A. Pendahuluan
Latar Belakang
Berpijak dari kenyataan yang ada, sementara ini orang
mengeluh dengan kehadiran Pedagang Kaki Lima (PKL) yang dinilai mengurangi
kebersihan kota, mengganggu kelancaran lalu lintas, sebagian barang yang
diperdagangkan berkualitas rendah, dan masih banyak lagi keluhan lainnya.
Memang sudah menjadi kenyataan masalah semrawutnya Pedagang Kaki Lima pada
setiap kota di Indonesia selalu dipermasalahkan oleh pemerintah daerah maupun
penentu kebijakan kota termasuk di Kota Jambi.
Kalau kita perhatikan dengan beragamnya permasalahan
mengenai Pedagang Kaki Lima, dapat terlihat adanya dua faktor yang sangat
berpengaruh, yaitu daerah asal mereka dan tingkat pendidikannya. Di kota besar
seperti Jakarta tingkat pendidikan Pedagang Kaki Lima sangat rendah, tidak
sekolah (25,5%) dan tamat SD (63,7%). Pedagang Kaki Lima yang beasal dari Jawa
Barat (43,7%), dari Jawa Tengah menempati urutan kedua (29,1%), DKI Jakarta
urutan ketiga (11,4%), Sumatera Barat (7,1%), dan Jawa Timur (3,5%) (Supranto,
1978). Jelaslah bahwa semua Pedagang Kaki Lima yang ada pada saat ini, baik
yang berlokasi di pusat kota maupun di pinggiran kota, akan semakin bertambah
jumlahnya dan tidak dapat dihapuskan begitu saja tanpa melihat satu siklus
kondisi yang terdapat di dalam tingkat sosial para Pedagang Kaki Lima tersebut.
Masalah ini seharusnya dapat didekati secara seksama, baik oleh pihak
pemerintah daerah maupun unsur masyarakat serta para ahli sosiologi untuk
kepentingan memecahkan masalah. Pedagang Kaki Lima sejatinya perlu mendapatkan
pembinaan dan bimbingan di dalam usaha meningkatkan derajad mereka, yang
mungkin akan meningkatkan taraf hidup, tingkat sosialnya atau pun agar
selamanya tidak ingin menjadi Pedagang Kaki Lima lagi.
Kalau dilihat dari tingkat ekonomi menengah dan rendah di dalam tatanan kehidupan kita sehari-hari masih diperlukan hadirnya Pedagang Kaki Lima, terutama yang berhubungan dengan jenis dan macam barang dagangan sebagai konsumsi masyarakat banyak. Satu kegiatan yang sangat intensif di dalam konteks sosio-ekonomi antara Pedagang Kaki Lima dan masyarakat sebagai pembeli barang dagangannya. Dari hubungan transformasi ini kemungkinan besar akan tampak konsep ideal sosial masyarakat yang terwujud di dalam bentuk simbolisme Kaki Lima itu sendiri, yang mana lebih banyak menuntut rasa tanggung jawab sosialnya.
Kalau dilihat dari tingkat ekonomi menengah dan rendah di dalam tatanan kehidupan kita sehari-hari masih diperlukan hadirnya Pedagang Kaki Lima, terutama yang berhubungan dengan jenis dan macam barang dagangan sebagai konsumsi masyarakat banyak. Satu kegiatan yang sangat intensif di dalam konteks sosio-ekonomi antara Pedagang Kaki Lima dan masyarakat sebagai pembeli barang dagangannya. Dari hubungan transformasi ini kemungkinan besar akan tampak konsep ideal sosial masyarakat yang terwujud di dalam bentuk simbolisme Kaki Lima itu sendiri, yang mana lebih banyak menuntut rasa tanggung jawab sosialnya.
Ini adalah suatu kenyataan yang harus kita terima,
proses sosialisasi membutuhkan kita untuk menentukan hasil akhir dari kedua
perilaku tadi, yaitu masyarakat dan Kaki Lima di dalam mewujudkan tatanan dan
papan bagi keduanya di dalam kota.
