Oleh: Ricky A Manik
Iklim dan geliat sastra dibeberapa daerah menunjukkan kondisi yang kondusif dan dibeberapa daerah menunjukan arah sebaliknya. Padang, Yogyakarta, Makasar, Jakarta, Bandung, dan kota lainnya menunjukan bagaimana kehidupan bersastra itu tumbuh. Generasi demi generasi bermunculan sekalipun terjadi berbagai perubahan kondisi sosial, sedangkan di tempat lain ada yang tumbuh namun setelah itu hilang. Apa yang berbeda?
Gampang saja untuk menandakan iklim dan geliat bersastra disuatu daerah sangat kondusif. Pertama, banyaknya bahan-bahan bacaan yang tersebar baik di perpustakaan, perguruan tinggi, toko buku, dan tempat-tempat bacaan lainnya yang menandakan minat baca di daerah itu tinggi. Kedua, sering berlangsung acara-acara diskusi sastra baik yang diadakan oleh perguruan tinggi, instansi pemerintah, toko buku, atau lembaga-lembaga sastra lainnya. Ketiga, munculnya karya-karya penulis baik yang tersebar diberbagai media massa atau dalam bentuk buku. Keempat, munculnya komunitas-komunitas sastra dengan agenda-agenda kegiatannya seperti sayembara-sayembara, pelatihan-pelatihan menulis, dan pertunjukan-pertunjukan teater.
Keberlangsungan keempat hal tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor, satu diantaranya agen-agen sastra (penyair, sastrawan, pelaku/pekerja sastra) yang menumbuhkembangkan iklim tersebut. Sejauhmana agen-agen tersebut melakukan praktik-praktik dengan modal-modal tertentu di dalam ranah sastranya? Praktik tidak terjadi begitu saja. Ada struktur-struktur tertentu yang terbentuk kadang secara ketidakksadaran seperti ideologi, karakter, kebiasaan, sikap, dan lain sebagainya yang menentukan praktik itu berlangsung.
Beberapa pertanyaan inilah yang ingin penulis ulas dalam ranah kesastraan di Jambi dengan membuat pertanyaan secara garis besar: Mengapa geliat dan iklim bersastra di Jambi tidak kondusif? Namun sebelum masuk dalam pembahasan teortis, penulis ingin sedikit memaparkan mengenai kehidupan kesastraan di Jambi terlebih dahulu, sehingga pembahasan nantinya tidak bisa dilepaskan dalam konteks sejarah sastranya.
Sastra di Jambi dan Penulisnya
Iklim sastra di Jambi mencapai puncaknya pada era 90-an. Meskipun pada tahun 60-an sudah muncul sastrawan Jambi bernama Gazali Burhan Riodja. Namun pada era Gazali boleh dikatakan tidak ada sastrawan Jambi selain Gazali. Pada era 70-an akhir ada penyair Kerinci Alimin DPT yang menulis puisi di media massa Padang. Era 80-an sesungguhnya juga sudah bermunculan sastrawan-sastrawan Jambi seperti Ari Setya Ardi (ASA), Iriani R Tandi, Iif Ranupane, Acep Syahril, Dimas Arika Mihardja (DAM), dan Maizar Karim Elha. Pada era itu baru ASA yang memiliki kumpulan puisi yang dicetak secara stensilan. Sedangkan penulis lain menulis karyanya untuk media-media massa luar dan baru memiliki antologi bersama yang berjudul Riak-riak Batanghari (1988). Sedangkan di daerah Merangin ada seorang guru bernama Olan SA yang pernah menerbitkan kumpulan cerpen dan puisi. Di masa itu kehidupan bersastra lebih berdasar pada individu-individu walaupun beberapa sastrawan seperti DAM sudah membentuk komunitas sastra yang bernama Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Acep dan Iif mendirikan Teater Bohemian yang Cuma berumur 2 tahun. Sementara Asro di Merangin mendirikan Sanggar Sastra Imaji (1982).
