Jumat, 05 Agustus 2016

Kearifan Lokal Masyarakat Bungo dalam Syair Krinok

Oleh: Fitria, Elva Yusanti, Efrison, Afriyendy Gusti
Abstrak

Sebagai suatu seni tradisi yang diwariskan secara turun-temurun, krinok berisi syair-syair yang mengejawantahkan kearifan lokal masyarakat pemiliknya (masyarakat Bungo). Kearifan lokal tersebut sampai saat ini masih dijadikan pedoman dan pegangan dalam berperilaku atau bertindak, baik secara individu maupun secara kelompok.
Untuk mengetahui bagaimana syair-syair krinok dapat mencerminkan kearifan lokal masyarakat Bungo, digunakan teknik observasi, rekaman, dan wawancara untuk mengumpulkan data penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal masyarakat Bungo yang terdapat dalam syair krinok mencakup religiositas, kepemimpinan, sistem ekonomi, dan relasi sosial.
Kata kunci: kearifan lokal, krinok, masyarakat Bungo

1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Kearifan lokal, secara subtansial, merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai dan norma tersebut diyakini kebenarannya dan dijadikan acuan oleh masyarakat dalam bertindak (berperilaku) sehari-hari. Dengan kata lain, kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi dan memberdayakan potensi nilai-nilai luhur budaya setempat sekaligus dapat menjadi entitas yang menentukan harkat dan martabat manusia (Geertz, 1992). Selain itu, kearifan lokal menurut Quaritch Wales (dalam Ayatrohaedi, 1986) disebut local wisdom/local genius yang diartikan sebagai keseluruhan ciri kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat sebagai hasil pengalaman mereka di masa lalu.

Kearifan lokal yang mengandung nilai dan norma masyarakat tersebut menyatu dalam sistem kepercayaan, norma, budaya dapat diekspresikan melalui tradisi lisan  (cerita rakyat, ungkapan lokal, syair, pepatah-petitih, peribahasa) yang dianut dalam jangka  waktu yang lama. Proses itu melekat dalam kehidupan masyarakat dan menjadi pengetahuan kolektif mereka sehingga nilai tersebut diyakini oleh masyarakat setempat sebagai kebenaran dan menjadi pedoman dalam melakukan sesuatu hal. Oleh karena itu, nilai ini menjadi dasar dari kehidupan manusia dan menjadi pedoman ketika orang akan melakukan sesuatu. 

Memahami nilai kearifan lokal yang diekspresikan melalui tradisi lisan ini  haruslah dilandasi dengan pengertian dan pemahaman terhadap makna dari setiap perangkat simbolnya. Perangkat simbol yang bermakna ini dapat ditemui dalam ungkapan, syair, peribahasa, pepatah-petitih, dan cerita rakyat (Syapruddin, 2009). Salah satu perangkat simbol yang masih ditemukan adalah syair. Syair merupakan sejenis puisi yang dilagukan. Syair biasanya tidak mempunyai pemilik atau penulis yang khusus. Syair dianggap milik bersama oleh masyarakat Melayu Lama. Syair ini  masih ditemukan di daerah Jambi dalam satu tradisi yang disebut dengan krinok. 

Krinok adalah salah satu jenis seni tradisi yang hidup dan berkembang di daerah Jambi, terutama di wilayah Bungo, Tebo, Merangin, Sorolangun, dan Batanghari. Dalam perkembangannya, krinok memiliki banyak varian, seperti mantau (Kabupaten Bungo), dideng (Kabupaten Bungo), kuak dan kba (Kabupaten Bungo), doak (Kabupaten Tebo), dan senandung jolo (Kabupaten Batanghari). Menurut Saragih (dalam Rassuh: 2), krinok  memiliki empat ciri yang khas dibandingkan dengan seni tradisi lainnya yang ada di Jambi. Pertama, krinok sebagai suatu karya musik memiliki cengkok yang khas yang diawali dengan nada tertinggi dengan menggunakan tempo rubato; kedua, memiliki jangkauan nada-nada di luar konvensi musik barat; ketiga, krinok secara luas diaplikasikan dalam seni pertunjukan lainnya; keempat dapat dimainkan dalam berbagai macam alat musik.

