Oleh: Maizar Karim
Pendahuluan
Bila kita balik-balik koran daerah Jambi, kerap sekali kita menemukan berita-berita konflik antardaerah, tauran antardesa, dan demo masyarakat di lingkungan sebuah perusahan terhadap perusahaan atau perkebunan. Bila kita balik-balik koran-koran ibu kota (nasional), tidak jarang kita temukan berita konflik antaretnis di sebuah daerah, konflik intra dan antarpartai politik, konflik antaragama, dan konflik antargolongan. Berita-berita tersebut adalah sebuah peristiwa faktual, sebuah realitas di tengah masyarakat yang multietnis, mutli kultural, dan multi kepentingan.
Segala macam perbedaan budaya antaretnis, antar golongan, antaragama, dan antarkepentingan, sudah tentu mempunyai potensi untuk menimbulkan konflik, apalagi kalau ada pihak-pihak yang sengaja menyulutnya. Perbedaan-perbedaan ada di ranah selera, pandangan mengenai yang indah dan yang buruk, mengenai yang mulia dan yang hina, serta perbedaan tata cara berperilaku, ditambah pula dengan latar belakang persaingan penguasaan sumber-sumber daya, sudah tentu dapat bersifat amat sensitif, yang kalau ‘ditabrakkan’ dapat menimbulkan rasa tersinggung atau bahkan amarah.
Masyarakat nyaris kehilangan kepercayaan dan panutan hidup dalam berkampung, berbangsa dan bernegara. Hampir tak ada lagi kesadaran atau penghayatan atas seloko “bekampuh nak leba, bauleh nak panjang”. Keanekaragaman itu tidak terkelola secara arif. Hal ini agaknya disebabkan oleh fanatisme para pemimpin di berbagai tingkat yang telah mengutamakan kepentingan politik dan kepentingan kelompoknya sehingga menimbulkan konflik dan kerusuhan di berbagai daerah di negeri ini. Kerusuhan itu tidak hanya menimbulkan kehilangan harta, benda, dan nyawa, tetapi juga hilangnya harmoni, keselarasan, dan kepercayaan terhadap sesama warga, yang pada gilirannya akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Deretan peristiwa itu sesungguhnya merupakan perwujudan dari menguatnya apa yang disebut revolusi identitas (identity revolution). Batas-batas identitas (etnis, juga agama, ras, dan antargolongan) yang selama rezim Orde Baru ditabukan sebagai SARA dan dipercaya subversif, justru sudah mulai bangkit sebagai sebuah basis kekuatan.
Bangsa ini tidak dapat bersembunyi di balik slogan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang hanya sekedar pengukuhan otoritas penguasa dalam melakukan penyeragaman, uniformitas dan menyepelekan perbedaan. Sudjatmoko (dalam Taum, 2006) mengingatkan kita, bahwa pembangunan negara bangsa yang otentik, yang tidak menjurus ke arah lenyapnya identitas diri, harga diri serta kreativitas, hanya dapat dicapai apabila tradisi diakui sebagai suatu kekuatan dan sumber daya yang sangat besar artinya. Tanpa memanfaatkan “kemampuan pribumi” untuk melakukan penalaran secara moral, maka evolusi masyarakat akan didikte oleh kekuatan eksternal, kekuatan di luar dirinya sendiri. Akibatnya, mereka merasa menjadi makhluk yang secara spiritual terasing dari buminya sendiri.
Konflik-konflik di berbagai daerah memberi pelajaran berharga bagi bangsa ini. Tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mulai memberikan perhatian khusus pada pembahasan tradisi, termasuk tradisi lisan. Keunikan dan kekhasan internal yang terdapat dalam masing-masing tradisi lisan merupakan potensi yang dapat diolah dan dihayati sebagai bahan kita hidup di dalam pluralitas budaya. Tradisi lisan mampu menjembatani pertemuan antarkaum yang bertikai, mampu menyajikan berbagai proses asosiasi yang memunculkan toleransi. Ia mampu menciptakan kurukunan dan kebersamaan dalam proses pelaksanannya.
Esai ini mencoba mendedahkan berbagai potensi tradisi lisan berupa sastra lisan Jambi dalam membangun persatuan dan kesatuan bangsa, baik potensi yang ditinjau dari segi sifatnya, sistem pewarisannya, maupun muatan atau makna yang melekat dalam sastra lisan tersebut.
