Kamis, 14 Maret 2013

Tidak Ada (Hukum) Pemberhentian Presiden

Oleh: CSA. Teddy Lesmana
Setelah Perubahan UUD 1945, maka berakhirlah kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat di Indonesia. Dengan demikian, berakhir pula kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara dalam struktur kelembagaan Negara di Indonesia. Pada masa itu, Hukum Tata Negara Indonesia menghadapi suatu masa dimana perubahan besar telah terjadi dalam kedudukan, tugas, dan wewenang Lembaga Negara.
Implikasi lain dari perubahan yang telah dilakukan terhadap UUD 1945 yang berkenaan dengan lembaga MPR adalah relasi MPR dengan lembaga-lembaga tinggi negara lain. Relasi ini berkaitan erat dengan kedudukan, fungsi, peran, dan kewenangan lembaga MPR. Beberapa implikasi itu dapat dikemukakan antara lain:

Hubungan MPR dengan Presiden; Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUD 1945 Perubahan Ketiga, MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sedangkan relasi yang sebelumnya terbangun adalah Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Dengan demikian kedudukan MPR tidak lagi berada di atas lembaga kepresidenan.
Komposisi keanggotaan dalam MPR yang lebih mencerminkan keterwakilan berdasarkan partai politik dan keterwakilan berdasarkan kedaerahan.
Kewenangan untuk mengubah dan menetapkan UUD.
Kewenangan MPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya hanya dapat dilakukan bersdasarkan Undang-Undang Dasar.
Dari keempat implikasi yang dikemukakan tersebut di atas, yang menarik adalah kewenangan MPR sebagaimana di ataur dalam Pasal 3 ayat (3) UUD 1945, yaitu tentang kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Hal ini dikarenakan UUD 1945 setelah Perubahan juga mengadopsi mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden atau yang di kenal dengan istilah impeachment, sebagai mana diatur dalam Pasal 7A dan 7B.

Mekanisme tersebut, menempatkan MPR sebagai lembaga terakhir pengambil keputusan impeachment terhadap Presiden dan /atau Wakil Presiden yang didahului dengan pengajuan pendapat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Kemudian apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat dan DPR telah menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR untukn diputuskan.

Desain konstitusional tentang mekanisme impeachment tersebut, pada akhirnya menimbukan banyak persoalan baru. Persoalan tersebut dimulai dari bagaimanakah proses yang ditempuh DPR hingga pada kesimpulan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden harus di impeach, apakah kesimpulan itu didasarkan pada fakta-fakta hukum atau atas dasar analisa politik.

Kemudian persoalan yang erat kaitannya dengan asas persamaan di depan hukum (equality before the law), yaitu terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan telah diberhentikan tersebut dilakukan proses hukum di peradilan umum atau tidak, serta dapatkah yang bersangkutan mencalonkan diri kembali dalam pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden berikutnya. Sampai kepada persoalan bagaimana kekuatan mengikat Putusan MK yang memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat, terhadap kewajiban MPR untuk melaksanakan putusan tersebut. Karena setelah di MPR, proses politik-lah yang berlangsung yang dapat saja mengabaikan Putusan MK. Tentu saja hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip supremasi hukum yang nyata dan tegas harus di junjung tinggi oleh Indonesia sebagai negara hukum.

Dengan desain konstitusional tentang mekanisme impeachment yang dianut oleh UUD 1945 setelah Perubahan seperti itu, maka dapat dipastikan tidak akan pernah terjadi impeachment di Indonesia, sekalipun Presiden dan/atau Wakil Presiden telah nyata terbukti melakukan pelanggaran hukum. Selain karena kelemahan secara konstitusional dalam pengaturan impeachment, hal ini disebabkan pula oleh sistem hukum yang mengatur pengisian jabatan politik (baik DPR mapun Presiden) yang sangat buruk, dimana pada akhirnya menempatkan DPR justru menjadi benteng bagi kesalahan dari eksekutif (baca: Presiden dan/atau Wakil Presiden) dan bukan yang seharusnya menjadi lembaga kontrol dan penuntut dari kesalahan dan pelanggaran eksekutif.

