Jumat, 18 Mei 2012

Analisis Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 05 Tahun 2006 Tentang Pedagang Kaki Lima


A.  Pendahuluan
Latar Belakang
Berpijak dari kenyataan yang ada, sementara ini orang mengeluh dengan kehadiran Pedagang Kaki Lima (PKL) yang dinilai mengurangi kebersihan kota, mengganggu kelancaran lalu lintas, sebagian barang yang diperdagangkan berkualitas rendah, dan masih banyak lagi keluhan lainnya. Memang sudah menjadi kenyataan masalah semrawutnya Pedagang Kaki Lima pada setiap kota di Indonesia selalu dipermasalahkan oleh pemerintah daerah maupun penentu kebijakan kota termasuk di Kota Jambi.
Kalau kita perhatikan dengan beragamnya permasalahan mengenai Pedagang Kaki Lima, dapat terlihat adanya dua faktor yang sangat berpengaruh, yaitu daerah asal mereka dan tingkat pendidikannya. Di kota besar seperti Jakarta tingkat pendidikan Pedagang Kaki Lima sangat rendah, tidak sekolah (25,5%) dan tamat SD (63,7%). Pedagang Kaki Lima yang beasal dari Jawa Barat (43,7%), dari Jawa Tengah menempati urutan kedua (29,1%), DKI Jakarta urutan ketiga (11,4%), Sumatera Barat (7,1%), dan Jawa Timur (3,5%) (Supranto, 1978). Jelaslah bahwa semua Pedagang Kaki Lima yang ada pada saat ini, baik yang berlokasi di pusat kota maupun di pinggiran kota, akan semakin bertambah jumlahnya dan tidak dapat dihapuskan begitu saja tanpa melihat satu siklus kondisi yang terdapat di dalam tingkat sosial para Pedagang Kaki Lima tersebut. Masalah ini seharusnya dapat didekati secara seksama, baik oleh pihak pemerintah daerah maupun unsur masyarakat serta para ahli sosiologi untuk kepentingan memecahkan masalah. Pedagang Kaki Lima sejatinya perlu mendapatkan pembinaan dan bimbingan di dalam usaha meningkatkan derajad mereka, yang mungkin akan meningkatkan taraf hidup, tingkat sosialnya atau pun agar selamanya tidak ingin menjadi Pedagang Kaki Lima lagi.
Kalau dilihat dari tingkat ekonomi menengah dan rendah di dalam tatanan kehidupan kita sehari-hari masih diperlukan hadirnya Pedagang Kaki Lima, terutama yang berhubungan dengan jenis dan macam barang dagangan sebagai konsumsi masyarakat banyak. Satu kegiatan yang sangat intensif di dalam konteks sosio-ekonomi antara Pedagang Kaki Lima dan masyarakat sebagai pembeli barang dagangannya. Dari hubungan transformasi ini kemungkinan besar akan tampak konsep ideal sosial masyarakat yang terwujud di dalam bentuk simbolisme Kaki Lima itu sendiri, yang mana lebih banyak menuntut rasa tanggung jawab sosialnya.
Ini adalah suatu kenyataan yang harus kita terima, proses sosialisasi membutuhkan kita untuk menentukan hasil akhir dari kedua perilaku tadi, yaitu masyarakat dan Kaki Lima di dalam mewujudkan tatanan dan papan bagi keduanya di dalam kota.
Tidak perlu menunggu waktu lagi dalam memecahkan masalah pedagang Kaki Lima, segera dilakukan penanganan secara terpadu, baik melalui pendekatan sosial maupun dengan pendekatan multi disipliner. Belajar dari yang paling sederhana dapat diambil contoh apa yang dilakukan oleh Rektor UGM, di dalam menangani sektor informal (Pedagang Kaki Lima) di Kampus Universitas Gadjah mada. Para Pedagang Kaki Lima diberikan tempat di dalam Kampus untuk berjualan di dalam memenuhi kebutuhan para mahasiswa dengan segala fasilitasnya, termasuk tempat untuk berjualan, air bersih, tempat cuci, KM/WC serta tata hijau (tanaman langka) yang ada di sekitar tempat berjualan tersebut. Mereka juga dibebani berbagai persyaratan di dalam mengelola tempat untuk berjualan, di antaranya para Pedagang Kaki Lima hanya diperkenankan berjualan dari pagi sampai sore hari, tempat berjualan harus selalu dibersihkan setiap harinya dan diwajibkan untuk merawat serta memelihara tata hijau (tanaman langka) yang berada di tempat berjualan tersebut. Inilah salah satu cara pendekatan yang mungkin sangat sederhana sekali, yang seharusnya sudah dimulai sejak awal oleh para penentu kebijakan sehingga kedua keuntungan dari proses pendekatan di atas itu memberikan keuntungan besar bagi kedua belah pihak, bagi Pedagang Kaki Lima dapat memberikan pelayanan kepada pihak mahasiswa. Dengan kata lain telah terjadi sosio-komunikasi di antara keduanya tanpa merugikan lingkungan binaannya dan akhirnya akan menjadi pusat kegiatan non-edukatif bagi para mahasiswa, yang komunikatif dan tentu saja manusiawi.
