Oleh: Imam Budi Utomo
Balai Bahasa Yogyakarta
Abstract
The aim of this paper is to describe local literary communities in Yogyakarta. It deals with its profiles, its effective network in order to create literary teaching and development, and the role of government institutions in facilitating those local literary communities.
The method conducted in this paper is descriptive-qualitative by library research and field observation. The informants were those who were concerned with literature in their institutions/organizations/workshops as local literary communities in Yogyakarta.
The discussion identified the profiles of those local literary communities in Yogyakarta, how they create effective literary communities network in order to create literary teaching and development and how the government take a role in facilitating those local literary communities. Hence, the local literary communities have strategies in creating literary communities network as a part of literary teaching and development strategy.
Keywords: local literary communities, literary communities network, literary teaching and development
1. Pengantar
Selain mempunyai motto Jogja: Never Ending Asia, Yogyakarta (dengan berbagai sebutan: kota budaya, kota kesenian, kota pariwisata, kota perjuangan, kota pendidikan, kota pelajar) merupakan ajang penggodokan bagi calon sastrawan untuk eksis di dunia sastra. Beberapa nama yang kini telah dan masih berkibar di dunia sastra Indonesia sulit untuk dipisahlepaskan dari Yogyakarta, misalnya Sapardi Djoko Damono, Rendra, Emha Ainun Nadjib, Putu Wijaya, Ahmadun Y. Herfanda, Korrie Layun Rampan, dan sederetan panjang sastrawan lainnya. Meskipun hanya singgah di Yogyakarta (sebagai mahasiswa), kemampuan menulis mereka diasah di Yogyakarta. Oleh karena itu, tidak terlalu berlebihan apabila dinyatakan bahwa Yogyakarta layak pula mendapat julukan “kota sastra”. Dengan demikian, Yogyakarta dapat memberikan alternatif lain sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan sastra Indonesia yang selama ini lebih terkonsentrasi atau dianggap berpusat di Jakarta, yang memang memiliki berbagai fasilitas menggiurkan sehingga dapat menarik minat para sastrawan daerah.
Paparan sederhana tersebut menunjukkan bahwa Yogyakarta sebagai “wilayah pedalaman” sedikit lebih beruntung dibandingkan dengan daerah lain dalam upaya melakukan pembinaan dan pengembangan kesastraan Indonesia. Dalam arti, di Yogyakarta setiap saat muncul sastrawan baru dan (mungkin) estetika-estetika baru serta berbagai kegiatan kesastraan (diskusi, pementasan sastra, proses kreativitas, penerbitan, dll.). Mengapa hal itu dapat terjadi? Setidak-tidaknya ada enam jawaban yang dapat disodorkan (lihat Utomo, 2007).
Pertama, Yogyakarta sebagai salah satu pusat budaya Jawa (di samping Surakarta) memberikan ruang terbuka bagi tumbuh suburnya seni dan budaya (termasuk sastra). Jauh sebelum lahirnya sastra Indonesia yang pada awalnya digiatkan oleh para sastrawan Melayu lewat penerbitan Balai Pustaka, di Yogyakarta telah terdapat tradisi kepenulisan sastra Jawa. Tradisi tersebut hingga sekarang masih hidup dan berbaur dengan tradisi kepenulisan sastra Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah terlalu mengherankan jika banyak para sastrawan yang selain menulis karya sastra dengan menggunakan bahasa Jawa juga menulis karya sastra dengan menggunakan bahasa Indonesia. Beberapa sastrawan “ulang-alik” (meminjam istilah Prof. Sapardi Djoko Damono), yang menulis sastra Jawa dan sastra Indonesia sekaligus, yang hidup dan besar di Yogyakarta dapat disebut beberapa nama, misalnya Suryanto Sastroatmodjo, Triman Laksana, dan Krishna Mihardja. Bahkan, Sapardi Djoko Damono pun pernah mencicipi sebagai penulis ulang-alik tersebut (pada tahun 1966—1968 ketika terjadi booming roman picisan). Di samping para sastrawan “ulang-alik” tersebut, tidak sedikit pula sastrawan yang “meramu” kejawaan dan keindonesiaan itu dalam karya sastra yang dihasilkannya yang menunjukkan warna lokal Jawa, misalnya Umar Kayam, Linus Suryadi AG, dan Darmanto Jatman.
Kedua, Yogyakarta yang adem ayem dan warga masyarakatnya yang akulturatif dan terbuka makin menambah situasi yang kondusif bagi kegiatan bersastra. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para (calon) sastrawan dari luar Yogyakarta merasa nyaman berkarya di Yogyakarta, dan bahkan rela hidup membaur dengan warga Yogyakarta, misalnya Nasjah Djamin, Ashadi Siregar, Emha Ainun Nadjib, Iman Budhi Santosa, Rachmat Djoko Pradopo, Suminto A. Sayuti, dan Bakdi Soemanto, meskipun banyak pula yang kemudian meninggalkan Yogyakarta karena tuntutan pekerjaan, dll.
