Jumat, 22 Juli 2016

Sastra yang Bernuansa Islam di Jambi

Oleh: Ali Muzakir 

A. Dari Tradisi Tulisan ke Tulisan
Jambi memiliki cukup banyak tradisi lisan maupun tulisan. Memang tidak diketahui secara persis sejak kapan munculnya kedua tradisi tersebut di tengah masyarakat Jambi. Intensitas komunikasi dan pengaruh dari daerah-daerah tetangga dari sejak masa lalu, seperti Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan, juga turut mewarnai perkembangan tradisi lisan maupun tulisan di Jambi.
Dalam proses perkembangannya, tradisi lisandisusun sedemikian rupa dengan sangat mengedepankan kemampuan dalam berbahasa manusia, sehingga memiliki nilai artistik (keindahan) dan bersifat kesusasteraan. Hal ini terjadi karena manusia terus mengembangkan kemampuan berbudaya dan berbahasa secara lebih baik sehingga terdorong untuk mengekspresikan pengalaman dan pemikirannya berupa karya seni yang disebut sastra. Maka muncullah dua jenis sastra, yaitu lisan dan tulisan.

Di lingkungan akademik, sastra lebih sering dipahami sebagai segala ungkapan pengalaman dan pemikiran secara tertulis.  Dengan demikian, dari tradisi lisan kemudian berkembang tradisi tulisan. Meskipun demikian, dalam kehidupan masyarakat Melayu, pada sebagian masyarakat yang telah mengenal huruf dan kemampuan berbahasa secara lebih kompleks masih melanjutkan dan mempertahankanSastraLisan.

Sampai sekarang ini, sejumlah kelompok-kelompok di tengah masyarakat Jambi masih bertahan dan tersebartradisi lisan, seperti Tradisi Lisan Badudu dan Gandai dari Tebo, Senandung Jolo dari Muara Jambi, Ketalang Petang dari Merangin, Anak Imau, Mantau, dan Kwau dari Sarolangun, Kedungkuk dari Tanjung Jabung Barat, Tauh dan Kunaung dari Kerinci, dan lain sebagainya.Selain itu, ada pula Sastra Lisan yang disampaikan secara informal dalam pertemuan atau acara-acara tertentu, seperti kegiatan haul, maulid Nabi, pelepasan jamaah haji, dan sebagainya. Di daerah Sarolangun sampai tahun 1960-an, keluarga-keluarga tertentu yang ingin melakukan tolak bencana, mendapat keuntungan besar, saat bernazar, atau sesekali pada malam Jumat bersamaan dengan tahlilan meminta dibacakan manaqib Syaikh Muhammad Samman (w. 1776), pendiri Tarekat Sammaniyah. Secara lebih besar, masyarakat Sarolangun mengadakannya di masjid atau langgar dalam rangka menyambut bulan Ramadhan dan malam-malan tertentu setelah Salat Tarawih. 

Tentunya,Sastra Lisanlebih dahulu berkembang dari pada Sastra Lisan. Sastra Lisan disampaikan dari mulut ke mulut, yang didukung oleh kemampuan mnemonic (ingatan). Sastra Lisan akan lebih berkembang dalam masyarakat yang belum mengenal huruf (aksara) dan belum kuat tradisi menulis. Kebanyakan Sastra Lisan tidak diketahui siapa pengarangnya. Akan tetapi cerita, pemikirandan kisahnyadisampaikan terus menerus dansecara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lain sejak dahulunya, sehingga menjadi ingatan bersama (collective memory) masyarakat.Dengan kata lain, Sastra Lisan adalah milik bersama masyarakat.Karena itu Sastra Lisan populer pula disebut Sastra Rakyat. Di dalamnya sangat kaya informasi tentang kisah-kisah pemerintahan, hukum, adat-istiadat, undang-undang, sejarahdan sebagainya. 