Bagian dari pendekatan-pendekatan sosial yang lain juga harus dapat diikutsertakan di dalam melihat dan mengantisipasi perilaku penduduk atau masyarakat dengan kondisi ekonomi dari Pedagang Kaki Lima. Di dalam tatanan keseluruhan perangkat peraturan yang berfungsi di kota-kota kecil maupun besar tempat para Pedagang Kaki Lima mengadu nasib mencari kebutuhan hidupnya. Sungguh tidak manusiawi kalau para Pedagang Kaki Lima juga ditarik pungutan dengan variasi antara Rp 50 sampai Rp 500 atau lebih, tetapi suatu saat barang dan tempat berdagang terancam oleh penertiban kota. Masalah ini juga harus menjadi bahan pemikiran yang matang bagi pemerintah kota maupun penentu kebijakan, mereka para Pedagang Kaki Lima dalam berjualan juga membutuhkan modal uang yang tidak sedikit baik untuk barang dagangannya maupun tempat atau peralatan yang dipakai untuk berjualan. Jadi sudah jelas bahwa keberadaannya harus dijamin sebagai bagian dari isi kota seperti halnya masyarakat yang lain.
Seiring dengan krisis moneter yang terjadi sejak 1997, jumlah PKL di kota Jambi kalau kita amati mengalami peningkatan. Pertumbuhannya yang sangat pesat telah mengisi bahkan mengooptasi ruang-ruang public dan pusat-pusat kegiatan masyarakat, sehingga kini Kota Jambi banyak kita jumpai PKL yang tersebar di sepanjang jalan protokol, Jalan Arif Rahman Hakim, A Yani, A Manap, dan hamper di semua persimpangan jalan, yang tentu saja menganggu keindahan Kota Jambi. Ini sesungguhnya menjadi persoalan  yang serius bagi kita semua. PKL di Kota Jambi, seiring dengan petambahan penduduk maka  jumlah PKL pun kini kian bertambah. Hari demi hari pertumbuhan PKL di Kota Jambi semakin memprihatinkan.
Sudah banyak keluhan, bahkan umpatan, dari warga kota atas keberadaan PKL, karena kehadirannya sudah “menguasai” ruang-ruang public dan seringkali mengganggu kelancaran arus lalu lintas, pejalan kaki, serta menutup saluran drainase. Selain itu tenda-tenda PKL melahirkan kesan kekumuhan wajah kota, karena PKL cenderung tidak memperhatikan aspek kebersihan  lingkungan dan keindahan kota.
Meskipun permasalahan yang berkaitan dengan PKL kelihatannya rumit, ada harapan bagi pemerintah daerah untuk menggali sumber dana dari PKL tersebut secara optimal melalui kebijakan kebijakan yang tidak merugikan kedua belah pihak berdasarkan prinsip win-win solution.