Mengagas Ulang Hukum Pemberhentian Presiden Di Indonesia

Impeachment ialah suatu tindakan politik dengan hukuman berhenti dari jabatan dan kemungkinan larangan untuk memegang suatu jabatan, bukan hukuman pidana atau pengenaan ganti kerugian perdata.[3] Dalam bahasa Indonesia impeachment diterjemahkan dengan pemakzulan yang berarti proses, cara, perbuatan memakzulkan.[4] Makzul itu sendiri artinya berhenti memegang jabatan, turun tahta.[5] UUD 1945 tidak secara eksplisit mencantumkan kata impeachment atau pemakzulan, namun pengertian ini terdapat dalam kalimat “….pemberhentian Presiden dan /atau Wakil Presiden….”.

Di dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, telah terjadi dua kali proses impeachment yang berlangsung melalui proses politik, yaitu era Presiden Soekarno dan era Presiden Abdurrahman Wahid. Pada masa Soekarno, MPRS, atas permintaan DPR GR, menyelenggarakan sidang istimewa MPRS pada 7-11 Maret 1967 untuk menetapkan pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno karena dinilai telah melanggar haluan negara yang ditetapkan UUD 1945 serta ketetapan-ketetapan MPRS yang ada, dan terindikasi terlibat percobaan kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September 1965, serta dianggap sebagai penyebab terjadinya kemunduran ekonomi dan kemerosotan akhlak.[6] Pada masa Abdurrahman Wahid, dia di-impeach oleh MPR karena dinyatakan sungguh-sungguh melanggar haluan negara yaitu karena ketidakhadiran dan penolakan Presiden Abdurrahman Wahid untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR RI tahun 2001 dan penerbitan Maklumat Presiden RI 23 Juli 2001 yang menyatakan membekukan MPR RI serta membekukan Partai Golkar.[7]

Dalam konteks sistem ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan UUD 1945, proses impeachment tidak lagi dilaksanakan melalui proses politik di lembaga MPR semata namun ada campur tangan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi (MK).[8] Para pengubah UUD 1945 menempatkan proses peradilan, dimana DPR bertindak sebagai penuntut/pendakwa, MK yang memeriksa dan menyidangkan serta memutus perkara,[9] dan MPR yang memberikan keputusan pemberhentian, yaitu untuk memutuskan aspek hukum alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sehingga tidak semata diputus bersalah berdasarkan pertimbangan politik saja.[10]

Diadopsinya pranata impeachment ini ke dalam UUD 1945 dikarenakan tidak ada lagi hubungan pertanggungjawaban antara Presiden dengan MPR, maka sebagai gantinya, diperlukan adanya pranata impeachment dalam hubungannya dengan konsep tindakan terhadap pelanggaran oleh Presiden.

Akan tetapi, mekanisme impeachment presiden tersebut di atas masih menimbulkan permasalahan hukum. UUD 1945 tidak mengatur lebih jauh mengenai makna alasan pemberhentian dan secara teknis bagaimana prosedur pemberhentian. Mengenai alasan pemberhentian UUD 1945 dalam Pasal 7A hanya menjelasakan Presiden dapat diberhentikan apabila Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela serta pendapat bahwa Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. UUD NRI Tahun 1945 tidak menjelaskan ruang lingkup pengertian alasan-alasan tersebut. Pengertian-pengertian tersebut diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 memang diatur pengertian-pengertian alasan pemberhentian. Akan tetapi, pengaturan dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, masih memerlukan penjabaran lebih jelas seperti misalnya penghianatan terhadap negara perlu adanya analisis akademis apa yang dimasud dengan penghianatan terhadap negara. Begitu pula dengan makna perbuatan tercela, di dalam Pasal 10 ayat (3) yang dimasud dengan perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pengertian perbutan tercela ini menimbulkan suatu ketidak jelasan, apa yang menjadi suatu dasar perbuatan Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat merendahkan martabatnya. Dalam batang tubuh dan penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tidak dijelaskan lebih lanjut pengertian perbutan tercela. Menurut Satya Arinanto, konstitusi tidak memiliki definisi yang baku tentang apa yang disebut perbuatan tercela. Namun, istilah perbutan tercela lebih merupakan terminologi hukum pidana ketimbang norma agama ataupun masyarakat.