Dalam penyampaian yang lebih artistik, Sastra Lisan melahirkan beragam penuturan lisan seperti epik, pantun, dodoi, peribahasa, lagu, cerita rakyat, dan sebagainya. Sastra Lisan atau Sastra Rakyat tetap diupayakan bertahan di tengah-tengah rakyat. Masih banyak para orang tua yang turut melestarikannya dengan cara menuturkan ceritanya kepada anaknya di dalam buaian, atau disampaikan kepada penduduk kampung dalam pertemuan-pertemuan tertentu; tukang cerita sendiri kadangkala juga tidak bisa baca-tulis. Pada awalnya, gurindam, dongeng, legenda, dan syair adalah juga bagian dari tradisi lisan. Sastra Lisan cukup digemari oleh masyarakat, karena mengandung buah pikiran, pembelajaran, petuah hidup, harapan, dan doa. 

Seiring dengan perkembangan peradaban,masyarakat tidak cukup lagi mengandalkan kemampuan mnemonic (mengingat), yang tentunya mengandung keterbatasan. Manusia mengembangkan kemampuan berbahasa dengan cara memperkuatnya melalui medium tulisan. Sastra Lisan yang dahulunya dituturkan dari mulut ke mulut ditransformasi menjadi karya tulis yang artistik.Terutama sejak berkembangnnya Islam ke tengah masyarakat Melayu, menurut Achadiati, karya Sastra Tulis semakin berkembang. Islam memiliki budaya literal (tulis-baca) yang lebih kuat dibandingkan masa Hindu dan Budha. Aksara Melayu Kuno (Pallawa Akhir),yang pernah digunakan pada akhir abad ke-7 Masehi pada prasasti-prasasti peninggalan Sriwijaya, segera digantikan dengan tulisanberaksara Arab. Dengan penuh kreatifitas, Muslim Melayu mengadopsi dan mengadaptasi aksara-aksara Arab menjadi tulisan Jawi (berbahasa Melayu dengan aksara Arab).Karya-karya sastra yang bertulisan Arab-Melayu menjadi mapan digunakan di hampir seluruh kawasan Melayu sejak abad ke-16. Perubahan dari jenis sastra lisan menjadi tulisan semakin meluas dan menarik ketika istana sultan-sultan Melayu mempatron para sastrawan. Para sultan memfasilitasi para ulama dan sastrawan untuk menulis karya-karya mereka. 

Seiring dengan Islam semakin meluas di tengah masyarakat, banyak karya-karya sastra dari Arab dan Parsi diterjemahkan, disadur dan digubah kembali ke dalam Bahasa Melayu dan bahasa-bahasa lokal lainnya di Nusantara, seperti Aceh, Bugis, Jawa, Sunda, Madura dan lain-lain. Karya-karya sastra tersebut, menurut Hadi, dapat dikelompokkan sebagai berikut: 

1. Hikayat Nabi-nabi; yang paling populer ialah Hikayat Nabi Yusuf, Hikayat Nabi Musa, Hikayat Nabi Sulaiman, Hikayat Zakaria, Hikayat Luqman al-Hakim, Hikayat Nabi Ayub, Hikayat Nabi Musa Bermunajat, dan lain-lain. Nabi-nabi ini sering muncul sebagai tokoh dalam kisah lain. Misalnya Nabi Sulaiman a.s. dimunculkan sebagai tokoh bayangan dalam kisah binatang (fabel) seperti Cerita Pelanduk Jenaka.

2. Kisah-kisah tentang kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad SAW; termasuk kelompok ini ialah Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Hikayat Rasulullah, Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Nabi Mi’raj, Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Seribu Satu Masalah, Hikayat Nabi Wafat, Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah, Hikayat Nabi Mengajar Ali, Hikayat Nabi dengan Orang Miskin, dan Hikayat Nabi dan Iblis.Dalam versi Bahasa Melayu, termasuk pula sastra yang bercorak sejarah seperti Bustan al-Salatin karangan Nuruddin al-Raniri (w. 1658), Hikayat Anbiya dan Tambo Minangkabau.Versi terkenal dari hikayat ini ialah gubahan Ahmad Syamsudin dari Aceh pada tahun 1646 M denganjudul Tarikh Mukhtasar (Ringkasan Sejarah), yang disadur dari naskah Parsi Rawdat al-Anbah (Syurga Para Kekasih) karangan Husaini pada tahun 1495 M. Salinan terbaru ialah karangan Ki Agus Haji Khatib Thaha dari Palembang yang ditulis pada tahun 1856.