Permasalahan
Dari baseline survey yang dilakukan oleh Perkumpulan Perdikan, sebuah NGO’s yang bergerak di penelitian, pendidikan dan pengorganisasian masyarakat miskin di  Indonesia, banyak di antara PKL adalah mantan buruh pabrik yang terkena PHK dan pensiunan PNS. Yang paling banyak yang memang sejak semula memilih bekerja sebagai pedagang di luar pasar resmi. Banyak juga yang semula kerja di pabrik beralih profesi menjadi PKL. Bahkan, ada yang sampai sekarang berstatus pegawai negeri meski tidak banyak. Ini berarti bahwa eksistensi PKL sebenarnya tidak dapat diabaikan, bahkan dalam kelesuan ekonomi saat ini, PKL sebagai bagian dari sektor informal berfungsi sebagai "katup pengaman" menampung ledakan penduduk yang masuk pasar kerja. Sektor informal telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pembangunan ekonomi nasional. Paling tidak dari hasil penilitian ini kita bisa berkaca serta berkomitmen untuk memperbaiki sistem penanganan PKL yang ke depan diharapkan akan lebih baik dengan mengedepankan nilai-nilai HAM. 
PKL muncul karena berbagai sebab. Salah satu sebab yang penting adalah ketidakmampuan sektor formal menampung angkatan kerja yang cenderung meningkat secara tajam yang sebagian disebabkan oleh terjadinya surplus tenaga kerja di sektor pertanian dan semakin banyaknya tenaga kerja di kota yang masuk ke pasar kerja karena peningkatan pendidikan. Kegagalan pembangunan ekonomi perkotaan telah menyebabkan kapasitas penyerapan angkatan kerja pada  sektor formal menjadi terbatas. Dipihak lain kebijakan ekonomi yang tidak memihak sektor pertanian telah menyebabkan sektor ini semakin tidak kompetitif terhadap sektor non pertanian. Akibatnya terjadi pengangguran di pedesaan yang meningkat kemudian mereka berimigrasi ke kota untuk mencari pekerjaan.
            Jumlah PKL Kota Jambi boleh dikatakan cukup besar dalam lima tahun belakangan. Kendati tiap tahun mereka diusir dari pusat kota, setiap tahun jumlahnya terus bertambah. Lihat saja di sepanjang jalan utama di Kota Jambi PKL seakan ikut berperan dalam memacetnya arus lalu lintas di Kota Jambi. Keberadaannya dinilai sudah menganggu kenyamanan dan keindahan kota, meski disatu sisi eksistensinya tetap dibutuhkan sebagai roda penggerak perekonomian masyarakat kecil. Berbagai upaya telah dilakukan Pemkot Jambi untuk menertibkannya. Namun upaya itu nyaris tidak membuahkan hasil optimal karena persoalan PKL berdemensi luas. Melihat betapa kompleksitas permasalahan PKL di Kota Jambi ini dibutuhkan sebuah kerangka kebijakan yang komprehensif antara pemerintah, swasta, LSM, koperasi ataupun sektor-sektor terkait lainnya untuk mengelola PKL menjadi sebuah gerakan ekonomi yang mampu menyangga perekonomian nasional.
            Dari uraian latar belakang diatas, maka penulis akan memcoba membahas tentang:
  1. Bagaimana penggusuran dalam perspektif HAM?
  2. Bagaimana pula konsep tertib dan tentram sesungguhnya?
Penggusuran dalam Perspektif HAM
Dari perspektif hak azasi manusia (HAM), pekerjaan yang dipilih secara bebas tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri dan martabat manusia. Pekerjaan, terlepas dari sifat formal maupun informal merupakan hak yang menjadi landasan bagi pemenuhan hak lainnya seperti hak akan sandang, pangan dan papan yang baik dan layak. Hak untuk bekerja merupakan perwujudan bagi pendapatan dan matapencaharian bagi kelangsungan hidup dan kehidupan setiap orang maupun keluarga. Hak untuk bekerja diakui oleh konvenan Internasional tentang Hak Ekososbud, walaupun belum diratifikasi namun hal ini selaras dengan Dekralasi Universal HAM dan sebagai anggota PBB Indonesia terikat dalam statuta PBB yang menyatakan negara-negara anggota secara moral menghormati dan tunduk pada produk-produk hukum PBB. Hak untuk bekerja juga dijamin oleh Amandemen II UUD 1945 serta produk perundang-undangan lain seperti UU No. 33/1999 tentang HAM, UU tentang Kesejahteraan Sosial, dan seterusnya. Namun hak untuk bekerja masih menjadi polemik bagi Pemkot Jambi dikaitkan dengan keberadaan sektor informal di kota Jambi.
