Oleh: Ja’far Rassuh
Ekonomi kreatif adalah konsep ekonomi baru yang berorientasi pada kreatifitas, budaya dan teknologi. Gagasan ekonomi kraetif ini diciptakan untuk mengantisipasi arus deras gelombang ekonomi ke empat.
Untuk menjadi acuan dalam pencapaian visi dan misi ekonomi kreatif, Pemerintah Republik Indonesia telah meluncurkan cetak biru ekonomi kreatif Indonesia. Dalam cetak biru tersebut menetapkan 14 cakupan bidang ekonomi kreatif, yaitu: (1) jasa periklanan, (2) arsitektur, (3) seni rupa, (4) kerajinan, (5) desain, (6) mode (fashion), (7) film, (8) musik, (9) seni pertunjukan, (10) penerbitan, (11) riset dan pengembangan, (12) software, (13) TV dan radio, dan (14) video game.
Dari ke 14 cakupan bidang ekonomi kreatif tersebut sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Para pelaku bisnis yang bergerak dibidang tersebut telah lama berjalan. Industri rekaman musik pada era enampuluh dan tujuhpuluhan telah berkembang melalui piringan hitam dan pita kaset.
Dengan perkembangan teknologi, kini telah berkembang tidak hanya perekaman karya musik saja. Melalui industri rekaman audio visual sasaran objeknya semakin melebar pada seni pertunjukan hingga ke produk budaya lainnya. Begitu juga dengan bidang ekonomi kreatif lainnya seperti jasa periklanan, seni rupa, kerajinan, desain, mode, film, penerbitan, TV, dan radio telah lama menjadi sektor ekonomi. Namun selama ini pemerintah belum melihatnya sebagai bidang industri yang menjanjikan.
Gagasan pemerintah dalam membangun ekonomi kreatif sebagai salah satu sektor unggulan merupakan kebijakan yang tepat dalam menghadapi arus globalisasi. Perekonomian tidak bisa hanya mengandalkan ekonomi pertanian, industri dan jasa konvensional. Perlu juga dikembangkan ekonomi lainnya yang memiliki daya saing tinggi, yaitu ekonomi kreatif yang berbasiskan budaya dan teknologi.
Keunggulan utama ekonomi kreatif adalah bahan bakunya tidak pernah habis seperti produk industri lainnya. Bahan bakunya bersumber dari daya pikir manusia. Jadi sepanjang manusia masih hidup kreatif tidak akan berhenti.
Dalam mengimplementasikan gagasan tentang ekonomi kreatif sempat dicuatkan pada kongres kebudayaan yang dilaksanakan di Bogor (10 – 12 Desember 2008). Ekonomi kreatif/industri budaya menjadi salah satu pokok bahasan dalam kongres tersebut. Pada saat dialog muncul berbagai tanggapan dan pendapat. Namun pada intinya sependapat bahwa ekonomi kreatif memang perlu dikembangkan dan dijadikan sebagai salah satu sumber ekonomi sesuai dengan visi ekonomi kreatif.
Visi ekonomi kreatif adalah untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia melalui pengembangan industri berbasis kreatifitas. Oleh sebab itu pemberdayaan sumber daya manusia menjadi sangat penting. Peningkatan kualitas dan kemampuannya dalam mengembangkan kreatifitas dan daya ciptanya perlu ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan. Disamping itu juga melalui ekonomi kreatif dapat meningkatkan citra bangsa Indonesia dimata dunia.
Pembangunan ekonomi kreatif yang berbasis pada produk budaya dan teknologi di Indonesia memang sangat memungkinkan. Keaneka ragaman suku bangsa dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan aset dan kekayaan dalam memacu industri budaya (ekonomi kreatif).
Mengingat ekonomi kreatif sasarannya adalah produk yang bersumber dari kreatifitas, maka masalah hak cipta dan paten menjadi sangat penting. Seringkali terjadi sebuah desain yang dihasilkan seseorang diproduk menjadi benda oleh perusahaan atau kelompok tanpa menghiraukan siapa yang mendesainnya. Penghargaan masyarakat terhadap karya desain belum menjadi perhatian tetapi lebih berorientasi pada produk.
Dari sisi seni pertunjukan, banyak sekali karya-karya seni yang diciptakan seseorang diolah kembali tanpa meminta persetujuan dari penciptanya. Bahkan dengan merubah sedikit gerak, bunyi atau komposisinya seseorang berani mengatakan bahwa itu hasil ciptanya. Untuk menghindari kejadian tersebut dan para pencipta dan desainernya dapat menikmati hasil kreatifitasnya maka peran hak cipta dan paten faktor kunci keberhasilan ekonomi kreatif.