Sastra Lisan Jambi dan Sifat Pewarisan
Jambi sebagai salah satu kelompok etnis Melayu di Indonesia, memiliki berbagai macam tradisi lisan. Salah satu jenis tradisi lisan tersebut adalah sastra lisan. Sastra lisan Jambi adalah sekelompok teks yang dituturkan dan diturunkan secara lisan dengan menggunakan bahasa Melayu Jambi, yang secara intrinsik mengandung sarana-sarana sastra dan memiliki efek estetik dalam kaitannya dengan konteks moral maupun kultural dari kelompok etnis Melayu.
Sastra lisan Jambi, terdiri dari berbagai bentuk, yakni: prosa, prosa liris, puisi, dan teater. Yang berbentuk prosa, ada yang berupa mite, legenda, dan dongeng. Yang berbentuk prosa liris, termuat dalam nyanyian-nyanyian purba rakyat seperti lirik-lirik krinok, nandung, senandung jolo, dan kunaun. Yang berbentuk puisi, ada yang berupa pepatah, petitih, seloko adat, pantun, teka-teki, jampi-jampi (mantra), dan lain-lain. Sedangkan yang berbentuk teater, dikenal dengan teater tutur dan teater Dul Muluk.
Sastra lisan tersebut merupakan bagian terpenting dari khazanah kebudayaan Melayu Jambi. Ia merupakan bagian dari persediaan budaya lama yang telah lama hidup dalam tradisi masyarakat Jambi, baik ketika masyarakat Jambi mengenal huruf maupun belum.
Begitu pentingnya karya budaya tersebut, sastra lisan Jambi dapat dikatakan sebagai dasar tradisi kebudayaan Jambi. Teks-teks lisannya merupakan sumber yang dapat menambah wawasan dan pemahaman atas sebagian warisan budaya nenek moyang. Ia memiliki nilai yang sangat tinggi, yang di dalamnya terkandung alam pikiran, perasaan, adat istiadat, kepercayaan, dan sistem nilai masyarakat masa lampau. Bila kita ingin mempelajari atau memahami kebudayaan dan karakteristik masyarakat Jambi, kita tidak dapat menapikan karya-karya sastra tersebut.
Pentingnya karya sastra lisan ini, tidak hanya dalam arti kelompok etnis Jambi, tetapi juga antarkelompok etnis bagi daerah-daerah di Nusantara (Indonesia) atau komunitas berbahasa Melayu. Hal ini diisyaratkan oleh medium ungkapnya yang menggunakan bahasa Melayu. Bahasa Melayu sejak dahulu tidak hanya merupakan bahasa bagi kelompok etnis Melayu tertentu, tetapi juga merupakan lingua franca, atau sebagai sarana hubungan perdagangan, kebudayaan, dan keagamaan di kawasan yang mempunyai aneka bahasa. Bahasa Melayu tersebut tidak hanya sebagai bahasa “istimewa” dalam kesusastraan, tetapi juga menjadi cikal-bakal bahasa idealisme kebangsaan.
Bila dikaji secara teliti, berbagai bentuk sastra lisan Jambi tersebut, bukan hanya produk kreativitas manusia Melyu Jambi berdasarkan hasil penghayatannya terhadap fenomena sosial-budaya di lingkungannya saja, tetapi juga merupakan sastra pengantar, yang atas jasanya berbagai sastra di kawasan Nusantara menjadi mungkin saling “berkomunikasi”. SesuaI dengan sifat sastra lisan ini yang migratoris, maka sastra-sastra lisan Jambi juga memiliki variasi dan versi di berbagai kantong sastra di Indonesia (Nusantara). Hal ini mengindikasikan bahwa berbagai jenis sastra lisan yang memiliki berbagai variasi atau versi tersebut mungkin berasal dari hipogram yang sama.
Dengan demikian, alam pikiran, perasaan, dan nilai-nilai budaya yang dianut oleh berbagai kelompok etnis yang memiliki variasi dan versi sastra tersebut secara esensialistik berasal dari nenek moyang yang sama, satu keturunan. Artinya mereka memiliki hubungan kekerabatan yang genealistik. Dan dalam sistem budaya Melayu Jambi, hubungan yang disebabkan oleh tali kekerabatan akan mampu membangun keselarasan atau harmonisasi antarindividu dan antarsuku. Kenyataan tersebut mengisyaratkan bahwa medium ungkap atau bahasa yang sama dan hipogram yang seasal akan menjadi sarana yang ampuh dalam mempersatukan masyarakat pendukungnya.