Tidak perlu menunggu waktu lagi dalam memecahkan
masalah pedagang Kaki Lima, segera dilakukan penanganan secara terpadu, baik
melalui pendekatan sosial maupun dengan pendekatan multi disipliner. Belajar
dari yang paling sederhana dapat diambil contoh apa yang dilakukan oleh Rektor
UGM, di dalam menangani sektor informal (Pedagang Kaki Lima) di Kampus
Universitas Gadjah mada. Para Pedagang Kaki Lima diberikan tempat di dalam
Kampus untuk berjualan di dalam memenuhi kebutuhan para mahasiswa dengan segala
fasilitasnya, termasuk tempat untuk berjualan, air bersih, tempat cuci, KM/WC
serta tata hijau (tanaman langka) yang ada di sekitar tempat berjualan
tersebut. Mereka juga dibebani berbagai persyaratan di dalam mengelola tempat
untuk berjualan, di antaranya para Pedagang Kaki Lima hanya diperkenankan
berjualan dari pagi sampai sore hari, tempat berjualan harus selalu dibersihkan
setiap harinya dan diwajibkan untuk merawat serta memelihara tata hijau
(tanaman langka) yang berada di tempat berjualan tersebut. Inilah salah satu
cara pendekatan yang mungkin sangat sederhana sekali, yang seharusnya sudah dimulai
sejak awal oleh para penentu kebijakan sehingga kedua keuntungan dari proses
pendekatan di atas itu memberikan keuntungan besar bagi kedua belah pihak, bagi
Pedagang Kaki Lima dapat memberikan pelayanan kepada pihak mahasiswa. Dengan
kata lain telah terjadi sosio-komunikasi di antara keduanya tanpa merugikan
lingkungan binaannya dan akhirnya akan menjadi pusat kegiatan non-edukatif bagi
para mahasiswa, yang komunikatif dan tentu saja manusiawi.
Bagian dari pendekatan-pendekatan sosial yang lain
juga harus dapat diikutsertakan di dalam melihat dan mengantisipasi perilaku
penduduk atau masyarakat dengan kondisi ekonomi dari Pedagang Kaki Lima. Di
dalam tatanan keseluruhan perangkat peraturan yang berfungsi di kota-kota kecil
maupun besar tempat para Pedagang Kaki Lima mengadu nasib mencari kebutuhan
hidupnya. Sungguh tidak manusiawi kalau para Pedagang Kaki Lima juga ditarik
pungutan dengan variasi antara Rp 50 sampai Rp 500 atau lebih, tetapi suatu
saat barang dan tempat berdagang terancam oleh penertiban kota. Masalah ini
juga harus menjadi bahan pemikiran yang matang bagi pemerintah kota maupun
penentu kebijakan, mereka para Pedagang Kaki Lima dalam berjualan juga
membutuhkan modal uang yang tidak sedikit baik untuk barang dagangannya maupun
tempat atau peralatan yang dipakai untuk berjualan. Jadi sudah jelas bahwa
keberadaannya harus dijamin sebagai bagian dari isi kota seperti halnya
masyarakat yang lain.
Seiring dengan krisis moneter yang terjadi sejak
1997, jumlah PKL di kota Jambi kalau kita amati mengalami peningkatan.
Pertumbuhannya yang sangat pesat telah mengisi bahkan mengooptasi ruang-ruang
public dan pusat-pusat kegiatan masyarakat, sehingga kini Kota Jambi banyak
kita jumpai PKL yang tersebar di sepanjang jalan protokol, Jalan Arif Rahman
Hakim, A Yani, A Manap, dan hamper di semua persimpangan jalan, yang tentu saja
menganggu keindahan Kota Jambi. Ini sesungguhnya menjadi persoalan yang serius bagi kita semua. PKL di Kota
Jambi, seiring dengan petambahan penduduk maka jumlah PKL pun kini kian bertambah. Hari demi
hari pertumbuhan PKL di Kota Jambi semakin memprihatinkan.
Sudah banyak keluhan, bahkan umpatan, dari warga
kota atas keberadaan PKL, karena kehadirannya sudah “menguasai” ruang-ruang
public dan seringkali mengganggu kelancaran arus lalu lintas, pejalan kaki,
serta menutup saluran drainase. Selain itu tenda-tenda PKL melahirkan kesan kekumuhan
wajah kota, karena PKL cenderung tidak memperhatikan aspek kebersihan lingkungan dan keindahan kota.
