Kamis, 28 Juli 2016

Sastra, dan Kabut Bukan Asap (Dialektika Tradisi dan Modernitas Sastra)

Oleh : Ary Sastra, S.S.

Bagi masyarakat sekarang, yang konon katanya sudah moderen, kata "tradisi" merupakan bagian dari masa lalu, sudah kuno dan harus ditinggalkan. Begitu pula halnya dengan produk-produk kesusastraan masa lalu, seperti hikayat, gurindam, syair, pantun, dan yang lainnya, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, sehingga tidak perlu dibaca lagi. Masyarakat sekarang, yang konon sudah moderen itu, lebih menyukai membaca karya sastra Indonesia moderen, seperti puisi, cerpen, ataupun novel.   

Namun apakah yang dimaksud dengan Sastra Indonesia moderen? Apakah Sastra Indonesia moderen, yang notabene berasal dari barat itu, hanya sekadar puisi, novel atau cerpen saja? Lalu mengapa dalam sastra Indonesia modern tersebut masih terdapat unsur-unsur tradisi? Baik dari segi tema, latar, tokoh, dan sebagainya.

Sejak kapan sastra Indonesia moderen itu lahir? Apakah bagi karya-karya sastra yang tercipta sejak negara Indonesia ini ada? Bagaimana ciri-ciri Sastra Indonesia yang moderen itu? Apakah karya-karya sastra yang ditulis dengan Bahasa Indonesia saja? Bagaimana dengan karya-karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu atau bahasa daerah lainnya?

Tidak mudah memang untuk merumuskan pengertian Sastra Indonesia moderen tersebut. Terlebih lagi bila dibenturkan dengan dikotomi tradisi dan modernitas dalam perkembangan sastra itu sendiri. Berbagai pertanyaan terus bermunculan di benak kita berkaitan dengan Sastra Indonesia moderen. Sejumlah ahli pernah mencoba memetakan sejarah perkembangan sastra Indonesia, namun masih menyisakan perdebatan, karena tidak adanya kesepakatan tentang batasan-batasan apa yang dimaksud dengan sastra Indonesia modern.

Kata modern biasanya erat kaitannya dengan sesuatu yang “terkini” atau “baru”. Istilah modern berasal dari bahasa latin “ Modo” yang berati cara dan “ Ernus” yang berarti masa kini.  Modern adalah tata kehidupan yang mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban dunia masa kini. 

Modern relatif bebas dari kekuasaan adat-istiadat lama karena mengalami perubahan dalam perkembangan zaman dewasa ini. Perubahan-Perubahan itu terjadi sebagai akibat masuknya pengaruh kebudayaan dari luar yang membawa kemajuan terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam mencapai kemajuan, selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang seimbang dengan kemajuan di bidang lainnya seperti ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya.

Sedangkan kata “tradisi” yang berasal dari bahasa latin: traditio yang artinya “diteruskan”. Tradisi merupakan suatu tindakan dan kelakuan sekelompok orang dengan wujud suatu benda atau tindak laku sebagai unsur kebudayaan yang dituangkan melalui fikiran dan imaginasi serta diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang didalamnya memuat suatu norma, nilai, harapan dan cita-cita tanpa ada batas waktu yang membatasi.

Dari konsep tradisi tersebut di atas, maka lahirlah konsep tradisional. Tradisional merupakan sikap mental dalam merespon berbagai persoalan dalam masyarakat (Sajogyo, Pudjiwati, 1985:90). Di dalamnya terkandung metodologi atau cara berfikir dan bertindak yang selalu berpegang teguh atau berpedoman pada nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. 

Dengan kata lain setiap tindakan dalam menyelesaikan persoalan berdasarkan tradisi. Seseorang akan merasa yakin bahwa suatu tindakannya adalah betul dan baik, bila dia bertindak atau mengambil keputusan sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku. Dan sebaliknya, dia akan merasakan bahwa tindakannya salah atau keliru atau tidak akan dihargai oleh masyarakat bila ia berbuat di luar tradisi atau kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakatnya. 

