Oleh: Teuku Afifuddin, S.Sn.
(Dramaturg dan Dosen Teater di ISBI Aceh)
A. Pendahuluan
Teater sebagai seni pertunjukan dapat dinikmati bila penyajinya menguasai panggung yang merupakan ruang bagi para seniman teater menuangkan cipta. Seorang pelukis memerlukan kanvas untuk menuangkan ide agar menjadi karya, maka pelaku teater memerlukan panggung untuk menumpahkan wirasa, wiraga dan wiramanya.
Apa yang disaksikan oleh penonton di atas pentas sebenarnya sebuah hasil kerja teater. Tata pentas, properti, artistik, dekorasi, tata cahaya, musik dan penampilan aktor merupakan sebuah hasil kerja keras dan membutuhkan waktu yang lumayan lama. Mulai dari kerja aktor, komposer, perancang kostum, penata set, properti, penata cahaya dan sutradara.
Apa yang disaksikan oleh penonton di atas pentas sebenarnya sebuah hasil kerja teater. Tata pentas, properti, artistik, dekorasi, tata cahaya, musik dan penampilan aktor merupakan sebuah hasil kerja keras dan membutuhkan waktu yang lumayan lama. Mulai dari kerja aktor, komposer, perancang kostum, penata set, properti, penata cahaya dan sutradara.
Setiap pertunjukan teater mengandung drama yang menghantarkan awal hingga akhir pertunjukan. Drama menurut Moulton adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak, oleh karena itu dibutuhkan aktor yang mampu menguasai panggung untuk melukis hidup dengan gerak, suara, jiwa dan rohaninya.
Drama dalam sastra dibagi dua, tertulis dan lisan. Sastra tulis berasal dari satu orang yang disebut pengarang, sementara pada sastra lisan berasal dari dongeng, cerita rakyat dan hikayat yang disampaikan turun-temurun secara lisan, sehingga tidak diketahui siapa pengarang awalnya. Sastra lisan yang dipentaskan dikenal dengan teater tutur dimana pada peristiwa lisan tersebut hadirnya dua belah pihak yaitu pencerita dan pendengar. Menurut Lono Simatupang:
“Cerita rakyat sebagai peristiwa lisan atau tuturan melibatkan pencerita dan pendengar secara interaktif, dialogis. Pencerita dan pendengar hadir dan terlibat secara aktif dalam ruang dan waktu yang sama, kedua belah pihak saling pengaruh-mempengaruhi”
Cerita rakyat di Aceh dikenal dengan hikayat. Menurut Sulaiman Juned:
Sastra Aceh (Hikayat) merupakan sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat Aceh. Ia mempunyai kaitan langsung dengan tata cara kehidupan sehari-hari masyarakatnya, tidak hanya berfungsi sebagai hiburan tetapi berhubungan dengan kepercayaan, adat-istiadat dan tradisi.
Hikayat ada yang dibacakan dengan dendang, ada juga yang dibacakan dengan gaya teater tutur. Teungku Adnan PMTOH merupakan salah satu tokoh teater tutur Aceh yang mementaskan hikayat. Teungku Adnan mampu menghadirkan tokoh-tokoh dalam hikayat dengan aktingnya.
Hikayat oleh Teungku Adnan disajikan berbeda dari gurunya Muhammad Lapee atau dikenal dengan panggilan Mat Lapee. Proses kreativitas dari Teungku Adnan ini menjadikan tokoh dalam hikayat tersebut hidup dan berkarakter. Mat Lapee menyampaikan hikayat hanya dengan mengutamakan ekspresi wajah, sambil berdiri di atas podium dengan menggunakan pedang dari pelepah kelapa dan bantal.
Teungku Adnan dalam menyajikan teater tuturnya bermain seorang diri dengan menghadirkan banyak tokoh. Bermain sendiri pada teater modern dikenal dengan monolog. Menurut A.Adjib Hamzah monolog adalah pertunjukan drama yang dilakukan oleh seorang pemain: dialog yang diucapkan pada diri sendiri . Bila mengacu pada A.Adjib Hamzah, pertunjukan teater tutur Teungku Adnan tidaklah sama dengan pertunjukan monolog yang berasal dari Yunani. Hal ini dikarenakan Teungku Adnan menghadirkan banyak tokoh dan melakukan dialog lebih dari satu tokoh dalam setiap pertunjukannya.
“Teater tutur yang diberi nama PMTOH ini dikembangkan oleh Teungku Adnan dengan menggunakan alat musik Rapa’i Aceh, pedang, suling (flute), bansi (block flute) serta menggunakan properti mainan dan berbagai macam kostum (busana). Properti dan alat musik itu memperkaya penampilan dan sekaligus menjadi kekuatan dalam merubah kejadian-kejadian yang diperankan”
Selain properti, alat musik dan busana, pada setiap seni pertunjukan tradisional dikenal dengan kemampuan improvisasi yang begitu kuat. Improvisasi adalah pertunjukan sandiwara dan sebagainya tanpa persiapan (teks, penyutradaraan, dan sebagainya); penampilan, dialog dan sebagainya yang dilakukan secara mendadak dan di luar skenario. Kemampuan inilah yang membuat teater tutur Teungku Adnan menjadi hal yang baru dalam penyajian hikayat di Aceh.