Meskipun permasalahan yang berkaitan dengan PKL
kelihatannya rumit, ada harapan bagi pemerintah daerah untuk menggali sumber
dana dari PKL tersebut secara optimal melalui kebijakan kebijakan yang tidak
merugikan kedua belah pihak berdasarkan prinsip win-win solution.
Permasalahan
Dari baseline survey
yang dilakukan oleh Perkumpulan Perdikan, sebuah NGO’s yang bergerak di
penelitian, pendidikan dan pengorganisasian masyarakat miskin di Indonesia, banyak di antara PKL adalah mantan
buruh pabrik yang terkena PHK dan pensiunan PNS. Yang paling banyak yang memang
sejak semula memilih bekerja sebagai pedagang di luar pasar resmi. Banyak juga
yang semula kerja di pabrik beralih profesi menjadi PKL. Bahkan, ada yang
sampai sekarang berstatus pegawai negeri meski tidak banyak. Ini berarti bahwa
eksistensi PKL sebenarnya tidak dapat diabaikan, bahkan dalam kelesuan ekonomi
saat ini, PKL sebagai bagian dari sektor informal berfungsi sebagai "katup
pengaman" menampung ledakan penduduk yang masuk pasar kerja. Sektor
informal telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pembangunan
ekonomi nasional. Paling tidak dari hasil penilitian ini kita bisa berkaca
serta berkomitmen untuk memperbaiki sistem penanganan PKL yang ke depan
diharapkan akan lebih baik dengan mengedepankan nilai-nilai HAM.
PKL muncul karena berbagai sebab. Salah satu sebab
yang penting adalah ketidakmampuan sektor formal menampung angkatan kerja yang
cenderung meningkat secara tajam yang sebagian disebabkan oleh terjadinya
surplus tenaga kerja di sektor pertanian dan semakin banyaknya tenaga kerja di
kota yang masuk ke pasar kerja karena peningkatan pendidikan. Kegagalan
pembangunan ekonomi perkotaan telah menyebabkan kapasitas penyerapan angkatan
kerja pada sektor formal menjadi
terbatas. Dipihak lain kebijakan ekonomi yang tidak memihak sektor pertanian
telah menyebabkan sektor ini semakin tidak kompetitif terhadap sektor non
pertanian. Akibatnya terjadi pengangguran di pedesaan yang meningkat kemudian
mereka berimigrasi ke kota untuk mencari pekerjaan.
Jumlah PKL Kota Jambi boleh
dikatakan cukup besar dalam lima tahun belakangan. Kendati tiap tahun mereka
diusir dari pusat kota, setiap tahun jumlahnya terus bertambah. Lihat saja di
sepanjang jalan utama di Kota Jambi PKL seakan ikut berperan dalam memacetnya
arus lalu lintas di Kota Jambi. Keberadaannya dinilai sudah menganggu
kenyamanan dan keindahan kota, meski disatu sisi eksistensinya tetap dibutuhkan
sebagai roda penggerak perekonomian masyarakat kecil. Berbagai upaya telah
dilakukan Pemkot Jambi untuk menertibkannya. Namun upaya itu nyaris tidak membuahkan
hasil optimal karena persoalan PKL berdemensi luas. Melihat betapa kompleksitas
permasalahan PKL di Kota Jambi ini dibutuhkan sebuah kerangka kebijakan yang
komprehensif antara pemerintah, swasta, LSM, koperasi ataupun sektor-sektor
terkait lainnya untuk mengelola PKL menjadi sebuah gerakan ekonomi yang mampu
menyangga perekonomian nasional.
Dari uraian latar belakang diatas,
maka penulis akan memcoba membahas tentang:
- Bagaimana
penggusuran dalam perspektif HAM?
- Bagaimana
pula konsep tertib dan tentram sesungguhnya?
