Kamis, 02 Juni 2016

Register atau Fungsiolek Bahasa Mandailing: Sebuah Usaha Memperkenalkan dan Mempertahankan Keunikan Bahasa Lokal (Kajian Sosiolinguistik)

Oleh: Syaiful Bahri Lubis 
Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk menemukan ragam bahasa dalam komunikasi verbal  (linguistik) dan nonverbal  (nonlinguistik) yang dipakai oleh masyarakat Mandailing di Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara.
Dalam dua bentuk komunikasi tersebut ditemukan ragam bahasa yang masih sering digunakan maupun ragam sudah tidak lagi digunakan oleh masyarakat Mandailing. Berdasarkan tujuannya, komunikasi verbal terdiri atas enam ragam atau register, yaitu (1) hata somal; (2) hata andung; (3) hata adat; (4) hata teas dohot jampolak; (5) hata si baso; (6) hata parkapur. Komunikasi nonverbal meliputi lambang-lambang antara lain (1) bulung-bulung nai susun; (2) bungkus sigaret na kosong; (3) sora ni takar nai tokok dan (4) sora ni otuk atau tongtong. Data diambil dari informan yang berhubungan langsung dengan bahasa Mandailing, serta data lain sesuai dengan masalah yang dikaji. Dapat disimpulkan bahwa bahasa Mandailing termasuk ke dalam ragam hata parkapur, bulung-bulung nai susun, bungkus sigaret na kosong, dan hata andung, sudah jarang digunakan oleh masyarakat Mandailing. Meskipun demikian, bahasa Mandailing yang tergolong ke dalam ragam hata somal, hata adat, hata si baso, sora ni takar nai tokok, hata teas dohot jampolak, sora ni otuk atau tongtong masih sering digunakan oleh masyarakat Mandailing.
 Katakunci: register, fungsiolek, pemertahanan bahasa, sosiolinguistik.

Abstract

The study was conducted to find a variety of language in verbal communication (linguistic) and nonverbal (nonlinguistic) that is used by the Mandailing community in the district of Mandailing Natal, North Sumatera Province. In the two forms of communication are found regional variations, both of which are still commonly used, and the variety is no longer used by the public Mandailing. Based on the goal, verbal communication consists of six kinds or register, namely (1) hata somal; (2) hata andung; (3) hata adat; (4) hata teas dohot jampolak; (5) hata si baso; (6) hata parkapur. Nonverbal communication includes symbols such as (1) bulung-bulung nai susun; (2) bungkus sigaret na kosong; (3) sora ni takar nai tokok and (4) sora ni otuk or tongtong. Data were taken from informants that relate directly to Mandailing language, as well as other data according to the assessed problem. It Can be concluded that the language included in the range of Mandailing hata parkapur, bulung-bulung nai susun, bungkus sigaret na kosong, and hata andung,  has been rarely used by the Mandailing community. Nevertheless, Mandailing language belonging to the range of hata somal, hata adat, hata si baso, sora ni takar nai tokok, hata teas dohot jampolak, sora ni otuk or tongtong is still often used by people Mandailing. 
Keywords: register, fungsiolek, retention of the language, sosiolinguistic

1. Pendahuluan
Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau alat interaksi (Chaer, 2004:17) dan sekaligus lambang sosial umat manusia (Alwasilah, 1993:9).  Di dalam Webster’s New Collegiate Dictionary diberi batasan bahwa komunikasi merupakan proses pertukaran informasi antarindividu melalui sistem simbol, tanda, atau tingkah laku yang umum (G & C. Marriam Co., 1981:225). Dari batasan ini setidaknya ada tiga komponen yang harus ada dalam setiap komunikasi, yaitu (1) pihak yang berkomunikasi, yakni pengirim dan penerima informasi yang dikomunikasikan atau lazim disebut  partisipan; (2) informasi yang dikomunikasikan; dan (3) alat yang dipergunakan dalam komunikasi itu. 

Partisipan atau pihak yang terlibat dalam proses komunikasi setidaknya ada dua orang atau kelompok orang. Pertama, yang mengirim pesan atau disebut pengirim (sender). Kedua, yang menerima pesan atau disebut penerima (receiver). Informasi atau pesan yang disampaikan oleh si pengirim kepada si penerima disebut messenger. Pesan yang disampaikan berupa ide, gagasan, keterangan. Alat yang digunakan untuk menyampaikan informasi atau pesan tersebut dapat berupa simbol atau lambang (misalnya bahasa—karena hakikat bahasa adalah sebuah sistem lambang), berupa tanda-tanda (misalnya rambu-rambu lalu lintas, gambar, benda-benda, bunyi, atau petunjuk dll.), dan dapat pula berupa gerak-gerik anggota badan atau disebut kinesik (misalnya dipergunakan para tunarungu  untuk mengungkapkan kesedihan, kecewa, dan gembira). 

