Oleh: Romi Zarman
Pengantar
Tulisan ini berisi sedikit gambaran tentang kondisi terkini sastra Indonesia di Sumatra Barat, berfokus pada soal-soal dinamika gagasan, baik antara sastrawan terlatih dan pengarang muda maupun di dalam ‘tubuh’ pengarang muda itu sendiri, serta tumbuh-kembangnya komunitas sastra. Dalam tulisan pengantar diskusi ini juga akan dikemukakan sedikit perihal peranan Balai Bahasa Padang dalam merangsang lahir dan tumbuhnya pengarang-pengarang baru di Sumatra Barat.
Polemik Sastra di Sumatra Barat
Suatu benturan keras berwujud “perang kertas” antara pemeluk gagasan terbuka dan penderita penyakit ideologis warisan Orde Baru terjadi di Sumatra Barat dari minggu ketiga bulan Januari hingga Maret 2011, dipicu oleh tulisan Darman Moenir di surat kabar Haluan, 23 Januari 2011, berjudul “30 Tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatra Barat, Novel Persiden Membawa Warna Baru”. Dalam esainya itu, standarisasi dan kebermutuan karya sastra ditakar berdasarkan berhasil atau tidaknya pengarang dalam “menaklukan” Jakarta sebagai pusat dalam arena sastra nasional. Mereka yang karya-karyanya belum menembus Horison atau Kompas, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) atau Taman Ismail Marzuki (TIM), dipandang sebagai pengarang kelas tiga dan belum berhak disebut sastrawan dan dinyatakan tidak pantas “duduk semeja” dengan para pengarang kelas satu yang di masa Orde Baru jamak disebut sastrawan nasional. Meskipun kemudian suatu apologi bermunculan di Sumatra Barat bahwa standarisasi itu bertujuan memotivasi pengarang muda dalam berkarya namun yang jelas standarisasi itu telah membuat jatuhnya korban diskriminasi dari pihak yang hendak masuk ke arena yang disebut sastra nasional itu.
Haris Effendi Tahar dan Gus tf Sakai di bawah rezim diktator Soeharto adalah korban diskriminasi atas standarisasi Orde Baru yang serba sentralistik itu. A.A. Navis adalah orang yang pertama kali mengamini (penulis tak menemukan suara kritis Navis dalam memandang standarisasi Orde Baru itu) dan malah menumbuh-kembangkan standarisasi itu dalam arena sastra nasional di Sumatra Barat, dan kemudian didistribusikan dan dijaga dari generasi ke generasi oleh Darman Moenir. Dalam terminologi Bourdieu, Navis dan Darman adalah agen penjaga kekuasaan Orde Baru di Sumatra Barat dalam arena sastra. Kekuasaan Orde Baru yang serba sentralistik itu semakin langgeng ketika korban-korban diskriminasi itu bangkit dan justru mengamini penyeragaman yang dikehendaki oleh agen Orde Baru dengan berupaya “menaklukan” Jakarta. Tatkala Jakarta berhasil “ditaklukan” oleh karya-karya Gus tf Sakai, misalnya, maka terjadilah peralihan labelisasi dari sebutan pengarang pop ke pengarang sastra, suatu sebutan yang di masa 1920-an paralel dengan sebutan pengarang pitjisan dan Balai Poestaka bentukan kolonial Belanda.
Tumbangnya rezim respresif Orde Baru pada bulan Mei 1998 membawa angin segar dalam arena sastra di Sumatra Barat. Berbagai novel lahir dari penulis-penulis baru, penerbit tumbuh berupaya meruntuhkan dominasi Penerbit Gramedia Group, jaringan kapitalisme buku mendapatkan tandingan dengan sistem distribusi dari komunitas ke komunitas. Komunikasi dan akses kian terbuka, inilah kemudian yang disebut globalisasi itu, meruntuhkan dikotomi pusat dan daerah, lokal dan nasional serta internasional, suatu dasar politik identitas yang di masa Orde Baru berlaku sebagai penggontrol kebudayaan. Pengarang-pengarang “hibrid” di Sumatra Barat, yang lahir dari standarisasi Orde Baru yang penindas itu (dan sejauh penelusuran penulis, mereka tidak melakukan perlawanan apa-apa dan malah mengamini layaknya Navis) dan Reformasi yang serba terbuka, di antaranya, Agus Hernawan, Mohammad Isa Gautama, dan Sondri BS, menjadi panutan dalam mencari standarisasi bagi generasi pengarang yang lahir dan tumbuh di kampus-kampus semi-demokratik di Sumatra Barat, seperti Unand, UNP, dan IAIN Imam Bondjol.