Penggusuran dalam
Perspektif HAM
Dari perspektif hak
azasi manusia (HAM), pekerjaan yang dipilih secara bebas tetap menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari diri dan martabat manusia. Pekerjaan, terlepas dari sifat
formal maupun informal merupakan hak yang menjadi landasan bagi pemenuhan hak
lainnya seperti hak akan sandang, pangan dan papan yang baik dan layak. Hak
untuk bekerja merupakan perwujudan bagi pendapatan dan matapencaharian bagi
kelangsungan hidup dan kehidupan setiap orang maupun keluarga. Hak untuk
bekerja diakui oleh konvenan Internasional tentang Hak Ekososbud, walaupun
belum diratifikasi namun hal ini selaras dengan Dekralasi Universal HAM dan
sebagai anggota PBB Indonesia terikat dalam statuta PBB yang menyatakan
negara-negara anggota secara moral menghormati dan tunduk pada produk-produk
hukum PBB. Hak untuk bekerja juga dijamin oleh Amandemen II UUD 1945 serta
produk perundang-undangan lain seperti UU No. 33/1999 tentang HAM, UU tentang
Kesejahteraan Sosial, dan seterusnya. Namun hak untuk bekerja masih menjadi
polemik bagi Pemkot Jambi dikaitkan dengan keberadaan sektor informal di kota Jambi.
Dengan jargon menegakkan supremasi hukum berlandaskan Peraturan
daerah Nomor 05 tahun
2006 tentang pedagang kaki lima, Pemkot Jambi seolah dengan segala daya, upaya
dan dana berusaha menghilangkan (baca: delete) para Penyandang masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS), stigma bagi pekerja di sektor infomal tersebut.
Dengan supremasi hukum Pemkot justru telah melakukan pelanggaran hukum dan HAM.
Penertiban para PMKS selama ini penuh dengan kekerasan hingga harus
mempersenjatai Satpol PP.
Sebenarnya keberadaan
mereka yang sering disebut sektor informal tersebut tidak perlu menjadi beban
yang terlalu berlebihan dari pihak Pemkot. Biaya penertiban untuk para
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) -sebuah stigma dari Pemkot
tersebut memerlukan biaya yang besar, tetapi hasil yang dicapai tidaklah
memuaskan. Padahal sebenarnya bila dipergunakan untuk pemberdayaan mereka
mungkin PMKS yang ada akan jauh berkurang. Sebab mereka ada dan bekerja atas
inisiatif dan modal usaha sendiri dan tidak membebani Pemkot, namun kenapa
Pemkot tidak memfasilitasi mereka justru membuang biaya untuk menggusur kreativitas
mereka.
Perda Nomor 05 Tahun 2006 tentang pedagang kaki lima selalu dijadikan dalil
peminggiran PKL Jambi. Perda ini sangat bias kelas menengah atas, dan
meminggirkan rakyat kecil ini mengkriminalisasi orang yang berdagang di
pinggir jalan. Perda Nomor 05 Tahun 2006 ini sudah tidak memenuhi kriteria pembentukan
hukum yang ditujukan untuk kepentingan rakyat. Pertama, Perda ini secara
filosofis, yuridis, dan sosiologis sudah tidak layak lagi diberlakukan karena
Perda tidak diperuntukkan bagi kepentingan warga Jambi, tetapi hanya menjadi
alat legitimasi Pemkot Jambi untuk membatasi peruntukan kota Semarang bagi
golongan menengah atas tanpa memberikan solusi konkrit bagi golongan warga
miskin Jambi. Kedua, Perda ini melegitimasi tindakan-tindakan kekerasan
yang dilakukan oleh aparat “atas nama undang-undang” yang sesungguhnya memberi
peluang pada aparat untuk melakukan tindakan yang melampaui batas
kewenangannya. Ketiga, Perda ini sesungguhnya adalah bentuk pelanggaran
HAM hakiki orang untuk hidup dan bekerja. Yang seharusnya dihargai dengan
memfasilitasi kreativitas dan bukan membunuhnya. Bukankah Negara dan
Pemerintahan, termasuk Pemkot Jambi, dibentuk dengan sebuah komitmen akan
menghargai dan bertanggung jawab atas kebaikan dan kesejahteraan warganya?