Kemunculan geliat sastra pada era 90-an hingga awal 2000-an lebih terlihat dari munculnya karya-karya pada masa itu. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor yang mendukungnya. Kemunculan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi (FKIP UNJA) (tahun berdiri), berdirinya Taman Budaya Jambi, dan munculnya media massa pertama di Jambi pada tahun 1995, yaitu Jambi Independent merupakan faktor penting kemunculan genarasi sastrawan Jambi yang lebih banyak. Hal tersebut ditandai dengan kemunculan komunitas-komunitas sastra dan munculnya karya-karya (kebanyakan puisi) yang terbit di Koran-koran lokal, serta terbitnya buku-buku antologi yang diterbitkan dan dikelola oleh komunitas-komunitas sastra itu sendiri.
Dari FKIP UNJA di era 90-an awal hingga akhir muncullah nama-nama seperti Nanang Sunarya, Asro Al Murtawi, EM. Yogiswara, F. Monthana, Suardiman Malay, Ary Ce’Gu (Muhammad Husyairi), Ide Bagus Putra, Ansori Barata, Yupnical Saketi, Putra Edison, Emen Sling, Jr. Laety, Beri Hermawati, dan Ramayani. Sedangkan yang bukan dari FKIP muncul nama-nama seperti Yono DL dari Sanggar Sastra Imaji, Firdaus, Indriatno, dan Didin Siroz. Tahun 2000-an hingga sekarang muncul nama-nama Gita Ramadhona, Eka, Titas Suwanda, Cory Marbawi, Linda Harahap, Berlian Sentosa, Jumardi Putra, Syarifah Lestari, Rini Febriani Hauri, dan beberapa nama lainnya.
Mereka yang berasal dari dunia akademis banyak membentuk komunitas-komunitas sastra seperti Teater Komsat Cindaku dan Teater Oranye. Di tahun 80-an akhir Iif dan Acep Syahrir membentuk Teater Bohemian dan ASA juga tergabung di dalamnya. Beberapa kelompok teater ini juga bergerak di bidang penerbitan. Teater Oranye di bawah kepemimpinan Ary Ce’Gu membentuk Oranye Sastra Terbitan Indonesia. Bengkel Puisi Swadaya Mandiri DAM juga melakukan penerbitan buku antologi puisi. Beberapa karya berupa puisi dan cerpen rata-rata diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jambi karena komunitas ini mendapatkan anggaran dari APBD.
Komunitas-komunitas sastra lain yang juga muncul di Jambi adalah Teater Air dan Teater Tonggak. Teater Air dibentuk oleh EM. Yogiswara dan Tonggak dibentuk oleh Didin Siroz. Komunitas-komunitas teater ini paling tidak juga melahirkan beberapa orang penulis Jambi. Selain itu ada juga kelompok bentukan Helvy Tiana Rosa yaitu Forum Lingkar Pena.
Namun, kemunculan penulis-penulis era 90-an hingga 2000-an awal dan komunitas-komunitas yang ada tidak menunjukan geliat dan iklim bersastranya yang kondusif hari ini. Bahkan beberapa nama yang dulu aktif menulis sekarang tidak pernah terlihat lagi karyanya. Komunitas-komunitas dulu yang menjadi tempat dan ruang pertarungan eksistensi para penulis Jambi sudah tidak terdengar lagi aktivitasnya. Jika dulu beberapa kelompok sastra ini sering membuat festival-festival baik menulis puisi, baca puisi, teater remaja, lomba monolog, dan lain sebagainya, sekarang sudah jarang terdengar lagi. Paling hanya beberapa pentas yang digelar oleh kelompok teater di Jambi seperti Air dan Tonggak.
