Oleh: Ja’far Rassuh
I
Pada awalnya Jambi dihuni oleh beberapa kelompok etnis Melayu. Setidaknya ada tujuh, yaitu: Kerinci, Batin, Penghulu, suku Pindah, Anak Dalam, Orang Laut, dan suku bangsa Duabelas. Mereka hidup tersebar dengan kelompok budayanya masing-masing. Tradisi yang mereka miliki saling berbeda. Perbedaan itu bisa jadi disebabkan oleh letak geografis, alam dan pola pikir yang dimiliki.
Tradisi mendayung orang yang hidup di pantai akan berbeda cara dan perlakuannya bagi mereka yang hidup di sungai. Orang yang hidup di pantai dengan gelombang besar dan arus yang kuat membutuhkan jenis perahu, dayung dan cara mendayung yang berbeda dengan orang yang hidup di sungai. Dari perbedaan lingkungan tersebut mengakibatkan lahirnya produk budaya yang berbeda pula.
Mengacu dengan pola pikir dan kondisi tersebut, memberikan kontribusi besar kekayaan dan ragam produk budaya yang ada di Jambi. Termasuk tradisi lisan yang dimiliki oleh masing-masing kelompok budaya. Ritual pengobatan yang dimiliki oleh suku Anak Dalam (Besale) sangat berbeda perlakuan ritual pengobatan bagi suku Kerinci (Aseik). Begitu juga ritual pengobatan Mandi Air Masin pada kelompok Melayu Timur yang ada di wilayah pesisir pantai Timur Jambi. Dari sisi bahasa mereka menggunakan kategori rumpun Melayu, namun terkadang mereka tidak saling mengerti apa yang diucapkan. Keberagaman produk budaya tersebut merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya.
II
Untuk mengetahui sampai sejauh mana potensi, kondisi dan tantangan yang dihadapi tradisi lisan yang ada di Jambi, terlebih dahulu mari kita samakan persepsi tentang pengertian tradisi lisan. Ada beberapa pandangan ahli atau pakar budaya yang membuat definisi dan konsep batasan yang berbeda.
Menurut Edi Sedyawati, tradisi lisan adalah segala wacana yang disampaikan secara lisan, mengikuti cara atau adat istiadat yang telah memola dalam suatu masyarakat. Kandungan isi wacana tersebut meliputi berbagai hal, berbagai jenis cerita ataupun berbagai jenis ungkapan seremonial dan ritual. Cerita-cerita yang disampaikan secara lisan itu bervariasi mulai mulai dari uraian genealogis, mitos, legenda, dongeng hingga berbagai cerita kepahlawanan (1996: 5).
Pudentia berpendapat bahwa tradisi lisan adalah “mencakup segala hal yang berhubungan dengan sastera, bahasa, sejarah, biografi, dan berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan dari mulut ke mulut. Jadi tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat, teka teki, tetapi juga berkaitan dengan sistem kognitif kebudayaan, seperti sejarah, hukum dan pengobatan. Tradisi lisan adalah “segala wacana yang diucapkan/disampaikan secara turun-temurun meliputi lisan dan yang beraksara.”
Suripan Sadi Hutomo berpendapat bahwa tradisi lisan mencakup dari beberapa hal, seperti (1) kesusastraan lisan, (2) teknologi tradisional, (3) pengetahuan folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (4) unsur-unsur religi dan kepercayaan folk di luar batas formal agama-agama besar, (5) kesenian folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (6) hukum adat.
Dari ke tiga konsep pemikiran tersebut, memperlihatkan bahwa cakupan tradisi lisan sangat luas. Dikaitkan dengan pandangan tersebut, maka potensi kekayaan tradisi lisan yang ada di Jambi memiliki semua cakupan tersebut. Berlaku bagi semua kelompok budaya sub etnis Melayu yang ada. Kenyataan ini memberi gambaran kepada kita bahwa betapa banyaknya potensi tradisi lisan yang dimiliki di Jambi. Pertanyaannya: apakah potensi tersebut telah terinventarisir dengan baik ?
III
Dari hasil pendataan yang dilaksanakan oleh berbagai pihak, ternyata masih banyak yang belum terinventaris. Pendokumentasiaan dan kajian yang telah dilaksanakan oleh pemerhati perorangan, lembaga dan organisasi sosial masyarakat, perguruan tinggi dan pemerintah, masih sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan potensi kekayaan yang dimiliki. Kondisi ini mengakibatkan banyaknya kekayaan tradisi lisan yang berada diambang kepunahan.
