Oleh: Prof. Dr. Faruk Tripoli, S.U.
Pada tanggal 8 februari 2003 Taufik Ismail mendapatkan gelar doctor honoris kausa dari universitas negeri Yogyakarta. Salah satu alasannya, yang berhubungan langsung dengan soal pendidikan, sebagai berikut.
Pertimbangan lainnya adalah usaha, perjuangan, dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan Taufiq Ismail untuk memajukan pengajaran sastra mulai dari pencetusan gagasan, perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan di lapangan menunjukkan Taufiq memiliki kemampuan manajemen yang baik.
Maman S. Mahayana mengaitkan pemberian gelar tersebut dengan program-program pendidikan Taufik yang antara lain meliputi perubahan orientasi majalah Horison dari yang dikesankannya sebagai “angker” menjadi dekat dengan sekolah-sekolah, program diklat MMAS (Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra) untuk para guru, program lomba menulis bagi para peserta diklat MMAS dengan peserta yang katanya mengejutkan, dan program yang terkenal, yang mendapat dukungan dari Ford Foundation, yaitu SBSM dan SBSB. Mengenai dua program yang terakhir ini, Maman menjelaskan sebagai berikut.
Selain Diklat MMAS dan kedua lomba itu, lewat bantuan The Ford Foundation, Taufiq Ismail dan kawan-kawan menyelenggarakan dua program penting, yaitu (1) Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM) dan (2) Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB). Program pertama membangun dialog antara sastrawan dan mahasiswa lewat karya-karya sastrawan yang bersangkutan, dan program kedua semacam jumpa sastrawan dengan siswa. Secara signifikan, program SBSB dalam tiga tahun itu (2000—2002), telah menjangkau lebih dari 100 sekolah di sekitar 25 propinsi, di dalamnya terlibat 100-an sastrawan dan 60.000-an siswa dan guru SMU.
Melalui program SBSB itu pula lahir sebuah langkah penting; menyusun antologi.Dari lembar-lembar yang tercecer fotokopian karya sejumlah sastrawan, dihimpunlah ke dalam buku yang bertajuk Dari Fansuri ke Handayani (2001), sebuah antologi yang memuat sejumlah puisi karya 79 penyair Indonesia. Menyadari bahwa buku itu perlu penambahan jumlah karyanya, maka pada tahun 2002 lahirlah empat serangkai Horison Sastra Indonesia 1 (Kitab Puisi), 2 (Kitab Cerita Pendek), 3 (Kitab Nukilan Novel), dan 4 (Kitab Drama), ditambah dengan Kaki Langit: Sastra Pelajar. Keempat antologi itu bolehlah dikatakan merupakan monumen penting bagi perjalanan sastra Indonesia.Bagaimanapun juga, keempat antologi itu telah tampil paling lengkap dibandingkan buku antologi yang pernah ada.Lebih daripada itu, kelima buku itu secara gratis dikirim ke lebih dari 1000 SMU di tanah air.Dengan demikian, terjawab sudah keluhan para guru mengenai langkanya bahan pembelajaran sastra.
Berbagai media mengemukakan bahwa faktor utama yang memicu lahirnya berbagai program di atas adalah kajian pribadi Taufik mengenai minat baca masyarakat Indonesia yang ia lakukan pada tahun 1990an (tebar virus). Dalam pidatonya selaku promotor Taufik Ismail untuk gelar doctor di atas, Suminto A. Sayuti mengemukakan keterkaitan antara hasil survey di atas dengan berbagai program yang sudah dikemukakan. Adapun hasil survey itu sendiri, yang telah dikemukakan oleh banyak media, adalah kenyataan akan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia dan rendahnya kedudukan Indonesia di dunia dalam hal tersebut. Taufik Ismail sendiri menyebutnya sebagai “tragedi nol buku” seperti yang tertulis dalam makalahnya yang disampaikan dalam rakornas bidang perpustakaan di Riau.
