Selasa, 13 Desember 2016

Menulis Sejarah Kampung

Oleh: Ricky A. Manik

Semasa sekolah, pelajaran sejarah yang saya terima adalah sejarah dalam narasi-narasi besar yang ditulis oleh para sejarahwan. Kerja penulis (sejarahwan) dalam telaah-telaah etnografis dan kerja-kerja historiografis cenderung menjadi milik kekuasaan.
Sejarah yang menjadi sistem pengetahuan dioperasikan sebagai sistem kebenaran oleh rezim kebenaran itu sendiri yang menjadikan saya bersama orang-orang semasa saya sekolah atau ribuan tahun orang yang hidup sebelum saya hanya menjadi objek untuk kemudian ditandai dan diberi label-label. Efek ini masih saya rasakan sampai sekarang, bahwa sejarah hanyalah tentang cerita-cerita heroik melawan kolonialisme dengan berbagai peristiwa-peristiwa di dalamnya. Saya ingat di sekolah, selalu terpampang wajah-wajah para pahlawan seperti Tuanku Iman Bonjol, Pangeran Diponegoro, Patimura, Cut Nyak Dien, dan selalu tujuh pahlawan revolusi itu. Pembantaian dan stigmatisasi PKI yang menjadi peristiwa ‘holocoust’nya Indonesia menjadi peristiwa-peristiwa yang diabsensi, dilenyapkan.

Runtuhnya rezim Orba mengubah paradigma penulisan sejarah kita. Kisah atau peristiwa-peristiwa yang menjadi sejarah kelam masa Orba diangkat, ditelusuri, ditelisik,  dipelajari, bahkan direkonstruksi kembali. Bukan hanya itu, sistem pemerintahan yang desentralistik juga membawa angin segar akan kepenulisan sejarah lokal di tiap-tiap daerah, terutama guna menjadikannya sebagai kurikulum pendidikan di tingkat lokal. Pengetahuan sejarah lokal menjadi bagian dalam rancangan kurikulum pengajaran sejarah ditiap-tiap daerah. Bahwa sejarah Indonesia bukan lagi sejarah tentang Jawa atau di daerah-daerah tertentu saja, melainkan seluruh daerah yang menjadi bagian dari Indonesia secara keseluruhan. Bahwa setiap daerah memiliki keunikan dengan ragam peristiwa yang menjadi ingatan kolektif mereka. 

Penulisan Sejarah di Jambi
Di jambi, riset-riset tentang sejarah Jambi baik yang dilakukan oleh orang lokal (saya anggap saja orang yang sudah tinggal di Jambi meskipun bukan asli Jambi) maupun orang asing sudah banyak dilakukan, baik berupa skripsi, tesis, disertasi, atau jurnal-jurnal penelitian yang tersebar di universitas-universitas dan lembaga-lembaga riset. Hasil riset yang mengklasifikasikan, mengkategorisasikan, dan mendefenisikan Jambi sebagai suatu entitas tetaplah belum menemukan kebermanfaatannya yang konkret bagi masyarakat Jambi sendiri. Kebermanfaatan ini adalah bagaimana kemudian informasi dan pengetahuan akan sejarah menjadi proyeksi arah pembangunan kebudayaan, ekonomi, sosial, dan politik di Jambi. Kerja-kerja riset yang selama ini dilakukan belum menjadi kerja-kerja emansipatoris yang melibatkan masyarakatnya dalam mengidentifikasi terkait identitas sosio-kultur mereka. Tradisi kepenulisan tersebut barulah pada kerja-kerja individual yang berasosiasi dengan kaum terpelajar dan intelektual semata.

Selama ini, penulisan sejarah di Jambi lebih terkait pada sejarah-sejarah kanon atau narasi-narasi besar, seperti sejarah masuknya agama Hindu-Budha (Candi Muarajambi dengan berbagai stupa yang ditemukan), sejarah kemelayuan, sejarah raja-raja dan kesultanan Jambi (Datuk Paduka Berhala, Orang Kayo Hitam, Putri Pinang Masak), serta sejarah kepahlawanan seperti Thaha dan Mattaher. Penulisan sejarah belum menyentuh atau terkait mengenai ruang hidup masyarakat Jambi sendiri seperti di mana mereka tinggal dan bagaimana sejarah akan penamaan daerah tersebut. Sebut saja seperti penamaan daerah Thehok, Jelutung, Talangbanjar, Jerambah Bolong, dan lain sebagainya. Lalu mengenai tokoh dan mata pencaharian, bangunan (arsitektur), makanan dan obat-obatan, bahasa atau istilah-istilah yang digunakan, serta bagaimana suku-suku yang berbeda-beda itu membangun kehidupan sosio-kulturnya juga belum atau bahkan tidak ada yang menuliskannya. 