3. Kisah-kisah Para Sahabat Nabi; yang menyeritakan kehidupan dan perjuangan para sahabat Nabi Muhamad yang muncul sebagai tokoh penting Islam setelah Nabi, seperti Hikayat Abu Bakar, Hikayat Amir al-Mu`minin Umar, Hikayat Sayidina Ali, Hikayat Usman bin Affan, Hikayat Abu Syamah, Hikayat Abu Bakar dan Rahib Yahudi,Hikayat Ali Kawin, Hikayat Raja Handak, Hikayat Hasan dan Husein, Hikayat Salman al-Farsi, Hikayat Tamim al-Dari, dan lain-lain.

4. Kisah Wali-wali Islam yang masyhur, sufi terkemuka dan para pendiri tariqat-tariqat besar yang berkembang di Nusantara; di antaranya yang masyhur ialah Hikayat Rabiah al-Adawiyah, Hikayat Sultan Ibrahim bin Adam, Hikayat Bayazid Bhistami, Hikayat Syekh Abdul Kadir Jailani, Hikayat Syekh Saman, Hikayat Syekh Naqsabandi dan lain-lain. Di Jambi, hikayat para wali sufi dikaitkan dengan kegiatan haul, khususnya di Kuala Tungkal dan Kota Jambi. Dalam kegiatan haul dibacakan manakib (yang memuat cerita yang dibacakan tentang kebesaran sang tokoh).

5. Hikayat Pahlawan-pahlawan Islam atau epos;termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Muhamad Ali Hanafiyah, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Malik Saiful Lizan, Hikayat Saif bin Dhi Yazan, Hikayat Semaun dan lain-lain. Tokoh Hikayat Iskandar Zulkarnain didasarkan atas legenda Iskandar Agung dari Macedonia yang telah menaklukkan banyak negeri dari Balkan hingga India. Penulis Muslim menghubungkan kisah raja ini dengan kisah Iskandar Zulkarnain yang terdapat dalam al-Qur’an.

6. Hikayat tentang bangsawan Islam yang didasarkan pada fiksi Arab, Parsi dan Asia Tengah.Umumnya berupa kisah petualangan bercampur percintaandan sebagian besar termasuk ke dalam jenis pelipur lara. Namun demikian unsur didaktiknya cukup dominan. Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Jauhar Manik, Hikayat Syamsul Anwar, Hikayat Kamaruz Zaman, Hikayat Sultan Bustaman, Hikayat Umar Umayah, Hikayat Raja Khaibar,Hikayat Ahmad Muhamad, Hikayat Siti Hasnah, Hikayat Siti Zubaidah Perang Dengan Cina dan lain-lain. Sebagian dari hikayat-hikayat ini dikembangkan dari kisah-kisah yang terdapat dari cerita berbingkai dan sebagian lagi dikembangkan menjadi alegori sufi. 

7. Kisah-kisah Perumpamaan Sufi.Sebagian adalah gubahan yang berdasarkan hikayat yang termasuk dalam kategori roman, seperti misalnya Hikayat Syah Mardan, Hikayat Inderaputra dan lain-lain, Hikayat Burung Pingai yang disadur dari Mantiq al-Thayr (Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-`Attar, penyair sufi Parsi abad ke-12 yang masyhur. Karya `Attar itu juga mengilhami sastrawan-sufi di Aceh, Hamzah Fansuri (w. 1610), menulis Hikayat Burung Pingai, yang mengisahkan Nabi Sulaiman, raja binatang dan jin, memanggil semua burung. Burung pertama yang muncul ialah Nuri, Kasuari, Elang, Kelelawar, Pelatuk, Tekukur, Merak, Gagak dan lain-lain. Hikayat Burung Pingai mengisahkan upaya burung Nuri mencapai rahasia dan hakikat kehidupanmelalui jalan tasawuf..