Namun, segala program tersebut tidak segera dapat meningkatkan minat baca siswa. Pada tahun 2009, dalam penelitian yang PISA (Programme For Internasional Student Assessment), termasuk juga UNESCO, Kementerian Pendidikan Nasional masih menemukan hal yang sama. Kenyataan demikian, tentu saja dapat terjadi akibat sudah sangat parahnya kondisi minat baca masyarakat, tetapi dapat pula akibat kesalahan strategi, tidak adanya landasan teoretik yang kuat mengenai keberaksaraan dan budaya aksara itu sendiri. Dari sekian banyak program Taufik Ismail yang sudah dikemukakan, dua programnya yang terkemuka, yang mendapat dukungan dana dari Ford Foundation, bukannya mendatangkan buku dan menguji daya baca siswa, melainkan justru mendatangkan para sastrawan untuk tidak menulis, melainkan bicara, dan meminta siswa juga bukan untuk membaca, melainkan bertanya, membawa mereka ke dalam suasana komunikasi lisan, tatap muka. Kecenderungan yang demikian sebenarnya merupakan contoh nyata dari pelaksanaan budaya lisan, bukan budaya tulis. Kehadiran langsung sastrawan menjadi lebih penting dari karya yang ditulisnya. Begitu pun komunikasi langsung tatap muka lebih penting daripada komunikasi tidak langsung, yang termediasi oleh tulisan. Sastrawan, dengan demikian, menjadi figur otoritatif yang dapat menggantikan teks karya-karyanya dan kebenaran bacaan ditentukan oleh apa yang dibicarakan oleh sastrawan daripada oleh apa yang ditulisnya. Alih-alih menumbuhkan minat baca, program yang menghabiskan dana dan tenaga yang pastilah besar itu justru akan menumbuhkan hanya para penggemar atau fans seperti yang ada di lingkungan seni hiburan. Dalam konteks kuatnya pengaruh budaya lisan dalam perancangan dan pelaksanaan program keberaksaraan yang demikian dapat pula mempengaruhi fungsi program yang lain seperti penerbitan buku-buku dan pembagiannya dengan cuma-cuma ke sekolah-sekolah karena seperti yang akan dikemukakan, tulisan atau buku, dalam konteks budaya lisan, dapat menjadi semacam azimat atau rajah belaka.
***
Melek aksara tidak berarti berbudaya aksara. Sudah berabad-abad orang Islam di Indonesia mengenai dan bisa membaca dan menulis huruf arab. Tapi, sampai berabad-abad pula hal tersebut tidak membangun budaya aksara. Kaum muslim di atas cenderung tetap hidup dalam budaya lisan yang berbasis bahasa lisan. Sebagaimana yang antara lain dikemukakan oleh Walter J. Ong, budaya lisan terbangun dari substansi material dari bahasa lisan, yaitu bunyi. Karakter bunyi bersifat menguap begitu diucapkan sehingga informasi yang terkandung di dalamnya ikut pula lenyap begitu disampaikan. Menghadapi kondisi yang demikian, masyarakat dengan budaya lisan berhadapan terus-menerus dengan persoalan bagaimana cara mempertahankan ingatan, bagaimana membangun kemampuan untuk mengingat, menghapalkan.
Ada bermacam strategi yang digunakan oleh masyarakat lisan untuk mempertahankan ingatan mengenai informasi yang disampaikan oleh bahasa lisan itu. Salah satu yang terpenting di antaranya adalah dengan terus mengulang. Pengulangan ini pun dilakukan dengan berbagai teknik, misalnya teknik ritual, yaitu dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kolektif yang dilangsungkan secara berkala dengan pola yang sama. Dalam ritual ini diperagakan berbagai kegiatan yang juga serupa, misalnya menggunakan sesaji yang sama, prosesi yang sama, dan terkadang juga pembacaan karya-karya sastra, yang biasanya berupa mitos atau legenda, yang tentu juga serupa. Tradisi berzikir dalam agama Islam, yang dilakukan setidaknya sesudah penyelenggaraan ritual sholat, merupakan salah satu teknik mengulang pula. Di dalam karya sastra pengulangan antara lain dilakukan dengan penggunaan persajakan, asonansi, aliterasi, pola pencitraan, dan sebagainya, yang disebut ekspresi kebahasaan yang formulaik, streotipikal. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa salah satu ciri budaya lisan adalah ritualistik.