Dengan jargon menegakkan supremasi hukum berlandaskan Peraturan daerah Nomor 05 tahun 2006 tentang pedagang kaki lima, Pemkot Jambi seolah dengan segala daya, upaya dan dana berusaha menghilangkan (baca: delete) para Penyandang masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), stigma bagi pekerja di sektor infomal tersebut. Dengan supremasi hukum Pemkot justru telah melakukan pelanggaran hukum dan HAM. Penertiban para PMKS selama ini penuh dengan kekerasan hingga harus mempersenjatai Satpol PP.
Sebenarnya keberadaan mereka yang sering disebut sektor informal tersebut tidak perlu menjadi beban yang terlalu berlebihan dari pihak Pemkot. Biaya penertiban untuk para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) -sebuah stigma dari Pemkot tersebut memerlukan biaya yang besar, tetapi hasil yang dicapai tidaklah memuaskan. Padahal sebenarnya bila dipergunakan untuk pemberdayaan mereka mungkin PMKS yang ada akan jauh berkurang. Sebab mereka ada dan bekerja atas inisiatif dan modal usaha sendiri dan tidak membebani Pemkot, namun kenapa Pemkot tidak memfasilitasi mereka justru membuang biaya untuk menggusur kreativitas mereka.

Perda Nomor 05 Tahun 2006 tentang pedagang kaki lima selalu dijadikan dalil peminggiran PKL Jambi. Perda ini sangat bias kelas menengah atas, dan meminggirkan rakyat kecil ini mengkriminalisasi orang yang berdagang di pinggir jalan. Perda Nomor 05 Tahun 2006 ini sudah tidak memenuhi kriteria pembentukan hukum yang ditujukan untuk kepentingan rakyat. Pertama, Perda ini secara filosofis, yuridis, dan sosiologis sudah tidak layak lagi diberlakukan karena Perda tidak diperuntukkan bagi kepentingan warga Jambi, tetapi hanya menjadi alat legitimasi Pemkot Jambi untuk membatasi peruntukan kota Semarang bagi golongan menengah atas tanpa memberikan solusi konkrit bagi golongan warga miskin Jambi. Kedua, Perda ini melegitimasi tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat “atas nama undang-undang” yang sesungguhnya memberi peluang pada aparat untuk melakukan tindakan yang melampaui batas kewenangannya. Ketiga, Perda ini sesungguhnya adalah bentuk pelanggaran HAM hakiki orang untuk hidup dan bekerja. Yang seharusnya dihargai dengan memfasilitasi kreativitas dan bukan membunuhnya. Bukankah Negara dan Pemerintahan, termasuk Pemkot Jambi, dibentuk dengan sebuah komitmen akan menghargai dan bertanggung jawab atas kebaikan dan kesejahteraan warganya?
Namun tidak demikian yang kita saksikan sekarang. Pemkot Jambi selalu menggunakan pendekatan militeristik untuk mengatasi masalah-masalah sosial di Jambi Para PKL dirusak kios atau gerobak dagangannya atau disita tanpa tanda bukti apa-apa. Temuan Perkumpulan Perdikan di lapangan menunjukkan fakta bahwa agar aman dari gusuran, maka para PKL harus menyetor sejumlah dana rutin pada ‘petugas’ yang kadang dibeking oleh oknum TNI/Polri. Ini sudah menjadi rahasia umum bagaimana sesungguhnya Walikota mengelola Kota Jambi.

Konsep Tertib dan Tentram
Warga masyarakat akan menghargai dalam arti patuh dan taat pada hukum jika ia dapat merasakan manfaat dari hukum itu sendiri. Untuk menghayati manfaat hukum ia harus tahu dan paham pada hukum yang berlaku di masyarakat. Untuk tahu dan paham ia harus terlebih dahulu mengetahui tujuan dan fungsi hukum yang ada.
Hukum mempunyai tujuan untuk menciptakan kedamaian di tengah masyarakat. Kedamaian berarti adanya tingkat keserasian dan harmonisasi antara ketertiban dan ketentraman. Ketertiban diperlukan untuk kepentingan umum dan berdimensi keterikatan dan kedisiplinan, sedangkan ketentraman diperlukan untuk kepentingan individu-individu dan berdimensi pada kenikmatan dan kebebasan. Kedua nilai yang berpasangan itu harus selalu diserasikan supaya tidak mengganggu masyarakat umum maupun individu-individu yang juga menjadi bagian dari masyarakat tersebut.