8. Cerita Berbingkai; banyak sekali dijumpai dalam sastra Melayu. Sebagian merupakan kisah binatang (fabel), sebagian lagi tidak;yang termasuk fabel ialah Hikayat Khalilah dan Dimnah dan Hikayat Bayan Budiman, sedangkanyang tidak termasuk fabel ialah Hikayat Seribu Satu Malam, Hikayat Maharaja Ali, Hikayat Bakhtiar, Hikayat Bibi Sabariah dan lain-lain. Karya yang paling populer ialah Hikayat Seribu Satu Malam, yang diterjemahkan atau disadur dari salah satu naskah Arab abad ke-14 M. Judul aslinya ialah Alfa Layla wa Layla, dan di Eropah diberi judul Arabian Nights. Dari kisah-kisah yang terdapat di dalamnya digubah pula cerita-cerita lepas seperti Hikayat Ali Baba, Hikayat Putri Johar Manikam, Hikayat Aladin dengan Lampu Ajaib, Hikayat Sinbad Pelaut dan lain-lain. Versi paling awal dari Hikayat Seribu Satu Malam dalam bahasa Melayu ialah salinan awal abad ke-18M. 

9. Kisah-kisah Jenaka. Kisah jenaka yang populer ialah serial Hikayat Abu Nawas dan Hikayat Umar Umayya. Berdasarkan model ini kemudian muncul kisah-kisah jenaka dengan menggunakan tokoh tempatan seperti Pak Belalang (Melayu), Si Kabayan (Sunda), Modin Karok (Madura) dan lain-lain. Termasuk kisah jenaka dan sekaligus fabel ialah Kisah Pelanduk Jenaka.

B. Awal Sastra Tulis di Jambi: Abad Ke-19
Sepanjang penelusuran, Sastra Tulisbaru berkembang di Jambi mulai abad ke-19. Tradisi menulis masyarakat memang agak tertinggal dibandingkan dengan masyarakat Minangkabau, Palembang, dan Riau.  Tradisi menulis di Jambi banyak terpengaruh dari Palembang.Memasuki pertengahan abad ke-18, Kesultanan Palembang mendorong para ulama untukbanyak menulis karya-karya keagamaan ke dalam Bahasa Melayu.  Penulis-penulis sastra yang bercorak keislaman yang kemudian muncul ialah Muhammad Muhy al-Din Palimbang (Manaqib Syaikh Muhammad Samman), Syihab al-Din bin ‘Abd Allah Muhammad (Syarh al-‘Aqidat al-Iman,Risalah,Haqiqat al-Bayan), Kemas Fakhr al-Din (Futuh al-Syam, Tuhfat al-Zaman, Mukhtashar); Muhammad Muhy al-Din bin Syihab al-Din (Hikayat Syaikh Muhammad Samman); Kemas Muhammad bin Ahmad (Nafahat al-Rahman, Bahr al-‘Aja‘ib); dan yang paling produktif ialah Abd al-Shamad al-Palimbani (Hidayat al-Salikin (selesai ditulis pada tahun1781) dan Sayr al-Salikin). 

Penulis terkenal dari Palembang lainnya ialah Muhammad Ma‘ruf Palimbang dan ‘Abd al-Wahid Palimbang yang menulis manuskrip yang hampir sama  Fath al-‘Arifin. Fath al-‘Arifin versi ‘Abd al-Wahid Palimbang dibawa oleh keturunannya ke Jambi.  Salah seorang cucunya adalah Abd al-Majid Ghaffar (w. 1984).Dalam buku catatan hariannya, Majid Ghaffar menyebut ‘Abd al-Wahiddalam silsilah keluarga yangberasal dari Palembang, Kampung 14 Ilir Sungai Rendang. Majid Ghaffarmerupakanulama yang berpengaruh dan produk menulis pada pertengahan abad ke-20. Ia menulis lebih dari sepuluh buah karya, di antaranya ialah Najm al-Hidayah fi Qishshah Isra` wa Mi’raj al-Nabiy Khair al-Bariyah (1359 H), Hasyiyah Badr al-Duja ‘ala Bulugh al-Raja (1359), al-Quthuf al-Daniyah fi al-Ahadits al-Nubuwwah (1370), a-Jadawil al-Fara`idh (1370), dan Hidayat al-Shibyan fi ‘Aqa`id wa al-Shalah wa Tajwid wa al-Qur’an (1376).