Strategi lain yang digunakan oleh masyarakat dengan budaya lisan untuk mempertahankan ingatan adalah dengan menciptakan monumen-monumen, batu atau benda apa pun yang dapat menandai terjadinya peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat tersebut. Kadang, agar batu atau benda-benda itu tetap terpelihara akan ditambahkan semacam mitos yang mengisyaratkan adanya kekuatan gaib di dalamnya, yang dapat menimbulkan tulah atau kutukan bagi yang merusaknya. Dalam hubungan dengan kekuatan gaib ini masyarakat budaya lisan juga berkecenderungan berpikir magis. Tidak hanya benda-benda yang dianggap mengandung kekuatan magis, melainkan juga kata-kata yang biasa disebut dengan kata bertuah. Dalam hal magis ini kata dipahami bukan sebagai sarana untuk menyimpan dan menyampaikan informasi, sebagai media untuk menggambarkan kenyataan, melainkan sebagai kekuatan yang dapat menciptakan kenyataan, menjadi mantera: kunfayakun, abrakadabra! Azimat dan rajah merupakan salah satu manifestasi dari cara berpikir magis ini pula. Sifat kata-kata sebagai suatu kekuatan ini dikemukakan pula oleh Ong di atas. Menurutnya, kata-kata dalam bahasa lisan adalah bunyi dan bunyi itu sendiri energik dan dinamik, seakan muncul dari kekuatan dalam diri manusia itu sendiri.
Strategi berikutnya adalah pentingnya relasi intersubjektif dan konteks. Bahasa lisan selalu hadir dalam konteks interaksi yang langsung antarmanusia. Bahasa lisan tidak bisa dibebaskan dari konteks penggunaannya, dari hubungan komunikatif antarsubjek, dari dialog, lengkap dengan situasi yang ada di penggunaan itu dilakukan. Dengan keadaan yang demikian budaya lisan mempertimbangkan kebenaran dari suatu informasi kebahasaan tidak hanya atas dasar apa yang dikatakan, melainkan terutama justru siapa yang mengatakan. Dalam hal ini figur otoritatif menjadi sangat penting dalam membangun kepercayaan masyarakat akan kebenaran suatu ucapan. Dengan mendasarkan diri pada figur otoritatif ini masyarakat lisan juga dapat membebaskan diri dari keharusan untuk terus-menerus mempertahankan ingatan.
Semua uraian di atas menunjukkan bahwa bagi masyarakat lisan tidaklah mudah untuk menyimpan dan mengakumulasikan berbagai pengalaman dan informasi sehingga akhirnya terbentuk semacam tatanan sosial dan budaya. Tentu mereka membutuhkan waktu yang sangat lama dan berangsur-angsur untuk dapat mencapai terbentuknya tatanan itu. Itulah sebabnya, masyarakat lisan menjadi cenderung konservatif, cenderung curiga dan tidak menyukai segala yang asing atau baru dan perubahan. Hal-hal yang asing, baru, atau perubahan itu dapat menggoyahkan tatanan yang sudah begitu lama mereka perjuangkan untuk terbangun.
Maka, kemampuan membaca dan menulis huruf arab yang tidak disertai dengan penguasaan terhadap bahasa arab yang membuat segala yang dibaca dan ditulis itu kehilangan fungsinya sebagai media penyampai dan penyimpan informasi tidak akan berhasil membangun budaya tulis dalam masyarakat yang bersangkutan. Tulisan, dalam konteks masyarakat dengan budaya lisan, dapat berubah menjadi benda keramat yang mengandung kekuatan magis atau tulah. Pada waktu saya kecil, sewaktu akan dan sesudah belajar mengaji, saya harus memperlakukan quran benar-benar sebagai kitab suci, sebagai benda keramat. Quran harus ditempatkan di tempat yang tinggi, lebih tinggi dari kepala manusia. Pada waktu mengambilnya, orang harus memegangnya dengan hati-hati agar tidak jatuh ke lantai. Pada waktu membawanya, orang harus menjunjungnya di atas kepala seperti yang dilakukan pada acara-acara pengambilan sumpah. Pada waktu akan mengembalikannya, orang harus kembali menjunjungnya dan menempatkannya di tempat semula, yaitu di tempat yang lebih tinggi daripada kepala manusia. Begitu pun perlakukan orang-orang Islam dahulu, yang disebut tradisional, terhadap benda-benda keagamaan yang lain seperti tempat ibadah, sajadah, tasbih, dan sebagainya. Bukankah sekarang pun masih banyak tasbih yang digantung di mobil, persis seperti azimat.
***
Berbeda dari bahasa lisan yang bermaterikan bunyi, bersifat auditif, bahasa tulis bermateri garis dan bersifat visual. Kalau bunyi menguap begitu diucapkan, tulisan tidak hilang begitu ditulis. Tulisan tetap ada di sana, di hadapan subjek, dan siap untuk dibaca ulang, dicek kembali. Dengan demikian, dengan tulisan masyarakat penggunanya tidak mengalami kecemasan akan hilangnya informasi, tidak perlu mengembangkan strategi untuk mempertahankan ingatan, tidak membutuhkan repetisi. Tulisan membuka jalan bagi inovasi dan bahkan pada gilirannya menuntut pembaruan yang terus-menerus. Bila masyarakat dengan budaya lisan cenderung konservatif, masyarakat dengan budaya tulis cenderung progresif.