“Kekuatan yang paling mendasarkan dalam teater tutur PMTOH adalah daya improvisasi penyaji yang sangat tinggi. Gaya komedikalnya membawakan hikayat masa lalu dikaitkan dengan peristiwa masa kini. Kemampuan Teungku Adnan menyiasati pertunjukan ternyata dapat menghadirkan sejumlah tokoh di atas pentas dengan vokal yang berubah-ubah”
Richard Bauman mengatakan bahwa dalam seni tutur (verbal arts) yang dinikmati adalah teknik pesona seorang penutur cerita. Pesona Teungku Adnan dalam menyampaikan Hikayat dengan konsep Teater Tuturnya menjadi sebuah pembaharuan dalam perkembangan sastra lisan di Aceh. Ini yang menjadikan pertunjukan Teungku Adnan diminati dan mendapatkan tempat di masyarakat Aceh.
B. Pembahasan
Teungku Adnan PMTOH lahir di Manggeng, 1 Desember 1931. Kedua orang tua Teungku Adnan memberi nama Muhammad Adnan Bin Polem. Teungku Adnan lahir dari keluarga yang sederhana. Ayah Teungku Adnan bernama Polem bukanlah seorang seniman, beliau adalah pasukan pengawal ulama Teungku Haji Muda Wali, sedangkan ibu Teungku Adnan bernama Zakiah. Teungku Adnan merupakan Anak pertama dari empat bersaudara. Beliau satu-satunya anak lelaki dan tiga lainya perempuan.
Teungku Adnan tidak tamat Sekolah Rakyat, sekolah yang setara dengan Sekolah Dasar. Selain belajar di Sekolah Rakyat, Teungku Adnan juga belajar mengaji di Dayah (pesantren), pada waktu malam hari.
“Ayah menceritakan kepada kami bahwa waktu kecil beliau tidak pernah absen dalam mengaji, walaupun kondisi cuaca hujan dan jalanan gelap. Kakek tetap memaksa ayah untuk pergi mengaji. Ayah menceritakan itu untuk memotivasi kami agar rajin mengaji. Pekerjaan ayah selain sebagai penjual obat keliling, bertani cengkeh dan pisang. Penceramah di bulan ramadhan dan hari bersar Islam. Pernah menjadi penasihat khusus bidang sosial pada masa Gubernur Aceh Prof. Ibrahim Hasan”.
Teungku Adnan PMTOH pernah mendapatkan Anugerah Budaya dalam Pekan Kebudayaan Aceh ke-IV 20 Agustus 2004 yang diserahkan Gubernur Aceh Drs. Abdullah Puteh, M.Si. 26 Desember 2004 ketika gempa dan Tsunami melanda Aceh, Teungku Adnan bukan hanya kehilangan seluruh proferti yang merupakan harta karun yang lebih 50 tahun ia pertahankan habis-habisan di Trienggadeng, beliau juga sempat terlempar ke sawah sekitar 200 meter dari rumahnya.
Teungku Adnan setelah Tsunami mengalami komplikasi penyakit Gula Darah dan Darah Tinggi serta jantung. Beliau mengalami sakit kronis di Blangpidie. Selanjutnya pada tanggal 3 Juli 2006 dilarikan ke Rumah Sakit Zainal Abidin Banda Aceh. Pukul 14.30 WIB sang Troubador perawat Hikayat Aceh itu meninggal dunia dalam usia 75 tahun pada tanggal 4 Juli 2006 di RSU Zainal Abidin Banda Aceh. Dikebumikan disamping rumahnya Gampoeng Keude Trienggadeng, Kabupaten Pidie Jaya.
PMTOH (Perusahaan Motor Transport Onderneming Hasan) adalah nama sebuah perusahaan Bus yang melayani trayek di Aceh. Teungku Adnan kagum dengan suara musik klakson dari bus PMTOH tersebut. Ia kemudian meniru dan memainkan irama klakson tersebutnya dengan hidung dalam setiap pertunjukan. Irama klakson bus PMTOH sangat familiar dalam pendengaran masyarakat Aceh saat itu, sehingga penonton menjuluki Teungku Adnan dengan sebutan PMTOH.
“Asal muasal nama itu berangkat dari peristiwa yang sangat berkesan bagi Teungku Adnan, Beliau sering menaiki bus P.M.T.O.H ketika berpergian ke seluruh Aceh untuk berdagang obat, lalu bunyi klakson bus tersebut membuat Teungku Adnan sangat berkesan. Lalu dalam setiap pertunjukannya sebagai selingan jual obat beliau tampilkan poh tem, peugah haba, dangderia. Sembari memamerkan kebolehannya berteater itu, Teuku Adnan menirukan bunyi klakson bus P.M.T.O.H, masyarakat Aceh sangat senang dengan penampilan tersebut, sehingga masyarakat seluruh Aceh memanggilnya dengan P.M.T.O.H.