Tampaknya, tradisi menulis di Jambi terpengaruh dari ulama-ulama Palembang. Beberapa karya ulama Palembang disalin dan ditemukan di Jambi. Manuskrip dari Palembang lainnya, yang kemungkinanan sengaja dibawa ke Jambi, adalahMawlud al-Barzanjiyang ditulis oleh Abd al-Rahman Jawi Palimbani, Abu Bakr Pecinan merupakan salah seorang penyalin manuskrip dari Jambi. Salah satu salinannya adalah karya Kemas Fakhr al-Din Palembang yang berjudul Mukhtashar pada tahun 1884 M. Selain Mukhtashar, Abu Bakr juga menyalin Jawharat al-Tawhid dan Tanbih al-Ghafilin, keduanya pada tahun 1873 M. Meskipun demikian, ulama Jambi juga menulis karya yang masih dalam bentuk manuskrip secara orisinil. Karya tulis ulama Jambi yang paling tua ialah Qurrat al-‘Ayn pada tahun 1817 M, yang ditulis oleh Muhammad Zain al-Jambi.  Kemudian setelah itu menyusul Khatib Abd al-Rahman Solok-Kumpeh (Kitab Sembahyang), Muhammad Hasyim al-Jambi (Kitab Ushul al-Din), dan sebagainya.

Dengan demikian abad ke-19 merupakan masa tumbuhnya tradisi tulisan di Jambi, dengan tampilnya sejumlah ulama yang menuliskan karya-karya mereka.Memang belum ada data upaya inventarisasi yang valid berapa persisnya jumlah manuskrip yang ditulis dan disalin oleh ulama Jambi. Namun diduga lebih atau kurang dari seratus buah. Berdasarkan penelitian terhadap koleksi-koleksi yang masih tersimpan di tangan masyarakat maupun yang telah dikonservasi oleh pihak museum Jambi,  manuskrip Jambi meliputi karya-karya keagamaan (al-Qur’an, aqidah, fiqh, dan tasawuf), bahasa (nahwu), sejarah, pengobatan, dan sastra.

Dua karya sastra sejarah yang terkenal di Jambi adalahUndang-undang Piagam Pencacahan Jambi (UPPJ) dan Ini Syajarah Kerajaan Jambi (ISKJ). Kedua manuskrip telah beredar dalam bentuk foto copy-an dan alihaksaranya. Sebagian kisah-kisah dan tokoh-tokoh yang terdapat di dalam manuskrip telah diketahui dan menjadi ingatan bersama (collevtive memory) masyarakat Jambi.Tentunya kisah-kisah, tersebut menjadi informasi, pengetahuan, pengajaran dan di dalam kedua manuskrip tersebut yang telah disampaikan secara lisan dari sejak beberapa ratus tahun yang lalu memang perlu diberikan analisis dan kritis. Di dalam memuat asal-usul negeri Jambi, silsilah raja-raja Jambi, hukum dan adat istiadat, dan pengajaran lainnya. Figur-figur penting yang dikemukakan dalam manuskrip adalah Dewa Sekarabah, Tun Telanai, Ahmad Barus II atau Datuk Paduko Berhalo, dan Orang Kayo Hitam. Kutipan di bawah ini adalah salah satu segmen penting tentang kisah Orang Kayo Hitam di dalam manuskrip sastra sejarah Jambi.