Pada perinsipnya hak kekayaan intelektual adalah pengakuan hukum yang berhubungan dengan perlindungan penerapan ide, produk dan informasi yang memiliki nilai komersial ataupun tidak. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta serta peraturan terkait lainnya. Namun dalam pelaksanaannya masih memiliki kendala, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, keamanan dan politik.
Konsep ekonomi kreatif yang bertumpu pada budaya dan teknologi banyak orang yang mempertanyakannya. Apalagi penetapan 14 cakupan bidang ekonomi kreatif yang ditetapkan oleh pemerintah ada yang tumpang tindih, seperti musik dengan seni pertunjukan. Musik sendiri termasuk dalam kelompok seni pertunjukan, begitu juga kerajinan bagian dari seni rupa. Agar pemahaman dan persepsi masyarakat tidak salah arah pemerintah perlu membuat kajian dan menetapkan kerangka acuan batasannya.
Pada saat bicara industri budaya maka imajinasi kita akan membuka ruang lebar dan dalam tentang kajian dan pemahaman budaya. Lantas menimbulkan pertanyaan jenis budaya apasaja yang dapat dijadikan industri. Banyak produk budaya yang lahir tidak diciptakan untuk industri, tetapi lebih mengacu pada nilai-nilai yang mengatur tatanan hidup.
Prof. Dr. Edi Sedyawati menyampaikan gagasannya tentang industri budaya yang memusatkan perhatiannya pada “Klasifikasi Industri Budaya”. Menurut Edi Sedyawati untuk industri budaya adalah bahwa isi suatu produk adalah sesuatu yang merupakan komponen atau aspek dari kebudayaan. Sedangkan istilah industri kreatif memberikan tekanan kepada adanya kreatifitas di dalam suatu produk. Oleh sebab itu ada 4 faktor yang perlu diperhatikan dalam mengklasifikasi industri budaya, yaitu (1)klasifikasi atas benda dan jasa, (2) pencipta yang terkait suatu produk diketahui atau tidak, (3) pencipta perseorangan atau kelompok, dan (4) tujuan penggunaan produk.
Dari pandangan tersebut memberikan gambaran bahwa produk budaya dilihat dari sisi industri budaya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu produk berupa benda dan jasa. Bisa jadi satu produk memasuki dua ranah industri. Produk seni tari dan musik jika dipergelarkan akan menjadi produk jasa, tetapi jika divisualkan dalam bentuk rekaman maka karya tersebut menjadi produk benda berupa pita kaset, CD, VCD atau dalam bentuk lainnya. Yang diperjualbelikan adalah produk rekaman yang dapat diproduksi secara massal. Begitu juga karya seni rupa yang berupa benda dan jasa desainnya.
Karya sastra yang disajikan dalam bentuk pertunjukan akan menjadi produk jasa dan dari hasil pertunjukan tersebut menghasilkan uang. Sedangkan pada saat karya sastra dibukukan maka menjadi produk benda berupa buku yang dapat diperjualbelikan.
Kerajinan sebagai karya seni rupa yang dapat diproduk secara tunggal dan massal, pembuatannya melalui proses kreatif yang dituangkan dalam suatu desain. Produk desain disini teramsuk kategori produk jasa dan pada saat desain tersebut diwujudkan menjadi produk berupa pisik maka produknya menjadi benda yang dapat dibuat secara massal.
Karya film juga merupakan produk industri budaya yang memiliki pasar luar biasa. Tidak saja dilihat dari sisi produksi filmnya tetapi juga dari sisi tenaga kerjanya yang multi disiplin. Menurut Arswendo Atmowiloto, produksi film Indonesia berada dalam tiga corak yang terbedakan satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut didasari dengan: (1) pendekatan pasar, (2) pendekatan prestasi, dan (3) pendekatan pribadi. Namun yang paling dominan produksinya melalui pendekatan pasar.
Diamping produk benda budaya, juga ada produk budaya non benda dalam bentuk momen atau kegiatan yang terprogram, seperti konser, festival, pekan budaya dan sejenisnya yang menjual jasa dan peristiwa. Produk budaya tinggalan lama seperti bangunan dan tempat-tempat bersejarah juga merupakan bagian dari industri budaya yang menitikberatkan pada bidang jasa.
Dari gambaran singkat tersebut dapat kita simpulkan bahwa hampir semua produk budaya, baik yang bersifat benda (tangible) maupun non benda (intangible) dapat dijadikan sebagai produk industri budaya, yaitu sangat tergantung dengan cara mengkemas dan memasarkannya. Banyak produk budaya lahir bukan untuk menjadi industri budaya tetapi lebih mengacu pada tatanan nilai dan keyakinan. Namun produk budaya seperti inipun jika dikemas tanpa merubah esensi dan wujudnya dapat menjadi produk industri budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...