Namun tidak demikian yang kita saksikan sekarang. Pemkot Jambi
selalu menggunakan pendekatan militeristik untuk mengatasi masalah-masalah
sosial di Jambi Para PKL dirusak kios atau gerobak dagangannya atau disita
tanpa tanda bukti apa-apa. Temuan Perkumpulan Perdikan di lapangan menunjukkan
fakta bahwa agar aman dari gusuran, maka para PKL harus menyetor sejumlah dana
rutin pada ‘petugas’ yang kadang dibeking oleh oknum TNI/Polri. Ini sudah
menjadi rahasia umum bagaimana sesungguhnya Walikota mengelola Kota Jambi.
Konsep
Tertib dan Tentram
Warga masyarakat akan
menghargai dalam arti patuh dan taat pada hukum jika ia dapat merasakan manfaat
dari hukum itu sendiri. Untuk menghayati manfaat hukum ia harus tahu dan paham
pada hukum yang berlaku di masyarakat. Untuk tahu dan paham ia harus terlebih
dahulu mengetahui tujuan dan fungsi hukum yang ada.
Hukum mempunyai tujuan
untuk menciptakan kedamaian di tengah masyarakat. Kedamaian berarti adanya
tingkat keserasian dan harmonisasi antara ketertiban dan ketentraman.
Ketertiban diperlukan untuk kepentingan umum dan berdimensi keterikatan dan
kedisiplinan, sedangkan ketentraman diperlukan untuk kepentingan
individu-individu dan berdimensi pada kenikmatan dan kebebasan. Kedua nilai
yang berpasangan itu harus selalu diserasikan supaya tidak mengganggu
masyarakat umum maupun individu-individu yang juga menjadi bagian dari
masyarakat tersebut.
Ketentraman akan
terwujud bila masyarakat tidak merasa kuatir, terancam, serta tidak adanya
konflik batin dalam individu-individu yang ada. Hal ini hanya akan terjadi bila
tidak adanya intervensi dari pihak luar yang memaksakan suatu hal dan harus
selalu ada pilihan pilihan bagi individu tersebut untuk menentukan pilihannya.
Ketertiban akan terwujud
bila hukum melakukan tugas demi kepastian, sedangkan ketentraman menerapkan
kesebandingan. Landasan kepastian hukum adalah kesamaan dalam arti pada siapa
saja, kapan saja dan dimana saja. Jika yang dikehendaki adalah kepastian hukum
yang bermanfaat maka yang harus dilakukan adalah dengan menerapkan kepastian
hukum yang senantiasa diserasikan dengan kesebandingan hukum itu sendiri. Bila
tidak maka kepastian hukum tersebut hanya kepastian peraturan belaka.
Pemkot Jambi bisa
dinilai kurang memiliki visi yang jelas bagi kesejahteraan warga Jambi.
Terbukti dengan stigmatisasi “Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)”
bagi warga yang miskin berstatus anak jalanan, pedagang kaki lima (PKL),
pemulung, dan mereka yang tinggal di daerah rawan gusuran. Stigmatisasi semacam
itu kemudian menjadi legitimasi bagi Pemkot untuk mempersenjatai petugas Satpol
PP.
Di sisi lain,
pembangunan di kota Jambi, cenderung memenangkan sektor formal yang bermodal
besar dan mendatangkan pajak yang besar bagi pemerintah. Strategi pembangunan
ini membawa ke arah pandang bahwa pembangunan hanya akan berjalan sebagai
kontribusi sektor formal. Sementara itu, sektor informal di mana para PKL
tumbuh dan berkembang dianggap sebagai sektor yang kurang menguntungkan. Dengan
adanya cara pandang seperti ini, tidaklah mengherankan bila sektor informal dan
pelaku-pelaku di dalamnya mengalami perlakuan diskriminatif.
Menyikapi
persoalan Pedagang Kaki Lima, maka ada beberapa alternatif kebijakan guna
mengatasi permasalahan tersebut, antara lain:
- Merangsang
PKL untuk membentuk koperasi atau kalau sudah ada harus menjadi anggota.