Peri menyatakan awal Islam ini Jambi zaman Orang Kayo Hitam bin Datuk Paduko Berhalo yang me-Islam-kannya. Kepada Hijrat Nabi SAW 700 tahun dan kepada tahun Alif bilangan Khamsiah, dan kepada sehari bulan Muharam hari Kamis pada waktu zuhur masa itulah awal Islam ini Jambi mengucap dua kalimah syahadat, sembahyang lima waktu, puasa sebulan Ramadhan, dan zakat fitrah. Baharulah berdiri rukun Islam yang lima. 

Untuk menaikkan aura kepemimpinannya, genealogi silsilah raja-raja Jambi dikait-kaitkan sampai kepada keluarga Nabi Muhammad. Asalnya Datuk Paduka Berhala, raja Turki turunan dari Sulthan Saydina Zayn al-’Abidin bin Saydina Husayn binti Fathimah Zahara binti Saydina Rasul, menjadi raja dengan istrinya namanya Tuan Putri Selaras Pinang Masak, raja Pagaruyung di tanah Jambi, bernegeri di Tanjung Jabung. 

Sebagai sastra yang bercorak sejarah, kisahnya banyak dibungkus legenda. Misalnya adalah kisah Jambi pada masa kepemimpinan Dewa Sekarabah. Manuskrip UUP mengisahkan awal negeri Jambi dipimpin oleh Dewa Sekarabah. Dewa Sekarabah digambarkan sebagai pemimpin yang penuh kuasa dan semena-mena. Jika tidak berkenan terhadap pekerjaan rakyatnya, maka ia akan menyumpahinya menjadi batu. Karena tindakan yang sangat keras dan lidahnya yang suka menyumpahi orang, Dewa Sekarabah dikenal pula dengan sebutan Si Pahit Lidah.Lebih dari itu, karena merasa kuasa dan sakti, Dewa Sekarabah ingin hidup selama-lamanya. 

Perilaku Dewa Sekarabah yang semena-mena membuat perdana menterinya, Mata Empat, gusar.Mata Empat menyusun rencana ingin membunuh rajanya.Melalui adu kecerdikan, Mata Empat berhasil membunuh Dewa Sekarabah.Mata Empat penasaran dengan lidah Dewa Sekarabah yang sakti tetapi suka menyumpahi orang.Mata Empat lalu mencicipi lidah tersebut yang ternyata sangatberacun.Mata Empat pun akhirnya juga terbunuh oleh lidah beracun Dewa Sekarabah. Di dalam manuskrip, akhir dari kisah periode Dewa Sekarabah ditutup dengan pernyataan: “Maka tidaklah beraja lagi ini Jambi... maka datang pula raja lain negeri masuk ini Jambi serta hamba rakyatnya, bangsanya Hindu.”  Di dalam naskah selanjutnya disebutkan “raja lain negeri” itu adalah Tun Telanai.

Temuan menarik lainnya tentangkarya sastra di Jambi adalah sebuah salinan tentang kehidupan dan perjuangan Nabi SAW, yang berjudul “Inilah Hikayat Mu’jizat Bulan Terbelah.”Manuskrip ditulis oleh H. Umar, guru di Madrasah Nurul Iman Ulu Gedong Seberang pada tahun 1994. Dari mana asal-usul penyalinan tidak diketahui, karena H. Umar telah wafat. H. Umar menulis di dalam buku tulis bergaris, dengan tulisan Jawi (Bahasa Melayu dan Aksara Arab) yang baik dan rapi, sebanyak 17 halaman. Isinya mengisahkan ketidakpercayaan orang kafir pada ke-Nabi-an Muhammad SAW. Mereka kemudian berkumpul untuk menuntut klaim ke-Nabi-an. Untuk membuktikannya, Nabi Muhammad menunjukkan kemampuannya menggenggam bulan, memasukkannya ke dalam jubah lengan kanan untuk kemudian muncul ke sebelah lengan kiri. Lalu Nabi mengambalikan bulan ke orbitnya di langit.  Kisah tersebut tentunya bagian dari masteri yang sangat populer disampaikah oleh para ustadz/penceramah kepada jamaad di masjid saat peringatan cara Maulid Nabi. 