Ketiga, Yogyakarta menyediakan berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Sejak Universitas Gadjah Mada (UGM) berdiri pada tahun 1949, disusul oleh berdirinya universitas atau perguruan tinggi lainnya, misalnya IKIP Karangmalang (sekarang UNY), IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN), IKIP Sanata Dharma (sekarang USD), IKIP Muhammadiyah (sekarang UAD), ASRI dan ASTI (sekarang ISI), Universitas Sarjana Wiyata, dll. Menurut Damono (2000) berdirinya berbagai perguruan tinggi tersebut menjadikan Yogyakarta sebuah kota yang berhasil mengumpulkan anak-anak muda dari segenap penjuru tanah air untuk belajar ilmu dan berkesenian (termasuk bersastra).
Keempat, Yogyakarta merupakan kota yang banyak terdapat penerbitan atau majalah yang memuat karya sastra (meskipun lebih banyak majalah umum daripada majalah sastra). Beberapa majalah yang terbit di Yogyakarta yang dapat diidentifikasi adalah majalah Arena (1946--1948). Pada tahun yang sama juga muncul majalah Peristiwa. Lantas, Majalah Indonesia terbit pada tahun 1948. Disebutkan oleh Rampan bahwa pimpinan harian Kedaulatan Rakyat (terbit pertama kali pada tahun 1945), Wonohito, mendirikan majalah umum Minggu Pagi (1948) yang masih terbit hingga sekarang. Minggu Pagi mengutamakan karya fiksi, terutama puisi, cerpen, dan cerbung. Pada awal tahun 1950 hadir juga majalah Pesat. Kemudian, pada bulan April 1950, Badan Penerbit Gadjah Mada menerbitkan majalah Gadjah Mada. Pada tahun 1951 Yayasan Kanisius Yogyakarta menerbitkan Basis yang merupakan majalah kebudayaan umum. Tidak lama berselang (1953), Bagian Kesenian Departemen P dan K Yogyakarta, yang dimotori oleh Kusnadi dkk. menerbitkan majalah Budaya. Dalam majalah yang dapat bertahan hingga tahun 1962 tersebut tercatat nama Nasjah Djamin dan Kirdjomuljo sebagai anggota redaksinya. Pada tahun yang sama (April 1953), Lembaga Seni Sastra Yogyakarta menerbitkan majalah Medan Sastera yang dikelola oleh Rachmad Prodjosoediro dkk. Pada tahun 1954, majalah Medan Sastera berubah nama menjadi Seriosa. Pada tahun 1957 Muhammadiyah—organisasi Islam yang berpusat di Yogyakarta—menerbitkan majalah Suara Muhammadiyah yang memuat karya sastra (puisi dan cerpen). Pada pertengahan tahun 1960-an Jussac Muscar menerbitkan harian Pelopor, yang kemudian diubah menjadi Pelopor Minggu dengan tambahan ruang sastra pada setiap minggu. Demikianlah, penerbitan majalah sastra dan budaya (atau yang hanya memuat karya sastra sebagai sisipannya) tidak semakin surut. Bahkan, pada tahun-tahun berikutnya lahir pula beberapa koran/harian, yaitu Berita Nasional (1970), Masa Kini (1970), dan Yogya Post (1980), serta majalah kebudayaan Citra Yogya (1987). Sejak tahun 1990-an, banyak pula bermunculan penerbit buku yang juga memberi tempat atau memiliki kepedulian terhadap penerbitan buku-buku sastra, misalnya Yayasan Untuk Indonesia, Yayasan Bentang Budaya, Pustaka Pelajar, Gama Media, ITTAQA Press, Titian Ilahi Press, Jalasutra dan Diva Press (yang pada tahun 2007 dan 2008 mendapatkan penghargaan sastra dari Balai Bahasa Yogyakarta atas kepeduliannya menerbitkan buku-buku sastra), Navila, dan Media Pressindo.
Kelima, Yogyakarta menyediakan iklim pergaulan kepengarangan yang kondusif, kompetitif, dan kental (Herfanda, 1995). Para sastrawan—baik dari kalangan kampus maupun nonkampus serta dari kalangan tua maupun muda—, seperti diungkapkan oleh Suminto A. Sayuti dan Emha Ainun Nadjib dalam sebuah diskusi sastra tentang kehidupan para sastrawan Yogyakarta tahun 1970-an, bergaul tanpa sekat dan tanpa pendikotomian serta saling asah-asih-asuh.
Keenam, Yogyakarta banyak memunculkan sanggar, perkumpulan, kelompok diskusi, atau kantung-kantung sastra dalam menciptakan jaringan komunitas sastra, seperti nDalem Poetry, Forum Pecinta Sastra Bulaksumur, Forum Silaturahmi Sastra Budaya Yogyakarta, Kelompok Pandan Sembilan (Fakultas Sastra UGM), Persatuan Teater Bantul, Sanggar Sastra Indonesia Yogyakarta, Sanggar Eksistensi, Jaringan Kerja Masyarakat Seni Bantul (JKMSB), Kedai Kebun, Lumbung Aksara, Klub Sastra Bentang, Sanggar Seni Sastra Kulonprogo (Sangsisaku), Unit Studi Sastra dan Teater (Unstrat), Studi Sastra dan Teater Sila, Komunitas Angkringan, Imagination School, Jogja Writing School, Studio Pertunjukan Sastra, dll. Munculnya berbagai kantung sastra tersebut sesungguhnya merupakan akibat dari kelima jawaban di atas. Sebaliknya, adanya kantung-kantung sastra itu pun dapat menciptakan situasi kepengarangan yang kondusif. Dengan demikian, terjadi proses timbal-balik antara munculnya kantung-kantung sastra dengan berbagai situasi yang mengelilinginya.
