Oleh: Budi Rahmad
Pengasuh halaman Sastra di Harian Babel Pos
Saya tidak bermaksud mendewakan apa yang dilakukan oleh Kantor Bahasa Provinsi Bangka Belitung. Hanya saja kurun tiga tahun terakhir, ketika saya diajak untuk ikut terjun dalam mengamati gairah bersastra di provinsi kepulauan ini, harus saya akui, bahwa Kantor Bahasa Provinsi Babel telah memberikan suntikan yang ampuh bagi gairah bersastra. Terutama pada siswa SMP dan SMA sederajad di Bangka Belitung.
Parameternya sangat sederhana, pertama, yakni jumlah karya sastra yang lahir dari para pelajar. Bagi saya yang kebetulan mengasuh rubrik sastra di surat kabar Babel Pos, kuantitas bisa dijadikan alat bukti permulaan. Setidaknya kami juga mendapat keuntungan dari gairah ini. Beberapa cerpen dan puisi mengalir ke dapur redaksi. Meski secara kualitas mungkin masih sangat jauh. Tapi itu bukan persoalan utama yang harus terus dipersoalkan dan diperdebatkan. Karena ketika siswa sudah mulai bergairah ataupun coba-coba ke dunia menulis cerpen dan puisi itu sudah sangat baik.
Kebetulan, saya berlatar belakang dunia pendidik. Pernah berkuliah di Fakultas Keguruan setidaknya memiliki rekan yang saat ini kebetulan berprofesi sebagai guru. Sebagian besar mereka kerap mengeluh bagaimana sulitnya meminta siswa untuk menulis puisi dan cerpen. Jika pun sudah patuh dengan perintah guru menulis cerpen dan puisi, mau diapakan karya tersebut. Apakah cukup mendapat nilai saja dari guru kemudian disimpan dengan rapi hingga siswa yang menulis pun menjadi lupa dengan karya yang pernah ia tulis.
Tak banyak muara yang bisa menampung karya siswa. Tak banyak jalan yang bisa membuat karya siswa ini dapat dibaca banyak orang. Juga tak banyak penerbit yang mau berkorban mengumpulkan karya sastra ini. Itu alasan mereka para guru. Dan saya ikut-ikutan mencoba sepakat dengan mereka.
Beruntung negara ini membuka cabang kantor bahasa di setiap provinsi. Nah kehadiran kantor bahsa bagi saya, terutama di Bangka Belitung cukup memberi sebuah rangsangan bagi pelajar untuk tetap berkarya. Paling tidak setiap tahunnya akan hadir karya baru dengan penulis baru. Lalu karya satra ini menjadi terdokumentasi dengan baik dan menjadi catatan sejarah baik bagi penulis sendiri amupun sastra itu sendiri.
Mengutip apa yang dikatakan salah seorang sastrawan Babel di media sosial, Ian Sancin bahwasanya Kantor Bahasa Provinsi Bangka Belitung yang dalam tiap tahunnya memiliki agenda lomba pantas mendapat dukungan. Kehadiran Kantor Bahasa, sastra khususnya menjadi lebih kaya berkembang. Kegiatan lomba menjadi bagian ransangan untuk memicu dan memacu kecintaan terhadap perstatif dan kreatif berkebudayaan.
Alhamdulillah, Tiga tahun terakhir, ratusan karya sastra sudah terdokumentasi oleh Kantor Bahasa. Tiga buku kumpulan cerpen SMP dan SMA. Saya mengikuti perjalanan tiga tahun terakhir ini. Begitu derasnya karya sastra yang lahir dari tangan-tangan siswa di Bangka Belitung. Lahirnya karya ini jangan dipandang sebagai sebuah pemaksaan dari guru terhadap siswa agar sekolah ikut dalam perlombaan.
Tak perlu sepakat jika tidak setuju,, tapi bagi saya bahwa lomba harus menjadi bagian dari pembinaan terhadap siswa dalam berkarya. Sebagai rangsangan yang cukup ideal saat ini untuk pembinaan dan mencari penulis sastra berikutnya. Ajang ini harus dimanfaatkan dengan baik dan sebesar-besarnya.
Setelah kerap bertemu dengan guru pembina yang membawa siswa ke lomba yang digelar oleh Kantor Bahasa, mereka memuji apa yang dilakukan oleh kantor ini. Apalagi di Babel sendiri pembinaan bagi siswa cukup langka terjadi. Jika pun ada kesempatan tersebut tidak seluas yang diberikan oleh Kantor Bahasa. FlS2N misalnya. peluang siswa untuk ikut dalam jumlah banyak sangat tidak mungkin terjadi. Selain itu model pembinaan pada FLS2N dirasa masih kurang untuk meningkatkan gairah siswa dalam berkarya.