Pandangan yang berkembang diantara PKL adalah bahwa dengan masuk menjadi
anggota koperasi berarti berkurang penghasilannya. Untuk itu perlu
ditawarkan program-program baru yang dilakukan dengan syarat PKL harus
masuk menjadi aggota koperasi. Program-program
tersebut antara lain memberikan
pinjaman dengan suku bunga kecil dan pengembangan pemasaran barang.
Pengadaan kredit dengan persyaratan yang mudah dengan bunga rendah
diharapkan dapat membantu para PKL. Pengembangan dan pemasaran barang
dilakukan dengan memberi kesempatan PKL untuk mengikuti pameran
perdagangan tanpa dipungut bayaran. Koperasi adalah perpanjangan tangan
dari pemerintah untuk dapat menciptakan acara-acara pameran perdagangan
yang menjadi tempat bagi PKL untuk berpameran. Bagi PKL terbaik akan
memperolah kesempatan untuk melakukan pameran dengan cakupan yang lebih
luas lagi yaitu nasional maupun internasional.
- Pemerintah
sebaiknya melegalkan saja kegiatan PKL ini karena terbukti telah
memberikan sumbangan yang besar. Namun perlu ditekankan, bahwa peran serta
pemerintah dapat dilakukan melalui penataan lokasi usaha, bentuk tempat
usaha, penyediaan tempat untuk berjualan dan menyediakan fasilitas yang
mendukung seperti kamar mandi. PKL dipungut sejumlah uang tertentu untuk
biaya perawatan. Disamping itu pemerintah melalaui koperasi berkewajiban
untuk menjamin ketertiban dan keamanan berusaha warga PKL. Hal ini
dilakukan agar dapat mereduksi persepsi negatif mengenai keberadaan PKL.
- Pemerintah
membuka link atau jalur antara pengusaha besar (sektor formal) dengan
pengusaha kecil (sektor informal) agar pekerja sektor informal dapat
memperoleh barang dagangan dengan mudah.
- Melakukan
“profesionalisasi” PKL. PKL dimodali, ditata dan dikelola secara
profesional agar tercipta suasana kota yang tertib. Contohnya PKL di
daerah tertentu mengunakan pakaian dan tempat berdagang sama/seragam
dengan warna tertentu. Hal ini tentunya akan menarik minat wisatawan
berbelanja dan menjadi daya tarik parawisata daerah tertentu. Penyeragaman
PKL suatu daerah akan memperlihatkan perbedaan antara PKL legal dan
illegal. Koperasi/pemerintah tetap membolehkan adanya PKL musiman dengan
menciptakan syarat-syarat yang jelas seperti daerah untuk berdagang.
Maksudnya adalah agar tercipta
keadilan antara PKL illegal dan legal.
- Pelatihan
bagi PKL dengan kerjasama antara : LSM, PT, Koperasi. Sikap dan derajad
keusahawanan pelaku sektor informal, misalnya sikap optimis, kejelasan
tujuan dan strategi serta pendekatan untuk mencapai tujuan, memanfaatkan
peluang, yang mereka miliki ternyata masih cukup rendah. Selain hal itu
dalam melakukan kegiatannya, pekerja sektor informal kurang dalam memahami
dasar-dasar pengelolaan usaha dan juga tentang pemasaran. Keterkaitan dan
kemitraan antara pelaku sector informal dan usaha formal yang bersifat
transformatif dalam hal meningkatkan kemampuan pengelolaan usaha,
penciptaan peluang dan resiko usaha, transaksi usaha dan perluasan pasar
sangat diperlukan untuk mengembangkan sumber daya. Pengembangan sumber
daya dapat dengan penyuluhan, penyebaran informasi seputar kegiatan usaha,
pengembangan wawasan, penggalakan pembukuan dalam usaha, yang semua itu
dapat dilakukan lewat pendidikan atau pelatihan.