Khusus berkaitan dengan jawaban terakhir (munculnya kantung-kantung sastra), penulisan kertas kerja ini akan mencoba mendeskripsikan beberapa kantung sastra yang ada di Yogyakarta, terutama tentang bagaimana profil kantung-kantung sastra tersebut, bagaimana kantung-kantung sastra itu menciptakan jaringan komunitas sastra yang efektif sehingga bisa menjadi ajang pembinaan dan pengembangan sastra, dan bagaimana peran lembaga pemerintah dalam memberikan fasilitas dan pengayoman kepada kantung-kantung sastra.
2. Sebuah Kilas Balik
Tumbuh suburnya kantung-kantung sastra di Yogyakarta pada saat ini dapat dikatakan sebagai sebuah mata rantai dari adanya kantung-kantung sastra pada masa lalu. Oleh karena itu, kilas balik ini sangat diperlukan untuk dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap gejala muncul dan tenggelamnya berbagai kantung sastra di berbagai wilayah Yogyakarta.
Pada tahun 1955 kantung sastra yang legendaris di Yogyakarta adalah Teater Indonesia. Para seniman yang tergabung dalam kelompok tersebut antara lain adalah Nasjah Djamin, Motinggo Busje, Kirdjomuljo, Bastari Asnin, Iman Soetrisno, Mien Brodjo, Idris Sardi, Rondang Tobing, Arby Sama, Mat Dahlan, Adjib Hamzah, Idrus Ismail, dan Muhammad Nizar (Pragolapati, 1989; Farida-Soemargono, 2004:70). Meskipun namanya beratribut “teater”, menurut Farida-Soemargono (2004:71—72), teater bukanlah satu-satunya bidang kegiatan mereka karena para seniman yang tergabung di dalamnya terdiri atas berbagai bidang seni, misalnya seni musik, seni lukis, seni tari, seni teater, seni patung, dan seni sastra. Karena sering berdiskusi tentang seni di warung-warung angkringan di Jalan Malioboro, mereka dikenal pula sebagai “seniman Malioboro”. Akhirnya, Teater Indonesia mulai terpecah pada tahun 1960-an dan bubar dengan sendirinya setelah para aktornya satu per satu meninggalkan Yogyakarta, misalnya Motinggo Busje ke Jakarta dan Nasjah Djamin ke Jepang (walaupun hanya sementara).
Menurut catatan Pragolapati (1989), setelah era “seniman Malioboro” pada tahun 1960-an hingga 1980-an, bermunculan kelompok-kelompok diskusi dan studi klub khusus tentang sastra, misalnya Seniman Sinting, Minggu Club, Sanggar Bambu, Asrama de Britto, Sanggar Mantika, Sanggar Sastra Kotagede, Sanggar Pragolapati, Studi Klub Semangat, Gelanggang Kreasi Remaja Yogyakarta, dan Persada Studi Klub (PSK).
Khusus berkaitan dengan PSK, klub yang dibentuk oleh Umbu Landu Paranggi bersama dengan Ragil Suwarno Pragolapati, Iman Budhi Santosa, dan Teguh Ranusastra Asmara, dimaksudkan sebagai ajang kreativitas para pengarang dan penyair pemula. Klub yang didirikan pada tahun 1968 tersebut bermarkas di mingguan Pelopor Yogya. Di mingguan tersebut Umbu membuka rubrik sastra dan budaya. Dengan demikian, kehadiran PSK tersebut menempel, bersama, atau sebagai perpanjangan serta perluasan fungsi dari rubrik sastra dan budaya pada mingguan Pelopor Yogya yang beralamat di Jalan Malioboro No. 175 (Suryadi, 1987). Rubrik sastra dan budaya pada mingguan tersebut dibagi dalam dua klasifikasi, yakni “persada” (untuk yunior) dan “sabana” (untuk senior). Apabila karya para sastrawan pemula tersebut dinilai baik dan kemudian dimuat di rubrik “sabana”, hal itu berarti bahwa si penulis telah “diwisuda” dan dinyatakan layak disebut sebagai sastrawan. Mungkin karena itu pula, banyak penulis pemula pada tahun 1970-an yang ikut bergabung secara resmi dengan kelompok ini, seperti Emha Ainun Nadjib, Ahmad Munif, Faisal Ismail, Linus Suryadi, Korrie Layun Rampan, Agnes Yani Sarjono, dan Darwis Khudhori. Menurut Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dalam sebuah diskusi sastra di Taman Budaya Yogyakarta (Agustus 2007), pada tahun 1970-an tersebut merupakan puncak kecermelangan sastra Indonesia di Yogyakarta. Meskipun demikian, Cak Nun tidak menampik jika pada masa sekarang pun kesastraan masih terus berproses, meskipun dengan situasi yang lain karena setiap generasi sastrawan memiliki aktualisasi diri masing-masing.