Dewan Kesenian Sumatra Barat pimpinan Ivan Adilla merangsang tumbuhnya pengarang generasi baru Sumatra Barat dengan menyelenggarakan workshop kepenulisan pada bulan April 2005. Ragdi F Daye, Deddy Arsya, dan Iggoy el Fitra, adalah sedikit nama dari sekian banyak alumni workshop kepenulisan itu yang kemudian intensif mendisiplinkan diri dalam menulis puisi dan cerpen tidak hanya di media-media cetak Sumatra namun juga Jawa. Pada tahun berikutnya, workshop itu kembali dilangsungkan oleh Dewan Kesenian Sumatra Barat di INS Kayutanam dengan peserta berbeda dari tahun sebelumnya. Tersebutlah kemudian para alumni wokrshop 2006 itu yang tak kalah intensifnya dalam mendisiplinkan diri dalam menulis, di antaranya, Esha Tegar Putra dan Heru Joni Putra. Selepas itu, terjadi pergantian pengurus—Dewan Kesenian Sumatra Barat mulai memasuki masa suram, “penuh kongkalingkong”, demikian tulis Zelfeni Wimra, dan menampakan kecondongan pada sebentuk fasisme kebudayaan —dan tak ada lagi workshop kepenulisan bagi anak-anak muda Sumatra Barat.
Komunitas-komunitas sastra kemudian bermunculan dan tumbuh silih berganti di Sumatra Barat, seperti Komunitas Ilalalang Senja (digerakan oleh Iggoy el Fitra, dkk), Komunitas Daun (Yetti A.Ka, dkk), Rumah Kreatif Kandangpadati (Pinto Anugrah, dkk), Ruang Sempit (Arif Rizki, dkk), ruang diskusi sastra di komunitas Teater Imam Bondjol (Zelfeni Wimra, dkk), Diskusi Sastra Secangkir Kopi (Fadlillah dan mahasiswa/i penulis karya sastra), Komunitas Tubuh Jendela (Maira, dkk), dan lain-lain. Tak ditemukan spirit “pendewaan” terhadap sosok yang dituakan dalam komunitas-komunitas sastra itu mengindikasi mulai bangkitnya dialektika Minangkabau yang dibungkam oleh diktator Soeharto sepanjang berkuasanya rezim represif Orde Baru. Komunitas-komunitas itu disinggahi oleh beragam orang, dan diskusi-diskusi separoh intensif berlangsung hampir setiap minggu. Komunitas-komunitas itu tampak bergerak ke arah gagasan terbuka, demokratik dan menjaga keberagaman, hubungan berlangsung horisontal dan tidak vertikal.
Pada titik inilah kemudian terjadi benturan keras bersifat ideologis tatkala Darman Moenir dalam esainya itu (Haluan, 23 Januari 2011) menjadikan Dewan Kesenian Jakarta sebagai barometer dalam menentukan kebermutuan novel-novel dari Sumatra Barat. Nyatanya dari standarisasi yang diskriminatif itu disimpulkan oleh Darman Moenir bahwa tak ada novel bermutu dari Sumatra Barat sejak tiga puluh tahun terakhir. Pada tahun 1980, novel Bako karya Darman Moenir keluar sebagai pemenang utama Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta. Suatu esai berstandar Orde Baru yang diskriminatif itu kemudian dipublikasikan oleh Darman Moenir di Haluan pada tanggal 23 Januari 2011, berjudul “30 Tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatra Barat, Novel Persiden Membawa Warna Baru”. Inilah rentang waktu tiga puluh tahun yang dimaksud oleh Darman Moenir itu: 1981-2010. Tak ada penulis dari Sumatra Barat yang berhasil memenangkan Sayembara Menulis Novel DKJ dari tahun 1981 hingga 2010 menjadi indikator bagi Darman Moenir dalam memandang kebermutuan karya sastra dari Sumatra Barat. Karena itu, tatkala novel Persiden Wisran Hadi keluar sebagai salah satu pemenang Sayembara Menulis Novel DKJ 2010, maka Darman Moenir serta-merta mengklaim telah lahir novel bermutu dari Sumatra Barat setelah karya-karya penulis Sumbar mengalami kekosongan mutu sepanjang tiga puluh tahun terakhir.