Ketentraman akan terwujud bila masyarakat tidak merasa kuatir, terancam, serta tidak adanya konflik batin dalam individu-individu yang ada. Hal ini hanya akan terjadi bila tidak adanya intervensi dari pihak luar yang memaksakan suatu hal dan harus selalu ada pilihan pilihan bagi individu tersebut untuk menentukan pilihannya.
Ketertiban akan terwujud bila hukum melakukan tugas demi kepastian, sedangkan ketentraman menerapkan kesebandingan. Landasan kepastian hukum adalah kesamaan dalam arti pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Jika yang dikehendaki adalah kepastian hukum yang bermanfaat maka yang harus dilakukan adalah dengan menerapkan kepastian hukum yang senantiasa diserasikan dengan kesebandingan hukum itu sendiri. Bila tidak maka kepastian hukum tersebut hanya kepastian peraturan belaka.
Pemkot Jambi bisa dinilai kurang memiliki visi yang jelas bagi kesejahteraan warga Jambi. Terbukti dengan stigmatisasi “Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)” bagi warga yang miskin berstatus anak jalanan, pedagang kaki lima (PKL), pemulung, dan mereka yang tinggal di daerah rawan gusuran. Stigmatisasi semacam itu kemudian menjadi legitimasi bagi Pemkot untuk mempersenjatai petugas Satpol PP.
Di sisi lain, pembangunan di kota Jambi, cenderung memenangkan sektor formal yang bermodal besar dan mendatangkan pajak yang besar bagi pemerintah. Strategi pembangunan ini membawa ke arah pandang bahwa pembangunan hanya akan berjalan sebagai kontribusi sektor formal. Sementara itu, sektor informal di mana para PKL tumbuh dan berkembang dianggap sebagai sektor yang kurang menguntungkan. Dengan adanya cara pandang seperti ini, tidaklah mengherankan bila sektor informal dan pelaku-pelaku di dalamnya mengalami perlakuan diskriminatif.
Menyikapi persoalan Pedagang Kaki Lima, maka ada beberapa alternatif kebijakan guna mengatasi permasalahan tersebut, antara lain:
  1. Merangsang PKL untuk membentuk koperasi atau kalau sudah ada harus menjadi anggota. Pandangan yang berkembang diantara PKL adalah bahwa dengan masuk menjadi anggota koperasi berarti berkurang penghasilannya. Untuk itu perlu ditawarkan program-program baru yang dilakukan dengan syarat PKL harus masuk menjadi aggota koperasi. Program-program tersebut antara lain memberikan pinjaman dengan suku bunga kecil dan pengembangan pemasaran barang. Pengadaan kredit dengan persyaratan yang mudah dengan bunga rendah diharapkan dapat membantu para PKL. Pengembangan dan pemasaran barang dilakukan dengan memberi kesempatan PKL untuk mengikuti pameran perdagangan tanpa dipungut bayaran. Koperasi adalah perpanjangan tangan dari pemerintah untuk dapat menciptakan acara-acara pameran perdagangan yang menjadi tempat bagi PKL untuk berpameran. Bagi PKL terbaik akan memperolah kesempatan untuk melakukan pameran dengan cakupan yang lebih luas lagi yaitu nasional maupun internasional.
  2. Pemerintah sebaiknya melegalkan saja kegiatan PKL ini karena terbukti telah memberikan sumbangan yang besar. Namun perlu ditekankan, bahwa peran serta pemerintah dapat dilakukan melalui penataan lokasi usaha, bentuk tempat usaha, penyediaan tempat untuk berjualan dan menyediakan fasilitas yang mendukung seperti kamar mandi. PKL dipungut sejumlah uang tertentu untuk biaya perawatan. Disamping itu pemerintah melalaui koperasi berkewajiban untuk menjamin ketertiban dan keamanan berusaha warga PKL. Hal ini dilakukan agar dapat mereduksi persepsi negatif mengenai keberadaan PKL.
  3. Pemerintah membuka link atau jalur antara pengusaha besar (sektor formal) dengan pengusaha kecil (sektor informal) agar pekerja sektor informal dapat memperoleh barang dagangan dengan mudah.