Sama seperti halnya Teater Indonesia, kantung-kantung sastra tersebut di atas muncul dan tenggelam juga tergantung pada aktivitas dan kreativitas para apresiatornya (Pragolapati, 1989). Misalnya, PSK kolaps dan benar-benar berhenti beraktivitas setelah Umbu Landu Paranggi, sang maestro PSK, meninggalkan Yogyakarta pada tahun 1978. Demikian pula dengan Sanggar Pragolapati, sanggar tersebut mati seiring dengan wafatnya Ragil Suwarna Pragolapati (pada tahun 1990). Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa hampir semua sanggar/klub/atau kelompok diskusi tersebut tidak ada manajemen keorganisasian yang baik ataupun tidak ada regenerasi kepemimpinan sehingga eksistensinya sangat bergantung pada penggerak atau motor utamanya.
Meskipun belum semua kantung sastra itu hilang, pada tahun 1980-an hingga tahun 1990-an bermunculan kelompok atau studi sastra dari kalangan atau berpusat di kampus-kampus (UGM, IAIN Sunan Kalijaga, IKIP Karangmalang, dll.). Mereka, para mahasiswa tersebut, seolah-olah saling berlomba membentuk sanggar atau forum sastra yang bertujuan untuk menghidupkan kegiatan apresiasi dan ekspresi sastra yang mewakili masing-masing kampusnya, antara lain dengan menerbitkan antologi atau buletin/majalah sastra. Beberapa di antaranya adalah Lingkaran Sastra Syauqi (1983—1988), Teater Eska, Sanggar Nuun, dan Studi Apresiasi Sastra oleh IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, Unit Studi Sastra dan Teater (Unstrat) oleh IKIP Yogyakarta (sekarang UNY), serta Forum Pecinta Sastra Bulaksumur dan Kelompok Pandan Sembilan oleh UGM. Pada tahun 2000-an muncul pula Sanggar Lincak milik FIB UGM, Komunitas Sarkem (Sanggar Kreativitas Mahasiswa) FBS UNY, LPM Ekspresi milik UNY, dan Sanggar Seni Jepit Jogjakarta milik mahasiswa Fakultas Syari’ah, UIN Sunan Kalijaga.
Karena manajemen keorganisasian dan regenerasi kepeminpinan yang dibentuk oleh mahasiswa ini relatif bagus, maka hingga sekarang pun kantung-kantung sastra di kampus tersebut masih eksis (meskipun para pengurusnya yang terdiri atas para mahasiswa datang dan pergi silih berganti).
Di samping dari kalangan kampus, pada tahun 1990-an dan 2000-an banyak pula bermunculan kantung-kantung sastra yang berbasis di luar kampus, meskipun para penggeraknya juga lebih banyak dari kalangan mahasiswa atau mantan mahasiswa. Beberapa kantung sastra tersebut, seperti telah dikemukakan pada bagian pertama tulisan ini, antara lain adalah nDalem Poetry, Imagination School, Forum Silaturahmi Sastra Budaya Yogyakarta, Persatuan Teater Bantul, Sanggar Sastra Indonesia Yogyakarta, Sanggar Eksistensi, Jaringan Kerja Masyarakat Seni Bantul (JKMSB), Kedai Kebun, Lumbung Aksara, Klub Sastra Bentang, Sanggar Seni Sastra Kulonprogo (Sangsisaku), Teater Kulonprogo (TKP), Komunitas Angkringan, Forum Lingkar Pena cabang Yogyakarta, Jogja Writing School, dan Studio Pertunjukan Sastra.
Menurut Hari Leo (tokoh utama pada Sudio Pertunjukan Sastra), seperti juga telah dikemukakan di depan, pertumbuhan dan perkembangan sastra di suatu kantung sastra sebagian besar tidak dapat dipisahkan dari peran para tokohnya. Para tokoh sastra tersebut yang selalu berupaya agar kehidupan sastra tetap bergairah. Namun, jika hanya mengandalkan peran para tokoh utamanya, kantung sastra itu akan mudah hilang jika para tokohnya tidak lagi aktif di dalamnya. Apalagi jika kantung-kantung sastra itu “hanya sekadar” sebagai tempat berkumpul tanpa dikelola secara profesional.
3. Kantung-Kantung Sastra di Yogyakarta
Dari puluhan kantung sastra yang berada di Yogyakarta, dalam makalah ringkas ini hanya akan dikemukakan beberapa kantung sastra yang secara umum memiliki ciri khas masing-masing (meskipun secara khusus, masing-masing komunitas sastra itu pun memiliki kekhasan). Walaupun kurang atau tidak representatif, pengambilan lima sampel penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan eksistensi kantung-kantung sastra yang tersebar di wilayah DIY.