Seperti kita ketahui, sastra lisan (Jambi) disebarkan secara lisan atau diturunkan melalui tutur kata dari mulut ke telinga. Dengan demikian, ia bersifat tatap muka langsung. Indra yang paling dominan digunakan dalam pewarisannya adalah indra dengar. Seorang peneliti Amerika, Walter J. Ong (dalam Taum, 2011:13) mengemukakan bahwa secara psikologis, perbedaan antara komunikasi informasi tertulis dan lisan sangat besar. Perbedaan yang paling mendasar terlihat dalam pemanfaatan indra penglihatan dan indra pendengaran. Penglihatan dan pembacaan sebagai aktivitas yang ditentukan oleh indra penglihatan bersifat memecahbelahkan. Serentak dengan itu terjadi proses individualisasi. Sedangkan pendengaran (sound) bersifat mempersatukan, dan serentak dengan itu terbina persatuan dan kesatuan.
Teeuw (1988) memberikan contoh sederhana tentang hal itu, sebagai berikut. Jika seorang guru atau penceramah berbicara, semua pendengar secara langsung ikut menanggapi dan menghayati bahasa dan pikiran si pembicara. Akan tetapi, dalam situasi membaca, misalnya murid-murid masing-masing membaca sendiri sebuah buku yang telah ditentukan, terjadi proses pemecahbelahan di dalam kelas. Sekalipun teks yang mereka baca sama, jalan pikiran, pemahaman dan penghayatan murid-murid belum tentu mengikuti alur yang sama.
Sastra lisan bersifat anonim, tidak diketahui siapa individu yang menciptakannya, baik karena waktunya sudah berlangsung lama, maupun karena memang cerita itu selama proses pemindahannya mengalami perubahan oleh tindakan penutur dan pendengarnya yang tidak terbatas, sehingga sesungguhnya cerita itu diciptakan dalam sepanjang proses penceritaan itu. Dengan demikian, sastra lisan tersebut milik bersama atau milik masyarakat. Siapapun pendukung, baik secara individual maupun kolektif, berhak memanfaatkan karya sastra tersebut, baik untuk tujuan reseptif maupun produktif. Hal ini membangun fungsi bahwa sastra lisan tidak hanya mendorong dan mengukuhkan rasa kebersamaan, tetapi juga menjadi medium terciptanya rasa persatuan dan kesatuan.
Sastra Lisan Jambi dan Muatannya
Karya sastra lisan Jambi memperlihatkan gambaran yang baik dari masyarakat Melayu. Cipta sastra ini tidak hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat permukaan, tetapi mengungkapkan pula jiwa masyarakat Melayu secara lebih dalam. Hal ini dapat dimaklumi, karena proses penciptaan sebuah seni pada hakikatnya merupakan saat-saat manusia mengalami suatu “ekstase”, di mana dia merasa berada “di luar” kehidupan sehari-hari. Di situlah manusia luluh dengan yang indah. Manusia “menyerahkan” dirinya kepada yang indah. Aspek-aspek duniawi diterobos. Mereka mencipta karya seni bukan untuk dipertunjukkan atau dipamerkan, melainkan karena dia terpesona akan keindahan alam. Saat yang membahagiakan itu, diabadikannya dalam sebuah karya seni. Dia menciptakan karya seni (sastra) karena dia merasakan adanya kedahsyatan, keagungan-Nya, karena alam itu luar biasa (Sutrisno, 1993:13—24).
Sastra lisan adalah kreasi estetik dari imajinasi manusia (Whellwright, 1965). Para penutur sastra lisan tak ubahnya dengan novelis-novelis atau penyair-penyair yang menyusun cerita panjang dengan imaginasi dan sensitivitas khusus yang kompleks, yang muncul dari ‘rangsangan yang hebat antara permainan kekuatan alam dan manusia’. Sastra lisan ini memiliiki makna-makna semantis yang diaforik (melalui gerak), yaitu elemen-elemen sastra lisan itu memiliki petunjuk yang tinggi dan memiliki kecocokan emotif dengan adat suku-suku yang terumuskan dalam tradisi suku-suku tersebut.
Karena sastra ini telah menjadi gambaran pemikiran dan pengalaman spiritual masyarakat Melayu, dan pengalaman estetik itu merupakan yang khas manusiawi, maka dengan mengetahui gambaran tersebut, sastra lisan Jambi ini menjadi alat saling mengenal secara mendalam, menanamkan saling pengertian antarsuku yang berbeda kepercayaan maupun adat istiadatnya. Penelitian mengenai pengalaman itu dapat berguna untuk mengenal manusia dan komunitasnya secara lebih baik dan mendalam.
