Oleh: Yenni Hayati dan Bakhtaruddin Nasution
Abstrak
Artikel ini merupakan penjelasan hasil penelitian mengenai upaya identifikasi cerita anak Minangkabau yang bertema kutukan di Sumatera Barat. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data sebanyak 50 cerita anak Minangkabau yang tersebar di seluruh wilayah Minangkabau. Hampir semua cerita anak tersebut berbentuk legenda baik legenda setempat maupun legenda personal (perseorangan).
Sebanyak 37 cerita anak yang dikumpulkan tersebut bertema kutukan dengan tokoh laki-laki, 3 cerita anak bertema kutukan dengan tokoh perempuan, 10 buah cerita berbentuk dongeng dengan latar kehidupan modern. Beberapa cerita anak ditemukan dengan tema dan motif yang sama tetapi terdapat di wilayah yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengarsikan dan menganalisis fungsi cerita anak Minangkabau yang bertema kutukan yang masih tersebar secra lisan.
Kata Kunci: Cerita rakyat Minangkabau, bertema kutukan, identifikasi.
Abstract
This article is an explanation of the results of research regarding the identification of childrens stories of Minangkabau themed the curse in West Sumatra. Based on the results obtained from the data of 50 children stories Minangkabau are scattered throughout the Minangkabau region. Almost all children's stories in the form of either a local legend legend and legend personal (individual). A total of 37 children stories collected is themed curse with male characters, three stories of children themed curse with female figures, 10 pieces shaped fairy tale story with the background of modern life. Some of the stories of children found with the same themes and motifs but are in different territories.
Kata kunci : stories of Minangkabau, theme the curse, identification
I. Pendahuluan
Sastra anak atau karya sastra yang diperuntukkan untuk anak pertama kali berkembang dalam bentuk folklore yang disebut fairy tales (Zipes, 2007:1). Fairy tales langsung disambut oleh anak-anak karena cerita-cerita tersebut menimbulkan keinginan besar anak-anak untuk perubahan dan kemerdekaan. Fairy tales anak dimulai pada abad ke-19 ketika revolusi industri berkembang. Revolusi industri yang pertama pada masa akhir abad ke-18 sampai pada masa awal abad ke-19, menginspirasi pergerakan romantik Eropa dengan ide masa kanak-kanak dalam kehidupan pedesaan, keindahan alam, dan perasaan (Smith, 2008: 24) dan folklor anak juga dianggap sebagai refleksi dari perubahan sosial politik dan sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan. Fairy tales atau folklore anak tersebut juga disebut sebagai sastra lisan.
Sastra lisan merupakan cerita rakyat yang mentradisi, diwariskan secara turun- temurun dan dipertahankan dalam masyarakat pemiliknya. Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan sastra lisan. Hal itu terlihat dari setiap daerah yang ada di Indonesia memiliki sastra lisan yang menggambarkan kondisi sosial masyarakat pemilik sastra lisan tersebut. Sastra lisan beredar secara lisan dalam masyarakat, sehingga ada kemungkinan ditemukan varian-varian sastra lisan dalam kelompok masyarakat yang berbeda tetapi memiliki motif yang sama (Saxby, 1991 dikemukakan oleh Nurgiyantoro, 2005: 165). Anak-anak yang belum bisa membaca mendapatkan cerita-cerita dari kegiatan mendongeng yang dilakukan oleh orang tua, guru, dan juga teman sebaya.
Dongeng-dongeng yang dimiliki oleh masyarakat tersebut juga sudah terancam punah jika tidak dilakukan pengarsipan. Pengarsipan dongeng tersebut dilakukan dengan mencetak buku-buku kumpulan dongeng atau cerita rakyat yang ada di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Bakdi Sumanto yang membukukan cerita rakyat dari Yogyakarta dan dari Surakarta, dan Abel Tasman yang membukukan cerita rakyat dari Riau. Buku-buku cerita rakyat yang dicetak ini turut meramaikan dunia sastra anak di Indonesia. Kekhawatiran akan hilangnya cerita rakyat ini juga mendapat perhatian dari pencinta cerita rakyat khususnya dongeng. Salah satunya adalah Murti Bunanta yang mengagas pendirian Kelompok Pencinta Bacaan Anak (KPBA).
Salah satu kegiatan KPBA adalah mengadakan Kongres Internasional Sastra Anak yang diadakan di Bali pada tanggal 23-16 Mei 2013 yang lalu. Kongres ini melibatkan 200 delegasi dari 21 negara. Kegiatan yang menarik dalam kongres ini adalah diadakannya pertunjukan dongeng dari berbagai negara, dan Indonesia sendiri mengikutkan 200 pendongeng yang berasal dari seluruh Indonesia (www.kpba-murti.org). Hal itu menunjukan bahwa minat anak terhadap cerita (sastra) sangat besar, untuk itu betul-betul diperlukan upaya untuk mengarsipkan atau membukukan cerita-cerita rakyat atau dongeng tersebut.
Hal itu pula yang seharusnya dilakukan pada sastra anak Minangkabau di Sumatera Barat, mengingat sastra anak tersebut sudah kehilangan peminat dan semakin hari semakin hilang dalam ingatan masyarakat. Usaha untuk pengidentifikasian dan pengarsipan penting dilakukan sebagai langkah awal untuk mengawetkan sastra anak tersebut. Langkah selanjutnya, dokumentasi sastra anak yang sudah diarsipkan dengan baik bisa dijadikan bahan penelitian yang bertujuan untuk mengungkapkan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam sastra anak tersebut.
Berdasarkan pemikiran yang sudah dikemukakan pada bagian latar belakang, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah bagaimana bentuk dan fungsi sastra anak Minangkabau di Sumatera Barat bagi masyarakat pendukungnya? Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penulisan artikel ini adalah mendeskripsikan bentuk-bentuk sastra dan fungsi sastra anak Minangkabau di Sumatera Barat bagi masyarakat pendukungnya.
Sumber: Jurnal Mlangun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...