Dalem Poetry dan Imagination School (sebagai salah satu divisi dari Imagination Space of Art and Culture) yang didirikan pada tanggal 12 Juli 2006 dan tanggal 27 Maret 2008 oleh Evi Idawati, penyair wanita Yogyakarta, merupakan lembaga swasta-informal seni dan budaya. Khusus tentang nDalem Poetry, yang kini dikomandani oleh Retno Iswandari, merekrut para gadis remaja untuk dididik secara intensif menjadi seorang sastrawati andal. Alasan dibentuknya nDalem Poetry yang terkesan eksklusif dan bias gender tersebut menurut Evi Idawati adalah ingin senantiasa memunculkan para sastrawati dalam jagat sastra Indonesia. Sementara itu, peserta Imagination School yang diketuai oleh Evi Idawati syaratnya lebih bebas. Artinya, siapa pun bisa menjadi “siswa” di lembaga tersebut tanpa dipungut biaya. Penjaringan peserta nDalem Poetry dan Imagination School dilakukan lebih banyak secara privat dengan sengaja tidak dipublikasikan. Khusus untuk Imagination School, setiap tahun hanya membuka kelas dengan satu peserta saja, misalnya kelas novel, puisi, esai, cerpen, dan naskah drama. Spesifikasi pesertanya adalah siapa pun yang ingin menguasai keahlian menulis, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Waktu (jadwal) kegiatan untuk Imagination School setiap Sabtu malam, sedangkan nDalem Poetry untuk sementara sedang break (karena anggota dan pengurus sibuk kuliah). Lokasi kegiatan berada di Jalan Ringroad Selatan 224 Tegalkrapyak, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Telepon 0274-9126178, Email: isac.yogya@yahoo.com.
Terdapat pula kantung sastra yang bertujuan bisnis, misalnya Jogja Writing School (JWS). Alasan didirikannya lembaga pendidikan kepenulisan oleh Dendi Riswandi pada 2 Juli 2005 antara lain disebabkan oleh begitu banyaknya animo anak-anak sekolah untuk bisa menjadi seorang penulis andal. Hanya dengan membayar Rp200.000,00 untuk 8 sesi/pertemuan, siswa JWS diharapkan sudah dapat menjadi seorang penulis cerpen atau novel. Hasilnya, salah seorang siswa JWS (Ratri) yang masih duduk di bangku SMP telah berhasil menerbitkan novel remaja (yang penerbitannya difasilitasi oleh JWS).
Lembaga yang awalnya didirikan di Jalan Godean KM 5 Gang Sriti No 4-C Demakijo, Yogyakarta, dan telah memiliki cabang di Serang dan Wonosobo ini mempunyai beberapa program penulisan, salah satu di antaranya adalah penulisan novel/cerpen. Menurut Dendi, sistem pengajaran di JWS diramu dengan metode pelatihan dan metode budaya ngobrol santai. Sistem ini diharapkan agar peserta didik senang dan tidak merasa dibebani untuk berkarya. Untuk mendapatkan hasil maksimal Dendi mengambil tentor dari para penulis dan wartawan yang pandai mengajar dan memotivasi serta memiliki komitmen kepedulian terhadap pendidikan. Melihat animo masyarakat, Dendi membuka peluang kerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki komitmen untuk memajukan dunia pendidikan, khususnya dunia kepenulisan.
Sebuah kantung sastra yang berada di ujung barat DIY (Kabupaten Kulonprogo) adalah Lumbung Aksara. Kelahiran kelompok ini berawal dari perbincangan santai seputar dunia pustaka, tulis-menulis, dan khususnya sastra di gedung Nahdhatul Ulama Kulonprogo. Dengan dukungan sepenuhnya dari Lembaga Konsultasi dan Pemberdayaan Perempuan (LKP2) Masyita Fatayat NU Kulonprogo, terbitlah sebuah antologi puisi bertajuk Seorang Gadis, Sesobek Indonesia: Antologi Puisi Kulonprogo. Keterlibatan awal LKP2 Masyita adalah berangkat dari banyaknya anggota lembaga tersebut menulis puisi untuk diterbitkan dalam antologi itu. Berawal dari itu, atas ide Dewi Fatimah, pada tanggal 1 Mei 2006 disepakatilah sebuah komunitas yang bekerja sama dengan LKP2 masyita dengan nama Lumbung Aksara. Pemilihan nama lumbung Aksara adalah karena komunitas yang sebagian besar masih pemula dalam baca-tulis sastra dan berkomunitas sastra diharapkan memiliki ruh untuk menjadi sebuah komunitas layaknya lumbung, yakni tempat menyimpan sesuatu yang mempunyai ekspektasi bahwa sesuatu yang sedikit itu nantinya akan menjadi besar.
Dalam kegiatannya, Lumbung Aksara bukanlah sebuah komunitas yang dikelola dan berjalan secara profesional sebingga kegiatan yang dilakukannya pun hanya sebatas temporal dan monumental. Kegiatan yang dilakukan oleh komunitas ini sering berjalan sendiri dan terkesan tanpa adanya perencanaan matang. Namun, dalam perjalanannya, Lumbung Aksara membuka dan menjalin jaringan sastra dengan komunitas lain, baik lokal Kulonprogo maupun interlokal (antarkota, baik dalam maupun luar provinsi DIY) dengan harapan terjalin komunikasi dan silaturahmi serta saling berbagi tentang dunia sastra. Misalnya, pada tanggal 5 September 2006 menggelar acara apresiasi budaya dengan membedah antologi puisi pertama komunitas tersebut, membaca puisi oleh sekitar 50 penyair, dan mendiskusikan kegiatan bersastra yang stagnan di Kulonporogo.