Cerita rakyat, tutur, pantun, dendang, sloko, seni pertunjukan, sistem pengetahuan dan teknologi, pengobatan dan ritual lainnya sudah banyak tidak dikenali lagi oleh generasi penerusnya. Hal ini disebabkan karena mereka tidak pernah mendengar dan melihat wujudnya dari pihak generasi tua. Bisa jadi juga disebabkan karena tidak adanya motivasi bagi generasi muda untuk mempelajarinya. Permasalahan besar yang dihadapi sekarang adalah: (1) semakin berkurangnya nara sumber, (2) sudah jarang dilaksanakan atau dipentaskan, (3) pengaruh teknologi, (4) pelaku semakin berkurang, (5) kebijakan pemerintah dalam pembinaan komunitas maupun semua unsur materi tradisi lisan lemah, (6) kurangnya tenaga peneliti dan dukungan masyarakat usaha.
Dahulu hampir disetiap keluarga memiliki penutur. Setidaknya seorang nenek yang sedang menidurkan cucunya bersenandung dan bercerita. Sambil memotong parah, menungguh sawah, menangkap ikan, masyarakat dalam mengusir rasa sepinya mereka bersenandung. Kondisi seperti ini sudah jarang kita temukan terutama di masyarakat perkotaan. Jenis tutur yang sering disenadungkan dan kemudian berkembang menggunakan alat musik adalah krinok, senandung jolo, mantau atau pantau, kuau, dideng, dadung, kba, dan tale.
Kebiasaan anak-anak di desa sehabis solat isya, mereka berkumpul disuatu tempat untuk mendengarkan cerita-cerita rakayat baik dalam bentuk dongeng maupun legenda. Sayangnya kegiatan seperti ini sudah tidak terdengar lagi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Biasanya cerita disampaikan oleh seorang penutur yang memiliki pengetahuan dan wawasan luas. Sesungguhnya penutur ini memiliki peran penting untuk membangun karakter dan merangsang pertumbuhan anak. Lewat cerita, penutur dapat menanamkam nilai-nilai positif, seperti nilai kejuangan, kebersamaan, saling memahami dan menghormati. Pola ini sangat cocok diterapkan sedini mungkin kepada anak dalam menanamkan nilai kebersamaan yang dapat mempersatukan NKRI. Sayangnya kini sudah sangat sulit kita temukan para penutur yang ada didesa-desa.
Kegiatan pertunjukan tradisi lisan juga semakin jarang dilaksanakan. Masyarakat lebih memilih menonton tv atau vcd yang terkadang tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Kecendrungan masyarakat lebih memilih musik organ tunggal dari pada musik tradisi yang kental dengan nuansa daerah. Begitu juga teater tradisional seperti, injeik skiling dan teater bangsawan sudah tidak pernah terdengar lagi keberadaannya. Bahkan mungkin menjadi asing kedengarannya bagi anak-anak muda sebagai generasi penerus.
Pantun sebagai salah satu seni sastera yang selalu melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat melayu Jambi sudah jarang terdengar. Bisa jadi kini jumlah orang yang mampu berpantun dengan baik sudah sangat sedikit jumlahnya.
Pemikiran masyarakat umum yang beranggapan bahwa mereka yang tetap mempertahankan kesenian tradisional adalah orang yang tidak mau maju dan kolot, perlu dikikis dan dihentikan. Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa kesenian tradisional adalah ciri dan karakter yang dapat dijadikan sebagai identitasnya. Memiliki nilai sosial dan nilai jual yang tidak kalah dengan kesenian modern. Untuk itu perlu dukungan dari mereka agar kesenian tradisional yang mengakar pada budayanya tetap dilestarikan.
Dukungan dan penghargaan pada pelaku tradisi lisan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat, terutama bagi kalangan pengusaha kurang mendapat respon. Padahal salah satu dukungan yang diharapkan untuk menghidupkan dan melestarikannya dengan menggunakan dana CSR. Kepedulian masyarakat kembali menggunakan kegiatan tradisi lisan dalam acara-acara pesta keluarga, kampung, adat dan hari-hari besar juga sangat membantu menghidupkan kembali.
Pemerintah, khususnya pemerintah daerah dalam melestarikan tradisi lisan belum menjadi prioritas dan dianggap belum penting dan mendesak untuk dilaksanakan. Padahal kehidupan tradisi lisan yang ada dalam wilayah adminstratifnya berada diambang kepunahan. Organisasi atau kelompok-kelompok tradisi lisan yang ada di daerah berada diantara hidup dan mati. Dimana tapak kakinya berada di pinggir jurang dan tidak memiliki alat bantu untuk memegang mempertahankan tubuhnya, agar tidak masuk ke jurang kepunahan.