Dalam permasalahan tersebut, bahwa sejarah dimaknai bukan semata peristiwa-peristiwa historis yang bersifat kronologis, melainkan artikulasi ingatan dalam suatu kampung/kelompok yang dapat bersifat informatif dan komparatif. Ia dapat berupa satu momen atau peristiwa historis, bisa juga artefak, atau bahkan satu material sosio-kultural yang mengacu pada kondisi dan situasi historis kampung. Kampung diartikan sebagai entitas sosio-ekonomi-politik-budaya dalam sebuah penamaan etnik, suku, atau kaum. Oleh karena itu, upaya penulisan sejarah kampung merupakan upaya menulis kembali yang menjadi artikulasi kampung melalui riset-riset orang yang menjadi warganya atau anggotanya.

Gerakan Literasi
Kantor Bahasa Provinsi Jambi menjadi pelopor melakukan gerakan literasi penulisan sejarah kampung dengan menyelenggarakan kegiatan Bengkel Sastra yang berbeda dari biasanya. Jika tahun-tahun sebelumnya Bengkel Sastra lebih kepada pembinaan dalam hal penulisan puisi, cerpen, teater, dan musikalisasi puisi, maka tahun ini Bengkel Sastra diarahkan pada proses kepenulisan akan sejarah ruang hidup peserta itu sendiri. Proses yang berlangsung selama 6 kali pertemuan ini merupakan kerja pencatatan sebagai upaya dokumentatif yang mempertemukan tradisi lisan dengan tradisi literasi.

Kerja-kerja pencatatan oleh peserta (warga Kota Jambi) ini berupa kerja mengamati, mendengar, merekam, mengingat, dan merefleksikan pengalaman-pengalaman personal dan kolektif sebagai informasi yang akan dihimpun dan dituliskan menjadi modalitas pengetahuan. Oleh karena itu, kerja pencatatan menempatkan human experiences warga kampung sebagai awal modal pengetahuan terkait ruang hidup mereka.

Secara substansi, penulisan sejarah kampung bertujuan dalam memberikan ruang bagi keberbagaian komunitas untuk hadir dan menjadi “juru bicara” atas dirinya sendiri. Tujuan-tujuan lainnya dari proses ini adalah memberdayakan orang-orang biasa menjadi subjek yang menulis, mengampanyekan budaya literasi sebagai bagian dari kehidupan kolektif masyarakat yang memiliki multifungsi dan bisa dipelajari dalam proses belajar dan bertindak bersama, membangun jaringan intelektual dan solidaritas lewat belajar dan bertindak bersama, baik antara outsider-insider maupun antargenerasi di dalam komunitas, memberi kesempatan pada angkatan muda sebuah zaman di sebuah komunitas untuk memberikan kontribusi positifnya, khususnya bagi penggalian, pengolahan, maupun pandangan masa depan atas sebuah masyarakat. Dengan demikian diharapkan tumbuh cara berpikir historis (manusia yang berkesadaran sejarah). Lain daripada itu, ia (baca: penulisan sejarah kampung) juga dapat memberi ruang artikulatif bagi pengetahuan lokal dan pewarisannya melalui pendokumentasian tertulis, dalam bentuk buku dan masyarakat bisa membandingkan kegagalan dan keberhasilan masa lalu kampungnya dengan situasi kekinian.

Gerakan literasi ini merupakan kerja-kerja kebudayaan sembari menjadi suatu pola demokrasi yang dibangun dari bawah ke atas, dari halaman belakang menjadi halaman depan. Menggali dan memberdayakannya berbagai potensi sosial-budaya dari tiap-tiap kelompok masyarakat sebagai alternatif pendidikan liberasi.

* Penulis adalah peneliti pada Creol Institute, Research dan Cultural Relationship
Sumber: Materi Penulisan Sejarah Kampung Rantaurasau 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...