  4. Melakukan “profesionalisasi” PKL. PKL dimodali, ditata dan dikelola secara profesional agar tercipta suasana kota yang tertib. Contohnya PKL di daerah tertentu mengunakan pakaian dan tempat berdagang sama/seragam dengan warna tertentu. Hal ini tentunya akan menarik minat wisatawan berbelanja dan menjadi daya tarik parawisata daerah tertentu. Penyeragaman PKL suatu daerah akan memperlihatkan perbedaan antara PKL legal dan illegal. Koperasi/pemerintah tetap membolehkan adanya PKL musiman dengan menciptakan syarat-syarat yang jelas seperti daerah untuk berdagang. Maksudnya adalah  agar tercipta keadilan antara PKL illegal dan legal.
  5. Pelatihan bagi PKL dengan kerjasama antara : LSM, PT, Koperasi. Sikap dan derajad keusahawanan pelaku sektor informal, misalnya sikap optimis, kejelasan tujuan dan strategi serta pendekatan untuk mencapai tujuan, memanfaatkan peluang, yang mereka miliki ternyata masih cukup rendah. Selain hal itu dalam melakukan kegiatannya, pekerja sektor informal kurang dalam memahami dasar-dasar pengelolaan usaha dan juga tentang pemasaran. Keterkaitan dan kemitraan antara pelaku sector informal dan usaha formal yang bersifat transformatif dalam hal meningkatkan kemampuan pengelolaan usaha, penciptaan peluang dan resiko usaha, transaksi usaha dan perluasan pasar sangat diperlukan untuk mengembangkan sumber daya. Pengembangan sumber daya dapat dengan penyuluhan, penyebaran informasi seputar kegiatan usaha, pengembangan wawasan, penggalakan pembukuan dalam usaha, yang semua itu dapat dilakukan lewat pendidikan atau pelatihan.
  6. Memberdayakan PKL merupakan wewenang pemerintah kota. Kegiatannya ini seharusnyalah memfokuskan dalam memaksimalkan fungsi paguyuban PKL agar mereka memiliki bargaining position. Setiap satu bulan sekali dilaksanakan forum dialog antara pembuat kebijakan dengan para PKL guna membahas masalah-masalah yang muncul di lapangan. Setiap tiga  bulan sekali, para PKL diberi penyuluhan dan pelatihan, mulai dari srtategi berdagang, kewirausahaan hingga manajemen. Selain itu, para PKL juga diberi pinjaman modal untuk lebih mengembangkan usahanya.
Kesimpulan dan Saran
Mengarsitekturkan Kaki Lima
Ruang merupakan tatanan yang paling utama dalam arsitektur, baik ruang dalam atau pun ruang luar, keduanya saling berhubungan. Bahkan secara kontras dapat terlihat ruang pedagang Kaki Lima (ekonomi lemah), ruang pembeli dan ruang para pemilik toko (ekonomi kuat) yang ketiganya selalu berdampingan dalam aktivitas melalui satu wadah fisik, yaitu ruang. Dengan memanfaatkan kedua sisi sosio-ekonomi ke dalam ruang arsitektural akan memberikan satu penataan lingkungan binaan yang lebih baik dibanding sebelumnya. Penataan ini lebih jauh dapat memberikan gambaran bahwa pedagang Kaki Lima yang berjualan di luar bangunan atau gedung serta pemilik toko yang berjualan di dalam gedung, keduanya akan terpisahkan oleh kontrasnya sirkulasi dan tentu saja perilaku aktivitas pembeli.
Secara arsitektural para pedagang Kaki Lima sebaiknya sudah ditentukan luasan tempat untuk berjualan yang masing-masing berbeda, mengapa demikian? Karena dari masing-masing pedagang Kaki Lima menjual jenis barang dagangannya yang berbeda-beda pula (makanan, sandang/kelontong, jasa, kebutuhan sekolah, dan lain sebagainya). Apalagi bagi para pedagang Kaki Lima yang berjualan di emper-emper toko maupun trotoar, juga perlu adanya penanganan khusus yang arsitektural. Diharapkan dengan adanya penataan ini akan banyak memberikan sumbangan yang besar di dalam menanggulangi kesemrawutan para pedagang Kaki Lima yang berada di pusat kota, baik dalam ungkapan fisik ruang untuk pedagang Kaki Lima, sistem sirkulasi maupun tata letaknya. Tentunya pendekatan di atas membutuhkan uluran dan peran para arsitek di dalam memformasikan satu bentuk tatanan, yang mungkin boleh dikatakan “peran arsitek untuk rakyat jelata”, dalam mengisi tatanan ruang kota. Semuanya ini akan terpateri menjadi satu wujud fisik yang mempunyai latar belakang arsitektural.