Karena begitu ditulis, tulisan tetap tersedia, tidak hilang, ia pun menjadi bebas dari konteks penggunaannya. Tulisan dapat melampaui konteks dialog dan referentialnya sebagaimana yang antara lain dikemukakan oleh Paul Ricoeur. Bahkan, ketika si penulis sudah mati, tulisannya tetap ada. Dengan keadaan yang demikian, yang kemudian terbentuk bukanlah relasi intersubjektif, melainkan relasi subjek-objek: pembaca dengan teks. Kebenaran suatu pernyataan, dengan demikian, tidak ditentukan oleh subjek yang berbicara, siapa yang mengatakan, melainkan oleh apa yang dikatakan, oleh teks itu sendiri. Munculnya paham Kristen Protestan yang membuka akses bagi semua umat Kristen untuk berhubungan langsung dengan kitab sucinya, tanpa perantara pastur sebagaimana yang terdapat dalam agama Katolik, tidak bisa dilepaskan dari keberaksaraan yang demikian. Hal itu dimungkinkan oleh teknologi percetakan dan pendidikan keberaksaraan yang memungkinkan semua umat dapat mengakses teks secara langsung. Ilmu pengetahuan modern yang bersifat objektif pun tidak mungkin terbangun tanpa adanya tulisan. Tulisanlah yang memungkinkan para ilmuwan melakukan pencatatan terhadap data-datanya, baik yang diperoleh dari pengamatan maupun eksperimentasi.
Karena berdiri sendiri, tulisan membentuk sebuah sistem bahasa yang tertutup, koheren, lengkap di dalam dirinya sendiri. Hanya dengan cara demikian, masyarakat dengan budaya tulis dapat menggantungkan diri sepenuhnya pada tulisan. Masyarakat yang serupa ini sangat membutuhkan kaidah-kaidah kebahasaan yang ketat, dengan makna yang diusahakan menjadi selugas mungkin agar tidak menimbulkan banyak tafsir. Semua yang terkait dengan konteks, baik konteks dialog maupun referential diusahakan termanifestasikan di dalam teks melalui berbagai simbol yang bersifat formal. Budaya tulis inilah yang memungkinkan terbangunnya paradigma struktural di dalam linguistik, yang dalam puluhan tahun pernah menjadi sangat dominan dalam program-program pusat penelitian dan pengembangan bahasa yang sekarang dinamakan Badan Bahasa. Budaya tulis ini pula yang memungkinkan diberlakukannya hukum tertulis yang bersifat formal dengan kodifikasi yang selugas-lugasnya. Kepastian hukum merupakan tuntutan yang niscaya bagi masyarakat dengan budaya tulis.
***
Baik dalam terminologi sastra Barat, maupun dalam sastra Indonesia, sastra diartikan sebagai tulisan. Dengan kata lain, sebenarnya istilah sastra mengacu kepada semua jenis tulisan. Baru pada zaman modern sastra mulai mengalami penyempitan pengertian, yaitu mengacu hanya pada karya-karya kebahasaan yang imajinatif atau fiksional dengan orientasi estetik yang dominan. Dalam perkembangan yang kemudian inilah posisi sastra dalam budaya literasi menjadi mendua. Dalam perkembangan yang lebih kemudian, segera setelah ditemukan dan berkembangnya pemikiran pascamodern dan pascastruktural, sastra lisan pun termasuk ke dalam apa yang dinamakan sastra. Dengan perubahan yang serupa ini kecenderungan tumpang-tindihnya sastra dengan tulisan semakin berkurang. Sastra makin menjauh dari tulisan.