Atas prakarsa Akhiriyati Sundari, Aris Zurkhasanah, dan Marwanto (yang kini menjadi koordintor komunitas Lumbung Aksara), pada tanggal 21 November 2006 terbitlah sebuah buletin sastra Lontar yang terbit setiap bulan sebagai wahana untuk menyemaikan tradisi menulis dan membaca sastra bagi masyarakat Kulonprogo. Hal ini diniscayakan bahwa komunitas Lumbung Aksara dan Lontar tidaklah hidup sendiri apalagi menyendiri, tetapi menyatu dengan masyarakat secara keseluruhan dalam keragaman budaya, kepercayaan, dan ras. Hingga kini, Lontar telah terbit sebanyak 21 edisi (per September 2008). Lumbung Aksara selalu mempublikasikan dan merekam aneka kegiatannya dalam buletin sastra tersebut sehingga masyarakat luas dapat mengetahui dan berpartisipasi (Anonim, 2008).
Sanggar Sastra Indonesia Yogyakarta (SSIY) merupakan wadah kegiatan bersastra yang didirikan oleh Balai Bahasa Yogyakarta pada tanggal 3 Mei 1998. Oleh karena itu, hingga saat ini SSIY bermarkas tetap di Balai Bahasa Yogyakarta, Jalan I Dewa Nyoman Oka 34 Yogyakarta 55224. Semua kegiatan SSIY (baik secara rutin maupun insidental) juga dilaksanakan di Balai Bahasa Yogyakarta, pada hari Minggu atau selepas pukul 16.00. Hal ini mengingat para anggota SSIY yang berjumlah sekitar 30 adalah pelajar dan mahasiswa.
Latar belakang atau tujuan didirikannya SSIY adalah untuk memberi ruang dan tempat berolah sastra bagi alumni peserta Bengkel Sastra Indonesia yang diselenggarakan setiap tahun oleh Balai Bahasa Yogyakarta. Selain kepada peserta atau mantan peserta Bengkel Sastra Indonesia, SSIY juga terbuka bagi siswa SLTA dan peminat sastra untuk berolah sastra. Program yang dilaksanakan oleh SSIY meliputi pembinaan dan pelatihan. Program pembinaan dilakukan dalam bentuk diskusi, sedangkan program pelatihan dilaksanakan dengan berekspresi sastra, baik melalui penulisan maupun pembacaan karya sastra. Hal yang telah dilakukan adalah berdiskusi dengan beberapa tokoh sastra Yogyakarta, pentas sastra di berbagai tempat, dan pelatihan pembacaan puisi, baik untuk siswa maupun guru-guru bahasa/sastra Indonesia.
SSIY yang mendapat subsidi keuangan dan fasilitas lain dari Balai Bahasa Yogyakarta juga bekerja sama dengan berbagai pihak, misalnya sekolah, perguruan tinggi, Dinas Pendidikan, dan lembaga-lembaga profesi untuk memasyarakatkan sastra dan mengadakan pelatihan ekspresi sastra. Dalam awal perjalanannya, SSIY sempat menerbitkan lembar komunikasi sastra budaya Girli 34 sebanyak dua kali penerbitan. Kini, setelah vakum beberapa tahun, lembar komunikasi tersebut kembali terbit.
Setelah mengalami regenerasi, susunan mutakhir kepengurusan SSIY adalah seperti berikut.
Koordinator : Ahmad Zamzuri, S.Pd.
Wakil Koordinator : Anindya Puspita
Sekretaris : Nora Septi Arini
Bendahara : Sri Handayani, S.E.
Sie Kepenulisan : Retno Iswandari
Sie Pelatihan/Pemanggunan : Fierla dan Dini Mainanda
Unit Studi Sastra dan Teater (Unstrat) yang dibentuk oleh mahasiswa IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang UNY) pada tahun 1984 ini bermarkas di Gelanggang Mahasiswa UNY. Tujuan dibentuknya organinasi ini adalah mengembangkan minat mahasiswa IKIP Negeri Yogyakarta pada dunia seni sastra dan teater. Adapun kegiatan yang dilakukan oleh Unstrat, antara lain, adalah mengikuti festival teater, menerbitkan antologi puisi, membuat rekaman video pada setiap kegiatan dalam skala besar, dan mengadakan pentas teater baik rutin maupun insidental. Struktur oganisasi informal ini cukup sederhana karena hanya terdiri atas ketua, direktur artistik, dan penghubung (yang bertugas sebagai humas). Unit organisasi kemahasiswaan di bidang sastra dan teater ini mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pihak fakultas/universitas sebagai pengayom atau maesenasnya (Damono, 2000:192).