Menarik untuk dicermati mengapa kemudian FKIP Unja yang dulu banyak melahirkan para penulis Jambi dengan komunitas-komunitas sastranya sekarang menunjukan fakta sebaliknya. Ke mana penulis-penulis sastra akademis ini? Beberapa sastrawan yang masih terlihat karyanya dan menunjukkan produktivitasnya seperti DAM, EM. Yogiswara, Asro, dan yang lainnya justru masih terus menulis. Apa yang membuat beberapa sastrawan ini masih eksis? Apakah karya-karya sastra yang mereka tulis ada yang mendatangkan keuntungan ekonomi atau tidak? Pertarungan dan strategi apa yang dilakukan oleh para sastrawan ini baik yang masih eksis menulis atau yang beralih profesi?
Perspektif Sosiologi Sastra Bourdieu
Dalam teori sosiologi sastra Bourdieu, posisi sastrawan serupa tukang yang tunduk pada kekuatan ekonomi. Meskipun dalam berkarya ada tututan otonomi kebebasan bagi para sastrawan menentukan bentuk-bentuk subjek karya sastranya sendiri, tetapi tetap saja otonomisasi itu juga terdominasi dalam arena kekuasaan ekonomi. Sehingganya kadang para sastrawan memilih strategi berkarya sebagai penundaan keuntungan ekonomi yang diraihnya atau beralih profesi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi di bidang lain.
Sosiologi sastra Bourdieu tidak dapat dilepaskan dari pemikirannya di bidang sosiologi yang berusaha menyempurnakan analisis subjektivisme dan objektivisme. Bagi Bourdieu subjektivisme gagal memahami landasan sosial yang membentuk kesadaran, sedangkan objektivisme melakukan sebaliknya, gagal mengenali realitas sosial di tataran tertentu yang dibentuk oleh konsepsi dan representasi yang dilakukan individu-individu terhadap dunia sosial.
Apa yang membuat beberapa penulis Jambi tidak menulis lagi dan beberapa yang masih eksis berhubungan dengan apa yang disebut Bourdieu sebagai praktik. Praktik merupakan salah satu konsep utama pilihan Bourdieu dalam teori praktik untuk melepaskan diri dari oposisi klasik subjektivisme dan objektivisme, di samping habitus, arena, dan modal.
Kritik Bourdieu terhadap subjektivisme dan objektivisme sama halnya dengan kritik analisis internal dan eksternal. Analisis internal dianggap lemah karena menghilangkan agen sosial sebagai produsen, mengabaikan hubungan-hubungan sosial yang objektif tempat praktik sastra muncul, dan menghindari pertanyaan apa yang membentuk nilai sebuah karya sastra. Sedangkan analisis eksternal dianggap lemah karena memiliki determinisme mekanistik yang tajam.
Oleh sebab itu, Bourdieu menggagas beberapa konsep dalam menjembatani kelemahan subjektivisme dan objektivisme. Konsep-konsep yang digagas adalah konsep habitus, arena dan modal. Ketiga konsep inilah yang menghasilkan praktik-praktik bagi agen-agen sosial di dalamnya. Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Arena sastra didefinisikan sebagai arena kekuatan sekaligus arena pergulatan yang bertujuan mentransformasikan atau mempertahankan relasi kekuatan yang sudah ada, tempat sejumlah agen melibatkan kekuatan modalnya yang dia peroleh dari pergualatan sebelumnya lewat strategi-strategi yang orientasinya bergantung pada posisi masing-masing dengan modal spesifiknya.
Menurut Bourdieu taruhan utama dalam pergulatan sastra adalah monopoli legitimasi sastra, yaitu, di antaranya, monopoli kekuasaan untuk mengatakan berdasarkan otoritas siapa yang berhak menyebut dirinya sebagai penulis. Meskipun demikian, komunitas bukanlah satu-satunya arena yang memberi legitimasi bagi seseorang untuk disebut sebagai penulis atau tidak. Masih ada sejumlah pihak yang termasuk dalam arena sastra yang ada di luar komunitas yang turut berkontribusi terhadap layak atau tidaknya seorang agen disebut sebagai penulis. Misalnya lakunya sebuah buku dan membludaknya penonton teater (mendatangkan keuntungan ekonomis) atau mendapat penghargaan dan pujian dari ahli-ahli sastra akan karyanya. Dua kutub ini selalu mengalami pergulatan dalam menentuan defenisi mengenai penulis.