Sastra Tulisan Jambi penting lainnya adalah karya syair Guru Syukur (w. 1979) dari Desa Terusan, Kabupaten Batanghari. Untuk tujuan dakwah, ia sengaja menulis bait-bait syair dua baris yang menyejukkan dan menyentuh perasaan hati jamaah. Karya asli dari Guru Syukur, yang ditulis antara tahun 1950 sampai 1960-an, memang tidak ditemukan lagi, tetapi telah disalinulang oleh muridnya. Salinan ulang tersebuttersebar di Terusan, Sakean, Tarikan (Batanghari), Padang Jering, Sekernan, dan Batang Asai (Sarolangun). Karya-karya Guru Syukur yang sempat teridentifikasi ialah Shalawat Nabi (tahun 1386/1966), Bicara [tentang] Aqidah [dan] Iman (tahun 1386/1966), Pelajaran Bicara [tentang] Nabi (tidak terdata tahun penulisan, tetapi penyalinannya dilakukan pada tahun 1394/1974), dan Hitung Hari(tidak terdata tahun penulisan, tetapi penyalinannya dilakukan pada tahun 1990); sedangkan dua naskah yang lain sepertinya berbicara tentang “persiapan kematian manusia” (tidak terdata tahun penulisan, disalin pada tahun 1963) dan “pelajaran tasawuf” (tidak terdata tahun penulisan, disalin pada tahun 1965). Penyalin utamanya ialah Aminu Husin yang tinggal di Padang Jering. Dalam salah satu kolofon, misalnya, Aminu Husin menyatakan bahwa naskah salinan tersebut telah mengalami beberapa kali salinan ulang. Misalnya pada kolofon naskah Bicara AqidahIman tertulisan “Tammatlah Bicara Aqidah Iman pada tanggal 10 Safar 1386 H, disalin lagi ke kitab ini 14 Rabiul Awal 1416 H oleh Fakir Guru Qur’an Padang Jering Batin Aminu Husin.” Dalam bentuk aslinya, seluruh karya Guru Syukur ditulis dalam Bahasa Melayu dengan aksara Arab (Jawi); kecuali naskah Hitung Hari ditulis dalam aksara Latin. 

Dalam syair Shalawat Nabi, Guru Syukur mengajak jamaah dengan ungkapan bahasa yang menyentuh hati. Menurut penuturan jamaah ia menyampaikannya secara berirama. Misalnya:

Segalo adik segalo kaka’ jantan betino
Payo mengaji hidup kita ta’kan lamo
Segalo adik segalo kaka’ jantan betino
Kito sudah diuji Tuhan dalam duniyo
Segalo adik segalo kaka’ jantan betino
Payokito mengambil faham besamo-samo
Segalo amal tidak sampai kepada Allah
Shalawat taslim yang sampai kepada Allah.

Penyampaian dakwah melalui syair mestilah menimbulkan pengaruh yang berbeda dalam fikiran dan jiwa orang Melayu. Syair adalah satu satu bentuk gubahan sastra yang telah membumi dalam diri orang Melayu. Estetika syair Melayu telah banyak dikenal sejak kanak-kanak ketika mereka masih dalam dekapan ibunya dan mengendap dalam kalbu.

C. Penutup
Masyarakat Jambi memiliki sejumlah warisa karya Sastra Lisan maupun Tulisan. Awalnya beredar dalam bentuk Sastra Lisan, yang kemudian seiring dengan kemampuan literasi, karya-karya tersebut dituliskan pada lembaran kertas. Sebagian kisah-kisahnya disampaikan secara turun-temuran, sehingga tersimpan di dalam ingatan bersama masyarakat (collective memory).

Sumber: Tentang Kita dan Mereka: Kumpulan Makalah Dialog Bahasa dan Sastra dengan Komunitas Masyarakat Jambi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...