Di samping itu berdasarkan pengalaman atau kebiasaannya, dia akan tahu persis mana yang menguntungkan dan mana yang tidak. Oleh karena itu, sikap tradisional adalah bagian terpenting dalam sistem tranformasi nilai-nilai kebudayaan.

Disadari atau tidak, sebenarnya perkembangan Sastra Indonesia persis seperti kabut, tapi bukan asap yang melanda negeri kita saat ini. Ia masih samar-samar, selalu berada dalam tarik menarik antara tradisi dan modernitas.

Bahkan, sejumlah sastrawan secara sadar mencoba menggali kembali dan memasukkan unsur-unsur tradisi ke dalam karya-karyanya. Bagi mereka, tradisi tidak mesti ditinggalkan, tetapi merupakan sumber inspirasi, tempat berpijak dalam memainkan kreatifitasnya. 

Menariknya, apa yang dilakukan para sastrawan itu tidak sekadar mengadopsi unsur-unsur tradisi semata, tapi mereka mencoba mengaktualkannya sesuai dengan kondisi dan situasi zaman sekarang. Upaya ini tentunya secara tidak langsung sebagai langkah melestarikan tradisi itu sendiri, seperti yang dilakukan penyair Rida K Liamsi dalam puisinya berjudul "Jebat." 

Sadar atau tidak, penyair Rida K Liamsi telah membawa kita kembali ke masa lalu. Dari membaca judulnya saja, pikiran kita telah digiring kepada Hikayat Hang Tuah. Kisah ini sangat populer sekali bagi masyarakat Melayu, bahkan juga di wilayah nusantara lainnya. Bahkan, tokoh-tokoh dalam hikayat tersebut telah menjadi mitos, dipercayai secara turun temurun oleh masyarakat Melayu. 

Tokoh Hang Tuah misalnya, selalu diidentikkan dengan kepahlawanan, kesetiaannya terhadap raja. Sedangkan tokoh Hang Jebat, lebih identik dengan perlawanan atau pemberontakan terhadap sang penguasa.

Sebenarnya, hal yang dilakukan Rida K Liamsi ini juga pernah dilakukan oleh penyair lain, seperti Amir Hamzah dengan puisinya berjudul "Batu Belah" dan "Hang Tuah" berdasarkan dongeng Batu Belah dan Hikayat Hang Tuah, puisi Chairil Anwar, "Cerita Buat Dien Tamaela" didasarkan kepercayaan orang Maluku, serta puisi Gunawan Mohammad, "Gatoloco" yang diolah dari buku Gatoloco, sebuah kitab yang berisi ajaran mistik masyarakat Jawa.

Meski berpijak dari mitos masa lalu, para penyair atau sastrawan tetap memainkan kreatifitasnya sesuai dengan situasi dan kondisi hari ini. Mitos-mitos tersebut hanyalah sebagai pintu masuk agar karya-karya mereka mudah dipahami dan lebih familiar bagi pembacanya.  

Tapi setelah membaca lebih jauh, puisi Jebat karya Rida K Liamsi jauh berbeda dari kisah Hang Jebat sebagaimana yang terdapat dalam hikayat. Jebat dalam puisi Rida K Liamsi lebih mengarah kepada upaya kesadaran orang Melayu terhadap masa lalu mereka, seperti yang dilukiskan pada bait pertama puisi itu.