Sebagai karya manusiawi, cipta sastra ini dapat mendorong dan memungkinkan anggota masyarakat Melayu saling memahami dan membina kehidupan yang lebih baik. Betapa tidak, karya sastra tersebut bukan hanya hasil ide satu orang, tetapi mungkin berasal dari masyarakat yang diangkat oleh seseorang berkat ketajaman penghayatannya. Nilai-nilai yang termuat dalam karya tersebut lambat laun menjadi tradisi bagi pendukung sastra tersebut.Tradisi dalam masyarakat Melayu memegang peranan aktif untuk jangka waktu yang lama sehingga dapat dijadikan petunjuk dan pedoman bagi orang banyak. Begitu kuat pengaruhnya pada masyarakat Melayu, sehingga disamping memberikan pikiran, juga membentuk norma, baik pada orang sezamannya maupun untuk mereka yang menyusul kemudian.
Gambaran-gambaran dan nilai-nilai yang termuat dalam sastra lisan tersebut cenderung bersifat universal karena berasal dari hasil penghayatan terdalam pencptanya. Dengan demikian, karya sastra itu memiliki relevansi pragmatis dan idealistis untuk kehidupan masa kini. Relevansi ini, baik hal-hal yang berkaitan dengan sistem budaya kolektif, berkampung, bernegara, maupun perseorang.
Kita ambil sebuah contoh dalam hal sistem pemerintahan dan kepemimpinan. Dalam sastra lisan yang berbentuk puisi, dalam hal ini seloko, secara eksplisit dan implisit dapat ditarik makna bahwa Melayu Jambi secara keseluruhan menganut peradaban asli “komunalisme dan musyawarah” dengan “kesamaan dan keadilan”. Di sana tergambar nilai-nilai bahwa masyarakat Melayu Jambi bersifat terbuka, egaliter, dan sentripugal. Meskipun dalam karya-karya tersebut kita juga menemukan bertumbuhnya sistem beraja-raja, tetapi raja dalam sistem budaya Melayu Jambi tidaklah mutlak, ia menganut prinsip, seperti tertuang dalam seloko adatnya: “Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah”.
Ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa kehidupan demokratis lebih subur dalam komunitas budaya Melayu Jambi. Hal ini tercermin pula dalam seloko adat Melayu Jambi: “Duduk sama rendah, tegak sama tinggi”, “Elok air karena pembuluh, elok kato karena mufakat/bulat boleh digulingkan, pipih boleh dilayangkan.” Dalam perspektif demokratis, dalam seloko Melayu Jambi terdokumentasi motif-motif sistem budaya horisontal.
Begitu pula dalam cerita-cerita rakyatnya, baik yang berupa mite, legenda, maupun dongeng, tersimpan berbagai nilai budaya yang mendukung karakter persatuan dan kesatuan. Karakter yang disebutkan terakhir ini, termanifestasi dalam nilai-nilai kebersamaan, musyawarah, persaudaraan, gotong royong, dan tolong-menolong yang diperjuangkan oleh para tokoh cerita. Simak misalnya cerita-cerita rakyat berikut, antara lain: “Malin Tembesu”, “Bukit Sanggar Puyuh”, “Asal Usul Raja Jambi”, “Kotojayo”, “Raden Mattaher Singa Kumpeh”, “Pendekar Bujang Senaya”, “Tapah Melenggang”, “Duako”, “Bukit Bulan”, “Hulubalang Tengkorak Batu”, “Sumegang Tunggal”, “Berudu Godang Porut”, “Asal Memerang Pendek Tangan”, “Si Kelingking”, “Ula Lantan”, “Syeh Abdul Kadir Jaelani”, “Raja Banting”, “Putri Retrno Pinang Masak”, “Si Kembang Payung”, dan “Burung Tiung” (lihat Djakfar, dkk, 1991:261). Cerita-cerita tersebut mengandung motif perekat sosial kemasyarakatan.
Dalam banyak cerita rakyat tersebut terungkap bahwa masyarakat yang bermukim di daerah Jambi (sebagai setting cerita) merupakan kumpulan dari bermacam unsur manusia yang dilatarbelakangi perbedaan derajat, pangkat, kedudukan, kepentingan, kemampuan, serta perbedaan watak dan perilaku. Dalam komunitas masyarakat, manusia itu berusaha berjuang sesuai dengan kemampuan dan berusaha menempatkan diri sesuai dengan peranannya. Dengan demikian, mereka memiliki dorongan yang kuat untuk hidup berdampingan antarsesamanya sesuai dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Harmonisasi dan keselarasan adalah akar budaya yang dijunjung tinggi.