Secara garis besar modal terbagi dalam empat jenis, yakni modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolis. Modal ekonomi meliputi alat-alat produksi dan materi. Modal budaya meliputi ijazah, pengetahuan yang sudah diperoleh, kode-kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, sopan santun, cara bergaul, dan sebagainya yang berperan di dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal sosial ialah hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal simbolis mengacu pada salah satu akibat dari kekuasaan simbolis yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi, berkat akibat khusus suatu mobilisasi. Modal simbolis dapat berupa kantor yang luas di kawasan elite, mobil mewah dan sopirnya, gelar pendidikan di kartu nama, dan bagaimana cara membuat tamu menanti.
Modal harus ada dalam suatu arena agar arena tersebut memiliki arti. Modal juga dipandang sebagai basis dominasi. Menurut Bourdieu, beragam jenis modal dapat ditukar dengan jenis-jenis modal lainnya Adapun bagaimana ragam modal itu dipertaruhkan dalam suatu arena (sastra) itu bergantung strategi yang digunakan oleh agen.
Komunitas Sastra sebagai Arena Kultural
Munculnya berbagai komunitas sastra di Jambi pada era 90-an merupakan tempat bagi pergulatan agen-agennya dalam memperebutkan posisi sebagai penulis. Komunitas sastra bisa menjadi arena kultural yang dapat menganugerahi gelar penulis kepada agennya ketika arena sastra yang lebih luas belum mau memberi sebutan itu. Penerbitan-penerbitan yang dilakukan Dewan Kesenian Jambi paling tidak sudah menjadi arena kultural dalam melegitimasi agen-agen sastra menjadi penulis-penulis di Jambi. Begitu juga dengan beberapa kelompok sastra seperti komsat cindaku FKIP Unja dan Teater Oranye melahirkan para penulis seperti Ary Ce’gu, Yupnical Saketi, Emen Sling, Ansori Barata, Putra Edison, Beri Hermawati, Ramayani, Eka dan lainnya, Teater Air melahirkan Cori Marbawi (alm.) dan Titas Suwanda, Teater Tonggak besutan Didin Siroz, yang memberikan legitimasi bagi para agen-agennya.
Bisa dipastikan hilangnya beberapa komunitas sastra di Jambi ini menjadi penyebab hilangnya arena kultural dalam menghidupkan iklim dan geliat bersastra. Dampaknya akan kemunculan penulis-penulis Jambi menjadi minim. Adapun komunitas sastra yang dikelola oleh DAM, yaitu Bengkel Puisi Swadaya Mandiri hanya melakukan penerbitan karya-karya sendiri dan diskusi-diskusi pada kalangan tertentu (mahasiswa sendiri).
Hilangnya beberapa komunitas sastra di Jambi disebabkan oleh peralihan praktik-praktik agen-agennya. Peralihan praktik-praktik agen-agen ini tidak bisa dilepaskan dari habitus, ranah, dan modal yang melingkupi kehidupan para agen. Setamat kuliah para agen berhadapan dengan habitus bahwa selepas kuliah hidup sudah harus mandiri. Dengan modal budaya berupa gelar mereka masuk dalam ranah pekerjaan seperti menjadi wartawan dan menjadi guru untuk mengakumulasi modal ekonomi.
Perubahan Ranah Sosial: Perubahan Strategi Agen
Modal-modal budaya dan sosial yang dimiliki para agen dari pengalaman bersastra di Jambi sepertinya mengalami kesulitan untuk masuk dalam ranah sastra yang lebih luas. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekalahan-kekalahan para agen untuk masuk dalam habitus ranah sastra yang lebih luas, seperti tidak menang dalam mengikuti sayembara-sayembara yang diadakan atau kesulitan untuk bisa keluar karyanya di media-media nasional, seperti Majalah Horison, Kompas, Media Indonesia, Tempo, dan lain sebagainya.