Dalam pengertian modern, seperti yang antara lain dinyatakan dalam teori Formalisme Rusia, posisi sastra terhadap tulisan bersifat mendua. Di satu pihak sastra adalah salah satu aktivitas dan hasil aktivitas bahasa. Akan tetapi, di lain pihak, sastra dianggap sebagai aktivitas dan hasil aktivitas deotomatisasi terhadap bahasa. Deotomatisasi itu sendiri tidak lain daripada aktivitas kebahasaan yang lebih mengutamakan bentuk, substansi material, fungsi estetik bahasa, yang membuatnya menyimpang dari kaidah kebahasaan umum yang lebih mengutamakan fungsi-fungsi kebahasaan yang lain, terutama yang referential. Karena orientasinya tersebut sastra dipahami bukan sebagai aktivitas kebahasaan yang mengacu kepada dunia yang ada di luar dirinya, pada apa yang disebut konteks, melainkan mengacu kepada dirinya sendiri. Dari sudut pandang formalis, diri karya sastra yang menjadi acuan itu adalah substansi materialnya. Substansi material dalam bahasa lisan adalah bunyi dengan membentuk asonansi, aliterasi, rima, ritme, dan sebagainya. Substansi material dari bahasa tulis adalah dimensi keruangannya sebagai tulisan yang bersifat visual yang, antara lain, berupa tipografi. Dari sudut pandang fenomenologis seperti yang terdapat dalam teori sastra Rene Wellek dan Austin Warren, diri yang menjadi acuan sastra itu adalah bangunan dunia imajiner yang ada dalam karya sastra itu sendiri, dunia yang tercipta dari dan dalam kata-kata atau teks.
Meskipun demikian, posisi yang mendua itu dapat diatasi dan dikembalikan kepada budaya tulis. Memang, sebagai deotomatisasi sastra melakukan penyimpangan terhadap bahasa, membuat kaidah bahasa yang semula ketat menjadi cair. Akan tetapi, sebagai deotomatisasi sastra membuka jalan bagi inovasi yang juga merupakan tuntutan dari budaya tulis itu sendiri. Dengan orientasi yang kuat pada materinya, yaitu pada fungsi estetiknya, sastra seakan menghidupkan kembali kelisanan di dalam keberaksaraan. Akan tetapi, seperti halnya tulisan yang menjadi jimat dalam masyarakat budaya lisan, bunyi dalam sastra tulis adalah bunyi yang tidak hadir secara spontan, melainkan yang diperhitungkan dengan pasti. Bunyi diperlakukan sebagai objek yang ada di hadapan seorang sastrawan, yang ditata dengan penuh pertimbangan, yang terus-menerus dicek dan recek, mengalami semacam penyuntingan. Kalau bunyi di dalam bahasa lisan semata-mata merupakan materi atau bahan, bersifat fonetis, bunyi dalam sastra tulis dapat bersifat fonemis dan bahkan semantik, mengandung makna.
Karena orientasinya lebih kuat kepada fungsi estetik bahasa, sastra dapat melepaskan diri dari acuan pada dunia yang ada di luar dirinya. Membangun sebuah dunia yang berdiri sendiri, bangunan dunia imajiner. Kecenderungan demikian dapat bertentangan dengan tuntutan akan kelugasan dan kepastian referensialitas dalam budaya tulis. Hanya saja, dari segi yang lain, kecenderungan sastra untuk membangun dunia yang mandiri ini pun sejajar dengan tuntutan budaya tulis akan kemandirian teks dari berbagai konteksnya, baik konteks dialogisnya, maupun konteks referensialitasnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Roland Barthes, di dalam sastra atau yang disebutnya mitos, makna dan referensialitas kebahasaan dimiskinkan atau dikeringkan untuk ditanami makna yang lain, yaitu makna konotatif.
***
Keseluruhan uraian di atas menunjukkan setidaknya terdapat tiga hal yang penting dalam sastra, yang membuatnya mempunyai peran yang besar dalam pembangunan budaya literasi masyarakat. Pertama, sastra merupakan aktivitas dan hasil aktivitas kebahasaan yang paling kuat dalam mendorong lahirnya kebutuhan dan sekaligus kemampuan untuk menciptakan dan sekaligus menikmati karya-karya yang inovatif, dorongan akan petualangan ke sebuah dunia lain, yang bisa menakjubkan dan sama sekali baru. Masyarakat menjadi berpikir dengan cara yang lebih progresif, bukan konservatif. Kedua, sastra merupakan aktivitas dan hasil aktivitas kebahasaan yang dapat membangun kepekaan akan tekstualitas, kesadaran tekstual karena ia selalu berusaha membawa pembaca ke dalam sebuah dunia lain, dunia yang hanya ada dan hidup di dalam teks, bersifat imajinatif. Ketiga, masih dalam hubungan dengan yang kedua, sastra juga dapat membebaskan masyarakat dari figur otoritatif dengan membiarkan teks berbicara sendiri pada pembaca tanpa campur tangan sastrawannya.
Sumber: Makalah Seminar Nasional Kesastraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...