Berdasarkan alat yang digunakan itu, komunikasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) komunikasi verbal atau komunikasi bahasa dan (2) komunikasi nonverbal atau komunikasi nonbahasa. Komunikasi verbal atau disebut juga komunikasi linguistik adalah komunikasi yang menggunakan bahasa sebagai alatnya. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi ini tentunya harus berupa kode yang dipahami secara bersama-sama oleh pihak penutur dan pihak pendengar. Tentunya komunikasi verbal ini memerlukan organ bicara karena melibatkan penutur dan pendengar. Berbeda dengan komunikasi verbal, komunikasi nonverbal atau komunikasi nonlinguistik adalah komunikasi yang tidak menggunakan organ bicara atau yang disebut bahasa isyarat.

Bahasa yang digunakan dalam komunikasi verbal memiliki beberapa variasi. Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya, oleh Nababan dalam Chaer (2004:68) yang disebutnya sebagai fungsiolek, sedangkan Chaer (2004:68) mengistilahkan ragam atau register. Variasi ini biasanya berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah bahasa itu digunakan untuk keperluan apa atau bidang apa yang melingkupi.

Bahasa Mandailing merupakan salah satu dari 726 bahasa daerah yang ada di Indonesia yang juga memiliki beberapa variasi (Sugono,2005:7). Bahasa ini dipakai sebagai bahasa pengantar oleh suku bangsa Mandailing.  Suku bangsa Mandailing atau kelompok etnis Mandailing adalah salah satu dari sekian ratus suku bangsa di Indonesia. Sejak zaman dahulu sampai sekarang suku bangsa ini mendiami wilayah etnisnya sendiri secara turun-temurun yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatra Utara.

Biasanya orang Mandailing menyebut wilayah etnisnya itu dengan sebutan Tano Rura Mandailing yang artinya ‘Tanah Lembah Mandailing’. Hanya sekarang ini lebih populer dengan ‘Mandailing’, sama dengan nama suku bangsa yang mendiaminya. Bahasa yang digunakan di sana pun disebut bahasa Mandailing. Ini sesuai dengan yang diutarakan Sumarsono (2004:72) bahwa bahasa sebagai ciri pembeda keanggotaan etnik lazim ditemukan di seluruh dunia. Pada umumnya orang akan mengatakan diri sebagai anggota suatu etnik atau suku tertentu dengan ciri penting dari bahasa ibunya. Boleh jadi seseorang mengatakan “saya orang Jawa” karena bahasa ibunya bahasa Jawa, atau seseorang mendapat cap “orang Sunda” kalau dia berbicara dalam bahasa Sunda.

Bila diperhatikan lebih teliti, komunikasi yang digunakan masyarakat di Mandailing terbagi menjadi dua jenis, yaitu komunikasi verbal (linguistik) dan nonverbal (nonlinguistik). Komunikasi verbal terdiri atas enam ragam, yaitu (1) hata somal, (2) hata andung, (3) hata adat, (4) hata teas dohot jampolak, (5) hata si baso, (6) hata parkapur. Komunikasi nonverbal meliputi (1) bulung-bulung nai susun, (2) bungkus sigaret na kosong, (3) sora ni takar nai tokok, dan (4) sora ni otuk atau tongtong.  Dari semua ragam ini ada yang masih terus dipakai di Ranah Mandailing, ada pula yang sudah tidak ditemukan lagi.

Teori yang digunakan dalam makalah ini teori etnografi komunikasi yang dikembangkan oleh Hymes. Teori ini melihat tutur sebagai bagian dari interaksi sosial yang memusatkan perhatian pada ‘perabot tutur’ (means of speaking) yang mencakup informasi mengenai khasanah bahasa lokal, keseluruhan dari berbagai varietas, dialek, dan gaya yang dipakai dalam guyub atau komunitas (Sumarsono, 2004:336-337).