Nama PMTOH kemudian tertambal dibelakang nama beliau, seperti yang disebut oleh masyarakat yaitu; Teungku Adnan PMTOH. Masyarakat juga menyebut apa yang dimainkan oleh Teungku Adnan dengan sebutan PMTOH. Kemanapun beliau melakukan pertunjukan, masyarakat menyebutnya PMTOH.
Teungku Adnan mengembangkan pertunjukan Hikayat yang dipelajari dari gurunya Mak Lapee dengan menggunakan properti yang lebih banyak dan busana dalam pertunjukannya. Teater tutur Teungku Adnan PMTOH lebih kaya dengan ekspresi, karakter tokoh, dan karakter bahasa dialog yang berubah-ubah. Berbeda dengan monolog (0ne man play), yang lazim dilakukan teater modern lebih banyak bersifat penuturan dengan melakukan movement (gerak), Teungku Adnan bermain dengan tekhnik duduk dan tidak melakukan movement (gerak) atau blocking (perpindahan) dari satu tempat ke tempat yang lain. Teungku Adnan juga menggunakan alat/properti serta mengganti busana dalam setiap adegannya. Selain itu, musik yang berasal dari vokal, tubuh, rapa’i dan bantal dimainkan langsung oleh Teungku Adnan.
“Teater tutur Teungku Adnan PMTOH ini dikembangkan oleh Teungku Adnan dengan mempergunakan alat musik Rapa’i Aceh, pedang, suling (flute), bansi (block flute), serta mempergunakan properti mainan anak-anak dan berbagai macam busana. Properti dan alat musik memperkaya penampilan dan sekaligus menjadi kekuatan dalam merubah kejadian-kejadian yang ia perankan”.
Penambahan properti menjadikan pertunjukan Hikayat Teungku Adnan sesuatu yang baru dalam tata cara menyajikan hikayat di Aceh. Teungku Adnan menggunakan boneka dalam menghadirkan tokoh anak-anak atau bayi. Selain Boneka, Teungku Adnan juga menggunakan senjata api mainan anak-anak dalam berbagai jenis. Semua properti tambahan itu sangat membantu Teungku Adnan dalam menghidupkan pertunjukan yang dipentaskannya. Peristiwa peperangan mampu dihadirkan oleh Teungku Adnan menggunakan properti senjata mainan dengan memadukan suara dari senjata mainan dan vokal. Bagi penonton apa yang dimainkan oleh Teungku Adnan terasa nyata dalam imajinasi mereka.
G. L. Koster mengatakan bahwa poetika sastra lisan bersandar pada ingatan. Kemampuan mengingat seorang penutur menjadi kekuatan dalam pertunjukan teater tutur Teungku Adnan PMTOH.
“Ada perbedaan antara mengingat dan menghafal. Menurut Koster, menghafal adalah mengulang atau menghadirkan kembali setiap rincian teks, sedangkan mengingat tidak melibatkan keseluruhan rincian teks, hanya yang dianggap penting saja. Seorang penyaji tradisi lisan mengingat skema-skema yang formulaik, semacam tatabahasa penceritaan, termasuk di dalamnya alur cerita dan adegan-adegan tipis (scene-types), perwatakan (karakter), hingga formula dilapis permukaan (ujaran), seperti kalimat pembuka dan penutup tertentu”.
Seluruh cerita dari Hikayat Malem diwa yang didapat dari gurunya sudah ada di dalam ingatan Teungku Adnan PMTOH. Hikayat tersebut dimainkan dalam bentuk pertunjukan yang menghadirkan banyak tokoh di atas pentas oleh Teungku Adnan. Begitu lihai Teungku Adnan melalukan perpindahan dari satu tokoh kepada tokoh yang lain. Membangun suasana; senang, sedih ataupun perang. Membawa alur cerita dengan Chae dari satu adegan ke adegan berikutnya. Merubah vokal sesuai karakter tokoh yang diperankan hingga gesturnyapun mengikuti tokoh yang diperankan. Teungku Adnan melakukan pertunjukan yang menghipnotis penonton seorang diri di atas pentas. “Teungku Adnan mampu membuat penonton satu lapangan menagis bersama.”
Kekuatan yang paling mendasarkan dalam teater tutur PMTOH adalah daya improvisasi penyaji yang sangat tinggi. Teungku Adnan mampu melakukan perubahan tokoh, adegan, vokal, busana dan properti dalam satu waktu. Teungku Adnan dapat menggunakan properti apasaja yang dimilikinya untuk mendukung tokoh yang sedang dimaikannya.
Sumber: Makalah Temu Sastrawan pada Pekan Sastra Balai/Kantor Bahasa Regional Sumatra 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...