Dari sisi syairnya, menurut Zurhatmi (dalam Rassuh: 57), krinok awalnya berbentuk puisi lama yang dilantunkan melalui pantun dan syair secara spontan seorang diri atau dapat juga berbalasan dengan pelantun lain dengan jarak ratusan meter tanpa menggunakan alat musik pengiring yang dilakukan dalam posisi duduk. Hal ini masih ditemukan di Desa Rantaupandan, Kabupaten Bungo.  Krinok di Desa Rantaupandan ini awalnya hanya sebagai media untuk mengungkapkan perasaan sedih seseorang yang dituturkan secara spontan. Selain itu, krinok mengandung nilai kearifan lokal. Sebagai produk budaya masa lalu, Krinok memuat kearifan lokal masyarakat pemiliknya yang dapat dijadikan pegangan hidup. Syair krinok yang ditansmisikan melalui budaya lisan ini mengandung kearifan lokal yang berbentuk nilai-nilai kultural yang berguna bagi masyarakat modern.

 Seiring dengan perkembangannya, krinok mulai diiringi dengan musik pengiring, seperti gendang, biola, kulintang, dan gong sehingga menjadi hiburan yang menarik. Semenjak itu pertunjukan krinok mulai dimainkan saat bekerja di sawah ataupun di ladang dan mulai menggunakan beberapa alat musik lain, seperti gong, gendang panjang, serta biola.

Dirunut dari sejarahnya, pertunjukan krinok awalnya dimililki oleh masyarakat suku Batin yang menempati seluruh wilayah Rantaupandan sekarang. Krinok dalam bahasa Kerinci (daerah Rawang) artinya ngerawit atau dalam arti adat sesungguhnya gelumbang ‘gelombang’. Ketika masyarakat suku Batin mulai mengenalkan krinok, ada  larangan pada pelaksanaannya, yaitu tidak boleh dilakukan di sembarangan tempat. Hal ini disebabkan pertunjukan krinok hanya diadakan pada acara-acara ritual. Tempat pelaksanaan pertunjukan krinok harus di humo ‘rumah’, sawah, dan dalam hutan. Menurut M. Hasan (dalam Resuiki, 2011), pertunjukan krinok awalnya hanya dilantunkan oleh laki-laki saat bekerja di ladang atau mencari kayu di hutan. Menurut Zurhatmi Ismail (dalam Rassuh: 58) alasan ini dilakukan suku Batin agar masyarakat selain suku Batin tidak dapat mengembangkan krinok secara penuh. Hal ini disebabkan krinok berisi syair yang memuat mantra-mantra tentang ungkapan, refleksi, keinginan, pelipur lara, kesedihan, dan hubungan sosialisasi. 

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, krinok mulai mengalami perubahan. Krinok yang awalnya tidak diiringi musik, sekarang telah diiringi musik. Selain itu, perkembangan juga terjadi dari segi fungsi dan tempat pelaksanaannya. Krinok yang awalnya hanya dilakukan spontan, seperti di sawah dan di kebun, sekarang telah dipentaskan sebagai seni pertunjukan dan juga sebagai musik pengiring (Rassuh: 3). 

Dari segi fungsinya, krinok  mulai digunakan sebagai salah satu bentuk hiburan pada upacara perkawinan di Desa Embacang, Kecamatan Tanah Sepenggal dan Desa Rantaupandan, Kabupaten Bungo. Di kedua daerah tersebut, krinok digunakan dalam acara berbalas pantun yang dilakukan oleh pemuda-pemudi untuk mengungkapkan perasaannya yang sedang kasmaran. Selain itu,  musik krinok ini dapat dijadikan sebagai pengiring tari Tauh. Pertunjukan ini tetap bertahan meskipun bersaing dengan pertunjukan kesenian modern lainnya, seperti organ tunggal.

Sumber: Antologi Hasil Penelitian KBPJ 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...