Dalam mendukung karakter persatuan dan kesatuan, secara intrinsik cerita rakyat Jambi tidak hanya memiliki motif perekat sosial, tetapi juga sarat dengan motif perekat psikologis, seperti nilai-nilai: cinta, kasih sayang, kesatriaan, kerelaan berjuang membela negara, kearifan, pengabdian, kesetiaan, dan keramahan. Simak, misalnya cerita-cerita: ”Putri Puti Unduk”, Kerbau Beranak Manusia, ”Timun Neik”, “Nenek Puti”, “Putri Bungsu Bersuamikan Kambing”, “Napal Sisik”, “Akhir Mayat Raja Banting”, “Bujang Senaning”, “Perpatih Nan Sebatang”, “Umar Jejek”, “Berkat Burung Pamenan”, “Putri Senang”, “Aminuddin dan Aminullah”, “Nyik Kileng”, “Nalila”, “Si Nam Berenam Bertujuh dengan Putri Bungsu”, “Si Panggung dan Si Pegu”, “Putri Bungsu Rindu Kesian”, “Gambang Malin Dewa”, dan “Burung Kuwau”; “Bukit Sanggar Puyuh”, “Bujang Jambi”, “Depati Sebelas”, “Datuk Darah Putih”, “Datuk Demang German Tembaga”, “Putri Tanglung”, “Pulau Rengas”, dan “Batu Betung Bertakuk”; “Kisah Raja Muda”, “Sawo Besar”, “Asal-usul Terjadinya Bukit Siguntang”, dan “Elang Sikat Elang Sigonggong”; “Rajo Alam”, “Batu Larung”, dan “Kancil dengan Harimau” (lihat Djakfar, 1991:262—264). Nilai-nilai dalam deretan cerita tersebut hadir dengan beraneka ragam subjek dan objeknya. Nilai-nilai budaya tersebut berkelindan dalam membangun keutuhan.
Penutup
Khazanah budaya Melayu berupa tradisi lisan, sadar atau tidak sadar, dapat menjadi referensi dan sumber transformasi budaya dalam pembinaan dan pengembangan demokrasi dan hidup damai dalam keberagaman. Khazanah tersebut juga memiliki unsur-unsur budaya yang tak terbantahkan dalam memupuk rasa kebersamaan, persatuan dan kesatuan. Kebersamaan dan rasa persatuan dan kesatuan telah lama melekat dan telah menjadi tabiaat masyarakat Melayu. Namun tak dapat dielak, kenyataan menunjukkan bahwa tabiat tersebut mulai bergeser dan digerogoti oleh unsur-unsur budaya eksternal. Kita seperti berada pada ambang krisis identitas. Unsur-unsur budaya internal hanya tinggal terkubur dalam sastra lisan. Mungkin pula jati diri kita ikut terkubur dalam teks-teks tradisi lisan itu.
Keadaan yang memungkinkan suku-suku bangsa di Indonesia ini dapat saling mendekat, saling mengenal, dan saling menghargai, dan pada gilirannya tercipta rasa persatuan dan kesatuan, tidak cukup hanya dengan meneliti atau mengkaji sastra atau tradisi lisan tersebut. Tradisi lisan tersebut perlu di exposure (ditampilkan). Exposure itu dapat disajikan melalui pertemuan-pertemuan tatap muka, di mana tradisi atau sastra lisan itu dipergelarkan atau didemonstrasikan langsung, dapat juga disajikan melalui perantaraan media. Media yang digunakan dapat bersifat teks dan visual saja seperti pada buku, namun bisa juga audio seperti pada berbagai jenis hasil rekaman suara, atau dapat pula bersifat audio-visuaL-kinetik/sinematografis, yang dikenal juga “citra bergerak”.
Tidak kalah pentingnya juga, bila tradisi atau sastra lisan itu dijadikan bahan ajar dan medium pembelajaran di sekolah-sekolah. Dengan demikian tradisi lisan tersebut tidak hanya berada pada ranah kognitif, tapi juga menjangkau ranah psikomotorik dan afektif.
Sumber: Tentang Kita dan Mereka: Kumpulan Makalah Dialog Bahasa dan Sastra dengan Komunitas Masyarakat Jambi
Terima kasih, Bapak. Alhamdulillah memberikan wawasan bagi pembaca.
BalasHapus