4. Peran Lembaga Pemerintah di DIY
Meskipun ada kalangan yang pesimistis, penguasa (baca: pemerintah Republik Indonesia) sesungguhnya memiliki andil atau peran yang sangat besar dalam menentukan kehidupan kesastraan, sama seperti perannya dalam bidang-bidang lain. Hal ini karena sesuatu yang sangat dibutuhkan sastra, yakni anggaran yang besar dan berbagai fasilitas lainnya, dimiliki oleh pemerintah. Lebih daripada itu, pemerintah dapat menelorkan berbagai kebijakan (policy) yang strategis bagi pengembangan kesastraan sebagai bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia. Tentu saja, pemerintah memiliki perhatian terhadap kehidupan sastra (sebagai bagian dari budaya bangsa Indonesia) karena hal itu telah diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 32. Itulah landasan hukum yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, siapa pun rezimnya.
Pada masa lalu, khusus dalam kasus sastra Jawa, kerajaan Mataram (yang kemudian terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta) memiliki sebuah institusi yang disebut sebagai Tepas Kapujanggan. Salah satu pujangga terkenal dari Kasunanan Surakarta adalah Raden Ngabei Ranggawarsita, yang disebut-sebut sebagai pujangga Jawa yang terakhir dari era kerajaan Jawa. Konon, di Malaysia dan Brunei Darussalam terdapat pula istilah sastrawan negara, yaitu para sastrawan (terkemuka) yang dijamin kehidupannya oleh negara. Contoh tersebut merupakan bukti konkret peran “negara” dalam memproteksi sastra (dan sastrawan)-nya serta kantung-kantung sastra sehingga kehidupan sastra menjadi berkembang, tidak kembang-kempis.
Sementara itu, meskipun tidak memiliki sastrawan negara atau tepas kapujanggan, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membentuk berbagai instansi atau lembaga pemerintah agar keberlangsungan hidup sastra lebih terjamin. Instansi tersebut berada di pusat (Jakarta) dan di daerah. Khusus di Yogyakarta, salah satu instansi yang khusus menangani masalah kesastraan (dan bahasa) adalah Balai Bahasa Yogyakarta (BBY). BBY yang embrionya muncul pada tahun 1947, memang secara khusus hanya menangani masalah kebahasaan dan kesastraan, baik Indonesia maupun daerah (Jawa). Pada tanggal 10 November 2007, BBY bekerja sama dengan Studio Pertunjukan Sastra asuhan Hari Leo dan Taman Budaya Yogyakarta (TBY) memberikan penghargaan sastra kepada sastrawan muda Kris Budiman dengan novel Lumbini dan penerbit Jalasutra atas keteguhannya menerbitkan karya-karya sastra. Terakhir, pada tahun 2008 BBY memberikan penghargaan sastra kepada Abidah El-Khalieqy (Ida Bani Kadir, istri penyair Hamdy Salad) atas sebuah novelnya yang berjudul Mahabah Rindu dan penerbit Diva Press.
Sementara itu, instansi lain, misalnya TBY—seperti halnya taman budaya lain di seluruh wilayah Indonesia—lebih fokus pada pengembangan dan pelestarian budaya pada umumnya. Dan masalah kesastraan bukanlah satu-satunya yang diurusi. TBY, yang kini menempati gedung baru bekas Sositet Militer di belakang Beteng Vredeburg dan memiliki motto sebagai The Window of Yogyakarta, menurut Dian Anggraeni—Kepala TBY—diharapkan dapat menjadi laboratorium dan eksperimentasi seni budaya yang ada di wilayah Yogyakarta. Misi lainnya adalah memfasilitasi kegiatan seni dan budaya. Artinya, siapa pun seniman yang ada di Yogya dapat memanfaatkan gedung dan fasilitas lain untuk kegiatan seni. Para sastrawan pun (yang juga tergolong sebagai seniman) ikut memanfaatkan momentum yang sangat baik tersebut dengan menggelar diskusi, pentas sastra, dan sebagainya. Misalnya, Studio Pertunjukan Sastra pada setiap bulan, yakni Minggu malam pekan ke-4, senantiasa menggelar acara Bincang-Bincang Sastra di TBY.
Tidak kurang, Cak Nun bahkan mengharapkan agar para sastrawan yang tidak memiliki tempat tinggal yang layak dapat ditampung di ruang-ruang kosong yang ada di kompleks kantor Pemerintah Provinsi tersebut. Itulah peran nyata yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh salah satu instansi pemerintah terhadap kehidupan kesastraan di Yogyakarta.
