Oleh: Afriyendy Gusti
Abstrak
Penelitian ini berfokus pada kebertahanan nilai budaya sebagai salah satu fakta sosial dalam masyarakat. Masyarakat yang dijadikan objek penelitian ini adalah masyarakat yang terdapat pada empat cerpen dalam kumpulan cerpen Parang Tak Berulu karya Raudal Tanjung Banua. Sebagai fakta sosial, nilai budaya hidup sebagai konsep yang memengaruhi sistem sosial masyarakat. Sebagai sistem, relasi antarindividu maupun antarsistem akan terpola membentuk kerangka yang konstan dan stabil. Kerangka hubungan yang stabil ini kemudian tervisualisasi sebagai bentuk struktur sosial yang saling berkaitan.
Dengan memanfaatkan paradigma struktural fungsional dan dibantu dengan analisis struktural terhadap unsur intrinsik cerita, dapat disimpulkan bahwa masyarakat dalam kumpulan cerpen Parang Tak Berulu masih mempertahankan nilai budaya mereka. Upaya mempertahankan nilai budaya oleh masyarakat dilakukan dengan cara mewariskannya kepada generasi berikutnya melalui institusi keluarga maupun lembaga adat sehingga nilai-nilai tersebut terinternalisasi sebagai konsep yang hidup dalam pikiran dan memengaruhi cara berperilaku mereka. Pemertahanan ini membuktikan eksistensi nilai budaya sebagai nilai yang fungsional bagi kehidupan kolektif individu masyarakat yang bersangkutan karena kemampuannya untuk mewujudkan keseimbangan dalam masyarakat.
Kata kunci: Parang Tak Berulu, Nilai Budaya, Struktural Fungsional, Sistem
Budaya, Sistem Sosial.
Abstract
This research focused on the existence of cultural values as one of social facts in society. Object of this research was community found in four short stories taken from short stories collection book entitled Parang Tak Berulu written by Raudal Tanjung Banua. As social fact, the cultural values existed as concept that influenced the community’s social system. As system, interpersonal relation and among systems would patterned forming a constant and stable framework. This stable relational framework, then, was visualized as a form of interrelational social structure. By using structural functionalism paradigm and supported analysis of stucturalism on the short stories intrinsic element, it can be concluded that the communities in the short stories still preserved their cultural value. It was done by inheriting it to the next generation through family and custom institution so that those values were internalized as concept existed in their mind and influenced their behavior. This preservation prove that the existence of cultural values was functional for the life of individual collectivity in the communities because of their capability in realizing equilibrium was in the communities.
Keywords: Parang Tak Berulu, Cultural Values, Structural Functionalism, Cultural System, Social System.
1. Pendahuluan
Salah satu kesalahan yang sangat umum adalah anggapan bahwa manusia adalah makhluk egois sehingga mempunyai kebebasan yang sangat luas. Setiap orang mengenal dirinya sendiri, tetapi jarang yang menyadari bahwa diri mereka juga sangat tergantung kepada manusia lainnya. Artinya, manusia baru menjadi manusia seutuhnya karena hidup dengan manusia yang lain. Demikian juga apabila seseorang bertentangan dengan masyarakatnya, ia sebenarnya telah menjalani interaksi dan mendapatkan pengaruh (Bouman, 1980:15). Hal itu menurut Lysen (1981:12), disebabkan pengaruh orang lain atas dirinya, tiap-tiap individu mempelajari segala hal yang terdapat di lingkungannya baik bahasa, agama, susila, kebiasaan, maupun aturan-aturan. Dengan kesadarannya, individu belajar menguasai kepandaian dan pengetahuan yang telah diperoleh oleh individu-individu sebelumnya.
Selain pada dunia nyata, interaksi individu dengan masyarakat dan kebudayaan seperti di atas dapat ditemukan dalam karya sastra karena pada dasarnya karya sastra merupakan fenomena sosial yang berhasil ditangkap dan dituliskan kembali melalui sudut pandang pengarangnya. Menurut Wellek dan Warren (1995:109) sastra “menyajikan kehidupan”, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia. Ratna (2009:234) bahkan menegaskan bahwa karya sastra mempunyai tugas penting, baik sebagai pelopor pembaruan maupun memberikan pengakuan terhadap suatu gejala kemasyarakatan.
Salah satu karya sastra yang mengangkat permasalahan manusia dengan kebudayaan tersebut adalah kumpulan cerpen Parang Tak Berulu karya Raudal Tanjung Banua. Dewanto (dalam Banua, 2005) menyebutkan bahwa Raudal menjalankan siasat naratif yang jitu dalam menghadapi realitas besar. Anasir kecil seperti pisau atau parang bisa bermakna kelamin atau bayangan lelaki yang merangsang konflik di bawah permukaan. Kepiawaian Raudal dalam menarasikan kontemplasinya juga ditanggapi oleh Damhuri Muhammad (www.ruangbaca.com/resensi) dengan menyebutkan bahwa sejumlah kisah Raudal menjadi sistem yang utuh, tetapi sekaligus menjadi prisma yang memancarkan masalah kaum, puak atau satuan sosial yang lebih besar. Raudal berhasil meneruskan kompleksitas tradisi lisan (kaba) ke dalam tradisi tulisan, tradisi sastra.
Kumpulan cerpen yang terdiri atas sebelas karya Raudal Tanjung Banua ini merupakan salah satu finalis Kathulistiwa Literary Award (KLA) tahun 2005. Parang Tak Berulu adalah kumpulan cerpen Raudal Tanjung Banua yang ketiga setelah Pulau Cinta di Peta Buta (Jendela, 2003) dan Ziarah Bagi yang Hidup (Mahatari, 2004). Sepuluh cerpen dalam kumpulan cerpen ini secara terpisah sebelumnya pernah dimuat di beberapa media cetak, yaitu ”Perempuan yang Jatuh dari Pohon”, Kompas, 9 Juni 2002; ”Ranah Berkabut”, Kompas, 12 Januari 2003; ”Parang Tak Berulu”, Koran Tempo, 9 Maret 2003; ”Laju Buaian di Rumah Tak Berpenghuni”, Koran Tempo, 7 September 2003; ”Ladang Terhijau Saat Kemarau”, Jurnal Cerpen Indonesia, Edisi 2/2003; ”Tukang Pijat Keramat”, Koran Tempo, 15 April 2004; ”Tubuh yang Bersekutu”, Koran Tempo, 27 Juni 2004; ”Tali Rabab”, Horison, edisi April 2004 ”Pusaran Lubuk Pengantin”, versi pertama dimuat dalam Cerita-cerita Pengantin diterbitkan Galangpress, 2004; versi terakhir dimuat di Horison, edisi September 2004; dan ”Batang Pinang, Batang Pisang, Kenangan Terus Memanjang”, Koran Tempo, 27 Februari 2005.
Bertolak dari argumentasi di atas, objek kajian pada penelitian ini adalah nilai-nilai budaya sebagai sebuah sistem yang terdapat dalam kumpulan cerpen Parang Tak Berulu. Menurut Koentjaraningrat (1985:190) sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Hal itu disebabkan nilai-nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat, mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan warga masyarakat tersebut.
Sumber: Jurnal Mlangun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Untuk perbaikan ke depan silakan tinggalkan saran ataupun komentar...