan ‘roh’ dari Manen yang sudah meninggal. Novel ini memperlihatkan protes pengarang terhadap fanatisme budaya patriarkat Batak. Protes tersebut disampaikannya secara tersirat.

Di dalam novel ini tergambar bagaimana perempuan merasa tertekan dan harus mengalah terhadap budaya patriarkat yang ada di sekelilingnya. Ketertindasan kaum perempuan di tengah budaya patriarkat tersebut menjadi salah satu pokok kajian feminis. Oleh karena itulah, dalam mengkaji novel Raumanen digunakan kritik sastra feminis.

Sesuai dengan yang sudah dijelaskan bagian terdahulu bahwa novel ini merupakan protes terhadap budaya patriarkat Batak, masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah (1) Bagaimana unsur intrinsik novel Raumanen mengambarkan permasalahan feminis? (2) Bagaimana penggambaran dunia perempuan di tengah budaya patriarkat  dalam novel Raumanen karya Marianne Katoppo tersebut?, dan (3) Bagaimana penggambaran citra perempuan  dalam novel Raumanen?.

KAJIAN TEORI: KRITIK SASTRA FEMINIS
Dalam membahas dunia dan citra perempuan dalam karya sastra teori yang akan digunakan adalah teori kritik sastra feminis. Dalam arti leksikal, feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan kaum pria (KBB1, 2001:315). Feminisme adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, sosial, atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita (Goefe, 1996:837).

Dalam ilmu sastra feminisme berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada perempuan (Sugihastuti, 2000:37). Jika selama ini kritik sastra feminis dianggap dengan sendirinya mewakili pembaca dan pencipta sastra barat adalah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca perempuan membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya (Showalter,1985:3).

Kritik sastra feminis didefinisikan Kolodny (Djayanegara, 2000:19), seorang pengjritik feminis Amerika, sebagai berikut; "it involved, eksposing, the sexual stereotyping of women, in bom our literature and our literary critism and as well, demonstrating inadequacy of established critical schools and methods to deal fairly or sensitively with work''written by women". Pernyataan itu tersebut membeberkan perempuan menurut stereotype seksual, baik dalam kesusastraan maupun dalam kritik sastra kita, dan juga menunjukkan bahwa aliran-aliran serta cara-cara yang tidak memadai telah digunakan untuk mengkaji tulisan perempuan secara tidak adil dan tidak peka. Menurutnya mereka yang menekuni bidang sastra pasti menyadari bahwa biasanya karya sastra yang pada umumnya hasil tulisan laki-laki, menampilkan stereotype perempuan sebagai istri dan ibu yang setia dan berbakti, wanita manja, pelacur dan wanita dominan. Citra-citra perempuan seperti itu ditentukan oleh aliran- aliran sastra yang tidak cocok dengan keadaan karena penilaian yang demikian tentang perempuan tidak adil dan tidak teliti karena perempuan memiliki perasaan-perasaan yang sangat pribadi, seperti penderitaan, kekecewaan, atau rasa yang tidak bisa diungkapkan secara tepat oleh laki-laki itu sendiri. 

Dengan mengacu kepada definisi kritik sastra feminis di atas Kolodny mengemukakan beberapa tujuan terpenting kritik sastra tersebut. Pertama-tama ialah dengan kritik sastra feminis kita mampu menafsirkan kembali serta menilai kembali seluruh karya sastra yang dihasilkan berabad-abad silam. Kritik sastra feminis adalah alat bantu untuk mengkaji dan mendekati suatu teks. Pendeknya, salah satu hal yang penting dalam kritik sastra feminis adalah usaha membebaskan diri dari jerat pertentangan hierarkis antara perempuan dan laki-laki,  yang sering dipresentasikan lewat wacana. Karena adanya faktor kekuasaan di dalam relasi tersebut, adanya dominasi yang satu terhadap yang lain, sudah pada saatnya ada upaya untuk membongkar oposisi biner, oposisi terhadap feminitas dan maskulinitas; seperti yang dikatakan Moi (1985:13) tentang tujuan dari seluruh perjuangan feminisme.

Hal yang tidak dapat disingkirkan dari kritik sastra feminis adalah jiwa analisisnya. Analisis yang diterapkan adalah analisis gender. Dalam analisis gender tersebut kritikus harus dapat membedakan konsep gender dengan konsep seks (jenis kelamin). Tentang perbedaan keduanya sudah dijelaskan pada bagian pendahuluan. Dalam analisis gender penelitian harus melibatkan kedua jenis seks manusia dalam mengungkapkan kehidupan tokoh perempuan.

Konsep-konsep analisis gender dipakai sebagai dasar analisis. Konsep-konsep itu, antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, perbedaan gender adalah perbedaan dari atribut-atribut sosial, karakteristik, perilaku, penampilan, cara berpakaian, harapan, peranan, dan sebagainya yang dirumuskan untuk perorangan menurut ketentuan kelahiran. Kedua, kesenjangan gender adalah perbedaan dalam hak politik, memberikan suara, dan bersikap antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, genderzation adalah pengacuan konsep upaya menempatkan jenis kelamin pada pusat perhatian identitas diri dan pandangan dari dan terhadap orang lain, misalnya pelacur dalam bahasa Indonesia merujuk kepada penjaja seks perempuan, gigolo merujuk kepada penjaja seks laki-laki.  Keempat, identitas gender adalah gambaran tentang jenis kelamin yang seharusnya dimiliki dan ditampilkan oleh tokoh yang bersangkutan. 

Ada banyak ragam kritik feminis dalam mengkaji karya sastra, seperti ginokritik. Istilah ginokritik {gynokritics) diperkenalkan oleh Elaine Showalter sebagai salah satu dari tiga pendekatan utama kritik feminis. Pertama, membaca dengan perspektif perempuan yang mengevaluasi secara kritis kecendrungan falosentrisme dalam berbagai macam teks. Kedua, ginokritik yang berarti membaca teks-teks perempuan. Dalam pendekatan ginokritik diteliti pola-pola khusus yang muncul dan menjajaki tradisi kepenulisan para perempuan tersebut. 

Di samping ginokritik ada lagi pendekatan lain yang dikenal dengan kritik ideologis. Hal yang menjadi pusat perhatian dalam kritik ideologis ini adalah  citra serta stereotype perempuan dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang perempuan dan sebab-sebab mengapa perempuan sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan sama sekali dalam kritik sastra. Pada dasarnya, ragam kritik feminis ini merupakan cara menafsirkan suatu teks, yaitu satu di antara banyak cara yang dapat diterapkan untuk teks yang paling rumit sekalipun. Cara ini bukan saja memperkaya wawasan para pembaca perempuan, melainkan juga membebaskan cara berpikir mereka (Dajanegara, 2000: 28). Kritik ragam ideologis ini dengan sendirinya berbeda sekali dengan male critical theory atau teori kritik laki-laki yang merupakan suatu konsep kreativitas, sejarah sastra, dan penafsiran sastra yang seluruhnya didasarkan pada pengelolaan laki-laki dan yang disodorkan sebagai suatu teori semesta yang berlaku secara universal. Kritik ideologis inilah yang digunakan dalam membahas dunia dan  citra perempuan dalam novel Raumanen.

Metode yang digunakan untuk menganalisis data, yaitu metode analisis deskriptif. Setelah data dianalisis sesuai dengan teori yang digunakan, yaitu kritik sastra feminis, data dideskripsikan dan diinterpretasikan. 

Sumber: Jurnal Mlangun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...