Telah kau hunus keris
telah kau tusuk dendam
telah kau bunuh dengki tetapi, siapakah yang telah mengalahkan mu
Dalam hikayat diceritakan yang membunuh Hang Jebat adalah Hang Tuah, sahabatnya sendiri yang diutus oleh Raja. Namun kenapa Rida K Liamsi masih mempertanyakannya? sebagai orang Melayu, Rida K Liamsi tentu lebih tahu. Agaknya pertanyaan itu merupakan autokritik dari sang penyair bagi dirinya sendiri dan masyarakatnya bahwa perseteruan tersebut tidak ada guna sama sekali.
Kami hanya menyaksikan luluh rasa murka mu
celup cuka cemburu mu
kubur rasa cinta mu
di bayang-bayang hari mu

Kami hanya menyaksikan waktu menghapus jejak darah mu
angin menerbangkan setanggi mimpimu
ombak menelan jejak nisan mu
di balik cadar mimpi-mimpi mu

Sebagai Orang Melayu yang hidup pada masa kini, Rida K Liamsi memiliki kekhawatiran terhadap perkembangan budaya Melayu hari ini. Ia khawatir budaya Melayu perlahan-lahan tergerus arus perkembangan zaman
Kami semua telah mengasah keris
telah menusuk dendam
membunuh dengki
meruntuhkan tirani

Tapi siapa yang telah mengalahkan kami
menumbuhkan khianat
melumatkan sesahabat
mempusarakan sesaudara

Kami hanya menyaksikan waktu yang berhenti bertanya
sejarah yang berhenti ditulis
kita hanya membangun sebuah arca

Apa yang telah dilakukan Rida K Liamsi melalui puisi Jebat, tidak semata berpijak kepada mitos, tetapi telah mengaktualkannya sesuai dengan kondisi hari ini. Banyak pakar berpendapat bahwa karya sastra yang baik, akan menciptakan mitos kepada pembacanya.

Sebut saja Tokoh Siti Nurbaya dalam novel Marah Rusli. Padahal tokoh itu hanya ada di dalam novel, rekaan Marah Rusli semata. Namun masyarakat di Kota Padang mempercayai cerita itu memang benar-benar ada. Bahkan Pemerintah Kota Padang juga ikut-ikutan memberikan nama jembatan di kawasan Muara Padang dengan nama, Jembatan Siti Nurbaya. 

Kembali ke puisi Jebat, meski tidak mempersoalkan perseteruan antara Hang Tuah dan Hang Jebat, siapa yang benar dan siapa yang salah, Rida K Liamsi telah menciptakan Jebat masa kini. Jebat yang lebih arif, memunculkan kesadaran masyarakat Melayu. 

Sesungguhnya apa yang dilakukan Rida K Liamsi dalam pandangan sastra perbandingan, adalah sesuatu yang wajar. Mazhab ini berpendapat, tidak satupun karya sastra di dunia yang betul-betul murni. Sebuah karya sastra lahir, pastilah ada pengaruh dari karya lain, baik itu dilakukan secara sadar atau tidak oleh penulisnya. Pengaruh tersebut bisa saja dalam bentuk formal, seperti tokoh, alur, latar, atau dalam bentuk abstrak atau ide atau wacana suatu teks meresap ke dalam teks lain.

Jelas, antara puisi Jebat Rida K Liamsi dan tokoh Hang Jebat dalam hikayat Hang Tuah mempunyai hubungan secara interteks. Namun dalam hubungan interteks tersebut telah terjadi modifikasi yang berupa pengubahan, penyesuaian, perbaikan, dan pelengkapan terhadap teks yang ditransformasikan.
Artinya Rida K Liamsi tidak semata-mata mengadopsi tokoh Hang Jebat. Namun Rida K Liamsi secara piawai telah mentrasformasikan dalam nilai-nilai kekinian, termasuk sikap dan pandangannya terhadap eksistensi bangsa Melayu itu sendiri.

Apa yang telah dilakukan Rida K Liamsi dalam puisi Jebat dan hubungan dengan hikayat Hang Tuah merupakan bagian dari upaya transformasi nilai-nilai tradisi masyarakat Melayu. Menurut pandangan kaum intertekstualitas, transformasi itu dapat dijelaskan secara estetis, ideologis, dan kultural.