- Memberdayakan
PKL merupakan wewenang pemerintah kota. Kegiatannya ini seharusnyalah memfokuskan
dalam memaksimalkan fungsi paguyuban PKL agar mereka memiliki bargaining position. Setiap satu bulan
sekali dilaksanakan forum dialog antara pembuat kebijakan dengan para PKL
guna membahas masalah-masalah yang muncul di lapangan. Setiap tiga bulan sekali, para PKL diberi penyuluhan
dan pelatihan, mulai dari srtategi berdagang, kewirausahaan hingga
manajemen. Selain itu, para PKL juga diberi pinjaman modal untuk lebih
mengembangkan usahanya.
Kesimpulan dan
Saran
Mengarsitekturkan
Kaki Lima
Ruang merupakan tatanan yang paling
utama dalam arsitektur, baik ruang dalam atau pun ruang luar, keduanya saling
berhubungan. Bahkan secara kontras dapat terlihat ruang pedagang Kaki Lima
(ekonomi lemah), ruang pembeli dan ruang para pemilik toko (ekonomi kuat) yang
ketiganya selalu berdampingan dalam aktivitas melalui satu wadah fisik, yaitu
ruang. Dengan memanfaatkan kedua sisi sosio-ekonomi ke dalam ruang arsitektural
akan memberikan satu penataan lingkungan binaan yang lebih baik dibanding
sebelumnya. Penataan ini lebih jauh dapat memberikan gambaran bahwa pedagang
Kaki Lima yang berjualan di luar bangunan atau gedung serta pemilik toko yang
berjualan di dalam gedung, keduanya akan terpisahkan oleh kontrasnya sirkulasi
dan tentu saja perilaku aktivitas pembeli.
Secara arsitektural para pedagang Kaki Lima sebaiknya sudah ditentukan luasan tempat untuk berjualan yang masing-masing berbeda, mengapa demikian? Karena dari masing-masing pedagang Kaki Lima menjual jenis barang dagangannya yang berbeda-beda pula (makanan, sandang/kelontong, jasa, kebutuhan sekolah, dan lain sebagainya). Apalagi bagi para pedagang Kaki Lima yang berjualan di emper-emper toko maupun trotoar, juga perlu adanya penanganan khusus yang arsitektural. Diharapkan dengan adanya penataan ini akan banyak memberikan sumbangan yang besar di dalam menanggulangi kesemrawutan para pedagang Kaki Lima yang berada di pusat kota, baik dalam ungkapan fisik ruang untuk pedagang Kaki Lima, sistem sirkulasi maupun tata letaknya. Tentunya pendekatan di atas membutuhkan uluran dan peran para arsitek di dalam memformasikan satu bentuk tatanan, yang mungkin boleh dikatakan “peran arsitek untuk rakyat jelata”, dalam mengisi tatanan ruang kota. Semuanya ini akan terpateri menjadi satu wujud fisik yang mempunyai latar belakang arsitektural.
Secara arsitektural para pedagang Kaki Lima sebaiknya sudah ditentukan luasan tempat untuk berjualan yang masing-masing berbeda, mengapa demikian? Karena dari masing-masing pedagang Kaki Lima menjual jenis barang dagangannya yang berbeda-beda pula (makanan, sandang/kelontong, jasa, kebutuhan sekolah, dan lain sebagainya). Apalagi bagi para pedagang Kaki Lima yang berjualan di emper-emper toko maupun trotoar, juga perlu adanya penanganan khusus yang arsitektural. Diharapkan dengan adanya penataan ini akan banyak memberikan sumbangan yang besar di dalam menanggulangi kesemrawutan para pedagang Kaki Lima yang berada di pusat kota, baik dalam ungkapan fisik ruang untuk pedagang Kaki Lima, sistem sirkulasi maupun tata letaknya. Tentunya pendekatan di atas membutuhkan uluran dan peran para arsitek di dalam memformasikan satu bentuk tatanan, yang mungkin boleh dikatakan “peran arsitek untuk rakyat jelata”, dalam mengisi tatanan ruang kota. Semuanya ini akan terpateri menjadi satu wujud fisik yang mempunyai latar belakang arsitektural.