Pengarang Muda
Pengarang generasi baru di Sumatra Barat, seperti Ragdi f Daye, Deddy Arsya, Iggoy el Fitra, Esha Tegar Putra, Heru Joni Putra, dan lain-lain, sebetulnya tanpa sadar ikut menjaga dan merawat standarisasi Orde Baru di era Reformasi dengan berlomba-lomba “menaklukan” Jakarta—termasuk penulis dalam hal ini (sebagai orang yang pernah menulis karya sastra), karena itu artikel ini bagi penulis (dan mungkin juga bagi pengarang segenerasi di Sumatra Barat) adalah otokritik penting. Ruang puisi Kompas dan Sastra Koran Tempo, yang berhabitus neo-lib Utan Kayu/Salihara, menjadi target utama taklukan dan meminggirkan halaman sastra surat kabar terbitan Sumatra Barat ke strata paling bawah. Kuasa dikotomi pusat dan daerah, lokal dan nasional serta internasional, terlestarikan oleh pengarang generasi baru Sumatra Barat ini. Sejumlah penghargaan kepada generasi baru ini oleh sebagian pengajar sastra di kampus semi-demokratik seperti Unand, berbentuk labelisasi menyesatkan: ‘sastrawan nasional’ dan ‘sastrawan internasional’, membuka ruang baru bagi terciptanya “patologi sosial” paling mengerikan awal abad ke-21. “Penyakit-penyakit sosial” itu berbentuk narsisme, lebay, dan menderita penyakit “rasa memiliki” yang berlebihan dan merasa paling berjasa dalam memberikan kontribusi terhadap institusi dan kerja kebudayaan di Sumatra Barat, sehingga suatu sikap yang mengarah ke vandalisme mulai tampak dan mengancam: ketika pengarang yang mahasiswa itu lalai dalam memenuhi tuntutan akademiknya maka ia merasa berhak memperoleh dispensasi meskipun itu berisiko melabrak rambu-rambu akademik yang semestinya dipatuhi.
Delusi kesastraan menimpa beberapa pengarang generasi baru Sumatra Barat itu. Pada 2012, beberapa pengarang muda itu melangsungkan suatu event bernama Padang Literary Biennale 2012 di tengah permukiman padat penduduk di Jalan Kandangpadati, Kecamatan Kuranji, Padang, dengan mengundang sejumlah penyair Sumbar terpilih untuk membacakan puisi-puisinya di atas punggung, dan masyarakat sekitar hanya jadi pekerja dan penonton belaka. Sejarah sastra tulis Sumatra Barat yang terentang panjang dan tak putus dalam melahirkan pengarang pada setiap zaman, dari periode kolonialisme Belanda hingga Reformasi, jelas menolak event sastra berbentuk panggung untuk para pengarang. Tradisi tulis itu mestinya menyebar, ke sekolah-sekolah dan perempatan jalan, misalnya, dan memformulasikannya menjadi sebentuk benteng bagi anak-anak muda Sumatra Barat dari gempuran narkotika dan penyakit-penyakit pikiran yang mendesak untuk segera disembuhkan. Premis ‘sastra adalah sastra’ (atau ‘sastra untuk sastra’?) sudah saatnya disingkirkan oleh pengarang di Sumatra Barat dan bersinergi keluar diri dalam grand design kebudayaan.
Di tengah kepungan “penyakit-penyakit sosial” itulah suatu tindakan diskriminasi kembali menimpa pengarang muda Sumatra Barat bernama Heru Joni Putra. Pada 24 Maret 2013, berkumpul para sastrawan dan budayawan, juga sejumlah pejabat negara dan tokoh-tokoh masyarakat di Bukittinggi, dideklarasikan bersama-sama apa yang kemudian dikenal sebagai Hari Sastra Indonesia. Surat undangan dilayangkan oleh panitia kepada pengarang-pengarang segenerasi Heru untuk menghadiri deklarasi Hari Sastra Indonesia namun tidak untuk pengarang Heru Joni Putra. Kekritisan Heru Joni Putra dalam bersuara di arena sastra di Sumatra Barat terhadap salah seorang penggagas acara menjadi penyebab utama. Terbiar tanpa perlawanan dan advokasi pikiran oleh mereka yang berarena sastra di Sumatra Barat, Heru Joni Putra kemudian menulis suatu esai tajam di surat kabar Padang Ekspres: “siapa saja yang [hendak] masuk [dalam acara-acara] Sastrawan Indonesia [maka sebaiknya perihal undangan] tidak ditentukan oleh satu kelompok saja”.
Balai Bahasa Padang dan Peranannya
Di tengah kondisi terkini kesastraan Indonesia di Sumatra Barat itulah, seperti yang sudah diuraikan di atas, Balai Bahasa Padang secara berkesinambungan terus mendorong lahirnya pengarang-pengarang muda Sumatra Barat. Dorongan itu dilakukan dengan merealisasikan program-program bahasa dan sastra, di antaranya, menyelenggarakan pelatihan dan lomba menulis. Pertama, Balai Bahasa Padang menjaring minat anak-anak muda khususnya siswa-siswi Sekolah Menengah dan mahasiswa tahun pertama untuk mengikuti pelatihan penulisan sastra (terutama cerpen dan puisi). Mereka itu dilatih oleh sejumlah mentor (terdiri dari para sastrawan terlatih) yang telah ditunjuk oleh Balai Bahasa Padang. Kedua, sehabis pelatihan, anak-anak muda itu diasah untuk berkompetisi dengan menyelenggarakan sayembara menulis cerpen.
Dengan metode seperti itulah Balai Bahasa Padang mencoba menjalankan peranannya di Sumatra Barat, khususnya dalam merangsang lahirnya pengarang-pengarang muda Sumatra Barat.
Sumber: Makalah Temu Sastrawan pada Pekan Sastra Balai/Kantor Bahasa Regional Sumatra 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...