Kehadiran lembaga yang konsen akan pembinaan terhadap sastra memang memberi arti tersediri bagi perkembangan sastra itu di sebuah tempat. Katakanlah Taman Budaya dan Dewan Kesenian. Memang Dewan Kesenian di Babel sudah memiliki pengurus dari periode ke periode. Hanya saja gerak mereka dirasa belum berpihak kepada karya sastra. Sementara Taman Budaya Provinsi Bangka Belitung hingga saat ini masih dalam penantian.
Ketika keduanya tak memberi harapan yang baik dan pasti, kehadiran Kantor Bahasa di Babel saya nilai bisa membri ruang gerak lebih dalam berkarya. Baik itu karya satra menulis, membaca dan drama. Sayangnya hanya satu, sampai saat ini Kantor Bahasa di Babel masih belum memiliki gedung yang representatif. Mungkin jika mereka sudah memiliki gedung yang hebat bias saja menjadi pusat kebudayaan dadakan, menjadi “lokalisasi” bagi penulis berbagi cerita dan belajar. Ah mungkin nanti bias terwujud.
Kemudian parameter kedua, makin banyaknya jumlah peserta pada lomba baca puisi. Ya, perlu saya sampaikan bahwa lomba sastra di Babel sangat sepi. Saya punya perbandingan ketika saya masih bertugas di Bengkulu. Setiap memasuki bulan Oktober maka akan sangat kesulitan mengatur jadwal lomba bulan bahasa. Nyaris di setiap sekolah menggelar lomba serupa dan sama. Mulai baca puisi, menulis dan sebagainya. Belum lagi yang dibuat oleh dua perguruan tinggi yang memang memiliki program studi Bahasa dan sastra Indonesia. Siswa dan Mahasiswa bisa memilih sekolah atau perguruan tinggi mana yang bakal mereka ikuti. Dan jujur saya katakan itu tidak terjadi di Babel. Baru-baru ini memang ada sekolah yang menggelar lomba baca puisi, tapi itu hanya untuk internal saja. Artinya hanya terbatas perwakilan kelas. Dan ada juga sekolah yang menggelar lomba terbuka dan pesertanya cukup banyak, dan saya berpikir ini efek dari lomba yang kerap digelar oleh Kantor Bahasa, dan saya coba tanya, kesimpulannya memang ada pengaruh bahwa lomba tersebut memberi kenangan tersendiri bagi sekolah untuk mwngirim utusan ke lomab lainnya.
Di Babel, ketika memasuki bulan Oktober tak banyak sekolah yang menjadi tuan rumah lomba kebahasaan. Sepertinya lomba ini cukup tidak penting untuk diadakan. Artinya kesempatan siswa untuk tetap bersastra menjadi tertutup. Beruntung di kantor bahasa memilik program Pekan bahasa dan Pekan Sastra. Ajang inilah yang kemudian saya jadikan tolokukur dalam girah sastra di Babel, khususnya gairah bersastra siswa.
Namun saya tidak menampik, bahwa ada beberapa siswa yang juga tak menempatkan kegiatan di kantor bahasa sebagai pelampiasan dalam bersastra. Seperti dua siswa SMP di Babel yang berhasil masuk nominasi cerpen terbaik di majalah Horison. Keduanya adalah Felia Ananda Wijaya siswi dari SMP Teresia Pangkalpinang denga cerpen berjudul Kelabu di Atas Pusara dan Raufa Sayyida Adila siswi SMPN 1 Tanjungpandan dengan cerpen berjudul Bulan Jingga. Cerpen keduanya begitu dahsyat, saya bergetar ketika membacanya. Mereka siswa yang hebat mampu mengalahkan siswa lainnya secara nasional. Dan setelah saya lihat di Panitia Kantor Bahasa mereka juga ikut dalam lomba di Kantor bahasa. Hanya saja nama mereka tidak masuk dalam 6 besar pemenang. Tapi bagi saya itu bukan persoalan, selain keberuntungan, selera juri juga ikut campur tangan dalam penentuan untuk berkesempatan menjadi pemenang.
Sekali lagi, kantor bahasa bukanlah satu-satunya malaikat yang telah memberikan semangat dalam bersastra di Babel. Masih ada beberapa hal yang perlu dilakuan oleh Kantor Bahasa. Diantaranya pembinaan berkelanjutan dan berjenjang. Pengayaan bagi penulis muda bagi saya penting, semangat mereka perlu dibimbing dengan aneka teori. Kekhilapan, kesilapan dan kesalahan teknis dapat diluruskan dengan pencerahan Mendatangkan penyair, sastrawan, aktor besar irasa perlu kedepannya. Juga suguhan pertunjukan apik ke hadapan mereka adalah rangsangan agar dapat keindahan dan kedamaian hati. Gelisah harus dilunaskan, kotemplasi merupakan jawaban.
Sumber: Makalah Temu Sastrawan pada Pekan Sastra Balai/Kantor Bahasa Regional Sumatra 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...