Kota untuk Kaki Lima
Kota sebagai tempat hidup manusia
hendaknya merupakan suatu lingkungan yang sesuai dengan hakekat manusia itu
sendiri. Dengan keinginan untuk dapat menyertakan masyarakat dalam menciptakan
suasana Kaki Lima yang menyenangkan. Bukan sekedar menjadi tempat yang hanya
berisi benda mati dan hasil teknologi pembangunan saja. Harus kita simak dengan
seksama, bahwa kegiatan manusia pada pedagang Kaki Lima hendaknya dipandang
sebagai bagian dari rangkaian kehidupan kota yang tumbuh secara alamiah. Oleh
karena itu, kehadirannya perlu diberi tempat sebagai salah satu unsur kota
secara keseluruhan. Kaki Lima mempunyai fungsi sebagai tempat terjadinya
kehidupan yang mempunyai nilai ekonomis serta mempunyai fungsi sosial dapat
merupakan salah satu media bagi pembentukan suasana kehidupan kota secara
hakiki. Sebagai unsur yang menempati kota, Kaki Lima perlu adanya bimbingan
agar kadar manusiawinya tinggi serta mampu menjadikan suasana keindahan
tersendiri.
Akhirnya, pemerintah kota, penentu kebijakan maupun masyarakat kota, perlu melihat kembali ke belakang dengan satu sentuhan langkah baru di dalam menentukan penataan kotanya, maupun pengelolan ekonomi sosial warganya agar dapat tercipta sebuah kota yang mempunyai wajah dan menjadi milik kita semua.
Akhirnya, pemerintah kota, penentu kebijakan maupun masyarakat kota, perlu melihat kembali ke belakang dengan satu sentuhan langkah baru di dalam menentukan penataan kotanya, maupun pengelolan ekonomi sosial warganya agar dapat tercipta sebuah kota yang mempunyai wajah dan menjadi milik kita semua.
Meskipun keberadaan Pedagang Kaki Lima masih
mengundang controversy, tetapi ternyata sector ini memberikan kontribusi yang
cukup besar terhadap ekonomi suatu daerah. Pentingnya keberadaan PKL antara
lain adalah menciptakan peluang kerja dan usaha, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, menjangkau daya beli berbagai lapisan masyarakat, meningkatkan
pendapatan asli daerah, mengembangkan semangat kewirausahaan dan mendukung
pariwisata.
Kebijakan pemerintah yang melarang
keberadaan sektor informal justru berpotensi menimbulkan kerawanan politik.
Terlepas dari sisi negatif yang ditimbulkan sektor ini di daerah perkotaan,
pemerintah perlu membuat alternative kebijakan dengan berbagai stakeholder yang
terkait dengan pengelolaan PKL seperti Koperasi, LSM, Swasta/Pengusaha,
Pemerintah dan-organisasi yang dibentuk oleh PKL.
Secara umum kemampuan
manajerial Pemkot masih dirasa kurang, seolah-olah karena tidak bisa me-manage
maka di-delete saja. Atau arogansi militeristik yang kental tetap
terlihat ketika adaya operasi-operasi penggarukan bagi para “korban”.
Masyarakat sebetulnya punya kemampuan untuk mengatur komunitasnya sendiri.
Mereka secara alamiah mengerti adanya persaingan diantara mereka sendiri, dan
ketika mereka tidak membatasi diri, maka rantai makanan yang ada akan semakin
langka. Yang mereka butuhkan adalah bagaimana Pemkot melakukan pendekatan dari
bawah dan mencoba mefasilitasi kekreativitasan yang ada dengan cara
di-urunrembug-kan secara musyawarah yang sekaligus demokratis sifatnya.
Hargailah hak hidup rakyat maka rakyat akan menghargai pemerintahnya.
Bagaimanapun, sudah
saatnya pemerintah melakukan pembenahan secara menyeluruh. Baik terkait
kebijakan dalam pemanfaatan ruang, akses mendapatkan lahan, kesetaraan hukum,
keseimbangan ruang berusaha, penyediaan prasarana dasar, dan sebagainya.
Pemerintah kota Jambi tidak
boleh hanya mengutamakan kepentingan hukum dengan mengorbankan kepentingan
masyarakat. Paling tidak, pemerintah jangan hanya bisa menggusur. Namun, bagaimana
menata Jambi sebagai ibu kota Provinsi Jambi dengan tetap menghargai keberadaan
orang kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...