Sementara itu, menurut Gumperz (dalam Sumarsono, 2004:337), kita harus menyadari sepenuhnya bahwa penggunaan bahasa mengandung kaidah (rule governed) sebagaimana lazimnya tata bahasa. Dalam memilah-milah kaidah itu, kita tidak boleh memisahkan bahasa dari kebudayaan, melainkan melihat peristiwa tutur sebagai satuan-satuan terikat, yang menggambarkan miniatur sistem sosial yang di dalamnya ada norma dan nilai merupakan variabel-variabel yang bebas terpisah dari bahasa. Tugas analisis sosiolinguistik adalah menspesifikasi interrelasi antara kedua variabel itu dalam peristiwa-peristiwa tutur yang merupakan ciri khas kelompok sosial tersebut.

Menurut Hymes (dalam Sumarsono, 2004:335-336), juga Suwito (dalam Wijana, 2006:9) bahwa seorang penutur dengan mitra tuturnya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lebih dikenal dengan SPEAKING  atau dalam bahasa Perancis disebut PARLANT. Kedelapan faktor tersebut adalah S (setting/scane), yaitu tempat bicara dan situasi pembicaraan; P (participant), yaitu pembicara, mitra bicara, dan pendengar; E (end), yaitu tujuan atau maksud pembicaraan; A (act), yaitu suatu peristiwa di mana seorang penutur sedang melakukan pembicaraan (action); K (key), yaitu nada suara atau ragam bahasa yang dipergunakan untuk menyampaikan tuturan; I (instrument), yaitu alat yang digunakan untuk menyampaikan tuturan; N (norm), yaitu mencakup norma interpretasi dan norma interaksi; dan G (genre), yaitu jenis kegiatan dalam bentuk apa atau bagaimana. 

Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada yang menulis secara detail tentang ragam bahasa Mandailing, fungsinya, serta kondisi bahasa tersebut di masa sekarang ini. Lubis (www.Mandailing.org, 2004) menulis tentang bahasa Mandailing, hanya menyinggung sedikit ragam bahasa ini. Selain itu, sebuah makalah yang dibentangkan oleh penulis sendiri bersama Nur Fateha Mawardi pada Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Austronesia IV, di Denpasar tanggal 20-21 Agustus 2007 yang berjudul “Komunikasi Verbal dan Nonverbal Masyarakat Mandailing: sebuah Pemertahanan Bahasa Lokal”. Makalah ini membahas ragam atau register dalam bahasa Mandailing.

Berbagai register dalam bahasa Mandailing merupakan produk budaya yang lahir, hidup, dan berkembang di tengah masyarakat Mandailing. Pewarisannya yang berlangsung dari mulut ke mulut itu telah mengambil tempat dalam berbagai  aspek kehidupan masyarakat Mandailing, baik dalam kehidupan keagamaan, adat-istidat, maupun dalam aspek-aspek kehidupan lainnya.

Dari uraian tersebut permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu  (1) bagaimana keberagaman bahasa Mandailing dilihat dari segi pemakaiannya, (2) bagaimana pemakaian bahasa Mandailing berdasarkan tujuannya. Berkaitan dengan ini pula, tujuan penelitian ini, (1) untuk mengetahui bahasa Mandailing mempunyai ragam atau register yang berbeda-beda, (2) memberikan informasi tambahan tentang keberadaan bahasa Mandailing, peran, dan fungsi bahasa tersebut.

Metode penelitian yang digunakan menempuh beberapa tahap penelitian yang meliputi (1) tahap penyediaan data, (2) tahap analisis data, dan (3) tahap penyajian hasil analisis data. Dalam pelaksanaannya setiap tahap memiliki metodenya sendiri-sendiri. Setiap metode kemudian dijabarkan ke dalam teknik-teknik tertentu. Pengumpulan atau penjaringan data dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan untuk menjaring semua bentuk bahasa dalam bahasa Mandailing. Metode yang digunakan adalah metode partisipatoris dan deskriptif. Melalui dua metode ini data yang menunjang penelitian dijaring. Yang dimaksud dengan metode partisipatoris adalah pelibatan peneliti terjun langsung dalam kegiatan komunikasi sehari-hari sebagai penutur asli. Di samping itu, digunakan juga taperecorder untuk mendapatkan rekaman setiap pembicaraan. Data ini dijadikan sebagai data verifikasi dalam analisis data. Seluruh data yang didapat, baik melalui proses pencatatan langsung, maupun melalui proses penyimakan selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan registernya.

Sumber: Jurnal Mlangun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...