Kota untuk Kaki Lima
Kota sebagai tempat hidup manusia hendaknya merupakan suatu lingkungan yang sesuai dengan hakekat manusia itu sendiri. Dengan keinginan untuk dapat menyertakan masyarakat dalam menciptakan suasana Kaki Lima yang menyenangkan. Bukan sekedar menjadi tempat yang hanya berisi benda mati dan hasil teknologi pembangunan saja. Harus kita simak dengan seksama, bahwa kegiatan manusia pada pedagang Kaki Lima hendaknya dipandang sebagai bagian dari rangkaian kehidupan kota yang tumbuh secara alamiah. Oleh karena itu, kehadirannya perlu diberi tempat sebagai salah satu unsur kota secara keseluruhan. Kaki Lima mempunyai fungsi sebagai tempat terjadinya kehidupan yang mempunyai nilai ekonomis serta mempunyai fungsi sosial dapat merupakan salah satu media bagi pembentukan suasana kehidupan kota secara hakiki. Sebagai unsur yang menempati kota, Kaki Lima perlu adanya bimbingan agar kadar manusiawinya tinggi serta mampu menjadikan suasana keindahan tersendiri.
Akhirnya, pemerintah kota, penentu kebijakan maupun masyarakat kota, perlu melihat kembali ke belakang dengan satu sentuhan langkah baru di dalam menentukan penataan kotanya, maupun pengelolan ekonomi sosial warganya agar dapat tercipta sebuah kota yang mempunyai wajah dan menjadi milik kita semua.
Meskipun keberadaan Pedagang Kaki Lima masih mengundang controversy, tetapi ternyata sector ini memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap ekonomi suatu daerah. Pentingnya keberadaan PKL antara lain adalah menciptakan peluang kerja dan usaha, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menjangkau daya beli berbagai lapisan masyarakat, meningkatkan pendapatan asli daerah, mengembangkan semangat kewirausahaan dan mendukung pariwisata.
Kebijakan pemerintah yang melarang keberadaan sektor informal justru berpotensi menimbulkan kerawanan politik. Terlepas dari sisi negatif yang ditimbulkan sektor ini di daerah perkotaan, pemerintah perlu membuat alternative kebijakan dengan berbagai stakeholder yang terkait dengan pengelolaan PKL seperti Koperasi, LSM, Swasta/Pengusaha, Pemerintah dan-organisasi yang dibentuk oleh PKL.
Secara umum kemampuan manajerial Pemkot masih dirasa kurang, seolah-olah karena tidak bisa me-manage maka di-delete saja. Atau arogansi militeristik yang kental tetap terlihat ketika adaya operasi-operasi penggarukan bagi para “korban”. Masyarakat sebetulnya punya kemampuan untuk mengatur komunitasnya sendiri. Mereka secara alamiah mengerti adanya persaingan diantara mereka sendiri, dan ketika mereka tidak membatasi diri, maka rantai makanan yang ada akan semakin langka. Yang mereka butuhkan adalah bagaimana Pemkot melakukan pendekatan dari bawah dan mencoba mefasilitasi kekreativitasan yang ada dengan cara di-urunrembug-kan secara musyawarah yang sekaligus demokratis sifatnya. Hargailah hak hidup rakyat maka rakyat akan menghargai pemerintahnya.
Bagaimanapun, sudah saatnya pemerintah melakukan pembenahan secara menyeluruh. Baik terkait kebijakan dalam pemanfaatan ruang, akses mendapatkan lahan, kesetaraan hukum, keseimbangan ruang berusaha, penyediaan prasarana dasar, dan sebagainya.
Pemerintah kota Jambi tidak boleh hanya mengutamakan kepentingan hukum dengan mengorbankan kepentingan masyarakat. Paling tidak, pemerintah jangan hanya bisa menggusur. Namun, bagaimana menata Jambi sebagai ibu kota Provinsi Jambi dengan tetap menghargai keberadaan orang kecil. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...