Selain itu, perubahan posisi agen-agen sastra di Jambi juga tidak bisa dilepaskan dari perubahan ranah sosial yang mana di dalamnya terdapat struktur-struktur sebagai variabel pembentuknya. Ranah sosial yang memiliki habitus tertentu mendorong beberapa penulis mengubah strategi sosialnya. Jika dulu iklim bersastra begitu kondusif, para agen sastra ini lebih mengejar pada akumulasi modal-modal budaya dan sosial, ingin dikenal dan mendapat pengakuan di ranah sosialnya. Akan tetapi, ketika terjadi perubahan ranah sosial, dengan berbagai struktur-struktur tertentu yang mendominasi seperti keluarga, sekolah, lingkungan yang menuntut para agen harus memiliki modal ekonomi, membuat strategi agen menukar sedemikian modal yang dimilikinya. Beberapa penulis bekerja menjadi wartawan, seperti ASA, E.M.Yogiswara, Yupnical Saketi, Monas Junior, Beri Hermawati, Putra Edison, Ari Ce’gu, dan lain sebagainya. Sementara beberapa penulis lain mendapatkan pekerjaan menjadi dosen, guru, PNS, seperti DAM, Maizar Karim, Nanang Sunarya, Suardiman Malay, F. Monthana, Ramayani, Titas, Didin Siroz dan lainnya.
Perubahan ranah sosial ini juga membawa dampak pada ranah pendidikan di Jambi. Pendidikan menjadi pabrik memproduksi para pekerja. Keberhasilan atau kesuksesan ditentukan oleh percepatan mendatangkan modal ekonomi, sehingganya ranah sastra bukan menjadi pilihan yang tepat sebagai profesi karena sifatnya yang menunda modal ekonomi. Belum lagi ranah sosial dengan kemunculan multimedia yang membawa pada akses-akses pertukaran modal secara cepat, membuat agen-agen sosial (mahasiswa) lebih tertarik pada ranah bisnis. Sekarang ini banyak kita temui para pebisnis muda yang sukses. Seminar-seminar dan diskusi-diskusi lebih banyak tentang kiat sukses tanpa modal dari pada diskusi membahas karya sastra atau pertunjukan-pertujukan teater.
Lalu mengapa DAM masih terus menulis sastra dan menerbitkannya sendiri atau rela membayar untuk karyanya bisa diterbitkan bersama, Didin Siroz yang masih sesekali menggarap pentas teater, dan E.M. Yogiswara yang beberapa tahun belakangan ini mengeluarkan karya dan menerbitkannya? Pertama, karena mereka telah memiliki modal ekonomi. DAM sendiri telah memiliki modal simbolik dengan gelar dan statusnya sebagai dosen. Begitupun dengan E.M. yang menjadi redaktur media massa dan Didin yang menjadi pegawai. Kedua, kkarena menulis bagi mereka bukan untuk mendapatkan modal ekonomi, tetapi ingin mengakumulasi modal-modal lain seperti modal budaya dan modal sosial. Sebab dalam ranah sastra, modal budaya dan modal sosial lebih dihargai daripada bentuk modal yang lain.
Jika iklim dan geliat sastra di Jambi hari ini menunjukkan kondisi yang kurang kondusif, maka saran untuk menumbuhkan minat baca, membentuk komunitas-komunitas sastra, menyarankan untuk menulis karya sastra sebanyak-banyaknya belumlah cukup jika belum mendekonstruksi habitus yang membentuk ranah sosial hari ini, mulai dari keluarga, sekolah, lingkungan tempat tinggal, lingkungan ibadah, dan lain sebagainya.
Sumber: Tentang Kita dan Mereka: Kumpulan Makalah Dialog Bahasa dan Sastra dengan Komunitas Masyarakat Jambi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...