Secara estetis, perubahan tersebut terjadi apabila ungkapan estetis yang dominan dianggap tidak lagi memadai atau dianggap usang. Adanya eksplorasi estetis dan interpretasi baru yang berbeda ini memunculkan inovasi untuk pencapaian estetis tertentu. Adapun dari segi ideologis, perubahan itu terjadi apabila bentuk yang sudah ada perlu diubah karena tidak sejalan lagi ideologi yang dianut. Ideologi dalam pengertian ini meliputi nilai, norma, filsafat, kepercayaan, religi, sentimen, etos, atau wawasan tentang dunia.

Persoalan transformasi sebagai wujud dari sambutan teks seperti yang dikemukakan di atas, sesungguhnya, sejalan dengan gagasan kaum intertekstualitas. intertekstualitas adalah himpunan atau kombinasi berbagai teks dalam sebuah teks. Dalam keadaan tertentu hasil karya yang ditulis itu melahirkan lagi sebuah genre atau bentuk yang baru.

Bentuk baru itu mungkin merupakan percobaan atau eksperimen penyambutnya dalam menghasilkan karya yang berbeda dari apa yang pernah ditulis pengarang sebelumnya. Sebuah karya sastra menjadi dasar intertekstualitas karena karya sastra itu pada prinsipnya tidak pernah hanya mempunyai makna yang satu, tetap, dan tidak berubah. Dengan demikian, kajian intertekstualitas bukan saja memberi makna yang berbeda, tetapi dapat juga melahirkan makna baru.

Sejalan dengan pandangan mazhab sastra perbandingan di atas, perkembangan Sastra Indonesia moderen tidak terlepas dari unsur-unsur tradisi yang terdapat di khazanah budaya nusantara. Sebagaimana halnya dengan perkembangan Bahasa Indonesia, yang juga tidak bisa lepas dari bahasa Melayu sebaggai induknya dan bahasa-bahasa daerah lain yang turut memperkaya khazanah Bahasa Indonesia itu sendiri. 

Walau bagaimanapun, sastra memang tidak bisa lepas dari bahasa. Namun kesadaran, menggunakan satu bahasa, yaitu Bahasa Indonesia telah ada jauh sebelum Negara Indonesia diproklamirkan, yaitu melalui sumpah pemuda, 28 Oktober 1928. Bahkan jauh sebelum itu, bangsa Indonesia telah menggunakan bahasa Melayu sebagai sarana berkomunikasi “Lingua Franca” bagi berbagai etnis yang ada di nusantara.

Artinya, peranan bahasa tidak bisa disepelekan dalam kehidupan berkebangsaan Indonesia. Bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang ini memiliki sejarah yang panjang. Ia merupakan simbol negara. Fungsi dan kedudukannya diatur dalam undang-undang.

Lalu, bagaimana pula halnya dengan bahasa yang digunakan para sastrawan Indonesia belakangan ini. Sering kita temukan, khususnya dalam puisi, kata-kata atau kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan kaidah atau aturan dalam berbahasa Indonesia. 

Walaupun bisa berlindung di balik istilah “Licentia Poeitika” (semacam izin untuk melabrak aturan dan kaidah bahasa), apa yang dilakukan sastrawan itu mestilah mempunyai alasan tertentu. Ia tidak bisa suka-suka, atau sekadar gaya-gaya saja.   

Di sinilah, peran lembaga atau institusi kebudayaan, seperti kantor atau balai Bahasa diperlukan untuk mengkaji dan menggali kembali nilai-nilai tradisi bangsa Indonesia. Mungkin saja dalam bentuk lomba, seperti lomba menulis cerita rakyat, lomba pantun, lomba menulis syair, seperti yang telah dilaksanakan belakangan ini.

Sumber: Makalah Temu Sastrawan pada Pekan Sastra Balai/Kantor Bahasa Regional Sumatra 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...