Meskipun bukan lembaga pemerintah, Dewan Kesenian Yogyakarta (yang sejak tahun 2003 berubah nama menjadi Dewan Kebudayaan DIY) yang difasilitasi oleh para birokrat (termasuk Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur DIY) diharapkan dapat menjadi institusi publik yang menjadi ajang bagi pengembangan kebudayaan di Yogyakarta. Institusi tersebut, yang bekerja sama dengan berbagai instansi terkait, setiap tahun menyelenggarakan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY). Orang mengenal FKY mulai tahun 1989. Sejak tahun itulah, FKY telah belasan kali diselenggarakan di Jogja setiap tahunnya. Pada tahun 2008, FKY ke-20 merupakan sebuah festival yang berangkat dari basis ekonomi kota, yaitu industri kreatif, wisata, dan pendidikan. Sebagai sebuah festival tahunan yang digelar selama satu bulan (bahkan pernah hampir dua bulan), FKY selalu tampil dengan ciri yang berbeda setiap tahunnya. Perbedaan itu secara tidak langsung mencerminkan karakter Kota Yogyakarta yang sangat beragam, baik etnis, tingkat sosial, maupun selera estetik. Dari berbagai divisi, terdapat divisi sastra yang khusus menangani masalah festival kesastraan. Pada hajatan kesenian itulah para sastrawan dan berbagai kantung sastra dapat memanfaatkannya sebagai ajang olah kreativitas.
Lembaga Pemerintah di Kulonprogo, misalnya, lewat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata-nya pada akhir 2007 pernah mengadakan perhelatan bertajuk “Malam Pentas Teater Lokal dan Baca Puisi”. Acara yang dimaksudkan untuk menggairahkan potensi berkesenian di daerah ini melibatkan tiga komunitas sastra yang ada di Kulonprogo, yakni Lumbung Aksara (LA), Sangsisaku, dan Teater Kulonprogo (TKP). Dalam kolaborasi itu TKP menyuguhkan lakon “Semrawut” arahan Puthut Buchori, yang dilanjutkan dengan pembacaan puisi dan geguritan oleh komunitas LA dan Sangsisaku.
Pada masa mendatang, peran pemerintah dalam bekerja sama dan mendukung berbagai kegiatan kantung-kantung sastra mutlak diperlukan. Dengan demikian, pembinaan dan pengembangan sastra dapat dilakukan secara bersama-sama sehingga bisa lebih berhasil dan berdaya guna. Memang, selama ini tampak bahwa berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan berbagai kantung sastra tersebut masih berjalan sendiri-sendiri karena kurang adanya saling tegur sapa, saling pengertian, dan saling membutuhkan. Jadi, dalam format kerja sama itu jauh dari pola hubungan patron-klien atau hubungan antara pembina dan yang dibina. Kalau itu yang terjadi, kantung-kantung sastra yang dihuni dan dikomandani para sastrawan (yang konon tidak suka diatur-atur) akan semakin menjauhkan diri dari lembaga-lembaga pemerintah.
Di atas berbagai peran yang disandang oleh lembaga-lembaga pemerintah di DIY untuk memajukan sastra dengan melakukan kerja sama dengan kantung-kantung sastra, yang justru penting dilakukan oleh pemerintah (dalam konteks yang lebih luas—yakni pemerintah Indonesia) adalah menyediakan iklim politik yang kondusif. Di samping iklim politik yang kondusif bagi pengembangan kreativitas sastrawan melalui berbagai kantung sastra, penciptaan situasi sosial ekonomi yang baik juga mutlak diperlukan.
Pada era otonomi daerah sekarang, sesungguhnya inilah kesempatan yang tepat untuk memajukan sastra dengan segala kebijakan politik dan penciptaan kesejahteraan secara adil lewat pemerintahan di DIY. Karena bagaimanapun juga, Yogyakarta sebagai kota seni dan budaya—termasuk di dalamnya sastra—harus makin ditonjolkan kembali ciri khas ke-budaya-annya itu. Dengan kata lain, predikat yang disandang oleh Yogyakarta sebagai kota seni dan budaya seharusnya dijadikan sebagai landasan untuk menentukan segala kebijakan, baik di bidang politik, sosial, maupun ekonomi sehingga dapat dikatakan sebagai membangun Yogyakarta dengan ciri keyogyakartaannya. Jika pemerintah DIY dapat menciptakan situasi yang kondusif seperti itu, payung besar tempat berlindungnya komunitas sastra ataupun kantung-kantung sastra di Yogyakarta untuk mengeksiskan dan mengeksistensikan dirinya pun akan terwujud.
5. Penutup
Eksistensi sastra Indonesia di Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari adanya kantung-kantung sastra, baik berupa sanggar, komunitas sastra, kelompok diskusi, dsb. yang dikelola secara perseorangan ataupun kelembagaan. Kantung-kantung sastra Indonesia yang telah ada sejak tahun 1950-an hilang dan muncul silih berganti. Ada kantung sastra yang dapat bertahan lama, tetapi banyak pula yang hanya dapat bertahan sebentar. Agar kantung-kantung sastra tersebut dapat tumbuh subur diperlukan peran aktif lembaga pemerintah sebagai pengayom (maesenas), khususnya dalam memberikan dukungan finansial, termasuk memfasilitasi berbagai kegiatan yang dilakukan oleh kantung-kantung sastra tersebut (tanpa harus mengintervensinya). Kerja sama yang sinergis dan saling menguntungkan itu pada muaranya akan memberikan dampak positif bagi pembinaan dan pengembangan sastra Indonesia serta penciptaan jaringan komunitas sastra, khususnya di Yogyakarta, sehingga akan menguatkan keberadaan Yogyakarta sebagai kota budaya, kota sastra. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...