Permasalahan lain yang dihadapi di Jambi adalah kurangnya tenaga peneliti dan akademisi yang mendedikasikan keahliannya dalam upaya pelestarian tradisi lisan. Kegiatan yang dilaksanakan oleh Kantor Bahasa, Asosiasi Tradisi Lisan dan pemerhati yang punya kepedulian, belum mampu mengakomodir potensi yang ada. Oleh sebab itu sinergitas kegiatan institusi, organisasi, akademisi, pemerhati, pengusaha dan pemerintah perlu diciptakan.
Komitmen semua pihak terkait untuk kegiatan pelestarian tradisi lisan perlu ditetapkan berbagai regulasi yang dapat mengaturnya. Sehingga unsur penyelamatan, pengembangan dan pemanfaatannya dapat berjalan baik. Peran pemerintah dalam menyiapkan dan melaksanakan pembuatan regulasi tersebut menjadi tumpuan utama, terutama di tingkat Kabupaten dan Kota.
Sekedar gambaran bahwa Pemerintah Provinsi Jambi dalam RPJMD Jambi Emas 2011 – 2015 telah menetapkan Pelestarian Nilai-nilai Budaya Daerah sebagai program kerjanya. Namun kenyataannya belum dapat terlaksana dengan baik lewat berbagai upaya kegiatan yang dilaksanakannya. Tentu alasan penyebabnya banyak faktor yang mempengaruhinya. Saya melihat salah satu penyebabnya adalah regulasi yang mengaturnya tidak kuat. Akibatnya para pengambil kebijakan di tingkat menengah tidak mampu menterjemahkan dan mengimplementasikannya.
Kebijakan yang ditempuh oleh Kantor Bahasa Provinsi Jambi dalam melestarikan tradisi lisan perlu mendapat apresiasi dan dukungan oleh pemerintah daerah. Terutama pada program pendokumentasian dan revitalisasi tradisi lisan. Kita harus sadari bahwa Kantor Bahasa memiliki keterbatasan dari berbagai sisi, sehingga membutuhkan dukungan dari berbagai pihak.
Salah satu bentuk kegiatan menarik perhatian saya yang dilaksanakan Kantor Bahasa Provinsi Jambi beberapa bulan yang lalu adalah pelatihan bagi pelajar SMA dalam melaksanakan penulisan dan rekam jejak cerita daerah. Kegiatan ini ternyata memotivasi anak untuk lebih mengetahui potensi budaya yang ada di lingkungannya. Jika kegiatan serupa dilaksanakan secara berkelanjutan dan menyebar keseluruh wilayah Provinsi Jambi akan menjadi pemicu kelanjutan kehidupan tradisi lisan kita.
IV
Untuk melestarikan tradisi lisan di Jambi, maka upaya perlindungan, pengembangan dan pemanfatan harus dilaksanakan berkesinambungan sesuai dengan perangkat-perangkatnya. Penguatan perlindungan yang harus dilakukan adalah menciptakan regulasi yang dapat mengaturnya. Mengadakan penyelamatan dengan pendokumentasian, revitalisasi dan penelitian.
Agar tradisi lisan tetap lestari, perlu adanya pengembangan melalui kegiatan pengolahan yang tetap mengakar dan tidak merubah esensinya. Dengan demikian tidak mengorbankan keasliannya. Kegiatan pengolahan sangat penting artinya untuk mensejajarkan kondisi tradisi lisan sesuai dengan perkembangan masanya.
Memanfaatkan tradisi lisan sebagai produk budaya untuk kepentingan pendidikan, agama, sosial, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Kalau ini dapat dilakukan, tradisi lisan akan tetap hidup dan berkembang dengan baik. Masyarakat pemilik akan mempertahankan karena merasakan nilai manfaatnya.
Untuk melaksanakan pelestarian tradisi lisan yang ada di Jambi sekarang ini, memiliki tantangan berat. Untuk itu perlu dicari pola dan cara yang tepat dengan melibatkan semua pihak. Sinergitas program dari berbagai pihak terutama kepada pihak pengambil kebijakan, pusat, provinsi, kabupaten/kota, perguruan tinggi sangat penting dilaksanakan.
Sumber: Tentang Kita dan Mereka: Kumpulan Makalah Dialog Bahasa dan Sastra dengan Komunitas Masyarakat Jambi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...