Selain alasan pemberhentian UUD NRI Tahun 1945 juga tidak mengatur masalah teknis prosedur pemberhentian. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden berkaitan dengan fungsi pengwasan DPR, dan menjalankan fungsi pengawasan DPR sebagaiman dijelaskan di atas. Dalam menjalankan fungsi pengawasan apabila DPR menemukan Presiden dan/atau Wakil Presiden perbutannya menyimpang dari Pasal 7A maka DPR dapat minta pendapat MK. Penyimpangan yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden berkaitan dengan fungsi pengawasan DPR tersebut di atas apakah terhadap peristiwa hukum yang dilakukan sebelum atau sesudah menjabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Proses memeriksa, mengadili dan memutuskan pendapat DPR di MK dan proses tersebut menggunakan hukum acara tersendiri sebagaiman diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini berarti proses persidangannya secara khusus, apakah hal tersebut tidak bertentangan dengan asas hukum tata negara yakni asas persamaan di depan hukum (equality before the law).

Kemusdian putusan MK berdasarkan Pasal 19 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat berupa permohonan tidak diterima, membenarkan pendapat DPR atau permohonan ditolak. Selain itu Pasal 20 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 membuka kemungkinan diajukannya Presiden dan/atau Wakil Presiden ke persidangan pidana, perdata dan/atau tata usaha negara, bagaimana apabila peristiwa pidana yang dibuktikan di persidangan pidana tidak terbukti sedangkan pendapat MK memutusakan Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melanggar hukum.

Apabila keputusan MK membenarkan pendapat DPR, maka MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usul DPR sebagaiman di jelasakan dalam Pasal 7B ayat (6). Terhadap prosedur tersebut beberapa ahli hukum tatanegara berpendapat prosedur ini dapat menimbulkan permasalahan. Pertama, bagaimana apabila MPR menyatakan bahwa Presiden tidak bermasalah maka terjadi suatu perbedaan keputusan dengan MK. Kedua, dengan diberikannya kesempatan kepada Presiden untuk menyampaikan penjelasan maka seolah-olah MPR adalah tingkat kedua pembuktian pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden. Apakah hal ini dapat di artikan bertentangan dengan prinsip supermasi hukum (supremacy of law).

Supremasi Hukum Di Atas Supremasi Politik

Dari uraian yang telah disampaikan di atas, kiranya dimasa yang akan datang patut dipertimbangkan untuk membuat ketentuan, baik di dalam Undang-Undang Dasar ataupun undang-undang dibawahnya,yang menyatakan bahwa keputusan mahkamah konstitusi yang membenarkan pendapat dewan perwakilan rakyat serta merta mengikat kepada majelis permusyawaratan rakyat untuk melakukan sidang sebagai tindak lanjut atas putusan mahkamah konstitusi tersebut.

Patut dipertimbangkan pula rumuskan ketentuan batasan waktu kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera menindaklanjuti putusan mahkamah konstitusi berkenaan dengan perberhentian presiden dan/atau wakil presiden,sebab hal ini dapat mengurangi kemungkinan political bargaining antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Karena dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak dinyatakan secara eksplisit tentang batasan waktu yang dimiliki oleh dewan perwakilan rakyat untuk memproses lebih lanjut.yang ada batasan waktu untuk mahkamah konstitusi selama 30 (tiga puluh) hari sejak usul itu diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (pasal 7B ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945).

Pada praktik ketatanegaraan ke depan, tentu saja penyelenggara negara harus lebih mendahulukan supremasi hukum daripada supremasi politik, dalam merumuskan pembaharuan terhadap mekanisme impeachment di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...